Keadaan semakin berubah, karna dia datang dan membenamkan segala cahaya kegelapan di hati. Menghidupkan saraf kalbu untuk menerangi harapan. Dia mungkin adalah seorang penyelamat yang Tuhan titipkan.
Ketika daun rontok dari dahan. Terbang melayang tak bertujuan. Dan karna kematian telah tiba waktunya, menggantinya dengan warna hijau baru.
Aku menatap seorang diri jauh ke depan. Saat tak seorang pun datang memberi kabar, aku bertanya-tanya mungkin memang tak ada yang singgah. Tapi, entah dari mana ada satu bisikan masuk menghibur sukma.
Dan karna aku telah menepi lama dalam kelelahan. Hanya dia yang tau kapan aku akan melanjutkan perjalanan. Sebab, dialah yang telah percaya tanpa sedikitpun keraguan.
Yang terlisan dari bibir, terungkapkan begitu saja, baik padaku atau padanya. Karna kami saling mengerti apa yang dapat menciptakan kebahagiaan di sisi. Aku tak pernah takut berjalan bersamanya.
Seakan mencoba menarikku dari jebakan. Ia memanggil dan berteriak atas sebuah nama. Untuk kemudian ku palingkan pandanganku ke belakang, dia telah datang dengan berurai air mata. Itu yang ku sebut sebagai kekhawatirannya.
Ketika hujan tak berhenti membasahi jalanan, dingin yang menusuk tak kuasa berada di bawah awan kelabu. Aku selalu tepat waktu memberinya payung, karna terkadang ketangguhannya merasuki jiwaku untuk ku katakan bahwa aku takut tak bersamanya.
Ada alunan ombak berirama, memberi pesan tersirat kepada siapa saja yang dapat memahami. Dan dia menatapku di bawah warna jingga yang selalu saja ku rindukan dia yang seperti itu. Karna senyumannya tak pernah bosan menghibur kesedihanku.
Ada banyak puisi tercipta untuknya. Terukir begitu saja tanpa ku paksa. Karna di saat bait-baitnya menyatu, dia akan selalu menjadi orang pertama yang membaca sajaknya.
“Karna aku suka…”
Aku tak pernah risih mendengar ungkapan bahagia dan kesedihannya. Ku biarkan saja karna aku suka. Dan ku bayangkan saja sebab dia bahagia. Seperti itu, saat ia tak punya alasan untuk menyukai puisi batinku. Dan, aku pun demikian.
Tak pernah ragu untuk menerima genggaman tanganku. Tak pernah ragu untuk menerima cintaku. Ketika dua insan bertemu dengan satu rasa yang sama, ada perbedaan terlihat ingin saling menutupi keegoisan.
Dan ku hentikan langkah ketika aku lelah mencari. Ku hentikan saja karna ku pastikan dia telah membuka pintu hati. Bekas luka yang masih saja teriris sakit, akan terabaikan karna dia selalu yakin aku sudah lebih tangguh menghadapi semuanya.
Ukiran yang dahulu berdebu kusam, kini terletak rapi dengan tatanan sederhana. Dia merawatnya atas kepedulian.
Dan aku akan menanam benih kepercayaan, untuk terus bersama meski akhirnya nanti terpisah dari ruang dan waktu yang berbeda.
Karna aku tak mengukir cinta dengan lisan. Aku hanya meletakkan namanya di hati, hingga semua rahasia hari menjadi bayangan wajahnya, menghibur aku saat diri ini seakan menyerah sebelum mencoba.
Tapi, namanya dan milikku, telah tertulis abadi dalam buku suci.
Aku memulai kisah baru, karna cinta ini telah menyatukan dua sukma dalam jarak yang jauh di sana, untuk kemudian ditakdirkan hidup bersama.
Dialah, wanita yang harus ku relakan sementara waktu untuk berpisah,
Dan aku tak pernah menyesalinya
— Breaking Reza