Tetap Menulis
Belakangan ini, Medium saya dipenuhi dengan puisi. Ya, saya mulai rutin menulis puisi sejak dua bulan yang lalu setelah sebelumnya banyak menulis kisah-kisah fiksi dalam bentuk cerpen. Sebenarnya, menulis puisi bukan hal baru bagi saya — meskipun juga saya tidak menganggap diri hebat menulis puisi. Hanya saja, ketika awal-awal saya menulis di Medium, saya sering menulis puisi. Jadi, bisa dibilang selama dua bulan ini saya seperti kembali ke habitatnya.
Sebenarnya, di Medium ini saya lebih suka menulis cerita fiksi, seperti cerpen atau cerita bersambung. Ada banyak ide di dalam kepala tentang alur-alur cerita fiksi. Terkadang, saat saya sedang ngopi santai, seketika ide datang. Sementara saya tidak sedang bersama laptop. Maka, solusi terbaik agar ide tidak sia-sia adalah menulis menggunakan ponsel. Dan, Medium menjadi sarana yang cukup efektif bagi saya yang ketika mendapat ide mendadak saat ngopi, saya tidak perlu pusing-pusing mengambil laptop di rumah karena bisa langsung menulis melalui ponsel.
Sejauh saya menulis, saya merasa sekarang ini lebih mudah menulis cerpen atau cerbung ketimbang puisi. Jujur saja, saya sebenarnya sudah buntu menulis puisi karena merasa setiap kata yang saya pakai hanya itu-itu saja. Namun demikian, hal itu tidak boleh menjadi alasan saya berhenti berpuisi. Saya tetap berusaha agar mampu menulis puisi dan menemukan gaya baru bersama dengan tema-tema yang belum pernah saya tulis. Maka, jadilah selama dalam kurun dua bulan ini, saya cukup rutin menulis puisi dan bahkan sama sekali tidak pernah menulis cerpen atau cerbung lagi.
Sebenarnya, saya bukan tidak lagi menulis cerpen atau cerbung dan mulai beralih fokus membuat puisi. Saya rutin menampilkan puisi di Medium ini karena selama ini saya sedang sibuk menulis novel. Lantas, apa hubungannya? Tak ada hubungannya sih … tapi tetap berhubungan. Begitulah kira-kira jawabannya.
Jadi, setelah berhasil merampungkan novel pertama saat mengikuti lomba menulis novel yang diadakan oleh USK Press (penerbit dari kampus Universitas Syiah Kuala), saya menjadi tertarik untuk membuat novel kedua. Seperti ada rasa candu, saya tidak ingin berhenti menulis novel sebab terlalu banyak ide yang sayang jika tidak ditulis. Saya mulai berpikir, daripada terlalu sering menulis cerpen atau cerbung yang alurnya barangkali agak terbatas, saya pun tertarik untuk menulis novel sebab alurnya bisa saya panjangkan dan memiliki opsi untuk menghadirkan plot twist yang lebih menarik. Oleh sebab itu saya beralih menulis novel dan untuk sesaat berhenti menampilkan cerpen atau cerbung.
Di sisi lain, selama satu bulan saya menulis novel, akun Medium saya pun ikut libur alias tidak ada satu tulisan pun yang saya terbitkan. Maka, supaya aktif, saya pun kembali merutinkan aktivitas merangkai puisi. Semua agar akun Medium saya tidak kosong seperti rumah yang sudah tidak dihuni lagi.
Lalu pertanyaannya kenapa tidak menulis cerpen saja? Kenapa harus menulis puisi di Medium? Jawabannya karena saya tidak mampu membagi ide antara menulis cerpen dan mengarang novel. Saya hanya tak ingin mengganggu ide-ide novel yang sudah terkumpul di dalam kepala. Jika saya tetap menulis cerpen, takutnya fokus saya kembali beralih ke situ dan mengabaikan novel. Maka dari itu, saya memutuskan menampilkan puisi-puisi di Medium ini
Lantas, apakah menulis puisi tidak terganggu dengan aktivitas menulis novel? Dari saya pribadi, saya sama sekali tidak terganggu. Malahan, setiap saat saya buntu ide di novel, saya merangkai puisi dan setelahnya ide itu kembali lagi. Jadi bisa dibilang, menulis puisi itu juga merupakan bentuk me-refresh diri sendiri.
Alasan lain kenapa saya mulai kembali sering menulis puisi di Medium adalah agar akun saya tidak kosong tulisan. Saya sempat vakum menulis di Medium selama beberapa bulan sejak mulai fokus menulis novel. Lantas, saya mencari cara supaya akun Medium saya tidak terlihat seperti akun mati. Dan, cara terbaik yang telah saya temui adalah menulis puisi.
Sejak beberapa bulan belakangan ini, persentase statistik viewers di Medium saya meningkat. Meningkatnya persentase itu mungkin berkat saya yang dulu tetap konsisten menulis. Selain peningkatan viewers, angka followers pun juga bertambah. Jadi, sangat disayangkan di saat persentase statistik itu meningkat, saya malah vakum menulis hanya karena sedang fokus mempersiapkan novel.
Kesibukan apa pun tak ingin saya jadikan alasan untuk tidak menulis. Meskipun saya mengakui bahwa tingkat konsistensi menulis saya masih belum cukup sebanding dengan Kanda Ivan Lanin yang mampu menulis setiap hari tanpa henti, tapi saya terus mencoba untuk meningkatkan diri. Motivasi ini tentu saja datang dari Kanda Ivan dan penulis-penulis lainnya yang cukup aktif di Medium. Saya menjadikan mereka acuan agar sesibuk apa pun, menulis tetap tidak boleh diabaikan.
Jadi, walaupun sekarang saya sedang fokus menyelesaikan bab-bab di dalam novel, saya tetap berusaha menulis di Medium juga. Saya temukan cara terbaik agar proses pembuatan novel tidak terganggu, yaitu merangkai puisi ketimbang memaksakan diri meracik cerpen atau cerbung yang mana mungkin dapat mengganggu keberlangsungan pembuatan novel saya.
Lantas, apakah sebenarnya saya hanya sibuk membuat novel dan sesekali menulis puisi di Medium? Tidak juga. Saya membagi waktu antara menulis dan mengajar. Ya, aktivitas lain yang saya lakukan selain menulis adalah mengajar, baik di sekolah maupun di tempat private course. Akan tetapi, itu semua saya usahakan agar tidak mengganggu jadwal menulis sebab menulis itu buka perkara mudah — butuh konsenterasi penuh. Dan, apabila menulis novel, maka dibutuhkan imajinasi untuk menuntaskannya. Dengan kesibukan-kesibukan itu, saya mampu membagi jadwal sehingga kegiatan menulis dan mengajar tidak terganggu. Pada akhirnya, saya bisa mengajar dengan baik di sekolah atau di tempat les, dan juga saya masih punya waktu untuk menulis novel atau merangkai puisi di Medium ini.
Nah, bagi anda semua yang suka menulis, saya percaya bahwa akan ada waktu di mana kita merasa jenuh dan tak mampu menuangkan kata per katanya meskipun ada sejuta ide di dalam kepala. Itu wajar terjadi dan saya pun juga mengalaminya beberapa kali. Hanya saja, kejenuhan kita jangan dijadikan sebagai jalan buntu. Cari jalan keluarnya agar proses menulis tetap bisa berjalan. Walaupun tidak bisa konsisten menulis setiap hari, paling tidak dua hari sekali, tiga hari sekali, atau seminggu sekali kita harus menulis. Kenapa? Karena menulis itu seperti kita belajar bahasa asing. Semakin sering kita lakukan, semakin hebat kita. Sebaliknya, semakin jarang kita praktikkan, semakin hilang pula keahlian kita.
Saya membunuh rasa jenuh di dalam kepala setiap saat menulis, dengan cara menulis tentang lainnya seperti berpuisi. Nah, kalau anda bagaimana? Hanya anda yang tahu jawabannya. Yang terpenting adalah jika anda menyukai menulis, maka jangan pernah berhenti menulis sekalipun merasa diri jenuh dan buntu ide. Tetaplah menulis walaupun susunan katanya amburadul. Nanti, akan ada waktunya tulisan kita menjadi sangat digemari untuk dibaca.
Begitulah diri saya yang tetap berusaha menulis di Medium meskipun sedang sibuk meracik novel atau mengajar di sekolah. Sejak saya mengenal orang-orang hebat di sini, saya menjadi termotivsi untuk terus menulis dan menerbitkan tulisan baru di Medium, walaupun hanya sebatas puisi. Tapi, tulisan kita adalah karya — bahkan mahakarya — dia akan menjadi saksi betapa hebatnya kita merangkai setiap kata hingga orang yang membacanya seakan-akan merasakan emosi kita ketika sedang menulis.
Maka, jangan berhenti menulis. Tuangkan semua isi kepala anda — tuangkan semua emosi yang ada di dalam batin. Kita adalah penulis yang Insya Allah akan menjadi hebat seperti penulis-penulis lainnya. Dan jangan lupa juga, teruslah belajar dari penulis-penulis lain, salah satunya dari Kanda Ivan Lanin . Beliau secara tidak langsung telah mengajarkan saya melalui tulisan-tulisannya, terutama dalam hal konsistensi menulis.