Ukiran Catatan Di Jalan Hamzah: Part II

Reza Fahlevi
19 min readMay 28, 2019

--

Aku pun bingung entah dari mana semua ini berawal. Tapi, maukah kau untuk terus menjadi temanku? Ya, hanya teman, kan?”

Libur telah usai, sekarang semua siswa akan kembali bersekolah seperti biasanya. Setelah tiga minggu menghabiskan waktu berlibur bersama teman dan keluarga. Kini para siswa akan kembali menyapa buku pelajaran, berteman kembali dengan pena dan buku catatan. Sesuatu yang sangat dibenci oleh kebanyakan siswa.

Di sebuah rumah, Viki terlihat telah bersiap-siap. Dengan seragam putih abu-abunya, ia kini telah lebih siap untuk kembali menyapa teman sekolahnya.

Walau kini tanpa kehadiran Alissa, wanita yang membuatnya kagum akan kehadirannya. Wanita yang begitu sering membantunya menyelesaikan tuga-tugas sekolah. Kini tak ada lagi di hadapan Viki.

Namun Viki mencoba untuk tetap tenang dalam segala hal. Apapun itu, terkadang ada saja sesuatu terjadi padanya yang membuatnya malah terpikir sosok wanita itu. Ya, tidak mudah baginya untuk menjalankan situasi ini, bahkan dimulai saat ia berpisah dengan Alissa.

Sungguh, ia sama sekali tak pernah mendengar kabar tentang Alissa. Apa yang telah mereka berdua rencanakan sebelum berpisah pada saat itu tak kunjung juga terjadi.

Viki menatap dirinya di depan cermin. Melihat kedua bola matanya yang kecoklatan itu. Lama ia menatap dirinya. Dan setelah itu, ia memejamkan matanya sejenak. Merasakan rindu yang sangat mendalam, yang telah terperangkap dalam hatinya.

Saat upacara bendera sedang berlangsung, tiba-tiba seorang siswi terjatuh dalam teriknya matahari. Para siswa yang bertugas sebagai PMR langsung sigap menggotong siswi itu menuju ruangan mereka.

Di sana terdapat sebuah ranjang khusus yang telah disediakan oleh pihak sekolah apabila terjadi hal-hal seperti yang dialami siswi tersebut, baik saat upacara bendera ataupun saat dalam proses belajar mengajar.

Saat upacara selesai, Viki menemui salah seorang sahabatnya, Oza, yang kebetulan ia adalah seorang anggota PMR.

“Hei, ini.” Viki datang memberikan sebuah buku.

“Wow, senangnya diriku memiliki sahabat sepertimu Viki. Apa kau sudah siap untuk balapan sepulang nanti?”

Seperti biasa, Oza selalu mengajak Viki untuk lomba balap sepeda. Ia sungguh berhasrat mengalahkan sahabatnya itu untuk yang pertama kalinya.

“Kita lihat saja nanti.” Jawab Viki.

Saat Viki hendak kembali ke kelasnya, Oza kembali memanggilnya,

“Vik, apa kau terburu-buru?”

“Tidak juga. Kenapa?”

“Tolong jaga Mutia sebentar. Aku harus menjumpai wali kelasku. Sebentar saja.”

Mutia adalah wanita yang terjatuh pingsan saat upacara sedang berlangsung.

“Oke, sepuluh menit.”

“Lima belas menit.” Kata Oza.

Viki menatap tajam sahabatnya itu.

“Ayolah, sekarang kau membantuku, lain waktu aku akan membantumu. Bukankah sahabat seperti itu, ya kan.”

Oza berusaha membujuk lelaki itu. Dan setelah mendengar omongan Oza, Viki pun mengangguk.

“Kau hanya perlu siaga saat ia terbangun untuk minum. Karna kulihat ia begitu lemas. Mungkin karna teriknya matahari.” Kata Oza.

“Oke, baik.”

“Hei, hati-hati menatapnya.”

“Memangnya kenapa?” Tanya Viki kebingungan.

“Nanti kau bisa jatuh cinta padanya.” Jawab Oza sambil tertawa. Viki hanya menggelengkan kepalanya lalu ia duduk di sebuah sofa dalam ruangan PMR itu.

Sekitar lima menit kemudian ia melihat Mutia mencoba bangkit dari rebahannya. Viki pun langsung berdiri dari sofa dan melangkah ke arah wanita itu.

“Sudah baikan?” Tanya Viki.

Mutia menatap Viki dengan mata sayu. Terlihat jelas dari raut wajahnya jika ia masih sangat lemas bahkan untuk bangkit dari rebahannya.

“Mau minum? Biar ku ambilkan.” Tawar Viki.

Wanita itu mengangguk. Viki lalu mengambil sebuah cangkir dari dalam rak dan mengisi air itu sampai penuh. Lalu ia memberikannya kepada Mutia.

Setelah meneguk sampai dua kali, ia memberikan kembali cangkir itu kepada Viki yang kemudian di letakkannya di atas sebuah meja oleh lelaki itu.

Sadar ruangan agak sedikit panas, Viki pun mengidupkan kipas angin yang berada di dekat Mutia. Tak ada sedikit pun kata yang keluar dari keduanya setelah Viki menawarkan minum kepada wanita itu.

Mutia hanya melihat saja apa yang dikerjakan oleh Viki. Lalu lelaki itu kembali duduk di sofa. Mutia meliriknya ke manapun ia melangkah.

“Hei, terima kasih.” Kata Mutia yang baru mulai berbicara walaupun dengan suara yang masih agak lemas. Viki menjawabnya dengan anggukan kepala. Setelah itu Viki sibuk memainkan ponselnya. Sedangkan Mutia kembali merebahkan tubuhnya di atas ranjang itu.

Tak lama setelah itu Oza kembali berasama seorang teman lainnya, Fina. Wanita itu juga sebagai anggota PMR. Oza sengaja mengajaknya untuk dapat merawat Mutia yang masih terbaring lemas.

“Baiklah, terima kasih sudah menggantikanku.” Kata Oza.

“Kau, ini sudah lebih dari lima belas menit.” Kata Viki sambil memperlihatkan wajah kesalnya.

“Maaf, aku harus mengajak Fina ke sini.” Jawab Oza sambil tersenyum.

Viki pun bergegas kembali ke kelas.

“Bagaimana liburanmu?” Tanya Fina.

“Tidak ada yang spesial. Hanya bermain-main bersama anak itu.” Jawab Viki sambil menunjuk Oza, sedangkan Oza tertawa mendengarnya.

“Kalian terlihat akrab.” kata Fina lagi.

“Akrab… hahaha.” Tertawanya Viki seolah menepis anggapan jika ia begitu akrab dengan Oza.

“Viki selalu kalah saat balapan sepeda denganku. Dasar payah.” Kata Oza.

Fina pun tertawa kecil mendengarnya. Ia melihat mereka berdua seperti saudara kandung yang terkadang akrab, namun tak jarang pula saling bertengkar.

Sudah sekitar dua jam lebih para siswa berada di kelas. Beberapa siswa sudah mulai bosan berada di dalam dan berharap segera mungkin jam istirahat tiba. Tak terkecuali bagi Viki. Walaupun matanya tetap menatap dan memperhatikan penjelasan dari guru, namun pikirannya sedang berada di luar. Sungguh ia butuh waktu istirahat sejenak untuk membuat dirinya kembali merasa baik.

30 menit kemudian, bel pun berbunyi pertanda waktu istirahat telah tiba. Seketika wajah-wajah para siswa yang kebosanan kembali cerah. Sudah waktunya bagi mereka merdeka sekarang. Ya benar. Ke kantin, makan dan minum bersama teman, berbincang hal-hal yang tidak penting. Ya itu semua mereka lakukan dengan senang hati ketimbang duduk di kelas dan mendengarkan penjelasan guru.

Hari ini tak seperti biasanya di mana Viki selalu ke kantin bersama sahabat kelasnya, Toni. Lelaki itu kebetulan tidak hadir ke sekolah karena ada keperluan bersama orang tuanya. Maka, Viki pun berjalan sendirian ke kantin dan duduk sendirian di sana.

Tak lama kemudian seorang wanita menghampirinya, ia adalah Mutia. Wanita itu sudah terlihat membaik dan lebih bertenaga dari sebelumnya.

“Boleh aku duduk?” Tanya Mutia.

“Tentu.” Jawab Viki singkat.

“Hei, terima kasih sudah membantuku tadi.”

“Tidak masalah. Aku senang melakukannya.” Jawab Viki tersenyum.

“Kenapa kau sendirian saja hari ini?” Tanya Mutia.

“Toni tidak datang. Ada sedikit keperluan katanya.”

“Kenapa tidak bersama temanmu yang lainnya?”

“Kau kan juga temanku.” Jawab Viki yang kembali tersenyum.

Mereka pun kembali menyantap makanan mereka masing-masing.

“Apa kau masih sering berkomunikasi dengan Alissa?” Tanya Mutia.

Sebelum menjawab pertanyaan itu, Viki mengusap kepalanya. Terlihat seperti ia sedang menghela sesuatu. Lalu ia menggelengkan kepalanya.

Mutia adalah teman baik Alissa. Dulu, mereka sering menghabiskan waktu istirahat dan membaca buku bersama di perpustakaan. Maka wajar jika Mutia juga merindukan Alissa, seperti Viki juga merindukan wanita itu.

“Bahkan aku yang teman dekatnya pun sudah tidak pernah lagi berjumpa dengannya.” Kata Mutia.

Viki terlihat asik mengunyah makanannya itu. Ia tak banyak berbicara. Dan itulah Viki yang sebenarnya. Mutia menatapnya sejenak, ia sedikit penasaran kepada lelaki itu.

Viki terlihat dingin di mana pun ia berada. Bahkan saat ia membantu Mutia saat di ruang PMR, ia terlihat sangat tenang. Namun, Mutia tahu satu hal. Ia tahu jika Viki menyukai Alissa. Hal itu ia simpulkan ketika ia melihat Viki saat bersama Alissa jika sedang berbicara atau duduk bersama, Viki terlihat sedikit berbeda. Lebih berbeda dibandingkan saat duduk bersamanya.

“Viki, aku pergi dulu. Semoga kau cepat berjumpa dengan Alissa.” Kata Mutia.

Viki mengangguk sambil sedikit tersenyum. Wanita itu pun berlalu dari hadapan lelaki itu

Berselang satu menit kemudian, Oza bersama Fina menghampiri Viki. Seketika suasana menjadi sedikit ribut. Terlihat perkumpulan ini lebih hidup karena Oza adalah lelaki yang banyak berbicara dan sering menertawai Viki. Sedangkan Viki walaupun terlihat lebih tenang daripada sahabatnya itu, namun ia tetap saja membalas atau menepis tuduhan-tuduhan yang diarahkan oleh Oza kepadanya.

Dan tanpa disadari, percakapan mereka membuat Fina malah tertawa lepas. Baru kali ini ia melihat dua orang sahabat berlagak seperti adik abang.

Malam tiba. Viki berencana pergi ke sebuah toko buku untuk melihat apa saja yang bagus untuk dijadikannya sebagai bahan bacaan. Viki suka membaca, namun itu bukanlah hobinya. Ia lebih suka membaca yang berkaitan dengan olahraga dan musik. Itu menjadi prioritasnya untuk membaca sambil menghilangkan rasa jenuh. Namun ia sering kali tertkantuk-kantuk jika sedang membaca buku biologi, fisika, kimia dan sejenisnya.

Saat ia tiba di sebuah toko buku, tanpa disengaja ia berjumpa dengan Fina. Wanita itu tampak menyapanya sambil tersenyum. Sadar wanita itu tersenyum padanya, Viki pun menghampirinya.

“Sendirian saja?” Tanya Viki.

“Iya nih. Suntuk juga di rumah. Jadi mungkin di sini aku bisa mendapatkan satu atau dua buku.” Jawab Fina.

Mereka lalu berjalan bersama mencari buku. Berbagai sudut mereka singgahi dan kemudian langkah keduanya terhenti. Fina sepertinya menemukan buku kesukaannya.

“Kau suka ceritanya?” Tanya Viki. Sepertinya lelaki itu sedikit keheranan.

“Ya, begitulah. Ceritanya menyenangkan. Bawaannya seru, tidak bosan. Dan yang pasti romantis.” Jawab Fina sambil tersenyum.

“Romantis? Ya tidak terlalu buruk untuk selera wanita.” Sahut Viki.

“Seru lho, sepertinya kau juga harus baca. Tapi kau harus menyediakan beberapa tissue.”

“Kenapa?” Tanya Viki bingung.

“Kau takkan bisa membendung air matamu saat membaca kisahnya. Percayalah. Kau pasti akan menangis saat membacanya.”

Viki mengerutkan dahinya seolah-olah ia membayangkan dirinya menangis sambil menggenggam beberapa tissue untuk menghapus air matanya.

“Tapi kau akan kembali terhibur karena lelaki dalam cerita ini sungguh romantis. Ada saja hal yang dapat ia lakukan untuk menghibur wanita pujaannya. Pokonya, aku suka alurnya.” Lanjut Fina.

“Apa kau sudah pernah membaca buku itu sebelumnya?” Tanya Viki.

“Belum. Karna itu aku membelinya sekarang.”

“Tapi kau sepertinya sudah bisa meramal isi cerita buku itu, Fina.”

“Hahaha, Viki, ini buku ini kelanjutan dari cerita sebelumnya. Itulah sebabnya aku sudah mengetahui alurnya sedikit. Ayolah Viki.” Fina seperti menertawai Viki.

Setelah menghabiskan waktu sekitar satu jam di toko buku itu, mereka lalu kembali ke rumah. Awalnya Viki hendak pamit terlebih dahulu. Namun setelah ia mengetahui Fina hanya berjalan kaki, ia pun memilih untuk berjalan bersama menemani Wanita itu.

Sungguh banyak pembahasan yang mereka perbincangkan di jalan walaupun mereka bukanlah teman sekelas. Fina adalas siswi IPS sedangkan Viki adalah siswa IPA. Namun begitu tidak membuat keduanya terlihat kaku untuk saling berteman. Walaupun awalnya mereka tidak sedekat ini, tapi yang terjadi sekarang menjelaskan bahwa siswa IPS dapat berteman baik dengan siswa IPA.

“Ini rumahku.” Kata Fina

“Terlihat tenang dan nyaman untuk tinggal di sini, Fina. Jauh dari keributan.” Kata Viki.

“Iya, aku bahkan sering menghabiskan waktuku di bangku panjang itu sambil membaca buku ini.”

“Baguslah.”

“ Singgahlah kapan-kapan. Tapi jangan malam ini ya.” Kata Fina sambil bercanda.

“Boleh, asal kau tak mengajak Oza, aku bersedia untuk singgah kapan-kapan.” Sahut Viki.

“Kenapa sih, bukkannya seru ada Oza. Jadi lebih rame.”

“Dia pasti akan mengatakan jika aku selalu kalah dalam balapan sepeda.”

“Hahaha, tapi aku tahu kok siapa pemenangnya diantara kalian.”

Kata Fina sambil menatap Viki.

“Tapi kau terlihat lebih tenang daripada Oza. Ya, lebih tenang.” Lanjut Fina sambil menatap Viki.

Viki tersenyum, juga menatap Fina sesaat. Mereka saling bertatapan walaupun hanya sesaat, waktu yang membawa lelaki itu kembali mengingat sosok Alissa. Sosok yang telah lama menghilang, yang dulu selalu hadir memberikan senyumannya kepada Viki.

Walaupun perlahan bayangan Alissa telah memudar, namun kenangannya bersama wanita itu masih terekam jelas dalam memori ingatannya.

Senyuman Fina kembali membawanya merasakan kenangan lama. Terasa jelas pada dirinya bahwa ada sesuatu yang juga kembali bergetar. Ia hanya mencoba menahan dan mengontrol apapun yang menjadi desakan pada dirinya saat ini. Fina hadir bersama kesannya sendiri.

Telah berbulan-bulan berlalu. Masih terekam dalam ingatannya ketika Fina menatapnya saat malam itu. Terasa seperti hadirnya Alissa di hadapannya, namun bukan. Bukan Alissa.

Dan seiring berjalannya waktu, Viki mulai memahami apa yang telah ditetapkan padanya. Ia masih merindukan kehadiran Alissa, bahkan tulisan tangan wanita itu masih tersimpan rapi dalam lembaran buku catatan Viki.

Terkadang sesekali ia mengambil buku itu dan melihat ukiran tangan Alissa. Ia tak peduli tulisan itu menjelaskan tentang apa, ia hanya melihat begitu indahnya ukiran itu.

Di dalam kamarnya itu, ia kembali dihantui oleh sesuatu. Apakah seorang wanita lainnya telah singgah di hatinya lagi? Apakah de javu akan kembali menghampirinya? Itulah yang sedang ia pikirkan dalam lamunannya.

Saat waktu istirahat tiba, Viki bersama Toni mengurungkan niat mereka ke kantin. Hari ini mereka lebih memilih untuk duduk saja di sebuah bangku panjang tepat di depan kelas mereka.

Sambil berbincang-bincang kecil, tanpa di sengaja Viki menatap Fina yang baru saja keluar dari kelasnya. Kelas Fina berada tepat di depan kelas lelaki itu. Dan sepertinya wanita itu hendak menuju ke kantin.

Viki terus menatapnya, mengikuti langkah Fina sampai akhirnya ia memaksakan dirinya untuk berhenti menatap. Kembali, sejenak ia terbawa kepada kenangan bersama Alissa.

“Hai Viki.” Sapa Fina saat mereka sedang di kantin.

Viki juga menyapanya dengan kata yang sama. Tak banyak yang terjadi karna setelah itu Fina berlalu meninggalkan Viki. Walau demikian, sapaan itu sudah cukup membuat Viki terdiam sejenak. Seolah-olah ia tak percaya jika ia baru saja di sapa oleh Fina.

Benar saja, tidak seperti sebelumnya. Kini saat berjumpa dengan Fina, Viki menjadi lebih kaku. Ia seperti kehilangan kata-katanya bahkan untu menyapa saja mulutnya terlihat seperti terkunci. Namun ia masih terlihat tenang seperti biasanya. Hingga tak ada yang mengetahui jika Viki menatap Fina dalam sudut pandang yang berbeda.

Ya, kini ia mulai memahami sedikit cara ia memandang wanita itu. Ia sadar ada sesuatu yang berbeda darinya saat ia menatap Fina. Persis seperti saat ia menatap senyuman Alissa pada saat itu.

Tanpa ia sadari, Viki telah terlalu sering menatap Fina dalam diam. Entah itu saat ia baru tiba di sekolah, menuju kantin atau saat melangkah pulang. Viki selalu meluangkan waktunya sejenak di sebuah bangku panjang di depan kelasnya hanya untuk melihat Fina berjalan.

Bagaimanapun, ia menyadari jika kini ia telah kembali terjebak pada situasi yang sama seperti saat bersama Alissa. Namun kini wanita yang hadir adalah Fina.

Viki mencoba mencari tahu akan beberapa hal tentang Fina dari teman-teman dekat wanita itu. Dari ketenangannya, ia melakukannya tanpa sedikitpun rasa curiga dari para teman Fina.

Namun bagaimanapun, Viki adalah seorang lelaki yang berpegang teguh pada prinsipnya. Sungguh jika memang pada akhirnya nanti ia telah menyatakan dirinya benar-benar menyukai sosok Fina, ia hanya percaya jika waktu untuk mengungkapkan itu akan tiba.

Hanya saja saat ini adalah, Viki tak ingin tertipu oleh perasaannya sendiri. Ia pun tak dapat memungkiri jika terkadang kenangan bersama Alissa masih terbayang dalam hari-harinya. Maka ia pun menyatakan dalam hatinya untuk menahan segala perasaan yang hadir terhadap Fina.

Mungkin saja, segala hal yang terjadi sekarang adalah dikarenakan ia sedang merindukan Alissa. Maka ia memutuskan untuk tidak terburu-buru dalam menyatakan sesuatu.

Namun semakin berjalannya waktu semakin ia terdesak untuk menyatakan sesuatu yang terkurung dalam batinnya.

Viki seolah-olah tak berdaya saat melihat Fina berjalan pulang berlalu daripadanya.

Suatu hari di waktu senja, Viki bersepada sendirian menuju sebuah pantai dengan sebuah tas kecil yang berisikan buku bacaannya. Tiba di sana, ia mulai membaca tiap-tiap halamannya.

Hembusan angin senja dan hantaman ombak di kala itu membuat ia tak bisa berkonsetrasi penuh. Malah pikirannya terbawa jauh melayang. Sekilas dalam pandangannya, terlihat wajah Fina persis saat wanita itu menatapnya pada malam itu.

Viki lalu menutup buku bacaannya dan memandang ke sekitar. Masih di penuhi dengan berbagai pertanyaan dalam hatinya, kenapa Fina menjadi sosok yang begitu ia pikirkan saat ini. Ia mulai bertanya apa yang sebenarnya ada pada diri Fina sehingga membuatnya begitu mengaguminya.

Saat ia terus menatap ombak yang silih berganti, terbesit dalam pikirannya untuk menulis sebuah ungkapan. Mungkin dengan menulis segalanya akan dapat menuangkan segala perasaannya kepada Fina, walaupun dalam selembar kertas. Ia hanya ingin hatinya menjadi lebih tenang.

Maka ia pun mengambil sebuah pena dan secarik kertas. Ia mulai mengukir tulisannya di selembar kertas itu.

“Masih sulit bagiku menjelaskan dari mana sebenarnya semua ini berawal. Aku tidak pernah mengerti kenapa kemudian aku terbawa dalam arus ini. Yang pertama kulihat adalah matamu. Dan yang kedua kulihat juga matamu. Namun pandanganmu pada saat malam itu seolah menghipnotis diriku. Entah mungkin saat itu kau menatapku seraya tersenyum. Tapi tatapan yang kedua itu membuatku terus memikirkanmu. Aku yang selalu menunggu hadirnya dirimu di sekolah, dan aku pula yang menanti dirimu berlalu melangkah pulang dari sekolah. Entah dirimu yang telah menjebakku atau hanya aku yang menjebak diriku sendiri dalam bayang-bayangmu. Namun aku menunggu waktu yang tepat untukku katakan jika aku memang benar-benar mengagumimu. Jika tiba saatnya nanti, maukah kau mendengar sedikit saja dari kata-kataku ini? Fina, aku mengagumimu.”

Tepat satu bulan waktu berlau sejak ia menuliskan sebuah surat. Dari yang awalnya ia hanya berniat untuk menghilangkan tekanan yang menghampirinya, namun tetap saja hatinya tak tenang. Terasa semakin terdesak baginya untuk mengungkapkan apa yang selama ini tersembunyi.

Saat bel berbunyi tiga kali pertanda waktunya pulang. Viki telah mempersiapkan segalanya. Ia kini telah mengetahui banyak hal tentang Fina.

Viki tahu di mana biasanya Fina menunggu ayahnya menjemput dirinya.

Saat ia melihat Fina berjalan dari kelasnya. Saat itu ia mengira sudah saatnya untuk mengikuti langkah wanita itu. Ia pun bergegas menyusul Fina.

Dan sesampainya di depan gerbang sekolah, ia melihat Fina berada di seberang jalan sana, dan sendirian.

Namun entah mengapa Viki tak mampu melangkahkan kakinya menuju kepada Fina. Ia hanya terdiam saja sambil menatap ke bawah.

Kemudian ia menatap Fina, namun kini wanita itu sudah berlalu bersama sebuah sepeda motor yang membawanya meninggalkan Viki.

Viki tak dapat berbuat apa-apa. Namun sungguh terasa berat baginya saat ia ingin sekali menghampiri Fina di seberang jalan sana.

Ia pun melangkah pulang sendirian tanpa menunggu Oza.

Suasana hari senin di sekolah terasa berbeda. Setiap orang dapat merasakan itu termasuk Viki. Entahlah, tapi semuanya terasa begitu riang, seperti ada sesuatu yang menyenangkan baru saja terjadi.

Banyak dari para siswa-siswi membahas tentang suatu hal. Viki memang sedikit merasa aneh dengan kebanyakan tingkah teman-temannya. Namun suasana riang itu tanpa disadari membuatnya juga malah merasa senang.

Setelah upacara selesai, Viki menuju ke kantin untuk membeli sebuah minuman. Seperti biasanya, setelah upacara pasti membuat lelaki ini kelelahan.

Di kantin ia kembali bertegur sapa dengan Fina. Seperti biasa, saling menegur dan menebar senyuman. Itulah yang selama ini terjadi.

Untuk hari ini Fina menemani Viki duduk di kantin walaupun hanya sebentar.

“Buku yang pada malam itu sudah selesai ku baca.” Kata Fina.

“Oh ya? Berapa banyak tissue yang telah kau habiskan selama membaca buku itu?” Tanya Viki sambil bercanda yang dibalas tawa oleh wanita itu.

“Ya begitulah. Tapi seru. Persis seperti yang ku duga sebelumnya. Tapi yang terpenting itu adalah bagian romantisnya. Sungguh aku seperti mengalaminya pada diriku sendiri.” Kata Fina sambil tersenyum.

Tak lama setelah itu Fina bergegas menuju ke kelasnya.

“Vik, nanti kita bahas lagi ya.”

“Oke, tidak masalah.”

Saat bel pulang berbunyi, Viki kembali menyusun rencananya untuk mengungkapkan isi hatinya. Kini ia merasa lebih siap dari sebelumnya. Ia merasa telah belajar dari hari itu. Ia juga merasa sudah dapat mengontrol segalanya sekarang.

Saat ia berjalan menuju parkiran, ia masih mendengar para siswa lainnya, mereka seperti membahas sesuatu yang sangat penting.

Viki mulai penasaran apa yang sebenarnya sedang mereka bicarakan. Sepertinya hal itu menarik untuk disimak karna banyak siswa yang membahasnya seperti sebuah gosip. Gosip yang masih hangat tentunya.

Walaupun ia penasaran, ia tetap melangkahkan kakinya menuju parkiran. Tujuannya jelas, ia hanya ingin menyusul Fina di seberang jalan sana untuk kemudian mengungkapkan isi hatinya di sana. Ia merasa bahwa ia telah benar-benar mengagumi sosok Fina, bahkan melebihi kekagumannya dari seorang Alissa.

Saat di parkiran ia berjumpa dengan Mutia yang juga hendak bersiap-siap untuk pulang.

“Hai Vik, sepertinya kau buru-buru.” Kata Mutia.

“Tidak juga. Oh iya, ngomong-ngomong kenapa hari ini agak berbeda dari biasanya ya. Sepertinya ada suatu hal yang sedang terjadi di sekolah ini. Entahlah. Apa kau merasakannya juga?” Tanya Viki. Ternyata rasa penasarannya itu menaklukkan dirinya.

Mutia langsung tersenyum saat ia mendengar pertanyaan dari Viki.

“Apa kau tak tahu berita terhangat hari ini?” Tanya Mutia.

Viki menggelengkan kepalanya.

“Kau ini bagaimana sih. Fina dan Aldi, mereka akhirnya menjalin hubungan bersama. Sungguh mengejutkan, bukan.” Jelas Mutia.

Viki yang awalnya menatap Mutia kini matanya malah menatap ke bawah. Sungguh apa yang baru saja ia dengar adalah sesuatu yang sangat sulit untuk dipahami. Kenapa bisa? Kenapa terjadi? Kenapa mungkin? Hatinya terus-menerus bertanya.

Setelah mendengar itu, kedua kakinya bergetar, jantungnya berdetak sangat cepat. Tangannya pun mulai kelihatan mengusap-usap kepalanya.

Mutia terus bercerita namun Viki tidak lagi fokus. Ia merasa tidak percaya. Selama ini yang ia tahu adalah tak ada satu lelaki pun yang mendekati Fina.

“Benar kan Vik?” Tanya Mutia yang telah panjang lebar bercertia. Namun Viki tak satu pun mengetahui apa yang wanita itu ceritakan. Pikirannya sedang bermasalah.

“Apanya?” Tanya Viki.

“Kau tahu sendiri kan siapa Aldi itu. Seorang pemain basket, keren, dan tampan. Banyak wanita yang menyukainya tapi Fina sungguh beruntung. Mereka seperti pasangan selebritis, Aldi dengan ketampanannya dan Fina dengan kecantikannya. Apa lagi yang kurang?” Jelas Mutia.

Viki tersenyum. Matanya melirik kepada jam tangannya namun ia tak dapat melihatnya dengan jelas. Sungguh kejadian itu membuatnya buyar seketika.

Tak lama setelah itu Mutia meninggalkannya sendiri. Viki pun mengayuh sepedanya menuju pintu gerbang. Di seberang jalan sana ia melihat Fina bersama teman-temannya. Masih terbesit dalam hatinya apa yang dikatakan oleh Mutia. Tapi ia percaya jika itu adalah omong kosong belaka.

Namun tak lama kemudian, seorang lelaki bersama motor sport-nya menghampiri Fina dan teman-temannya. Saat pria itu megghentikan motornya tepat dihadapan Fina, mereka semua bersorak. Fina hanya tersipu malu dan segera duduk bersama pria itu di belakangnya.

Dan mereka pun berlalu beriringan dengan lambaian tangan Fina kepada teman-temannya.

Viki hanya dapat melihat saja. Namun setidaknya ia telah melihatnya dengan jelas dari kedua bola matanya. Kini semuanya jelas apa yang telah di ceritakan oleh Mutia tentang Aldi dan Fina.

Viki pun langsung bergegas mengayuh sepedanya. Sungguh ia begitu tersiksa menyaksikan Fina bersama Aldi.

Setelah seminggu berlalu, Fina dan Aldi semakin memamerkan hubungan mereka. Sampai-sampai menjadi perbincangan hangat juga di kalangan para guru.

Benar seperti yang dikatakan oleh Mutia. Fina dan Aldi layaknya pasangan selebritis. Selain dengan ketampanan dan kecantikan dari masing-masing mereka, hubungan percintaan mereka juga menjadi seperti gosip yang sedang panas-panasnya.

Sementara Viki terus berusaha membuat dirinya untuk terus tenang. Kejadian ini sungguh lebih menyakitkan daripada saat ia melihat Alissa pergi dari hadapannya.

Suatu sore, Viki menghabiskan waktunya di sebuah pantai. Seperti biasanya, ia membawa sebuah buku bacaan dan menikmatinya di sana.

Tiba-tiba Fina muncul dari belakangnya dan menegurnya seperti biasa. Ciri khsanya dalam menegur sungguh masih seperti saat malam itu, bersama senyuman manisnya.

“Aku baru tahu kau suka menghabiskan waktu sore di sini.” Kata Fina.

“Ya, terasa lebih tenang daripada di tempat lainnya. Sesuai dengan apa yang ku butuhkan.” Jawab Viki sambil tersenyum.

Viki jelas masih menyisakan rasa sakit dalam hatinya. Namun tetap ia kontrol dalam ketenangannya. Bagaimanapun juga, Fina adalah temannya yang juga sekaligus menjadi alasan bagi Viki dapat melupakan segala kenangan tentang Alissa.

Fina yang awalnya tersenyum kini mulai menatap Viki dengan serius. Dari dalam tas kecilnya itu lalu ia mengeluarkan sebuah buku dan duduk bersebelahan dengan Viki.

“Viki, apa kau baik-baik saja?” Tanya Fina.

“Apa ada yang salah dari diriku ini, Fin?” Tanya Viki. Ia berusaha menutupi segalanya.

Fina lalu menatapnya lebih dalam lalu mengambil secarik kertas dari dalam bukunya itu.

“Viki, jangan bohong. Apa kau baik-baik saja?” Fina mengulang kembali pertanyaannya itu.

Viki hanya tersenyum dan membalas tatapan Fina, juga dalam.

“Dari mana aku bohong?” Tanya Viki.

“Bukankah kau yang ingin mengatakan sesuatu padaku Viki? Surat ini menjelaskan banyak hal tentang dirimu.” Kata Fina sambil memperlihatkan secarik kertas yang ternyata itu adalah sebuah tulisan yang pernah dituliskan oleh Viki.

Viki baru tersadar jika kertas itu miliknya. Itu adalah tulisannya.

“Dari mana kau dapatkan itu?” Tanya Viki.

Namun Fina tidak menjawab apa yang ditanyakan oleh Viki.

“Aku tanya sekali lagi, sekarang cobalah untuk serius dan jujur. Apa kau baik-baik saja?” Tanya Fina lagi.

Viki lalu menunduk sambil menggelengkan kepalanya. Tak lama setelah itu ia memejamkan matanya dan kembali ia buka untuk menatap jauh ke depan pantai sana.

“Viki, kenapa? Kenapa kau menyiksa dirimu seperti ini?”

Viki hanya bungkam. Tak ada satu pun yang dapat ia jelaskan.

“Kenapa kau harus menutupi ini Viki?”

“Fina, sekarang kau sudah tahu kebenarannya, lalu apa yang akan kau lakukan sekarang?” Tanya Viki.

Sekarang giliran Fina yang tak dapat menjawab apa yang ditanyakan oleh Viki.

“Mau tak mau, aku harus menerimanya. Bukankah begitu, Fina?”

Fina lalu memberikan kertas itu kembali kepada Viki.

“Apa yang menbuatmu begitu mengagumiku, Viki?”

“Ku kira apa yang ku tuliskan pada kertas ini sudah jelas. Sungguh aku kagum saat kau menatapku dengan senyumanmu itu. Dan saat itu aku yakin kau adalah wanita yang baik-baik.”

Fina tersenyum, namun hanya sesaat. Lalu ia menatap dalam Viki.

“Terima kasih telah mengagumiku seperti itu. Aku juga tahu kau adalah lelaki yang baik...”

Keduanya pun lalu tersenyum.

“Dari mana kau dapatkan kertas ini?” Tanya Viki.

“Oza memberikannya padaku, dua hari yang lalu. Ia tak sengaja mendapati secarik kertas itu di dalam ranselmu.”

Viki menggelengkan kepalanya.

“Kalian, walaupun terkadang sering berselisih tapi tetap saling peduli. Aku senang melihatnya.” Kata Fina.

Hari semakin gelap. Tak lama setelah itu keduanya pun bangkit.

“Aku hanya berharap kita dapat menjadi teman, sampai kapanpun itu.” Kata Viki. Kini ia sudah mulai terbuka terhadap Fina.

“Aku memang menyukaimu dari cara kau tersenyum dan sikapmu yang baik. Tapi lebih daripada itu, sulit bagiku menjelaskan lagi kenapa aku menyukaimu.” Lanjut Viki.

Fina hanya tersenyum, wajahnya sedikit memerah.

Setelah berjalan kaki menuju ke rumah Fina, akhirnya mereka berdua tiba di sana. Hari juga semakin gelap. Tersisa sedikit waktu saja bagi mereka untuk berbincang-bincang.

“Aku hanya ingin meminta maaf dari segala hal yang telah terjadi, Viki.” Kata Fina.

“Tidak ada yang perlu dimaafkan. Semua terjadi begitu saja.” Jawab Viki.

“Tapi aku hanya ingin meminta maaf.” Lanjut Fina sambil menatap lelaki itu.

“Aku juga meminta maaf, jika memang hadirku selama ini membuat hari-harimu ternodai.” Viki mulai menatap Fina. Semenatara wanita itu hanya menggelengkan kepalanya.

“Tapi, ada satu hal yang sangat ingin aku katakan padamu.”

“Katakan Viki?”

“Terima kasih telah menjadi temanku selama ini. Aku telah mempelajari banyak hal selama berteman denganmu.” Kata Viki.

Viki mengatakan itu karena sebelumnya ia tak pernah mengucapkan terima kasih kepada Alissa, yang juga telah menjadi teman baiknya dan membantunya selama di sekolah. Hal itulah yang kemudian membuat Viki tak ingin mengulangi kesalahan yang terjadi di masa lalu. Ia hanya tak ingin penyesalan kembali menyelimuti hari-harinya.

“Teruslah menjadi Viki seperti yang ku kenal selama ini.” Kata Fina.

“Aku bahkan tak berniat untuk menjadi orang lain.” Jawab Viki tersenyum.

Setelah itu, keduanya terdiam membisu sejenak. Viki tak kuasa melihat indahnya cahaya senja saat itu. Sedangkan Fina hanya menatap ke bawah.

Saat sepertinya keadaan terlihat semakin sunyi, Viki pun kembali menatap Fina.

“Sudah waktunya untuk pulang.” Kata Viki. Fina hanya mengangguk saja.

“Terima kasih sudah menemaniku pulang, Viki.” Kata Fina.

“Sama-sama.” Sahut lelaki itu.

Tanpa ada basi basi lagi, Viki pun mengayuh sepedanya dan berlalu meninggalkan Fina.

Terlihat dari wajahnya, senyuman kecil nan indah itu, menghiasi wajah wanita itu. Sungguh indah jika ditatap berlama-lama.

Sedangkan Viki, apa yang telah terjadi padanya di sore hari ini, telah membuatnya menjadi lebih tenang. Setidaknya sesuatu yang pernah tersembunyi di balik hatinya telah terbebas. Ya, itu adalah tentang perasaannya terhadap Fina.

Apa yang membuatnya menjadi lebih tenang adalah, Fina masih menjadi dirinya sendiri walaupun kini ia telah menjalin hubungan cinta bersama seorang lelaki tampan, Aldi.

Hari itu saat sekolah telah selesai, terlihat Viki masih berada di sana. Ia berjalan menuju parkiran dan mengayuh sepedanya. Lalu ia berhenti tepat di gerbang sekolah dan terduduk di sana di bawah sebuah pohon besar. Tempat di mana ia sering menghabiskan waktu menemani Alissa sambil menunggunya dijemput.

Setelah meneguk sedikit air dari botol minumannya, ia lalu mengambil sebuah buku bacaannya, buku yang pernah ia beli bersama Fina pada malam itu.

Terkadang saat matanya sudah terlalu fokus membaca, terukir sekilas wajah Fina di balik tulisan itu. Kemudian ia menutup matanya sejenak. Terlihat ia menitikkan air mata yang dengan cepat ia usapkan menggunakan tangan kanannya.

Viki percaya, apapun yang telah terjadi padanya adalah cara Tuhan untuk membuatnya menjadi seorang lelaki yang kuat. Apa yang telah terjadi diantara dirinya dan Fina hanyalah sesaat.

Namun ia perlahan mulai mengerti terkait hal apa yang dapat ia jadikan sebagai pelajaran hidup untuknya. Viki tetap mencoba mempertahankan prinsipnya. Walaupun kemudian dengan prinsipnya itu ia telah terluka untuk kali keduanya. Namun ia yakin jika lukanya itu hanya sesaat. Viki yakin luka itu yang kemudian akan mengajarinya menjadi lelaki kuat dan pantang menyerah.

Memang untuk saat ini ia masih teluka apalagi saat Viki melihat Fina bersama Aldi, entah itu saat mereka sedang di kantin ataupun saat Aldi membonceng Fina dengan motor sport-nya.

Namun bagaimanapun, Viki percaya bahwa perlahan semua akan terlupakan seiring berjalannya waktu seperti lenyapnya kenangannya bersama Alissa pada saat itu.

Viki akan terus berprinsip sama. Ia bukanlah lelaki yang mudah untuk menyatakan cinta. Ia percaya saat dirinya mulai mengagumi seorang wanita, bukan berarti ia telah mencintai wanita itu.

Baginya, menetapkan cinta pada seseorang membutuhkan waktu untuk membuktikannya. Dan ia membuktikannya terlebih dahulu pada dirinya sendiri.

Karna bagi Viki sendiri, untuk mengungkapkan cinta itu tidak cukup hanya dengan sekedar kata-kata saja. Lebih daripada itu Viki percaya jika cinta adalah sesuatu yang terlahir jauh dari dalam batin.

“Kita terdiam, namun memperlihatkan sisi kakunya. Kita berbicara, namun terlalu gugup. Dan saat kita tersenyum, kita saling memahami.”

Breaking Reza

--

--

Reza Fahlevi
Reza Fahlevi

No responses yet