Tulisan di Hari Sabtu
Tentang kopi yang ku teguk,
tentang rokok yang tak habis-habis ku embuskan asapnya.
Tanpa sadar, ada senyuman yang perlahan hilang — lenyap.
Kini ku ketahui, aku sudah beranjak… dan aku sudah melalui berbagai macam luka yang tersemat di batin.
Luka karena ingin jatuh cinta tapi selalu berakhir sirna.
Meski demikian, aku masih merasakan adanya harapan…
Rasa lelah di hati membuatku ingin berhenti sejenak dan mengistirahatkan jiwa dari segala kejadian yang pernah ku alami atau yang sedang ku jalani… atau yang dengan rela ku tinggalkan jauh di belakang.
Terlalu banyak kenangan di hari sabtu; ada canda, ada tawa, ada perasaan riang… tapi juga ada kesedihan.
Kebahagiaan pernah menyelimuti jiwaku dari kepiluan saat untuk pertama kalinya setelah 5 tahun, akhirnya aku bertemu dengan perempuan yang sudah ku sukai sejak SMA. Pertemuan yang membangkitkan rasa semangat, menghadirkan senyuman, dan saksi di mana ada banyak obrolan di antara aku dan dia.
Kebahagiaan di hari Sabtu pernah membawaku berangan bahwa aku sudah meraih segala impian.
Tawa di hari Sabtu pernah membuatku terhibur panjang.
Setidaknya… aku pernah jatuh cinta terhadap hari Sabtu.
Sebenarnya aku jatuh cinta kepada Awsya bukan terhadap Sabtu. Tapi karena bertepatan di hari Sabtu, maka aku menganggapnya bagian dari kisah cintaku.
Tentang Awsya dan Hari Sabtu
Ku rasakan apa yang pernah diutarakan oleh seorang teman. Saat itu ia berkata, “ketika kamu menyukai seseorang, maka kamu juga akan menyukai segala hal yang berkaitan tentangnya.”
Ya, aku pernah jatuh cinta kepada Lambaro Angan, aku pernah cinta kepada Macramè art, bahkan sampai jatuh hati terhadap hari Sabtu…
Semua itu karena aku jatuh cinta kepada Awsya yang tinggal di Lambaro Angan, dia suka membuat Macramè art, dan banyak kesanku bersamanya terjadi di Hari Sabtu.
Seperti semua yang dia lakukan terlihat sempurna di mata bersama senyuman yang tersemat di wajah… tak pernah gagal merayuku untuk candu menatapnya (dulu).
Khusus hari Sabtu, ada dua kesan yang terus terngiang sampai sekarang; pertama, pertemuanku di rumah Awsya setelah 5 tahun tak berjumpa; kedua, saat aku pergi ke Taman Sari untuk mengunjungi Awsya yang sedang ikut pameran.
Kesan pertama ketika bertemu di rumahnya setelah 5 tahun lamanya, akhirnya kami bisa saling duduk bersebelahan sambil berbincang-bincang ditemani dengan aura kehangatan teh. Di atas ada awan mendung bersama rintikan gerimis, membuat keadaannya agak suram. Tapi, dengan Awsya saat itu; aku terus menyimak omongannya sambil menatapi wajahnya yang sesekali tersenyum syahdu… hal itu seakan membuat keadaan mendung menjadi lebih bercahaya… sangking indahnya lekulan bibirnya.
Di sinilah momen di mana aku memantapkan diri dan menyatakan dalam hati bahwa rasa cintaku yang telah terpendam sejak SMA semakin mekar saja. Dan karena semakin lama bersamanya, semakin terasa nyaman… aku dapat merasakan bahwa bersama Awsya aku bisa menjadi diri sendiri. Dan ketika hendak pulang, dengan Awsya yang berdiri di pagar memerhatikanku menyalakan sepeda motor, dia terus menantiku berlalu darinya sampai kemudian aku menancapkan gas, baru dirinya masuk ke dalam rumah;
di sini aku sudah memutuskan untuk terus mencintai Awsya. Dan di sini pula aku berencana bahwa nanti saat waktunya tiba, akan ku ungkapkan perasaan cinta yang seharusnya sudah terungkap sejak masa-masa SMA. Aku, merasakan adanya harapan untuk mencintainya karena sikapnya yang tetap sama sejak pertama kali kami saling kenal. Dan sikap Awsya yang tidak pernah berubah setiap saat berjumpa denganku, ku rasa aku sudah menemukan wanita yang selama ini ku cari-cari sebagai pendamping hidup. Baik dia dan aku… kami saling terbuka, saling bercanda, saling memaklumi, saling memberi support, sudah saling mengenali karakteristik masing-masing. Oleh karena itu, Awsya ataupun aku tak perlu menjadi sosok lain atau menyembunyikan sesuatu sebab itu benar-benar tidak diperlukan setiap saat kami bersua.
Kesan kedua, di taman Sari; aku berada dalam fase khawatir, khawatir karena sejak berjumpa dengan Awsya di rumahnya, sampai saat itu belum juga perasaanku terungkap. Khawatir selanjutnya adalah diriku sudah berada dalam tahapan tertinggi dalam hal mencintainya, dan aku khawatir seandainya cintaku tak pernah sampai padanya dan malah berakhir terpendam untuk selama-lamanya.
Di rumah aku mulai over thingking, memikirkan hal-hal yang tak perlu. Pikiran yang hadir membuatku bingung dan takut hingga kemudian aku memilih untuk menenangkan diri; satu-satunya cara adalah berdoa. Ya, aku berdoa pada Allah perihal semua gejolak perasaanku terhadap Awsya kemudian mencoba mengambil kesimpulan berdasarkan situasi terkini; dan kesimpulan terbaik yang ku putuskan saat itu adalah menjumpai Awsya di Taman Sari dan menahan diri untuk menyatakan cinta kepadanya. Setelah itu, entah kenapa aku bisa kembali tenang dan mulai pergi ke sana.
Doa yang ku kirim kepada Allah adalah bentuk kepasrahan diri; aku yang mencintai Awsya tak mampu melakukan banyak untuk membuatnya tahu bahwa aku ingin sekali mengutarakan ini. Dan hal yang membuatku terpaku tak pernah mengungkapkan perasaan adalah karena Awsya sudah berpacaran. Di sini, aku tak ingin masuk di tengah hubungan mereka itu, sebaliknya aku menanti waktu yang tepat untuk bisa mengatakan perasaanku… tanpa ada yang tersakiti.
Maka, di Taman Sari ketika berjumpa dengan Awsya, Allah mengabulkan doaku; aku berjumpa dengannya dan sama sekali tidak memberikan tanda bahwa aku akan mengutarakan cinta. Di sini, aku sudah mengubah tujuan pertemuan dengannya dari yang awalnya ingin mengungkapkan cinta sampai kemudian hanya sebatas ingin berjumpa dengannya.
Singkat cerita, aku menghabiskan berjam-jam di taman Sari hanya untuk sekedar melihat wajahnya dan mendengar suaranya memanggil namaku yang bagiku itu selalu terasa spesial. Lalu singkat waktu, di hari Sabtu itu aku pamit pulang dengan harapan nanti di waktu-waktu lain aku bisa berjumpa lagi dengannya dan mengutarakan perasaan terpendam ini.
Dua pertemuan di dua waktu yang berbeda — meski begitu, kenangannya terjadi di hari yang sama yaitu Sabtu serta kesannya juga… aku merasa nyaman.
Setiap canda tawa kami berdua di hari Sabtu, secara tak sadar malah membawaku menyukai hari ini. Padahal, yang aku suka bukan hari Sabtu-nya melainkan sosok Awsya.
Aku pernah merasakan kebahagiaan yang tak terhitung di hari Sabtu. Tapi, bukan berarti hari Sabtu tak pernah memberikan kesan pilu… dan kesan itu juga dibersamai dengan “realita”. Aku harus menjalani satu realita hidup dalam kepiluan. Ya… itulah saat aku menyaksikan Awsya menikah dengan pacarnya dan membuat perasaanku akhirnya terpendam untuk selama-lamanya di dasar hati.
-Hal yang ku khawatirkan dan yang ku takutkan akhirnya menjadi kenyataan.-
Sabtu adalah pilu.
Sabtu adaah rintangan.
Sabtu adalah realita kehidupan.
Sabtu… adalah aku yang bersaksi menjadi sosok paling bahagia melihat Awsya bahagia menggandengkan cinta bersama suaminya.
Akhirnya ku temui jawaban bahwa Awsya yang selama ini ku pasrahkan di dalam doa… ternyata aku harus merelakannya untuk bahagia bersama lelaki pilihannya.
Akhirnya ku temui jawabannya bahwa sejak SMA, aku hanya jatuh cinta sendirian saja. Sebaliknya, Awsya tidak pernah merasakan hal yang sama.
Dan akhirnya aku tahu bahwa semua canda tawa dan rasa nyaman yang hadir… itu semua hanya sebatas hubungan pertemanan. Awsya dan aku hanya ditakdirkan untuk menjadi teman saja.
Pada akhirnya aku tahu, aku tak pernah bisa menjalani sisa kehidupan bersama Awsya.
Sabtu merupakan jawaban di mana aku harus memilih di antara dua pilihan; menulis ujung kisah cintaku dengan kesedihan atau dengan kebahagiaan. Setelah ku ingat-ingat kembali, diriku sadar bahwa pilihan terbaik untuk merelakan Awsya adalah dengan memberinya senyuman tulus sebagai tanda perpisahan; baik aku dan dirinya takkan pernah tersenyum dengan cara yang sama lagi setelah ia menikah dan setelah aku harus memendam rasa cinta ini di dasar hati selamanya.
“Impian terbesarku adalah melihat Awsya bahagia. Kini, ia sudah bahagia maka berarti impianku sudah terwujud walaupun kebahagiaannya bukan bersamaku.”
Jika ada satu penyesalan, itu adalah aku yang tak pernah mengungkapkan cinta kepada Awsya.
Jika ada rasa tulus, itu adalah aku yang tak pernah menyesal pernah jatuh hati terhadap Awsya.
Dan, semua kejadian memilukan ini terjadi di hari sabtu. Akan tetapi, aku tidak suka menulis novel yang ber-ending sedih. Aku lebih suka menulisnya dengan ujung bahagia. Oleh karena itu, meskipun novel yang berjudul Hari Sabtu ini punya alur kisah memilukan, aku punya pilihan untuk merombak ujungnya agar menjadi salah satu bagian terindah agar semua kesedihan dapat terhibur.
Begitulah caraku merelakan Awsya… ku lakukan sebisanya sampai detik ini sebagaimana pesan kakanya, Wiranda Sari.
Hari Sabtu pernah membawaku kesan indah hingga aku jatuh cinta, meski begitu Sabtu juga pernah memberiku realita pilu.
Aku pernah jatuh cinta terhadap Sabtu karena Awsya.
Aku bahkan sempat putus asa kepada Sabtu, tapi untuk ini aku tak ingin mengaitkannya dengan Awsya.
Kenapa?
Karena sudah ku putuskan bahwa aku hanya ingin menyimpan kenangan yang baik-baik saja terhadap Awsya. Sedangkan kesan yang sempat membuatku bersedih, ku anggap saja itu sebagai pelajaran hidup. Sebab, selain melihat Awsya bahagia, impian terbesarku yang lainnya adalah aku ingin melihat diriku tangguh menjalani setiap lika-liku kehidupan ini. Dan agar diriku tangguh, aku mesti terluka berkali-kali terlebih dahulu. Sampai kapan? Sampai waktu yang tak terbatas.
Aku tak ingin berhenti di sini, aku akan terus melanjutkannya. Sebagaimana slogan yang pernah ku utarakan kepada Awsya secara tersirat, “aku yang akan melanjutkannya”. Slogan yang pernah ku kirim untuknya sebagai bentuk dukungan saat ia terpuruk — slogan tersirat di mana Awsya tak pernah tahu bahwa aku selalu berdiri di belakangnya, mendukungnya setiap saat ia butuh.
Kini, slogan itu akan ku jadikan salah satu pedoman hidup agar aku tak menyerah menghadapi segala hambatan yang mungkin nanti akan kembali ku hadapi.
“Dan slogan ini ku jadikan acuan agar aku tak pernah takut untuk jatuh cinta lagi, meski sekarang ku rasakan seperti ada sesuatu yang mati — mati rasa untuk jatuh cinta.”
Tapi itu ku anggap wajar. Aku tahu, butuh waktu untuk pulih dari kenangan Awsya… apalagi dari realita dirinya yang sudah menikah.
Dan aku paham bahwa tak ada satu pun dari kenangan kami yang bisa ku lupakan, maka satu-satunya cara adalah mengikhlaskan Awsya… ikhlaskan Awsya yang sudah menikah, semua semata-mata karena Allah bukan karena hal lainnya. Setidaknya itulah yang dipesankan oleh kakak Awsya, Wiranda Sari.
Sabtu pernah membawaku menatap sisi keindahan Awsya. Sabtu juga pernah menyatakan sebuah kenyataan berat saat memperlihatkan Awsya menikah dengan lelaki pilihannya. Dan kini, Sabtu sedang mengajariku untuk bangkit dari keterpurukan.
Begitulah hari Sabtu; ia adalah hari yang bertanggung jawab. Setelah memberi semua kenangan pahit manis bersama Awsya, Sabtu tidak meninggalkanku begitu saja. Sekarang, dia sedang berusaha memberi secercah harapan agar aku dapat kembali bangkit dan jatuh cinta lagi. Barangkali, kini Sabtu sedang berusaha membawaku kepada wanita yang tepat.
“Mungkin saja Sabtu sedang men-settle hari terbaik agar aku mendapatkan wanita idaman tepat dalam pelukannya (Sabtu).”
Meski demikian, ini semua adalah skenario Allah. Dan karena hal itu, aku tak perlu khawatir lagi untuk apa yang akan terjadi selanjutnya.
Ditulis pada:
Sabtu, 17 Juni 2023