Waktu Berjumpa; Waktu Berpisah

Reza Fahlevi
3 min readJan 18, 2023

--

— —

Pada akhirnya, tak ada yang harus ku salahkan. Terkait semua yang telah terjadi di kala itu, mempertemukan kita berdua dalam ruang yang sama.

Waktu datang memberi pemahaman tentang pertemuan di antara kau dan aku. Waktu lalu memberi penjelasan bahwa perpisahan adalah hal yang harus kita terima setulus mungkin. Pada akhirnya, tak perlu ada yang ku sesali.

Terkadang aku berpikir, kenapa dulu kita harus saling berkenalan jika pada akhirnya kita tidak bisa bersatu menjalin ikatan suci bernama cinta.

Terkadang aku berandai bahwa kita tidak seharusnya saling menyapa hingga menjadikan kita akrab dalam hubungan persahabtan. Sejauh yang ku rasakan, persahabatan itu yang membuatku malah jatuh cinta padamu.

Meski begitu, semua catatan sejak awal pertemuan kita dulu barangkali bisa menjadi titik terbaikku… mengungkapkan cinta. Dan seandainya aku tak pernah takut untuk menyatakan perasaan… mungkin kau sudah menjadi milikku untuk selamanya.

Atau bisa saja hubungan kita patah dan pupus di tengah jalan.

Mengilas balik masa lalu terkadang menyenangkan juga. Kau tahu? Itu karena senyumanmu. Dan apa kau tahu? Aku pernah kecanduan terhadap lekukan bibirmu karena terlalu syahdu… melebihi kesyahduan senja.

Namun, terlalu lama mengenang masa lalu juga tak baik sebab baik aku dan dirimu sudah berada dalam haluan yang berbeda. Kita berpisah di titik persimpangan untuk menuju kepada impian masing-masing. Kau mencintai yang kau pilih dan aku mesti jatuh cinta lagi setelah sekian lama menaruh hati padamu.

Kita yang sudah saling mengenal baik tak perlu pergi dengan hamparan kebencian. Karna, itu hanya akan menodai kenangan indah di Jalan Hamzah.

Ketika dua insan di antara lelaki dan wanita menaruh mata saling… memandang lurus paras wajah… ku yakin kau tak perlu tahu bahwa aku pernah memendam cinta terhadapmu dan aku juga tak perlu tahu apakah mungkin kau pernah menyimpan perasaan terhadapku.

Cerita ini berakhir dengan semestinya meski berlawanan dari keinginan… keinginanku.

Tapi tak apa… pada akhirnya senyuman yang sering menghibur setiap saat kita berjumpa sudah memberi ujung yang indah. Kita menamatkan bait-bait puisi dengan kata-kata puitis yang tersirat. Hanya kita yang paham maknanya.

Pada akhirnya… aku tak pernah mengubah kenangan kita bercerita tentang kepalsuan. Itu karena, aku hanya ingin ingatan ini tersimpan rapi di dalam laci masa lalu yang tertulis elok di lembaran-lembaran diary. Dan seiring waktu berjalan membawa kita menjauh dari radar perasaan… kita tak perlu mengumbar segala sesuatu yang sudah berlalu. Biarkan berdebu… biarkan tertutup rapat.

Sebab, usia semakin membawa kita ke arah renta… dan semestinya angka-angka yang berganti membuat kita menjadi lebih dewasa serta bijak. Dari semua yang pernah indah… pada akhirnya itu hanya kisah di masa lalu.

Ku hargai waktu yang mempertemukan kita dengan tidak mengkhianati waktu yang memisahkan kita.

Ketika ku coba pahami situsasiku dulu yang kian terluka menahan rasa yang terpendam. Kini aku bersyukur bahwa semua perasaan yang sempat terbelunggu di dasar hati terbebas sudah. Aku tak perlu lagi menahan beban cinta… aku tak perlu lagi khawatir tentangmu.

“Karna sekarang kau sudah lebih aman berada dalam pelukan lelaki yang kau cintai… dan yang mencintaimu setulusnya.”

Pertemuan denganmu membuatku jatuh cinta padamu.

Namun, perpisahan ternyata membuatku terbebas dari belenggu perasaan terpendam.

Kita memang tak pernah tahu tentang waktu. Kita memang tak pernah tahu rahasia tentang realita. Awalnya terasa menyakitkan saat aku harus rela melepaskanmu. Tapi setelah ku jalani setahap demi setahap, sekarang aku mengerti bahwa Tuhan menyelamatkanku dari rasa sakit.

Ternyata, inilah makna yang ingin Ia tunjukkan padaku.

Pada akhirnya… meski kita tak bisa bersatu dalam ikatan cinta dan arah perasaan yang sama. Tapi, Jalan Hamzah adalah saksi bahwa kita merupakan sahabat yang saling memberi… sahabat yang sering melemparkan ejekan… sahabat yang suka merendahkan… sahabat yang selalu menghabiskan waktu hanya untuk berbicara hal-hal tak penting… sahabat yang saling mengerti…

sahabat terbaik yang tak pernah menyesali pertemuan.

Aku tak peduli terhadap kegagalanku meraih cintamu. Dan orang-orang akan mempermasalahkan ini; menertawakanku, mempermalukanku. Biarkan mereka berkata apa.

Yang jelas…

Aku belajar banyak dari waktu yang mempertemukan dan yang memisahkan kita.

Pada akhirnya… ku jalani kehidupan ini tanpa pernah melempar cacian kepada Tuhan. Itu karena, aku sudah menerima realita kehidupan. Awalnya ku rasa berat… namun sekarang ku syukuri apa yang ku punya.

Karna aku hidup bukan untuk meninggalkan bekas drama yang tak perlu.

Aku hidup untuk menulis novel… karna aku suka berkarya seperti itu.

-Diary 09-

--

--

Reza Fahlevi
Reza Fahlevi

No responses yet