Ukiran Catatan di Jalan Hamzah: Part III

“Aku yang akan melanjutkannya.”

Reza Fahlevi
19 min readJul 7, 2019

“Aku mengukir setiap kata hanya untuk menjelaskan pada diriku sendiri betapa aku mengagumimu, tanpa kau ketahui.”

Saat itu para siswa kelas dua belas dikumpulkan dalam Mushalla. Bersama para guru, mereka membahas sebuah hal yang sangat penting, ujian akhir nasional. Banyak hal yang dibicarakan mulai dari persiapan ujian, persiapan mental hingga memberikan motivasi kepada para siswa tingkat akhir agar tetap semangat menjalani aktivitas sekolah yang kini semakin dekat saja dengan ujian akhir.

Sekitar 45 menit di sana, para siswa dan guru berdoa bersama agar ujian yang akan segera dimulai dapat berjalan dengan lancar. Mereka tampak khusyuk, bahkan siswa-siswa yang terkenal bandel pun sampai menitikkan air mata. Pertanda mereka begitu berharap agar sukses nantinya saat ujian sedang berlangsung.

Selesai berdoa, para siswa menyalami guru-guru mereka, saling memaafkan. Tampak begitu indah untuk dilihat pemandangan seperti itu. Sesuatu yang sangat jarang terjadi untuk saat ini.

Satu per satu pun para siswa meninggalkan Mushalla dan kembali ke kelas masing-masing. Viki bersama lima orang temannya terlihat sedang beres-beres. Ada yang menyapu, menggulung kabel-kabel, mencabut colokan mic dan lainnya.

Saat sedang merapikan ambal Mushalla, Viki melihat Fina dari kejauhan. Sepertinya wanita itu hendak menuju ke Mushalla juga.

Perlu diketahui bahwa Fina dan Aldi telah mengakhiri hibungan mereka sejak sebulan yang lalu. Jika dihitung, hubungan mereka hanya bertahan selama dua bulan. Sepertinya mereka berdua memang tidak memiliki niat serius untuk saling bahu-membahu bersama.

Memang tidaklah berlebihan jika mereka dulunya disebut sebagai pasangan selebritis. Karna, selain memulai hubungan dengam gaya, mereka mengakhiri perjalanan cintaya dengan gaya selebritis juga. Karena memang pasangan selebritis kebanyakan menjalin hubungan cinta tidak berlama-lama, hanya sebatas untuk bergaya saja.

Sesampainya Fina di Mushalla, masih seperti biasa, ia masih menebarkan senyuman manisnya kepada Viki. Senyuman yang pernah membuat hati Viki menjadi sejuk karna begitu indahnya senyuman Fina.

“Hai Viki.” Sapa Fina.

“Ku kira kau sudah di kelas.” Kata Viki.

“Sesekali aku bantu kalian, tidak ada salahnya, kan? Ujar wanita itu.

Tak ada percakapan lagi setelah itu, Fina langsung menuju kepada teman-teman sekelasnya. Sedangkan Viki melanjutkan pekerjaannya.

Sesekali Viki menatap Fina yang sibuk mengobrol. Bahkan ia tidak melihat sama sekali wanita itu melakukan sesuatu membereskan apa yang ada di Mushalla. Tidak seperti yang dikatakan Fina sebelumnya kepada Viki. Dan begitulah Fina, pikir Viki dalam hatinya.

“Vik, bisa tolong aku?” Seorang wanita memanggil Viki. Ia adalah Mutia, siswi yang pernah terjatuh pingsan saat upacara berlangsung. Kejadiannya sudah sangat lama. Bahkan sekarang Mutia sudah tampak lebih luat dari sebelumnya. Memang terlihat dari wajahnya jika ia wanita yang kuat. Setidaknya begitulah Viki melihat Mutia selama ini.

“Tolong apa?” Tanya Viki.

“Sampah. Tolong letakkan di tempat sampah ya.”

“Oke.” Jawab Viki singkat.

Mereka pun membawa sampah-sampah itu ke luar. Lumayan banyak juga. Dan tak ada satu katapun yang keluar dari mereka. Keduanya tampak serius membereskan sampah-sampah. Hingga pada akhirnya Oza datang dan seperti biasa, suasana menjadi rame.

“Mutia, Viki. Sejak kapan kalian jadi bisu begitu. Ngomong, dong.” Kata Oza.

“Kebetulan, bantuin kami angkat sampah-sampah itu.” Ujar Viki.

“Berani bayar berapa?” Tanya Oza.

“Kita balapan sepeda. Yang menang boleh minta apa aja.” Jawab Viki.

“Tantangan diterima.”

Oza memang sangat bersemangat setiap kali Viki menantangnya balapan sepeda. Ia memang suka membuktikan dirinya tak kalah hebat dibanding Viki saat balapan. Apalagi jika ada wanita yang melihatnya, semangatnya akan bertambah ribuan kali. Begitulah Oza.

Sepulangnya sekolah, Viki masih juga sering menghabiskan waktunya di gerbang sekolah. Kebiasaan itu masih terus bertahan sejak pertama kali ia duduk di sana bersama Alissa, wanita pertama yang membuatnya terpesona. Dan sejak Alissa pergi, kebiasaannya untuk menghabiskan waktunya di gerbang itu masih terus berlanjut.

Apalagi dengan sebuah pohon besar semakin membuat orang merasa sejuk saat duduk di bawahnya. Mungkin itu pula yang membuat Viki begitu nyaman untuk menghabiskan waktunya sejenak di sana. Walaupun sendirian.

Namun, ia sama sekali tidak pernah merasakan kenangan lamanya bersama Alissa. Tidak lagi. Lagipula, Alissa sudah tidak terdengar lagi kabarnya. Dan juga Viki sudah lama meninggalkan perasaannya terhadap Alissa. Walaupun di gerbang ini pula ia memiliki begitu banyak kesan bersama wanita itu.

Saat sedang terduduk sambil membaca sebuah buku favoritnya, sesekali ia menatap keluar. Sejenak terkilas dalam benaknya akan seorang wanita bernama Fina. Wanita yang juga pernah ada dalam kisah buku hariannya, yang kini juga sudah ia tinggalkan kenangannya.

Walaupun Viki juga pernah merasakan betapa sakitnya ia saat melihat Fina dan Aldi menjalin hubungan cinta, pada akhirnya itu hanyalah masa lalu. Ia telah bangkit dari keterpurukannya, dari rasa sakitnya, dari segala tekanan batin yang pernah menghampirinya saat itu. Viki telah belajar dari semua itu. Ia belajar langsung dari kedua bola matanya, yang menjadi saksi bisu akan kedekatan serta kemesraan Aldi dan Fina.

Kini cinta mereka telah berakhir. Namun Viki bahkan tidak pernah berharap mereka mengakhiri hubungan cinta itu. Ia hanya takut jika kemudian rasa cintanya kepada Fina timbul kembali. Dan ia takut jika cinta yang kedua itu adalah tipuan dari dirinya saja, tipuan yang berasal dari hawa nafsunya untuk kemudian menyakiti hati Fina persis seperti yang dialami oleh dirinya sendiri saat itu.

Tak ada yang tahu jika Viki memendam rasa kepada Fina saat itu, kecuali Fina saja. Maka wajar dengan sifatnya yang tertutup itu ia terkadang merasa benci saat Fina dan Aldi duduk serta bercanda bersama.

“Masa lalu. Semua telah berakhir. Tidak ada yang perlu dikenang lagi.” Viki berbicara pada dirinya sendiri. Matanya jelas terpaku manatap ke arah jalanan di mana biasanya Fina berdiri sambil menunggu dijemput oleh ayahnya.

Ia lalu melanjutkan membacanya. Kini perlahan ia mulai serius untuk menuju ke dunia bukunya. Dan tak lama setelah itu Oza datang menghampirinya bersama Mutia.

“Hoy, sedang apa kau di situ?” Tanya Oza.

Viki lalu menoleh kepada Oza dan mengangkat bukunya, memberikan sebuah tanda jika ia sedang membaca buku.

“Ku kira sudah tak ada lagi orang di sini.” Kata Viki.

“Kami baru saja beres-beres ruangan PMR. Minggu depan kami sudah tidak lagi di situ. Jadi ya wajar, kesan-kesan terakhir di ruangan itu. Kau tau lah.” Jelas Oza.

“Mutia?” Sapa Viki.

“Ya. Sendirian aja Vik.” kata wanita itu.

“Iya. Suasananya sejuk di sini, ya walaupun hari ini begitu panas.” Sahut Viki.

“Ini tempat favoritnya, dia sering di sini sepulang sekolah.” Lanjut Oza.

Mutia menatap Oza lalu ia menatap kepada Viki. Matanya seolah tak percaya jika Viki ternyata suka kesendirian.

“Aku bahkan tidak mengerti kenapa ia betah di sini.” Kata Oza lagi.

Viki hanya tersenyum saja. Mereka bertiga lalu duduk bersama di gerbang itu, tepatnya di sebuah pos satpam. Ketiganya membahas banyak hal dimulai dari masa-masa awal mereka sekolah, teman sekelas hingga kepada ujian nasional yang sebentar lagi akan berlangsung.

Dan baru kali ini Viki melihat Oza membahas sesuatu dengan serius. Biasanya ketika ia sedang membicarakan sesuatu, pasti ada banyak selipan hal-hal lucu. Namun kali ini lelaki itu berbicara dengan sangat serius, tapi masih sangat banyak berbicara. Itulah kebiasaannya.

Dan tak terasa sudah 30 menit mereka duduk di sana. Oza sepertinya hendak pulang, namun Mutia belum juga dijemput. Sebelumnya wanita itu telah meminta Oza untuk menunggunya dijemput karena ia tidak berani sendirian. Apalagi suasana di sekolah begitu sunyi.

“Tia, lama ya.” Kata Oza sambil tersenyum menyindir.

“Maaf ya. Tadi aku sudah telepon ayahku tapi ponselnya tidak aktif.” Jawab Mutia. Sepertinya ia merasa sedikit bersalah sudah menyuruh Oza menunggunya.

“Ia pasti lapar. Biasanya jam dua itu sudah waktunya makan siang untuknya.” Kata Viki.

Dan tak lama setelah itu perut Oza berbunyi. Mutia dan Viki hanya tertawa mendengarnya.

Tepat seminggu setelah ujian nasional dilaksanakan. Kini pihak sekolah sedang sibuk-sibuknya mempersiapkan acara perpisahan untuk para siswa kelas dua belas. Biasanya acara perpisahan itu berlangsung meriah. Dan sepertinya untuk tahun ini, acara itu akan berlangsung lebih meriah dari sebelumnya. Setidaknya kesibukan pihak sekolah menunjukkan betapa meriahnya persiapan mereka.

Acaranya akan diadakan di sebuah gedung bernama Dawood Hall. Dan sudah menjadi tradisi sendiri bagi sekolah tersebut untuk melaksanakan acara perpisahan siswa di gedung tersebut. Selain tempatnya yang luas, gedung tersebut juga terkesan mewah. Tak jarang pula sekolah-sekolah lainnya juga sering mengadakan acara perpisana siswa di gedung tersebut.

Di dalam gedung terlihat para siswa yang yang tergabung bersama panitia sedang sibuk menghias dan merapikan kursi. Ada juga yang sedang latihan sebagai persiapan mereka untuk tampil saat acara tiba. Beberapa guru yang hadir juga terlihat membantu para panita bekerja, sebagian lagi asyik mengobrol dengan guru-guru lainnya.

Selang beberapa menit kemudian, Viki tiba di Dawood Hall. Ia melihat ke sekitar, semua terlihat sibuk, bahkan Oza juga. Di sana juga terlihat Fina bersama Mutia dan teman-teman lainnya. Mereka terlihat sedang membahas sesuatu, dan terlihat sangat bahagia.

Viku pun melangkah masuk sambil mengambil sebuah kamera kecil dari dalam tasnya, dan memotret apa yang ada di sana. Saat ia mengarahkan kameranya ke belakang, tiba-tiba ia terhenti, tepat saat kameranya menangkap Fina.

Matanya yang tadi sibuk melihat ke arah kamera, kini malah menoleh ke arah Fina. Dalam hati ia terus berkata ‘tidak, tidak.’ Namun ia ingin sekali mengabadikan wajah Fina di dalam kameranya. Dan setelah beberapa detik,

ckreek

Viki memotret Fina. Momennya pun tepat, tepat saat Fina sedang tersenyum. Viki terpaku sejenak melihat Fina berada dalam kameranya. Tak lama setelah itu kembali fokus memotret.

Pukul dua belas, waktunya istirahat. Panitia dan beberapa guru yang tadinya terlihat sibuk bekerja kini perlahan mulai berhenti dan beristirahat. Terlihat dari wajah mereka rasa lelah yang luar biasa. Ini baru persiapannya. Sedangkan acara akan dimulai besoknya. Jelas para panitia butuh energi ekstra untuk terus bekerja, setidaknya untuk dua hari ke depan.

Viki pun mengambil tempatnya di sebuah kursi untuk rehat sejenak. Walaupun ia tidak ikut membantu panitia bekerja, tapi dengan berjalan ke sana kemari untuk memotret juga menghabiskan energinya.

Sambil duduk, ia melihat satu per satu hasil jepretannya. Tidak terlalu buruk juga. Viki memang memiliki hobi memotret. Bahkan di sekolah ia dijuluki sebagai tukang juru foto oleh teman-teman dan para guru.

Ia juga sering mengabadikan hasil jepretannya itu di mading sekolah. Dan tidak sedikit teman-temannya yang mengagumi karyanya.

Saat sekolah sedang membuat acara-acara pun, Viki sering ditugaskan untuk memotret dan hasilnya akan di tempel di mading atau di situs sekolah. Setidaknya, hobinya itu tersalurkan berkat beberapa kegiatan di sekolahnya.

Tangannya terus menerus menekan tombol next hingga ia sampai pada gambar Fina. Ia kembali tertahan sejenak, memandangi senyuman indah dari wanita itu. Saat matanya menyadari ada seseorang yang datang padanya, dengan cepat ia meneruskan melihat gambar lainnya.

Setelah orang itu pergi, Viki kembali melihat gambar Fina. Namun tak lama setelah itu ia menghapus foto wanita itu. Viki sadar, ia tidak seharusnya kembali merasakan kenangan lama. Ia hanya tidak ingin kembali berada dalam bayang-bayang Fina.

Lagipula, Viki juga tahu ada banyak lelaki lain yang juga menyukai Fina. Ia tahu itu setelah Fina dan Aldi menjalin cinta. Banyak dari teman-temannya yang bergosip siapa-siapa saja yang tersakiti akibat percintaan Fina dan Aldi.

Beberapa menit ia duduk di sana, Viki sudah mulai tak betah. Dengan situasinya yang sangat bising membuat ia tidak begitu nyaman berada di ruangan itu. Saat hendak keluar, ia melihat Mutia sedang duduk sendirian. Terlihat sangat sibuk dengan ponselnya. Viki pun menuju ke sana.

“Sendirian saja” kata Viki.

“Iya, entah ke mana yang lainnya.” Jawab Mutia. Wajahnya sedikit cemberut pertanda ia juga sedang bosan.

Viki pun duduk di sebelah wanita itu. Ia mengambil bukunya dan melanjutkan bacaannya. Tapi mustahil. Ia sama sekali tidak fokus untuk membaca di dalam keributan seperti ini. Saat ia merasa sulit memaksa dirinya fokus, ia pun menutup matanya sejenak. Benar-benar, gumamnya dalam hati.

Bahkan terbesit sejenak dalam hatinya untuk duduk di gerbang sekolah untuk lanjut membaca.

“Oza di mana?” Mutia bertanya pada Viki.

“Entahlah, aku tidak bersamanya sejak tadi pagi. Ia terlihat sibuk membantu panitia. Jadi aku tidak menghampirinya.” Jawab Viki.

“Oh iya, tadi aku melihat kau memotret, boleh aku lihat hasilnya?” Tanya lagi wanita itu.

Viki sedikit terkejut saat Mutia meminta lihat hasil jepretannya. Dalam hatinya, untung saja foto Fina sudah ia hapus. Jika tidak, pasti akan dilihat oleh Mutia dan wanita itu pasti akan mengatakannya kepada Fina.

Maklum saja, Fina dan Mutia adalah teman dekat, tepatnya dimulai saat mereka duduk di kelas sebelas. Mereka berdua menjadi sangat akrab.

Viki pun memberikan kameranya kepada Mutia. Terlihat wanita itu sedikit tersenyum melihat foto-foto di dalam kamera itu. Mungkin baginya ada beberapa gambar yang menurutnya lucu. Dan memang ada beberapa foto yang sengaja diambil oleh Viki untuk lucu-lucuan.

“Bagus Vik, seperti biasa.” Kata Mutia.

“Boleh aku minta beberapa?” Tanya wanita itu.

Viki mengangguknya dan mengambil kameranya yang diserahkan kembali oleh Mutia. Tak lama setelah itu Viki meninggalkan Mutia untuk kemudian kembali ke rumahnya. Ia merasa begitu pusing dan butuh untuk tidur sejenak.

Seminggu setelah acara perpisahan dan beriringan dengan pengumuman hasil ujian, Viki kembali ke sekolah mengurus segala administrasi untuk persiapannya kuliah. Setelah mengurus semua berkas, ia menuju ke gerbang, seperti biasa. Dan di sana ia melihat Mutia sedang duduk sendirian. Masih dengan ponselnya dan dengan wajah yang juga bosan.

Entah kenapa belakangan ini Mutia sering merasa bosan. Viku pun menghampiri wanita itu. Pembahasannya masih sama setiap kali mereka bertemu. Menyapa, lalu terdiam. Seperti itu selalu.

Namun kali ini mereka sudah sedikit akrab. Setidaknya lebih banyak membahas sesuatu sejak Viki pertama kali bertemu dengan Mutia di ruang PMR. Itu pun karena saat itu Oza meminta Viki untuk menemani Mutia yang sendirian di sana setelah wanita itu tersungkur di lapangan saat upacara sedang berlangsung.

Namun kali ini, mungkin karena belakangan ini sudah sering berjumpa, keduanya tanpa disadari memiliki banyak pembahasan untuk dibahas.

Tanpa terasa sudah satu jam lebih mereka mengobrol. Dan sepertinya ada sesuatu yang kurang, cemilan. Viki pun membelikan beberapa makanan dan minuman untuk di bawanya ke gerbang itu. Sepertinya obrolan mereka akan kembali berlanjut.

“Terima kasih.” Kata Mutia saat menerima beberapa cemilan dari Viki.

“Hari ini lebih panas dari biasanya. Minuman dingin sepertinya ide bagus, kan.” Kata Viki.

Mutia mengangguk.

“Jadi kau sudah lama tinggal di Darussalam?” Tanya Viki.

“Iya, sejak kecil, sejak Ayah pindah tugas ke sini.”

“Aku baru tau jika kita satu SMP saat itu, Tia.”

“Iya aku juga. Tapi memang kita saat itu tidak pernah berjumpa, kan.” Sahut Mutia.

“Iya sih. Waktu itu kelasku di belakang, dan jarak kelas kita juga berjauhan, kan.”

“Iya sih.”

“Jangan-jangan kita juga satu SD.”

“Hahaha, benarkah? Aku dulu di SD 16. Yang di sebelah Masjid Putih itu.” Kata Mutia.

“Oh, berarti kita tidak satu SD. Aku SD 10.”

“ Wah, jauh dong.”

“Lumayan” kata Viki.

Saat sedang asik mengobrol, tiba-tiba Mutia sudah dijemput. Dan terpaksa obrolan mereka berakhir di tengah jalan.

“Vik, aku pulang dulu.” Kata Mutia.

“Oke, sampai jumpa di lain waktu.” Kata Viki.

“Oke… oh iya, fotonya boleh ku ambil besok?” Tanya Mutia.

“Boleh. Kalau begitu, samapi jumpa besok di sini. Hahaha.” Jawab Viki.

Mutia pun berlalu dari hadapan lelaki itu.

Hari-hari berlalu, sepertinya Viki telah menemukan sosok sahabat baru sekarang ini. Tak dapat dipungkiri jika mereka kini menjalin pertemanan dengan sangat baik. Dari yang awalnya hanya saling cuek hingga kini mereka sudah saling akrab.

Mutia pun tak pernah merasa canggung saat mereka saling bertukar cerita. Saat ini situasinya telah berubah. Sekarang mereka sedang sibuk mengurus pendaftaran kuliah. Dari sela-sela kesibukan mereka itu, keduanya masih sempat juga untuk mengobrol, bercerita tentang keseharian mereka saat mengurus dunia pendidikan baru.

Seringnya mereka berbicara melalui pesan singkat. Maklum saja, saat itu ponsel secanggih sekarang belum terlalu banyak digunakan.

Di media sosial juga mereka saling berkometar saat salah satu dari keduanya meng-update status. Dan seringnya pembahasan mereka kelewat panjang sampai-sampai sesuatu yang tidak penting pun menjadi obrolan mereka.

Suatu hari, Mutia mengajak Viki ke perpustakaan. Pertemuan keduanya adalah yang pertama sejak terakhir kali menegur sapa di sekolah. Maka sebagai sahabat, jelas terpancar dari wajah keduanya rasa bahagia yang besar setelah lama tidak berjumpa.

Di perpustakaan, niat awalnya yang ingin belajar bersama namun malah berakhir dengan obrolan panjang. Maklum, Mutia dan Viki kuliah di jurusan yang sama, di bidang pendidikan. Namun keduanya dipisahkan oleh universitas yang berbeda.

Maka tak jarang keduanya saling membagi terkait mata kuliah yang sedang mereka ambil. Namun seringnya pembahasa mereka tentang keseharian mereka di kampus.

“Mata kuliah itu susah lho, Vik. Aku harus banyak membaca agar paham.” Kata Mutia.

“Iya sih, tapi aku suka.” Kata Viki.

“Hahah, aku malah pusing. Aku tak mau jadi guru, Vik.”

“Hei, jurusan bahasa Inggris itu tidak hanya jadi guru, tau.” Kata Viki.

“Iya sih, tapi kan mata kuliahnya kebanyakan tentang bagaimana kita menjadi guru.” Lanjut Mutia.

“Terus?”

“Aku tidak berbakat menjadi guru. Berbicara di depan banyak orang saja aku gugup.”

“Kalau berbicara denganku, gugup juga?” Kata Viki sambil bercanda.

Mutia hanya tersenyum malu sambil tangannya menutupi mulutnya.

“Kalau denganmu, aku sepertinya lebih terkesan terbuka,” Kata Mutia tertawa.

“Maka anggap saja orang-orang di depanmu itu adalah aku. Gampang kan?”

“Ada-ada saja dirimu, Vik.” Kata Mutia.

“Oh iya, Oza apa kabarnya selama ini? Lama juga tidak jumpa dengan dia.” Lanjut wanita itu.

“Baik. Dia sekarang lebih sibuk. Kan calon dokter.” Jawab Viki.

“Iya, hebat sekarang Oza. Tapi sekarang sudah sibuk semua, ya. Masa-masa SMA benar-benar telah berakhir.” Kata Mutia.

“Iya, dan kita tidak punya banyak waktu lagi untuk melakukan apa yang pernah kita lakukan saat SMA.” Jawab Viki.

Mutia mengangguk. Selama dua jam mereka menghabiskan waktu di perpustakaan, mereka pun harus kembali ke kampus masing-masing.

“Senang bisa berjumpa hari ini, Tia.” Kata Viki.

“Semoga di lain waktu kita bisa berjumpa lagi ya.”

“Semoga saja. Jangan menyibukkan dirimu sendiri.” Kata Viki.

“Haha, tidak juga. Aku tidak sesibuk seperti yang kau kira…”

“Hei, semangat kuliahnya untuk kita.” Kata Mutia.

Viki pun mengangguk bersamaan dengan berpisahnya mereka.

Pertemuan mereka di perpustakaan saat itu sebenarnya adalah awal dari segalanya. Baik Mutia dan Viki sama-sama nyaman dengan hubungan pertemanan mereka. Viki bahkan tidak pernah menduga sebelumnya jika Mutia orangnya asik juga.

Walaupun awalnya terlihat cuek, tapi sebenarnya Viki hanya belum mengenal wanita itu lebih jauh.

Begitupun Mutia, ia juga belum benar-benar mengenal Viki sebelum keduanya menghabiskan waktu bersama di gerbang sekolah.

Bahkan Mutia juga bsru tahu jika Viki ternyata orangnya humoris. Dan ia tidak sedingin seperti apa yang pernah dipikirkan oleh Mutia sebelumnya.

Wajar saja, Viki memang selalu bersikap dingin dengan kebanyakan wanita. Bahkan dengan Alissa dan Fina pun demikian saat keduanya baru mengenal Viki.

Semua itu Viki lakukan hanya untuk menjaga hubungannya dengan teman-teman wanitanya. Ia hanya tidak ingin terlihat berlebihan saat sedang bersama wanita. Dan itu adalah salah satu prinsipnya.

Namun kebanyakan orang akan mengenal Viki sebagai pribadi dirinya saat ia telah akrab dengan orang-orang tersebut. Mutia adalah salah satunya.

Suatu malam, Viki dan Mutia menyantap makan malam di sebuah warung. Sambil menunggu wanita itu dijemput oleh ayahnya, Viki meluangkan waktunya sejenak untuk menemani wanita itu.

Sebelumnya Viki memang mengajak Mutia untuk menyantap makan malam bersama. Maklum, kini keduanya sudah sangat jarang berjumpa. Maka sekali ada waktu luang, keduanya langsung sepakat untuk bertemu.

Pembahasan yang mereka lakukan pun masih saja sama. Jika bukan tentang materi perkuliahan, ya tentang keseharian mereka di kampus.

Dan pada malam itu, ada sesuatu dalam benak Viki. Sejak mereka sudah saling akrab, perlahan Viki mulai merasakan sesuatu, sesuatu yang pernah ia rasakan terhadap Alissa dan Fina sebelumnya.

Sambil menatap Mutia yang terus-menerus berbicara, timbul sebuah pertanyaan dalam benak lelaki itu. Apakah kini ia mulai menyukai Mutia?

Viki, bagaimanapun memiliki sebuah prinsip. Ia punya caranya sendiri dalam bersikap saat sebuah rasa kepada wanita itu muncul.

Ia berusaha tenang, berusaha bertindak seperti biasanya, dan berusaha menjadi dirinya, Viki, dalam menyikapi rasa suka itu.

Bagitulah Viki memyikapi dirinya sendiri saat timbul pertanyaan tentang apakah ia kini menyukai Mutia. Tapi jelas kini semuanya terlihat berbeda dalam pandangan Viki.

Cara wanita itu berbicara, tersenyum bahkan tertawa pun, kini memiliki kesan tersendiri bagi Viki.

Secara tak langsung Viki mengatakan bahwa begitu syahdunya senyuman wanita itu.

Tapi tetap dengan prinsipnya untuk tidak terburu-buru menyatakan dirinya menyukai Mutia. Ia memendam perasaan itu hingga batinnya kembali tersiksa. Ketika hatinya telah merasa seperti tersesak, di situ pula ia menyatakan dirinya telah benar-benar jatuh cinta kepada wanita itu, Mutia Sari.

Setelah malam itu, kini Viki mengisi hari-harinya dengan selalu memikirkan Mutia. Terkadang ia berpikir, seandainya saja ia mengenal Mutia sejak kelas satu SMA, mungkin kini hubungan mereka lebih dari sekedar dekat yang hanya membahas tentang dunia perkuliahan saat keduanya bertemu.

Terkadang hal itu ia sesali di mana dulunya ia sering bersikap dingin kepada Mutia, bahkan saat Mutia terbaring sakit di ruangan PMR kala itu. Tidak terbesit sama sekali pada Viki untuk sekurang-kyrangnya berbasa basi dengan Mutia. Jelas ia menyesalinya saat itu.

Bahkan yang lebih ia sesali lagi, Viki terlalu lama menghabiskan waktunya dengan terus menerus memikirkan Fina, padahal saat itu Fina sudah mesra dengan Aldi. Dan pada saat itu pula Mutia selalu ke kantin sendirian tanpa pernah disapa oleh lelaki itu.

Kini saat waktu kian terlihat sulit bagi mereka untuk bertemu, malah mereka menjadi sangat akrab. Aneh, tapi begitulah. Menyesal, namun sudah terjadi.

Meskipun begitu, Viki merasa dianggap oleh Mutia karena setiap kali Viki berbalas pesang singkat dengan Mutia, selalu di respon dengan baik oleh wanita itu.

Setidaknya, hal-hal itu sudah cukup membuat hati Viki terbuka jika kini ia telah menyukai Mutia.

Namun seperti biasa, Viki seperti tidak tahu harus berbuat apa di saat ada wanita yang ia sukai. Di saat banyak lelaki yang dengan mudahnya menyatakan cinta kepada wanita idaman mereka, namun tidak bagi Viki.

Ia begitu sulit untuk menyatakan cinta. Bukanlah hal yang mudah bagi Viki. Jika memang menyatakan cinta itu mudah baginya, maka Alissa ataupun Fina sudah berhasil ia dapatkan. Namun yang terjadi adalah, Alissa pergi meninggalkannya tanpa tahu sedikitpun tentang perasaan Viki. Sedangkan Fina malah menjalin hubungan cinta dengan orang lain tepat di mata Viki.

Dan kini ia kembali dalam situasi yang sama, hanya saja kini wanita itu adalah Mutia.

Suatu hari, sepulangnya dari kuliah, Viki menyempatkan dirinya menuju ke pantai. Sambil mengayuh sepedanya ke sana, sesekali ia memotret apa yang ia lewati.

Sesampainya di pantai, ia melihat satu per satu hasil fotonya. Dan tanpa disengaja terdapat sebuah foto Mutia bersama teman-temannya. Foto itu diambil oleh Viki saat sebelum acara perpisahan berlangsung. Dan Mutia sudah meminta foto tersebut untuk disimpannya. Hanya saja Viki belum menghapusnya dari memori kameranya.

“Kau memang manis. Ku akui itu. Kini aku malah bingung apa yang harus aku lakukan. Sepertinya aku mulai menyukaimu, tapi aku tidak tahu harus berbuat apa. Aku hanya takut jika nantinya aku malah menyakiti hatimu, seperti yang dilakukan Aldi kepada Fina pada waktu itu.”

Memang salah satu alasan Viki untuk tidak mengungkapkan perasaannya adalah karena ia masih belum bisa melihat apakah dirinya telah benar-benar menyukai Mutia atau tidak. Maka hal yang paling baik untuk dilakukannya adalah memendam perasaan itu. Namun semakin ia pendam, semakin hatinya tersesak sakit. Terasa seperti ada sesuatu yang ingin keluar dari dalam hatinya.

Suatu hari, Viki menjumpai Oza di sebuah warung kopi. Ini adalah pertemuan pertama mereka setelah berbulan-bulan tidak berjumpa. Memang, Oza sudah lebih sibuk sekarang ini. Namun tidak menghilangkan karakter Oza yang dulu. Ia masih sama seperti dulu.

Di sana mereka mengobrol panjang lebar. Sesekali nada mereka serius.

“Bagaimana perjalananmu dengan Mutia?” Tiba-tiba Oza malah membahas Mutia.

Viki pun menjawabnya santai, “seperti itulah, tidak ada yang spesial.”

“Kalian sudah sangat akrab sekarang ini, sering ku melihat ocehanmu di Twitter bersama Mutia.” Kata Oza.

Viki hanya tersenyum mendengarnya.

“Aku tak pernah melihatmu begitu akrab dengan wanita di dunia nyata. Apa kau se-kaku itu, Vik?” Oza pun penasaran.

“Kami memang sudah akrab, sejak acara perpisahan sekolah kita dulu. Dan hubungan itu bertahan sampai sekarang. Tidak hanya di Twitter, saat kami berjumpa pun, kami akrab.” Jelas Viki.

“Akrab, apa yang kau maksud akrab?”

“Ya akrab.”

“Aku mengenalmu sejak dulu Vik, jadi apa yang kau ucapkan pasti ada sesuatu lain yang kau maksud. Aku tahu akrab itu pasti ada kaitannya dengan yang lain.” Kata Oza.

Viki pun tersenyum sambil melanjutkan, “memang setelah itu kami akrab. Dan seiring berjalannya waktu entah mengapa aku merasa seperti, aku menyukainya.”

“Kenapa tak kau ungkapkan?”

“Entahlah, Oza. Aku masih bingung.”

“Bingung?”

“Iya, aku masih belum tahu apakah aku benar-benar menyukainya atau hanya sekedar kagum saja.” Sahut Viki.

“Aku tau kau bukanlah lelaki yang suka mengambil tindakan secara gegabah. Memang mungkin bagimu butuh waktu untuk melihat apakah kau suka padanya atau tidak. Dan itu hanya kau yang tau.” Kata Oza.

“Yang jelas, aku mengerti bagaimana kau menyukai seseorang, Alissa dan Fina adalah contohnya. Aku pun mulai mengerti bagaimana kau menyikapi sesuatu saat kau sudah menyukai seorang wanita setelah aku membaca tulisanmu tentang Fina saat itu.” Lanjut Lelaki itu.

“Tapi Viki, kau pasti akan kembali sakit jika lagi-lagi kau pendam. Nyatakan, setelah itu serahkan pada Mutia. Walaupun aku tahu kau tidak akan pacaran. Tapi menyatakan cinta adalah untuk mengobati hatimu yang telah sakit itu. Setidaknya perasaanmu itu sudah terbebas dari dalam hatimu.” Kata Oza.

Viki pun merenungi apa yang dikatakan oleh sahabatnya itu. Memang ada benarnya juga. Tapi bagaimanapun, ia masih juga tetap bingung dengan dirinya sendiri.

“Terima kasih, Oza. Baru kali ini aku mrlihatmu seperti ini. Sungguh bijak. Kata Viki tersenyum.

“Oza gitu lho.” Sahut lelaki itu sambil tertawa, Viki pun ikut tertawa.

Sudah sangat lama sejak Viki dan Mutia menghabiskan waktu bersama. Terakhir saat mereka manyantap makan malam di sebuah warung.

Bahkan keduanya sudah terlihat jarang berkomunikasi karena kesibukan masing-masing. Di sela-sela itu, Viki menyempatkan dirinya untuk menulis catatan harian. Di dalamnya dipenuhi dengan kisah-kisah tentang dirinya dan Mutia. Bahkan terdapat beberapa halaman yang berisikan tentang harapanya kepada Mutia.

Ia berharap suatu saat dapat berjumpa dengan Mutia untuk kemudian ia nyatakan cintanya kepada wanita itu.

Namun, ada satu kejadian yang terus diingat oleh Viki di malam saat mereka menyantap makan bersama. Saat itu Mutia mendengar Viki berbicara dengan tatapan serius. Ia tampak menanti sesuatu dari mulut Viki. Entah apa itu. Namun seolah-olah memberikan isyarat kepada Viki untuk menyatakan perasaan hatinya kepada wanita itu.

Seolah-olah Mutia berkata ‘Viki, katakan. Katakan apa yang ingin katakan sejak dulu. Ungkapkan apa yang terjebak di dalam hatimu itu.’

Setidaknya mata wanita itu memberikan isyarat bahwa Mutia telah siap seandainya Viki mengungkapkan perasaannya pada saat itu.

Namun itu tidak pernah terjadi. Sama sekali tidak pernah. Hingga pada akhirnya mereka kini sudah saling sibuk dan bahkan jarang berkomunikasi. Viki merasa seperti, tak seharusnya ia mengabaikan setiap kesempatan yang ada padanya saat itu. Jelas dalam hati lelaki itu, menyisakan ribuan penyesalan terhadap Mutia.

Kini yang dapat ia lakukan adalah mengukir catatan tentang wanita itu dalam sebuah buku. Ukiran yang kini dikenal oleh Viki sebagai kisah seorang wanita yang ia temui di jalan Hamzah. Jalan yang di dalamnya terdapat sebuah SMA, tempat ia pertama sekali mengenal sosok Mutia.

Jalan itu yang memiliki begitu banyak kenangan bagi Viki, sekaligus menjadi saksi betapa akrabnya Viki dan Mutia pada saat itu.

Setahun sudah waktu berjalan, Viki tidak pernah berjumpa lagi dengan Mutia. Bahkan tak ada tanda-tanda bagi keduanya untuk dapat berjumpa.

Namun keduanya masih saling berkomunikasi melalui pesan singkat, sesekali melalui Twitter, dan masih terlihat akrab seperti biasanya.

Viki pun sering melihat-lihat profil Mutia saat ia sedang tak ada kerjaan. Secara diam-diam tentunya.

Dan saat ia sedang bermain sosial media-nya. Tiba-tiba matanya tertuju kepada sebuah akun. Viki hanya penasaran karena akun itu bernama seperti laki-laki, namun foto profilnya seorang wanita, dan ia merasa lucu saja melihatnya.

Saat ia menelusuri akun tersebut dan kemudian jari telunjukknya meng-klik foto profil akun tersebut. Terlihatlah bahwa wanita yang ada di foto tersebut adalah Mutia.

Sesaat kemudian Viki memejamkan matanya, ia pun memiliki firasat jika Mutia sudah menjalin hubungan cinta dengan seorang lelaki.

Ia pun menelusuri akun itu lebih jauh. Dan benar saja. Di dalamnya berisikan foto Mutia bersama seorang lelaki. Banyak. Dan terkadang mereka tampak mesra.

Viki pun kini percaya jika ada seorang lelaki yang telah beruntung mendapatkan Mutia di luar sana. Ia pun mematikan ponselnya dan mengambil buku hariannya. Viki mengukir sesuatu di dalam buku itu.

Tepat setahun berlalu, Viki masih dengan kebiasaannya. Kuliah, memotret dan menghabiskan secangkir kopi. Masih rutin. Namun yang jelas, semangat yang dulunya pernah ada pada dirinya kini telah lenyap.

Dulu, saat masih awal-awal masa perkuliahan, Viki pernah memberikan motivasi kepada Mutia begitu juga wanita itu yang kerap menyemangati Viki. Bahkan Viki pernah berkata bahwa semangatnya semakin bertambah karena Mutia.

Namun kini perlahan tapi pasti, semangat itu lenyap. Tak pernah lagi ia merasa sama setiap kali ia menuju kampus, memulai pelajaran hingga selesai, tidak lagi seperti dulu.

Ia pun teringat akan apa yang telah dikatakan oleh Oza padanya. Mungkin saat itu alasan Oza mendesak Viki untuk menyatakan perasaannya adalah agar lelaki lain tidak masuk ke hati Mutia.

Namun apapun itu semuanya telah terjadi. Tak ada yang tersisa selain rasa penyesalannya karena Viki tak pernah menyatakan isi hatinya kepada Mutia.

Pada akhirnya semua canda tawa yang pernah ada hanya berawal untuk kemudian kembali berakhir. Sungguh sangat cepat waktu berlalu dan sungguh begitu cepat Mutia berada dipelukan lelaki lain. Sungguh jika seandainya Viki mengutarakan isi hatinya saat itu, mungkin kisah mereka akan terus berlanjut hingga mereka kembali bertemu di jalan Hamzah. Namun apapun yang terjadi, Viki mencoba untuk terus menjalani hidupnya seperti biasa.

Ia berharap suatu hari akan ada seorang wanita yang nantinya menggenggam kuat tangannya, dengan cinta dan kasih sayang, dengan tangisan dan kebahagian. Semua akan tiba di waktu yang tepat

Viki hanya mencoba mengambil pelajarannya saja bahwa apapun yang menjadi penyesalan dalam hidupnya itu karena Tuhan sedang mengajarinya untuk terus belajar dan bersabar. Karena semua yang telah terjadi akan ada sisi kebaikannya, pikir Viki.

Jika pun tidak di jalan Hamzah, maka mungkin di suatu tempat lainnya. Viki akan menemukan wanitanya di waktu yang tepat.

“Aku belajar dari yang tak terlihat, saat orang-orang bahkan tidak mengerti kenapa aku masih saja melakukannya. Tapi kau adalah serpihan semangat, yang tertinggal di balik cahaya senja. Dan kau akan terus menjadi semangat sampai nanti aku telah siap mengukir kisahku, seperti yang ku ceritakan padamu saat itu. Tersenyumlah Mutia, karna kau sanggup melakukannya”

Tamat.

Ukiran Catatan di Jalan Hamzah

--

--

Reza Fahlevi
Reza Fahlevi

No responses yet