Untuk Vino Di Sana
“Lumayan view-nya di sini. Santai sambil menulis mungkin ide yang bagus…”
Denny bergumam pada dirinya sendiri tak lama setelah ia tiba di pantai Cermin. Padahal cuacanya mendung, bahkan juga gerimis. Tapi mungkin ia memang sedang merindu terhadap cuaca seperti ini. Terasa teduh dan syahdu di hatinya.
Tiupan anginnya tidak terlalu kencang tapi begitu sejuk sampai menusuk ke dalam kulit. Danny tetap mengenakan jaket hitam tebalnya. Sambil mengambil sebuah buku catatan dan pulpen dari dalam tas kecilnya, ia mulai berimajinasi, bermain kata-kata untuk dituangkannya dalam buku coretannya.
Sesekali Denny memejamkan matanya, atau menatap sekitar sambil memaksa otaknya untuk berpikir. Keseriusan terus bersamanya hingga lima belas menit kemudian ia pun menyerah terhadap keadaan. Puisinya sudah mencapai bait ke sepuluh. Ya… lelaki ini menulis puisi. Dan karna sepertinya imajinasinya sudah tersangkut, ia bakar sebatang rokok untuk menjernihkan pikiran dan emosinya.
“Gak semudah yang dibayangkan ternyata.” Gumamnya lagi pada diri sendiri.
Sambil membalikkan halaman bukunya ke belakang, Danny terus larut dalam kepulan asap rokoknya itu. Ia sedang mencari cara serta solusi untuk mengakhiri bait terakhir. Berusaha membaca kembali puisi-puisi yang sudah terlebih dahulu diciptakannya agar mudah untuk mengumpulkan kata-kata sebagai inspirasinya.
Danny memang suka berpuisi. Tidak hanya menulis, ia juga sering membacanya baik di channel Youtube miliknya atau pun ketika ada komunitas-komunitas mengadakan kegiatan membaca puisi bersama.
Puisinya pun banyak yang berkaitan tentang motivasi hidup, walaupun tak jarang pula ia menulis tentang cinta. Baginya menulis adalah salah satu cara terbaik untuk menyampaikan pesan, melampiaskan emosi, bahkan sampai memberikan motivasi kepada orang lain. Oleh karena itu ia lebih memilih berpuisi tentang motivasi. Itu karena, Danny dulu pernah punya seorang teman yang mengalami depresi hebat hingga pada akhirnya temannya itu mengakhiri hidupnya.
Atas dasar itu pula, terbuka pikiran Danny untuk membantu memulihkan orang-orang yang memiliki penyakit mental untuk tetap bersemangat menjalani hidup. Dan bantuan yang dapat ia lakukan adalah melalui puisi.
Terkadang saat ia membaca puisinya itu di depan semua orang, pasti banyak yang terbawa akan emosi yang di hantarkan oleh Danny. Ia mencoba masuk ke dalam dunia depresi di mana banyak orang yang tersiksa dari dalam. Berperan menjadi mereka, menampakkan rasa sakit yang tak terlihat. Danny seolah menceritakan bagaimana pedihnya orang-orang depresi yang mengharap bantuan dari kerabat lainnya.
Kini, puisi yang sedang ia tuliskan adalah berupa gambaran bagaimana teman baiknya, Vino, menghadapi depresi, melawan penyakit mentalnya itu, berusaha untuk tetap hidup dengan segala penderitaannya.
Vino adalah teman masa kecil Danny. Mereka sudah saling berbagi kisah suka dan duka bersama dalam rentang waktu yang lama. Keduanya berlawanan nasib. Danny tumbuh bersama orang tuanya, pernah merasakan kasih sayang ibu dan ayah. Sedangkan Vino telah ditinggal kedua orang tuanya sejak umurnya baru lima tahun akibat kecelakaan. Beruntungnya, Vino selamat.
Sejak kecelakaan itu, hidup Vino perlahan seolah menjadi bencana baginya. Banyak tetangga menyalahkan dirinya ketika kedua orang tuanya mengalami nasib tragis. Belum lagi ia menjadi korban bullying saat masih SMP, dan terus berlanjut hingga SMA.
Pasca kecelakaan horor tersebut, kaki kiri Vino tidak lagi bisa berjalan normal. Maka ia paksakan berjalan dalam keadaan pincang. Dan hal ini ternyata menjadi bahan lelucon tersendiri bagi kebanyakan temannya di sekolah. Yang lebih parahnya lagi adalah seorang guru SMA-nya tega menertawainya di depan teman-teman yang lain.
Vino tidaklah cerdas dan sedikit susah untuk memahami hampir semua pelajaran di sekolahnya, hingga seorang guru bernama pak Darko menghujatnya dengan candaan,
“Vino, kalo kamu sudah cacat kaki, setidaknya jangan kamu cacatkan lagi otakmu itu. Masa pelajaran saya yang mudah ini jadi sulit untukmu. Jangan dipelihara bodohnya, dong…”
Hampir semua teman-temannya tertawa mendengar ocehan pak Darko. Sedangkan Vino hanya terdiam seribu bahasa. Terpaku serta tertekan akan perkataan gurunya.
Selama tiga tahun di SMA, bukanlah ilmu yang didapatnya melainkan cacian, hinaan, tertawaan dan kekerasan yang ia terima. Namun cobaan itu ia lalui dengan keteguhan hati. Danny, selalu mencoba senantiasa bersama sahabatnya itu, menemaninya di kala sedih, menghiburnya saat air mata membanjiri pipi, atau tertawa bersama saat ada bahagia di sisi.
Hanya itu yang dapat dilakukan oleh Danny. Selebihnya, ia tak pernah bisa menahan aksi-aksi jahat dari teman-teman lainnya sebab dua melawan sepuluh orang adalah jumlah yang jauh dari seimbang. Begitulah ibaratnya.
Hingga di penghujung sekolah, Danny dan Vino berhasil lulus bersama. Keduanya memiliki cita-cita. Tapi, setahun kemudian, mimpi sahabatnya ini pupus setelah ia mengakhiri hidupnya dengan cara menggantung diri. Tekanan batin yang semakin tak karuan membuat Vino menyerah akan kenyataan yang dihadapinya. Ia meninggalkan Danny dengan sebuah surat wasiat,
“Kepada sahabatku Danny. Maafkan aku yang telah menyerah terhadap hidup ini. Aku tau kau selalu membantuku untuk tetap bertahan, tapi beban di dalam jiwaku sudah tak sanggup lagi ku tahan. Cacian, hinaan, siksaan, telah beribu kali ku terima dan mereka tak pernah mengerti betapa aku kian terluka. Mereka menertawakanku karna aku lemah. Mereka mengejekku karna aku cacat. Mereka menghinaku karna aku bodoh. Satu-satunya cinta dan kasih sayang yang ada dalam diriku adalah kau. Terima kasih telah membelaku dan berdiri di barisan paling depan saat mereka menjatuhkanku. Aku pergi tanpa ku ketahui apakah Tuhan akan menerimaku di sisi-Nya. Tapi yang pasti, mulai kini ku lupakan semua luka batinku. Dan berilah kabar kepada mereka yang telah membawa mimpi buruk ke dalam hidupku, katakan kepada mereka Danny bahwa aku sudah memaafkan mereka semua. Sudah ku maafkan dosa mereka semua sebelum mereka datang padaku. Terima kasih Danny. Kaulah temanku, kaulah saudaraku.”
Di pantai cermin itu, di bawah naungan atap pondok yang terletak tepat di depan pantai sebagai tempat berteduh, Danny semakin kedinginan. Hujan semakin deras, tapi tak mengecilkan nyalinya tuk mengukir kata demi kata tentang sosok Vino, sahabat yang telah pergi meninggalkannya.
Bagi Danny, masih banyak cerita yang belum tersampaikan kepada Vino. Ada serpihan semangat yang belum terhantarkan. Maka, ia tuangkan semua luapan emosinya itu. Tanpa disadari, setitik air mata terjatuh mengalir di pipi kanannya.
“Vino, seandainya aku tepat waktu saat itu, pasti kau di sini sekarang, mengukir setiap bait puis bersama. Seandainya waktu terhenti ketika kau melangkahkan kakimu menuju tali yang tergantung di kamarmu, pasti kini kau sudah meraih semua cita-citamu. Vino, seandainya…maafkan aku yang terlambat menolongmu saat kau sudah di ambang jurang kematian.”
Danny bergumam dalam hati. Tak kuasa pun ia menahan agar air mata berhenti mengalir. Dipejamkanlah kedua matanya, kini malah merasakan suara hujan yang semakin lebat melanda. Kabut juga mulai menahan jarak pandang.
Puisi tentang Vino akan dibacakannya saat komunitas “Berpuisi: Datang Dan Bacakan” mengadakan lomba membaca puisi. Danny ingin memperdengarkan rasa sakit sahabatnya itu agar semua orang paham bahwa luka batin memang takkan pernah bisa dilihat. Tapi rasa sakitnya kian membuat perih di dalam jiwa setiap penderita, hingga pada akhirnya banyak dari mereka yang menyerah terhadap kenyataan.
“Duhai engaku di sana, ada satu kabar dari temanku, Vino. Dengarlah kisahnya ini, yang tersiksa terluka karna dirimu. Lihatlah tangisannya di dalam hati, menjerit merintih pertolongan. Rasakan setiap kepedihan di balik hatinya, cacian dan hinaan telah terukir jutaan kali di jiwanya. Dan kau masih belum mengerti. Belum kau pahami karna kau tak peduli hingga pada akhirnya ia memilih tuk pergi… pergi meninggalkanku seorang diri di sini… di dunia ini. Kau menyiksanya, menyiksaku, kau memisahkan kami. Tapi taukah engkau? Vino telah memaafkan dosamu sebelum kau datang padanya. Itulah pesan terakhirnya… itulah kabar terakhir… itulah cinta terakhir dari sahabatku, untuk engkau yang telah mengirimkan jutaan kepedihan ke dalam hatinya.”
Bangkitlah wahai penderita batin. Pasti kau bisa. Engkau senantiasa bernapas siang dan malam, pertanda masih ada cinta, masih ada kasih sayang… dari Tuhan. Laluilah karna kau pasti akan menjadi pemenangnya.
— breaking reza