The Diary
Catatan di halaman ke-25
— —
Yang tersembunyi di balik hati, meronta-ronta ingin bebas, menghirup udara yang tiada batas.
Yang tersembunyi di balik tangisan, tumpah ruah air mata tak kuasa menahan. Dari setiap benci dan juga cinta, terlalu bingung untuk memilih di antara keduanya.
Kini napas tersandung oleh rasa sesak di dada. Tak adakah secuil harapan untuk dirasa? Sebab, kalimat-kalimat itu terlalu perih untuk diucapkan lagi atau — untuk diperdengarkan kembali.
Mengapa ada peristiwa untuk dilalui? Ketika keraguan sudah pasti… pasti akan menghentikan laju langkah.
Kenapa harus ada pertanyaan di setiap adegan? Menuruti hawa nafsu yang membara… menuruti hasrat-hasrat yang tidak bertujuan.
— —
9 September 2021
Makna di balik cerita, terukir ratusan kisah. Perjalanan yang ku lalui bersama lika-liku drama di dalamnya. Ada banyak pertanyaan yang mengandung air mata. Ada yang menyebabkan membaranya gejolak amarah. Ada juga, yang menimbulkan banyak keraguan. Sebagian, sudah terjawab, sebagian, lenyap — sisanya masih menghantui pikiran dan relung kalbu.
Di balik angka-angka yang terus bertambah jumlahnya. Ada banyak kekecewaan lahir sebagai bentuk kelelahan. Ada juga rasa gelisah seakan berwujud, menandakan simbol sebuah ketidakberdayaan.
Hidup ini begitu jelas, erat kaitannya dengan cinta; yang ku pahami maksudnya, yang ku terjemahi maknanya, yang ku rasakan kehadirannya di dalam hati.
Dari merangkak, aku belajar berdiri, dari berdiri mencoba hebat untuk berlari. Kaki tersandung oleh batu-batu yang kasat mata. Terjatuh dan terluka. Merintih dalam kesakitan. Lalu mencoba bangkit, tapi terkadang terlalu takut untuk memulai lagi.
Kini ku coba pahami mengapa hati ini menangis dalam diam. Ku ilustrasikan gejolak-gejolak rasa yang timbul dari mata yang menatap, dari telinga yang mendengar, dari hati yang merasa.
Memang, sudah seharusnya aku tidak bertindak ceroboh, karna usia terus berjalan mundur. Memang, sudah saatnya ku sadari untuk belajar dari rasa sakit yang pernah ku alami. Tapi, entah mengapa sosok ini tak ingin lagi bekerja sama. Terhenti tanpa ada alasan yang pasti.
Waktu berlalu, tahun berganti, aku tak berkemampuan lagi untuk bersahabat dengan jati diri. Ada dendam yang ku yakini memburuknya hubunganku dan diriku sendiri.
Entah mengapa aku harus berlagak egois pada diri sendiri. Tapi, semua ku yakini berawal dari sebuah titik luka yang ku labuhkan di hati seorang wanita, menyebabkanku harus menghukum diri di balik jeruji besi yang kokoh.
Namun sebenarnya, cerita itu sudah berlalu tertinggal di belakang. Di saat aku tak bisa memperbaiki lagi hubunganku dengan wanita itu, seharusnya aku berdamai saja terhadap diriku. Tidak lagi membangkang, tidak lagi saling membenci, tidak juga lagi saling menyalahkan.
Sayangnya, yang terjadi adalah aku menutup diri dari kebebasan dan malah menjebak diri dalam balutan cahaya kegelapan. Ku tinggalkan sosok sejati diriku menyebrangi samudra di lautan, hingga tak lagi ku kenali siapa aku ini… tidak juga ku pahami mengapa ada drama yang dulu sempat ku takuti, kini malah benar-benar terjadi.
“Bukannya ingin membuktikan diri, tapi cinta ini telah ku pendam dalam diam. Sehingga, semakin aku sembunyikan, semakin membara pula ingin menuju kepada orang yang dituju.”
Pertanyaan yang masih menyelimutiku hingga saat ini adalah,
“apakah salah jika aku hendak mengungkapkan cinta kepada seorang wanita? Salahkah jika aku ingin mencintai? Salahkah jika aku juga ingin dicintai?”
Semuanya berakhir musnah. Cinta begitu rumit hingga aku sendiri tak dapat memahami kebenarannya.
Karna perkara hati, menjadi hak masing-masing. Aku, punya hak untuk mencintai, dan wanita yang ku cintai juga punya hak untuk menolakku dan memilih mencintai lelaki yang lebih dicintainya. Sampai di sini, aku tak bisa menyalahkan mereka, tapi pun tak semestinya menyalahkan diri sendiri.
Ketika seseorang memilih untuk mencintai, maka dirinya harus siap dengan rasa sakit yang akan datang setelahnya…
Lalu pertanyaannya, siapkah diriku ini…?
Dan untuk memberi kepedulian, dirinya harus siap untuk diabaikan… berkali-kali
Sejauh kemampuan ini aku mencoba; lelah dan letih begitu menjadi momok yang cukup untuk membenamkanku dari cahaya penolong.
Sungguh memalukan. Seharusnya, pemuda sepertiku, di usia yang barus saja mekar ini, dapat menaklukkan hari-hari dengan jiwa yang optimis. Seharusnya, lelaki seperti diriku ini, mampu berkarya sewarna-warni mungkin.
Sungguh memalukan, aku yang menganggap diri sangat berhak untuk dicintai, tapi menutup diri untuk mencintai orang-orang di sekelilingku, bahkan termasuk diriku sendiri.
Betapa memalukan…! Saat ku kira aku menjadi orang yang paling tepat untuk mendapatkan rasa kepedulian, tapi tak pernah peka apa yang batinku jeritkan sebagai bentuk permintaan berdamainya “aku” ini.
Ku pikir, setelah tahun-tahun berlalu, aku dapat kembali menjadi seperti diriku yang dulu. Tapi malah semakin tersesat.
Ku pikir, aku telah memaafkan diri ini, padahal hanya berlagak akrab dan masih menyimpan kebencian.
Dan semakin ku lakukan, semakin aku merasa kesepian. Hampa dan kosong rasanya saat sedang berbincang. Hampa dan kosong terasa saat bersama mereka.
Aku menangisi yang tak perlu, di usiaku yang terus bertambah ini.
Aku menyia-nyiakan waktu, di saat yang lain telah berhasil meraih impian.
Aku, mengkhianati kepercayaan dengan terus menjauh dari Sang Pencipta.
Memaki diri, membentak mereka yang tak bersalah, mengutuk apapun yang dapat ku jadikan sebagai pelampiasan. Sungguh aku telah keluar dari garis batasanku.
Perasaanku ini campur aduk untuk diceritakan… terlalu berlandaskan amarah untuk diungkapkan. Hingga kini aku mencari sosok wanita yang tepat, aku tetap meragu sambil bertanya yang tak perlu.
Ku akui, bab-bab kisah percintaan tak mampu ku tangani sesederhana mungkin. Aku terus terbelenggu di balik pembenaran nafsu.
Kepulan asap rokok ini pun tak lagi mampu menggambarkan wujud hatiku, semakin hitam oleh rokok yang setiap saat ku isap.
Sejauh perjalanan ini aku merantau, seharusnya aku jujur saja bahwa betapa tak berdayanya aku menghadapi ini semua tanpa bantuan dari Tuhan. Tapi aku mengabaikan-Nya.
Dan, daripada menyalahkan orang lain, lebih baik aku menerima apapun yang mereka berikan padaku walaupun rasanya begitu sakit dan perih. Tapi, aku hanya meludahinya sepele.
Apa gunanya duduk dan menulis semua keluh kesah jika tak pernah bergerak untuk mencari jalan keluarnya… setidaknya untuk mengikhlaskan segalanya. Aku… terlalu gengsi dan keras kepala.
Untuk apa gunanya mencintai wanita yang mana dia secara nyata mengatakan bahwa tak ada sedikitpun cinta balasan untuk diberikannya padaku… aku buta hati!
Untuk apa terus meyakini seorang wanita bahwa aku peduli dan mencoba memberi tanda isyarat yang sulit diterka. Tapi dia sebenarnya merasa terganggu oleh kehadiranku.
Kini ku sadari, semua hal yang membuatku jatuh terpuruk dan sulit mengontrol emosi… itu karna ada abaian dari rasa kepedulianku yang berlandaskan cinta.
Bukankah saat wanita itu tidak lagi membalas pesan singkat dariku, atau menyudahi pembahasan sebelum usai… bukankah itu pertanda yang sangat jelas untuk ku ambil sebuah kesimpulan?
“tapi, bukankah itu terlalu kejam untukku yang tulus mencintai-nya?”
Mengandaikan perasaan tanpa landasan apapun, adalah kesalahan besar yang terus ku ulangi sampai detik ini.
Betapa memalukannya…!
“Telah sampai usiaku di angka 25, entah siapa wanita yang akan mencintaiku karna aku juga mencintainya. Ku serahkan saja pada Tuhan sebagai Yang Maha Mengetahui. Walau ku yakini, Ia juga tau siapa wanita yang terus menerus terucap namanya di dasar kalbuku.”
Banyak hal yang terabaikan, banyak hal yang belum terselesaikan. Langkah yang terpaku, dan hati yang terbelenggu, seharusnya sudah tiba waktunya untuk menyadari bahwa — aku pasti akan kembali jika sudah berdamai dengan diri sendiri — dalam kejujuran dan saling terbuka.
Rasa sakit ini, entahlah. Aku pun bingung bagaimana memadamkannya.
Aku tak punya jawabannya… aku hanya punya pilihan; terus tersiksa atau memilih bebas menghirup udara segar di luar sana.
“ada rutunitas yang tertinggal. Ada kewajiban yang terabaikan. Ada cinta yang tak sampai. Cerita kehidupan ini adalah milikku. Dan aku pula yang akan menulis kisahnya di antara dua persimpangan. Dan aku tau, satu langkah saja tersesat, maka hilanglah semua kebenaran. Satu langkah saja ku ikhlaskan, maka rasa sakit lain yang nanti akan menyerang dapat ku hadapi dengan ketulusan hati.”
Aku masih ingin bertarung, aku masih ingin jiwa yang hidup; jauh dari kesan hampa, kesendirian, gelisah, amarah dan kebencian.
Tapi… selamat ulang tahun untuk lelaki pujangga. Menulis puisi untuk menghibur diri, menulis persepsi untuk meninggalkan jejak positif, menulis fiksi untuk terus berkarya.
Izinkan aku meraih satu mimpi yang ku dambakan. Barangkali, akan menjadi titik balik bagiku yang telah mulai hilang jati diri ini.
Setiap orang bisa berubah menjadi sosok lain. Tapi tak menutup kemungkinan ia akan kembali dari keterpurukan. Karna dia terus belajar meski berulang kali jatuh di lubang yang sama. Sejauh itulah dia menghadapi kenyataan, sebelum nanti Tuhan memberinya satu bentuk ujian yang lain… oleh karna dia sudah lulus dari rintangan lama.
Sesekali, mampirlah di tulisanku. Banyak pesan maaf yang ku sampaikan hanya untukmu yang merasa terganggu oleh hadirnya diriku ke dalam duniamu.
“semoga kau memaafkanku…”
— —
Dari seorang lelaki biasa yang baru berulang tahun, untukmu yang syahdu…,
Banda Aceh