TOLONG…!

Reza Fahlevi
10 min readOct 9, 2021
Foto: pexels.com

"Aku sudah mencoba... berulang kali... berulang kali... ber-ulang-ulang kali. Tolong, jangan kotori aku. Ku mohon..."

Pukul 8 pagi...

“Ginny... Ginny...”

Tok tok tok

Mama Ginny mengetuk-ngetuk pintu kamar anak gadisnya yang sedari kemarin maghrib mengurung diri di sana. Sepulangnya dari sekolah dengan berurai air mata, bungkam dan tidak berkata apa-apa. Membuat mama khawatir.

Memang Ginny sempat mengeluh pusing tepat dirinya tiba di rumah.

"Masih pusing gak kepalanya...?"

Lama ia tak menyahut sampai beberapa detik kemudian, Ginny membuka pintu.

"Kamu kenapa, nak...?"

Mama panik melihat kelopak mata anaknya yang bengkak. Sepertinya ia baru saja menangis. Dan Ginny diam membisu hingga kekhawatiran sang mama semakin menggebu. Ia lalu memeluk erat putrinya.

"Mama di sini... iya, kamu ada di pelukan mama sekarang."

Seketika Ginny meluapkan air mata, menetes deras begitu saja seakan melampiaskan sebuah bentuk rasa dari dalam hatinya. Ia membalas dekapan mama dengan sangat-sangat erat.

"Maa, Maaf... Ginny minta maaf..."

Ting ting ting

Suara piring silih bersautan. Suasana sarapan tak seramai biasanya. Wajah muram terlihat jelas pada sosok Ginny. Matanya yang merah seakan menjelaskan perasaan batinnya, bahwa gadis ini sedang tidak baik-baik saja.

Merenung, Ginny mengabaikan nasi goreng buatan mama.

"Ginny, nanti nasinya keburu dingin..." kata mama yang biasa dipanggil mama Hanum.

Ia tidak bergerak dan tak ada tanda-tanda akan melahap nasi itu. Mama Hanum lalu mendekat dan meletakkan tangannya di atas tangan putrinya. Ia genggam tangan Ginny yang lebih putih dari dirinya.

"Udah dua kali... Arnold betul-betul keterlaluan. Ginny... takut maa."

Wanita ini mulai membuka diri.

"Kamu jangan ngerasa bersalah gitu. Semuanya bukan salah kamu. Dan, jangan takut, kan mama ada di sini."

"Kalo aja ayah masih ada, pasti beliau bakal marah banget.."

Mama Hanum tersenyum. Dalam hati ia bergumam, memang ayahnya Ginny pasti akan begitu marah melihat anaknya diperlakukan semena-mena. Apalagi oleh laki-laki.

Persis ketika Ginny masih duduk di bangku SMP. Ia pernah mendapat perlakuan buruk dari beberapa laki-laki. Mereka sering mengejek tubuh wanita ini karena terlalu kurus bagi mereka. Meskipun begitu, Ginny beruntung sebab ia dianugerahi paras yang cantik. Tapi sayang, kecantikan itu malah menjadi momok menakutkan baginya.

"Ginny, ke itu cantik, apalagi bibir ke. Sayang kalo cantik doang tapi gak punya pacar. Aku mau jadi pacar ke, biar tiap hari aku cium-cium bibir itu..."

"Ke tu kurus, tapi punya bibir menggoda. Sini aku sedot. Pasti ke suka..."

Perkataan nyeleneh dan sangat melecehkan. Ginny benar-benar benci mendengarnya. Ia mengadu ke ayah yang besoknya langsung menemui laki-laki yang menggoda putrinya.

Dan kejadian itu telah berulang kali menimpa Ginny, bahkan sampai di SMA pun, perlakuan hina itu tak bisa dielak begitu saja.

Baru-baru ini, ia dilecehkan oleh teman sekelasnya sendiri, Arnold. Lelaki ini memang dikenal sebagai cowok playboy. Sering menggoda perempuan, mulai dari teman sekelas, adik leting bahkan pun kakak-kakak senior.

Gonta-ganti pacar juga sesuatu yang biasa saja baginya. Hari ini putus besok langsung jadian dengan cewek lain. Padahal, hampir satu sekolah tahu karakter sebenarnya dari laki-laki ini. Tapi entah mengapa, tak sedikit perempuan malah terhipnotis terhadap iming-iming cintanya.

Playboy adalah sifat yang sudah mendarah daging. Arnold tampil begitu percaya diri untuk berusaha mendapatkan wanita yang diidamkannya. Saat ia berhasil memikat hati seorang cewek, beberapa minggu kemudian Arnold langsung memutuskan pacarnya. Alasannya sederhana, sebab ia bosan.

Menggoda wanita pun menjadi salah satu pekerjaannya. Bermodal tampang yang memang rupawan bagi kebanyakan cewek di SMA Negeri 18 Lam Angan, seakan membuat dirinya sesukanya saja menggoda cewek.

Beberapa teman wanita Arnold risih dengan kehadirannya, tak terkecuali Ginny. Lelaki itu pernah mengatakan sesuatu yang tak pantas kepada wanita tersebut. Dengan candaan, seakan dirinya tak berdosa setelah mengutarakan perkataannya tepat di hadapan Ginny.

Rasa marah benar-benar menyelimuti gadis ini. Tapi ia memilih diam saja. Ya, Ginny tak bisa lagi mengadu nasib sejak ayahnya meninggal setahun yang lalu. Takut juga menjadi salah satu alasannya. Bahkan, jika pun ia melaporkan perbuatan Arnold, para guru di sekolah itu tidak pernah bertindak apapun. Itu dikarenakan, kepala sekolah di SMA tersebut, adalah ayah Arnold sendiri. Maka guru-guru tak ada yang berani menegur anak laki-laki itu.

Yang parahnya adalah di hari senin kemarin. SMAN 10 ini mewajibkan siswa-siswi pulang jam 5 sore setiap senin sampai kamis. Tepat setelah bel berbunyi, teman sekelas Ginny pada bergegas pulang. Ia tinggal di situ karena esok harinya adalah gilirannya piket, sebagai petugas bersih-bersih di kelas.

Agar besok paginya ia tidak terburu-buru membersihkan kelas, maka sepulang sekolah Ginny selalu menyapu dulu, merapikan meja-kursi, mengisi ulang tinta spidol apabila sudah hampir habis.

Saat Ginny sedang melakukan tugasnya, tiba-tiba Arnold datang dan memeluk gadis ini dari belakang.

"Jangan menjerit, atau ke aku lapor ayah..." ancam lelaki itu.

Tak punya pilihan, Ginny, dengan tubuh yang semakin gemetar terpaksa diam saja. Beberapa detik berselang, tangan Arnold mulai liar dan menyentuh payudaranya dari belakang.

Spontan gadis ini menjerit, Arnold langsung memisahkan dirinya dari Ginny.

"Rataa..." gumamnya sambil tertawa.

Ginny dengan cepat berlari ke sudut belakang kelas. Sapu yang tadinya ada di tangan, terlepas begitu saja. Melihat gadis itu panik dan mulai berkaca-kaca, Arnold bergegas keluar.

"Yoo, itu tandanya harus sering diremas-remas biar besar..." ujar Arnold dari luar kelas.

Ginny berlutut dan menangis. Ia tak pernah menyangka akan mendapat sebuah pelecehan seperti itu oleh teman sekelasnya sendiri. Lama dirinya menumpahkan tetesan air mata, hingga setengah jam kemudian, dengan napas yang terasa sesak karena ia menangis dalam diam, Ginny akhirnya pulang.

Kelas yang seharusnya sudah siap ia bersihkan dalam waktu dua puluh menit, tapi Ginny tak menghiraukan itu lagi. Pikirannya buyar, hatinya takut, jantungnya berdebar tak karuan. Hanya mama yang ada dalam benaknya.

Tiba di rumah, Ginny buru-buru masuk ke kamar, mencampak tas ungu di lantai, dan merebahkan tubuhnya di tempat tidur dalam balutan selimut. Ia tiba-tiba menggigil dan pusing. Perutnya juga terasa sangat mual, seakan ingin memuntahkan apa saja. Sepanjang malam Ginny hanya menangis.

Seminggu Ginny tidak bersekolah. Trauma yang timbul di dalam dirinya, membuat gadis ini takut untuk keluar rumah. Ia menghabiskan waktu dengan membaca buku atau artikel-artikel online yang diunduhnya.

Namun, berkat dorongan dari sang mama, Ginny akhirnya memberanikan diri untuk kembali ke sekolah. Dan tepat setelah upacara, ia langsung dihampiri oleh wali kelas sebab ke-alpaannya.

Di ruangan BK, ia mengutarakan alasannya kepada bu Risma, wali kelasnya. Tapi percuma, beliau tak dapat bertindak semena-mena, mengingat ayah Arnold adalah kepala sekolah di situ.

Tak menemui titik temu, Ginny pun diminta untuk kembali ke kelas dan menganggap semua tidak terjadi apa-apa walaupun nanti dia akan bersua lagi dengan lelaki bejat itu.

Di kelas, Ginny hanya diam saja sedangkan teman-temannya terus melirik kepada gadis ini yang baru kelihatan lagi setelah seminggu lamanya.

Dua meja berselang dari tempat Ginny duduk, Arnold mengambil hape dan mengirim pesan Whatsapp untuk gadis itu.

"Gimana, udah mulai tumbuh tuh buah...?"

Pesan itu diakhiri dengan emoticon tawa air mata. Pertanda ia membahak sampai berurai air mata terkait perbuatannya kepada Ginny seminggu lalu.

Wanita ini awalnya terkejut, tapi kemudian ia menarik napas dalam-dalam, lalu mengabaikan pesan Arnold, dan mematikan hape-nya.

Pelajaran pertama adalah Pendidikan Agama Islam. Ginny mencoba merasakan kehadiran mamanya di dalam kelas, matanya kembali berkaca-kaca. Akan tetapi, tak ada satu pun yang peka, semua berjalan biasa-biasa saja di tengah kondisi batin Ginny yang bercampur aduk.

Kriiing... kriing... kriiing...

Pukul 10.20

Waktu istirahat tiba, semua langsung memburu ke kantin kecuali Ginny. Ia tetap di sana sambil memegang pena bertinta pink. Mencoba menenangkan diri, beberapa menit kemudian,

"Gin, gak ke kantin?" Tanya Tari. Ia adalah siswi dari kelas sebelah. Dulu saat masih kelas satu, mereka satu ruang, sekarang sudah tidak. Pertemanan mereka dekat sejak pertama kali berkenalan di sekolah itu.

Ginny menjawab pertanyaan kerabatnya dengan gelengan kepala. Tau ada sedikit keanehan, Tari mendekat dan duduk di sebelah gadis itu.

"Kenapa?" Tanyanya.

Ginny tetap membisu, lagi-lagi menitikkan air mata.

Tari mendekap kepala Ginny ke dalam pelukannya. Walaupun ia tak tahu apa yang sebenarnya terjadi pada gadis ini, setidaknya, gerak-gerik dan raut wajah temannya itu cukup memberi kode bahwa ada satu hal yang membuatnya tak dapat berkata-kata.

Baammm...

Kedua perempuan itu terkejut, tiba-tiba saja Arnold datang dan memukuli meja. Ia tak sendirian, ada Xerdan bersamanya.

"Yoo, mau bagi-bagi kebaikan?" Tanya Arnold ke Xerdan.

"Mau lah..." sobatnya mengumbar senyuman nakal.

"Yoklah, bantu dia biar buahnya gak rata lagi..."

"Ooo pasti. Mau cara cepat atau pelan-pelan?" Xerdan mendekat ke Ginny.

Tari mencoba melindungi temannya, tapi seketika ia juga merasa terancam.

Dan di luar dugaan, Arnold sudah duduk satu kursi dengan Ginny. Ia mengulang aksi bejat itu. Sedangkan ketakutan Tari benar-benar terjadi.

"Apa-apaan ke Xer... jangan macam-macam..." suara Tari memuncak bersamaan dengan tangan Xerdan menyentuh dada wanita itu.

"Buah yang udah besar harus dipadatin, supaya lebih menggoda..." ia tertawa.

"Yang ini malah prosesnya lebih lama, harus dibesarin dulu." Sahut Arnold.

"Gini enak kan...?" ujarnya lagi.

Ginny tak kuasa, ia berusaha memisahkan diri. Dan jeritan Tari mengubah segalanya. Perlakuan Xerdan benar-benar membuat perempuan itu marah. Ia menjambak lelaki berambut pirang itu hingga dirinya terpental ke lantai.

Tak terima, Xerdan mulai naik darah. Tamparan keras tiga kali mendarat di pipi Tari, membuat wanita ini oleng. Kepalanya tersungkur meja dan seketika tak sadarkan diri.

Ginny semakin panik melihat sahabatnya, belum lagi aksi kotor Arnold yang kini malah sangat keterlaluan. Ia membuka zipper seragam gadis ini, kemudian membuka tali dalaman yang dikenakan perempuan itu secara paksa.

Ia semakin leluasa. Namun Ginny mulai lepas kendali. Menjerit, melawan, sampai mengantuk-antukkan kepala mereka. Merasa risih, Arnold melepas diri, tapi waktu sudah terlambat.

Tab...

Ginny menancapkan pulpen ke perut Arnold yang sejak tadi dipegangnya. Ia tak bisa lagi mengontrol emosi, berkali-kali pena tersebut melukai lelaki itu. Seragam sekolah yang tadinya putih bersih, kini berlumuran darah. Anak kepala sekolah itu spontan menekuk, kedua tangan terus memegangi perut.

Mata Ginny memperlihatkan bara api. Ia tahu, Tari kini sudah berada dalam kondisi lemah. Lirikan gadis ini lurus tertuju pada Xerdan. Napasnya kian memburu, lelaki itu juga mulai ketakutan.

Saat hendak kabur dari jendela, Ginny sigap menghampirinya dari belakang, dan...

"Aaaakkkhhhh..."

Alat tulis tadi menusuk sempurna punggung Xerdan.

Tak cukup sampai di situ, seakan kesadaran Ginny telah direnggut oleh iblis, ia membenturkan kepala anak itu ke kaca jendela. Seketika kacanya pecah dan kepala Xerdan berdarah hebat.

"Aaaaaaaaaaaaaa....."

Ginny menjerit histeris.

Guru dan siswa lainnya langsung berdatangan. Mereka disuguhi oleh kejadian yang sangat mengerikan. Bu Risma, orang pertama yang tiba, melihat dengan mata kepalanya; Arnold dan Xerdan terbaring sekarst di lantai, Tari yang tak sadarkan diri, juga Ginny yang berlutut menutupi wajahnya. Bercak darah cukup mengejutkan semua mata yang bersaksi. Sungguh kejadian yang sangat gila

Xerdan dan Arnold langsung dilarikan ke rumah sakit. Tari di bawa ke ruang UKS, karena tak lama setelah itu ia sudah siuman. Sedangkan Ginny, di bawa ke ruang kepala sekolah.

Tapi, perlawanan yang ia lakukan, serta jeritan yang tak henti-henti mengaum, gadis ini akhirnya dibawa ke kantor polisi. Di sana, ia dikurung dalam ruang interogasi. Tiga polisi; satu pria dan dua wanita, serta empat orang ahli tenaga medis kejiwaan, turut bersama Ginny.

Tak lama kemudian, mama Ginny tiba dan memeluk anak semata wayangnya ini. Tangisan, meluap deras begitu saja.

Lima bulan kemudian

"Yah, ma, Ginny anak yang baik, kan...? Ginny gak salah, kan...? Hmmmm"

Bingkai foto keluarga berada dalam genggaman. Bibirnya tersenyum, rambutnya acak-acakan, wajahnya pucat, dan kelopak matanya terus saja membengkak. Jiwa Ginny sudah terganggu.

Di depan jendela kamarnya, ia berdiri seorang diri, mulai berhalusinasi, berbicara sendiri, tertawa bahkan tak jarang menjerit-jerit. Kejadian di sekolah pada waktu itu mengubah total pribadi Ginny. Tekanan batin yang tak terkontol, depresi hingga trauma, memupuskan harapan hidup gadis ini.

Bahkan, sebulan setelah Ginny menikam Arnold dan Xerdan, ia dikeluarkan dari sekolah. Ayah Arnold beranggapan bahwa mereka adalah korban, maka keduanya terbebas dari segala hukuman dan tetap bersekolah seperti biasa.

Jelas tak ada rasa berdosa sedikitpun pada diri mereka. Dan sikap keduanya juga masih tetap sama.

Ginny, awalnya akan ditahan. Tapi Tari berani bersaksi bahwa temannya itu merupakan korban dan harus dilindungi, para polisi memilih untuk membawa gadis itu ke rumah sakit jiwa.

Namun, mama Hanum tak kuasa melihat Ginny terpenjara di sana. Dengan segala usaha, ia meminta agar dapat membawa pulang putrinya. Ibu ini yakin, hanya dia seorang yang dapat memulihkan Ginny.

Maka Ginny menetap di rumah. Setiap pagi dan sore mama merawat putrinya; memandikan juga menyuapi makan. Mama selalu berusaha berbicara dengan Ginny walaupun ia tak pernah merespon. Foto keluarga terus berada dalam dekapan. Ia juga tak pernah berhenti bergumam hal yang sama... setiap harinya,

"Yah, ma, Ginny anak yang baik, kan...? Ginny gak salah, kan...?"

Ginny adalah bunga matahari yang telah layu, senja yang redup, dan seorang gadis yang luluh. Ia hancur, remuk, hatinya terkoyak-koyak. Dunia terasa keras dan berlaku tak adil padanya. Semua itu mengubah jati diri wanita ini. Bahkan pun, waktu belum juga memberi jawaban, kapan Ginny akan pulih dan menjalani kehidupan normal lagi.

Hanya doa yang tak pernah putus dipanjatkan oleh mama. Ia yakin, kasih sayang Tuhan lebih besar. Itulah... harapan tersisa untuk terus percaya bahwa penderitaan anaknya Ginny, akan berakhir.

Meskipun nanti, semuanya tak akan lagi sama.

"Yah, ma, Ginny anak yang baik, kan...? Iya kan... iyaaa kaann... kok gak dijawab sih...?"

— //—

Pelecehan seksual dapat terjadi kepada siapapun; wanita atau pria, tak kenal batasan usia. Perbuatan kotor ini dapat menimbulkan luka fisik dan batin kepada setiap korban, meninggalkan bekas luka yang sulit untuk disembuhkan. Cerpen ini semata-mata ditulis untuk mengingatkan para pembaca dan penulis sendiri untuk membuka pikiran serta perasaan, bahwa mereka, para korban pelecehan seksual, tidak hanya terluka dari fisik, tapi juga terluka dari dalam.

Dan kepada siapapun yang ada di luar sana, sekiranya dapat menjadi pribadi bijak dan mengontrol diri perihal hasrat seks. Kita adalah manusia yang oleh Tuhan dianugerahi akal dan hati nurani. Apabila tak mampu hidup dengan meninggalkan banyak manfaat, maka sekurang-kurangnya jangan hidup dengan meninggalkan jutaan luka kepada orang lain. Kebaikan akan dibalas dengan kebaikan, begitupun sebaliknya.

Mereka yang pernah menjadi korban, atau siapa saja yang sedang berusaha bertahan hidup di balik pelecehan-pelecehan yang terjadi, semoga Tuhan memberi perlindungan-Nya. Hanya harapan terbaik dari penulis untuk para korban, semoga dapat menjalani hidup dengan normal. Jangan pernah menyerah!!!

“Wanita adalah anugerah terindah yang dititipkan Tuhan — simbol dari lemah lembut — simbol keindahan — simbol kekuatan…”

Breaking Reza

--

--