Ukiran Catatan di Jalan Hamzah: Part I

“Pertemuan ini adalah awal dari perpisahan kita”

Reza Fahlevi
11 min readMay 16, 2019

“Bukankah sudah ku katakan rindu itu menyakitkan? Kenapa kau tetap berdiam diri di sini? Seolah-olah kau kuat menghadapi semuanya. Bukalah matamu. Aku tau ke mana kau ingin melangkah.”

Viki mengambil beberapa buku tulisnya dan memasukkannya ke dalam ransel. Dengan seragam sekolah telah menyatu dengan tubuhnya, ia sudah siap untuk berangkat sekarang. Sedikit gugup, karna ini adalah tahun pertamanya di sekolah baru, SMA. Ya, beberapa waktu lalu ia baru saja dinyatakan lulus di sebuah sekolah negeri. Dan ia begitu semangat untuk merasakan hal yang baru termasuk berjumpa dengan teman-teman yang baru.

‘kreek’

Viki membuka pintu kamarnya dan menuju teras rumah.

“Ku kira aku harus menunggumu lama.” Kata seorang lelaki. Viki menatapnya itu dengan senyuman.

“Gak seperti biasa, ya…” jawab Viki sambil tertawa kecil.

“Ya semoga kau bisa terus seperti ini. Jadi aku gak perlu menunggu sambil melamun gak jelas.”

Setelah memakai sepatunya, Viki beranjak dari duduknya lalu pamit kepada ibu dan ayahnya dan langsung menaiki sepedanya.

“Balapan?” Tantang lelaki ini.

“Jangan menantangku, kau selalu kalah.” Jawab Viki.

“Kali ini yang kalah harus melakukan sesuatu.”

“Apa itu? Tanya Viki.

“Yang kalah harus ngungkapin cinta ke kawan cewek baru kita. Setuju?”

“Oza, aku gak perlu lakuin hal begituan di hadapanmu.” Jawab Viki lagi sambil menggelengkan kepalanya.

Viki dan Oza adalah sahabat sejak mereka masih kecil. Karena hal itu mereka sudah sangat akrab dan mengenal satu lainnya dengan baik. Mereka juga sering balapan sepeda saat pulang dari sekolah, terhitung sejak masih SD hingga SMP. Dari semua balapan yang pernah mereka lakukan, belum pernah sekalipun Oza mengalahkan Viki.

Hari senin di sekolah dimulai dengan upacara bendera. Semua siswa dari yang kelas satu hingga tiga melaksanakan upacara dengan tertib. Dengan hari yang semakin terik, tampak para siswa mulai kelelahan berdiri di teriknya matahari pagi, beberapa ada yang bosan, mengeluh membatin. Namun mereka harus bersabar karena seorang guru laki-laki yang sudah agak tua sedang memberikan kata-katanya kepada para siswa.

Sekitar 20 menit kemudian, upacara pun selesai. Para siswa dengan tertib meninggalkan lapangan dan menuju ke kelas masing-masing. Viki yang masih belum mengenal teman-temannya, kecuali Oza, berjalan sendirian menuju kelas. Sesampainya di sana, ia duduk di barisan paling depan. Hanya Viki yang masih terduduk sendiri, sedangkan teman-teman lainnya sudah duduk berpasangan dan saling mengenal.

Beberapa teman-temannya mengobrol, ada yang sibuk dengan ponselnya, ada yang sedang membaca buku. Viki hanya sibuk dengan pulpennya. Ia memutar-mutar benda itu agar terlihat sedang melakukan sesuatu.

Tak lama kemudian tiba seorang lelaki dan berdiri sejenak di babah pintu kelas. Gaya berpakaiannya rapi dengan kemeja putih ia masukkan setengah ke dalam celana abu-abu itu. Di balik kerah seragam sekolahnya terselip dasi yang terikat begitu rapi di sana. Sambil berdiri, matanya mencari sebuah tempat duduk yang masih kosong. Mungkin pencariannya adalah tempat duduk di belakang, namun sudah dipenuhi oleh teman-teman lainnya. Lalu ia menatap sebuah kursi di samping Viki dan menuju ke arah sana.

“Maaf, apa ada orang lain duduk di sini?” Tanya lelaki itu.

“Gak ada...”

“Kalo gitu, aku duduk di sini ya…”

Viki mengangguk sambil mempersilahkan teman barunya itu duduk di sampingnya. Tak ada percakapan setelah itu sampai akhirnya lelaki tadi memecahkan keheningan.

“Oh iya, aku Toni.” Ia memperkenalkan dirinya sambil menjulurkan tangan.

“Aku Viki.” Jawabnya dengan senyuman sambil meraih tangan Toni untuk bersalaman.

Walaupun masih belum terlalu akrab, tapi sudah ada sedikit perbincangan di antara mereka berdua. Setidaknya untuk mengisi kekosongan dan menghapus rasa bosan, itu sudah lebih dari cukup.

Lima menit kemudian, seorang guru dengan seragam dinasnya memasuki ruangan mereka. Kelas yang sebelumnya penuh dengan obrolan seketika menjadi hening. Tak ada yang berani berkata-kata dan mata mereka hanya tertuju kepada seorang guru laki-laki yang memakai seragam dinas berwarna coklat.

“ Ok, sekarang siap-siap ke lapangan. Ada sedikit arahan dari kepala sekolah kalian.”

Tanpa berlama-lama mereka semua bergegas menuju lapangan. Viki dan Toni terlihat berjalan bersama. Mereka masih melanjutkan obrolannya hingga tiba di lapangan. Para siswa lainnya juga sudah tiba. Untuk sekarang ini, hanya siswa kelas satu saja yang menuju ke lapangan upacara, karena arahan yang akan diberikan hanya untuk siswa-siswi baru.

Tak lama kemudian muncullah seorang lelaki dengan sebuah mic di tangannya, terlihat sedang berbincang serius dengan lelaki di sampingnya. Sepertinya ia adalah kepala sekolahnya. Tak lama setelah itu ia mulai berbicara.

Waktunya pulang sekolah. Viki menunggu Oza tepat di bawah sebuah pohon, ia berlindung dari teriknya sinar matahari. Tak lama setelah itu tiba seorang wanita. Matanya yang coklat menatap Viki dengan senyuman tipis.

“Kita kawan sekelas kan?” Tanya Viki, raut wajahnya sedikit bingung, seolah ingin memastikan apa yang ditanyakannya itu.

Wanita itu pun tertawa mendengar pertanyaan tersebut.

“Demi apa, ada orang yang lupa dengan kawan sekelasnya.” Jawab wanita itu.

“Bukan gitu. Aku cuman agak sulit ngingatnya. Kan, baru hari pertama.” Viki sedang mencari-cari alasan.

Sedangkan wanita itu kembali tertawa.

“Viki kan?” Tanya lagi wanita itu.

“Demi apa, ada orang yang gak tau nama kawan sekelasnya sendiri.”

Mereka berdua pun tertawa lepas saat itu.

“Dan kau Alissa?”

Wanita itu mengangguk sambil menarik sebuah kursi yang kebetulan ada di sana, lalu duduk.

Walaupun baru saling mengenal untuk pertama kalinya, namun keduanya sudah terlihat akrab, terutama wanita Alissa. Ia memang terlihat bersahabat dan mudah untuk berteman dengan orang baru. Viki, walau bagaimanapun, bukanlah lelaki yang mudah untuk bergaul dengan teman baru. Namun ia juga tak seburuk yang dikenal.

“Ehh, ohh ya, Kenapa kau belum juga pulang?” Tanya Alissa.

“Aku lagi nunggu kawan, Oza. Entah kenapa dia lama...” Jawab Viki sambil melihat jam tangannya.

“Mungkin dia udah nyampe di rumah.” Kata wanita itu sambil tertawa.

Viki pun juga ikut tertawa mendengarnya.

“Kau sendiri?” Tanya balik Viki.

“Aku sedang nunggu ayah. Rumahku terlalu jauh untuk bersepeda ke sekolah.” Alissa kembali tertawa saat ia mengatakan hal itu. Ia herujar demikian sebab dirinya tahu bahwa Viki ke sekolah dengan sepeda.

Viki menatapnya sejenak, terlihat pancaran indah yang berasal dari wajahnya. Itu adalah senyumannya. Entahlah, entah apa yang dipikirkan oleh lelaki ini. Tapi sepertinya baru kali ini ia melihat senyuman yang terpancar indah dari seorang wanita.

“Kenapa?” Tanya Alissa yang kebingungan melihat Viki yang sedang melamun di hadapannya.

“Gak ada...”

Viki mencoba menghindarkan matanya dari wajah Alissa. Ia berpura-pura menatap awan di balik dedaunan pohon besar yang mereka teduh itu.

“Jangan dilamunkan kali, nanti malah terbayang dalam pikiranmu.”

Wanita itu seolah-olah menertawainya. Dan Viki malah tak tahu harus berbuat apa lagi. Ia terlihat seperti salah tingkah, tidak seperti biasa yang selalu tenang.

Tak lama setelah itu ayah Alissa tiba menjemputnya dengan sebuah motor.

“Kayanya kau harus sendirian aja di sini.” Kata Alissa.

“Gak masalah sih, aku bisa lebih fokus untuk merasakan hembusan angin di sini.”

Alissa pun meninggalakan Viki sendiri di pintu gerbang sekolah, tepatnya di sebuah pos satpam. Sepertinya hanya tinggal lelaki itu saja sendiri di sana.

“Weeyy, ingat, hati-hati tuh dengan lamunanmu. Nanti bisa menghantuimu, lohh.”

Alissa pun berlalu. Viki hanya menggelengkan kepalanya atas ucapan temannya itu.

Setelah Alissa menghilang dari tatapan Viki, ia baru mengetahui sesuatu. Sepertinya apa yang diperingatkan oleh Alissa untuk berhati-hati dengan lamunannya itu ada benarnya. Viki mulai terbayang senyuman wanita itu sekarang.

Dan ia merasakan sesuatu yang sangat jarang pernah ia alami sebelumnya. Sebuah perasaan yang membuatnya nyaman untuk berbincang-bincang dengan seorang wanita.

Ia tak pernah merasakan itu sebelumnya. Entahlah. Bagaimana pun juga, Viki bukanlah lelaki yang suka untuk melihat dirinya dipenuhi bunga bersama seorang wanita. Hanya saja wanita yang ia idamkan itu adalah berdasarkan prinsipnya sendiri.

Ia tidaklah seperti kebanyakan lelaki lainnya, yang suka mencari wanita untuk sekedar dijadikan kekasih, yang mana kebanyakan adalah sebagai ajang perlombaan dengan teman lainnya untuk memiliki kekasih.

Viki tidak melihat dirinya seperti itu. Baginya, ketika ia menyukai wanita, ada satu tanggung jawab yang harus diembannya. Oleh sebab itu, ia jarang mengungkapkan perasaan kepada wanita, bahkan mungkin belum pernah sama sekali. Sebab ada satu prinsip yang telah ada dalam dirinya yaitu, hanya akan mengungkapkan cinta untuk satu wanita saja. Namun apa yang telah terjadi pada dirinya setelah melihat senyuman Alissa, adalah sesuatu yang berbeda.

Jika pun nanti ia menyatakan pada dirinya sendiri apa yang telah ia alami saat bersama Alissa di gerbang sekolah, ia harus tetap tenang. Karna ia adalah lelaki yang memiliki sebuah prinsip.

Dua tahun sudah waktu berlalu. Sejak pertama kali berbincang-bincang di gerbang sekolah, Viki kini telah mengalami banyak hal lainnya bersama Alissa.

Mungkin, ia sangat bersyukur karena Alissa adalah teman sekelasnya di mana ia dapat terus melihat senyumannya kapanpun. Dan setelah jangka waktu itu, mungkin ia telah mengetahui apa yang selama ini bergetar dalam hatinya. Terasa seperti ada sesuatu yang berontak di balik hatinya setiap saat ia melihat senyuman wanita itu.

Namun ketika mereka sudah begitu dekat, adalah di mana mereka harus berpisah pada akhirnya. Ya, berpisah untuk kemudian berada di jalan yang semestinya. Sebab memang sudah seharusnya seperti itu.

Sabtu ini terlihat seperti de javu bagi Viki. Sepulangnya sekolah, ia menuju ke gerbang depan dan terduduk di pos satpam, tepat di bawah sebuah pohon besar yang melindunginya dari sinar panas matahari. Sejenak, ia merasakan waktu yang berjalan tanpa terasa baginya sejak pertama kali ia duduk di sana bersama Alissa.

Lalu tiba-tiba wanita itu menghampiri Viki. Benar-benar terasa seperti de javu bagi lelaki itu. Apa yang ia rasakan adalah senyuman Alissa yang kini tak jauh berbeda saat ia pertama kali melihatnya, masih memancarkan indah.

“Aku gak tau apa waktu yang berjalan terlalu cepat atau cuma diriku yang terlalu menikmati hari-hariku selama di sini.” Kata Alissa.

“Iya, aku juga rasain hal yang sama.”

“Gak terasa juga waktu pertama kali kita duduk di sini berdua. Dan mungkin hari ini yang terakhir kali kita duduk sama-sama di sini.” Kata Viki.

Alissa tersenyum dan menatap Viki dalam. Ia melihat bola mata lelaki itu yang kecoklatan, sedikit indah untuk di pandang berlama-lama.

“Jangan terlalu dilamun, nanti bisa menghantuimu.” Kata Viki yang memecah keheningan.

Alissa pun tertawa sambil menggelengkan kepalanya. Terlihat dari wajahnya yang sedikit tersipu malu.

“Aku masih di sini kok, setidaknya sampe minggu depan. Jadi kita bisa ke sini lagi besok atau lusa ya kan, atau kapanpun itu sebelum aku pindah.” Kata Alissa.

“Mmm, gitu ya...” Jawab Viki tersenyum.

“Woyy, ingat tuh pesan aku, jangan malas buat tugas. Ini sudah hampir ujian, lho. Siapin PR, atau tugas lain yang belum kau buat. Aku udah bantu lengkapin catatan kimia sama biologi.” Ujar Alissa.

Peringatan ini juga sebagai ancaman dari Alissa agar Viki lebih rajin.

“Ini.” Kata Alissa sambil memberikan dua buku itu kepada Viki.

“Makasih ya...” Sahut lelaki itu sambil tersenyum malu. Lalu ia membuka catatan itu, Viki sedikit tersenyum.

“Kenapa?” Tanya Alissa bingung.

“Tulisanmu bagus juga.”

Alissa hanya menggelengkan kepalanya dan tersenyum tipis.

“Janji ya negur aku waktu aku udah pindah… di manapun kita jumpa nanti?” Sambung wanita itu.

“Ku kira kau bakalan langsung melupakanku setelah kau pindah.”

“Hahaha, aku baru tau kau sejahat itu, Vik.”

“Kau hanya baru mengenalku sedikit. Cobalah tetap di sekolah ini setidaknya satu tahun lagi. Pasti kau bakal betol-betol kenal aku.”

“Kenapa? Takut kangen ya kalo aku pindah? Gak jumpa-jumpa lagi, hahaha. Mulai ada rindu nih…” Kata gadis itu.

Alissa pun tertawa lepas saat itu. Sedangkan Viki hanya bisa menggelengkan kepalanya.

“Tapi, aku serius. Jangan sombong. Tegur aku nanti.” Lanjut Alissa.

“Jadi kau betulan pindah?”

“Aku harus ikut orang tuaku. Sebenarnya, aku betah di sini, suasananya, teman-temannya, menyenangkan lah. Termasuk dirimu.” Kata Alissa, namun matanya menatap ke bawah.

“Mungkin kita akan berpisah. Tapi pisahnya ini bakal membawa kita berada di alur cerita kehidupan kita yang sebenarnya. Begitukan, Alissa?”

Alissa hanya tersenyum. Ia menggenggam kedua tangannya sambil terus menatap ke bawah. Viki kembali menatap wanita itu. Sungguh di dalam benaknya, tak ada satupun yang berubah dari cara wanita itu tersenyum.

Kini Viki telah paham apa yang sebenarnya dikatakan oleh batinnya. Telah terukir sebuah senyuman dalam hatinya. Dan benar kata Alissa pada saat itu bahwa Viki harus berhati-hati terhadap lamunannya.

Tapi ia memang tak sanggup menahannya.

Sekuat apapun ia mencoba, senyuman Alissa telah terukir dalam hati lelaki ini. Namun ia mencoba untuk terus tenang dalam kondisi apapun, apalagi saat bersama gadis itu. Walaupun kini mereka telah berada diujung pertemuan mereka. Sungguh, perginya Alissa adalah sebuah duka yang mendalam terhadap Viki.

Namun, permintaan Alissa untuk menegurnya kapanpun mereka berjumpa seolah memberi angin segar kepada Viki. Ia mencoba meyakinkan dirinya bahwa nanti suatu saat ia akan bertemu kembali dengan wanita itu. Dan ia berharap jika saat itu ia telah lebih siap untuk menyatakan isi hatinya.

Saat Viki terus menatap Alissa, tanpa disengaja Alissa membalas tatapan itu. Namun kali ini tak ada kekakuan di antara mereka, tidak seperti biasanya. Bahkan keduanya saling menebar senyuman. Keduanya mencoba memahami apa yang telah terjadi dari yang sudah berlalu hingga saat penghujung pertemuan mereka nanti.

Tak lama setelah itu, Alissa menoleh keluar gerbang. Dan ia segera beranjak.

“Vik, jangan lupa pesanku. Ingat aja aku kalo kau malas, pasti semangat lagi hahaha.”

“Mmm, bisa juga tuh hahah…”

Alissa pun bergegas dan berlalu dari hadapan Viki. Bersama ayahnya, ia menaiki motor itu. Beriringan dengan berputarnya roda, Alissa melambaikan tangannya kepada. Viki terlihat membalas lambaian itu, walaupun masih sedikit malu. Alissa pun hilang dari hadapnnya.

Alissa akhirnya pindah sekolah meninggalkan Viki yang telah menyimpan rasa terhadapnya. Mungkin adalah hal yang tepat saat Viki menahan dirinya untuk mengungkapkan perasaan hatinya, atau mungkin tidak. Lelaki ini bingung. Ia terus terbayang wanita itu. Seringnya terjadi saat ia membuka catatan kimia atau biologi, karena di sana terdapat sebuah tulisan indah karya tangan Alissa.

Viki bahkan tak pernah melihat Alissa lagi. Kini mereka terlalu jauh untuk hanya sekedar menebar senyuman. Hanya ukiran tulisan saja yang dimiliki Viki untuk mengenang Alissa, tidak lebih.

Tepat di hari terakhir ujian kenaikan kelas, Viki berjalan ke parkiran, mengambil sebuah kunci kecil dan membuka sebuah gembok mungil yang ia lilitkan di antara tiang kayu dan sela-sela jari-jari pelak sepedanya. Setelah itu ia mendayung kuda besinya ke pos satpam yang berada tepat di gerbang sekolah. Viki masih sering duduk di sana.

Saat semua orang telah meninggalkan sekolah, ia kembali menghabiskan waktunya di situ tepat di bawah sebuah pohon besar, yang masih setia menemani dan melindunginya dari sinar matahari.

Kembali ia rasakan pertemuan pertamanya bersama Alissa. Dan di sana pula ia berpisah dengan wanita itu, berlalu dengan lambaian tangan dan senyuman manisnya.

Viki terduduk di sebuah kursi dan mengambil catatan biologi. Bibirnya tersenyum saat melihat ukiran tulisan Alissa. Seakan terukir senyuman wanita itu di balik tulisan indahnya.

“Alissa, aku yakin berpisahnya kita adalah hal terbaik untuk kita bersama. Aku masih belum tau apa artinya dari ini semua. Sejak aku mengenalmu, kau lebih memahami tingkah laku ku, yang membuatku begitu nyaman bersamamu, menghabiskan waktu bersama di bawah pohon ini.” Viki membatin.

Setelah membaca habis tulisan Alissa, ia menutup buku itu. Matanya menatap ke arah luar gerbang sekolah. Bibirnya sedikit tersenyum. Lalu ia menatap ke atas, memandangi perkasanya pohon yang melindunginya dari sinar mentari.

Tak lama kemudian ia pejamkan mata dan merasakan suara angin yang melewati telinganya. Seolah-olah suara itu membisikkan kata-kata kepada Viki. Walaupun hari dan kisahnya bersama Alissa telah berlalu, tapi seharusnya tak ada yang ia sesalkan tentang apa yang telah terjadi dan apa yang tak terungkap dari lisannya.

Ia tetap mempertahankan prinsipnya itu hingga saat ini. Dan mencoba percaya semua akan berjalan baik-baik saja. Setidaknya, Alissa tetap menjadi teman baiknya walaupun sebenarnya Viki ingin gadis itu menjadi pacarnya.

Setelah menghabiskan setengah jam di bawah pohon itu. Ia beranjak dari duduknya dan mengayuh sepedanya.

Tulisan Alissa akan terus disimpannya, karena dengan begitulah ia dapat menyapa wanita itu sekaligus untuk mengucapkan rasa terima kasih kepada Alissa yang terus membantunya dan menyemangatinya menjalani hari-harinya di sekolah. Rasa terima kasih itu adalah sesuatu yang tak pernah terucap dari lisannya.

“Sungguh dengan menemui orang yang dirindukan, itulah obat terampuh untuk mengobati rasa rindu yang mendalam. Tapi aku tak pernah bertemu denganmu. Maka itu adalah cara Tuhan memintaku untuk menjadi lelaki pejuang, tanpa ada keluhan sedikitpun. Terima kasih Alissa.”

Bersambung…

--

--

Reza Fahlevi
Reza Fahlevi

No responses yet