Tentangnya (Lagi)
“Hati yang remuk. Wajah yang menangis. Langkah membekasi luka”
Foto: pexels.com
Waktu berjalan satu tahun. Hery kembali ke tempat yang sama, merasakan kenangan yang serupa pula.
Di bawah lentera malam, bersama kesejukannya. Tepat di ujung bulan Februari, di angka 29, seharusnya terungkapkan apa yang terbelenggu.
Ada alunan puisi menemani. Ada irama suara terdengar. Kelap kelip lampu berwarna, menghiasi sudut-sudut cafeteria.
Mereka semua duduk dan menikmati… berjalannya malam sesuai selera.
Beberapa bercerita, tertawa — bersama perasaan hati.
Ada yang mendekat duduknya, sebab malam minggu bagaikan romantisme yang dirindukan.
Tapi, sedikit saja yang terhanyut dalam bait-bait sajak.
Tak peduli lagi,
Sebab niatnya hadir adalah untuk bertemu seorang wanita yang ia kejar cintanya… meskipun masih saja bertepuk sebelah tangan.
Keinginannya adalah untuk menatap wanita yang dianggapnya sebagai simbol kesyahduan, sebab terasa begitu teduh ketika ia menatap bola mata wanita itu.
Secercah cahaya yang menerobos hati jauh di sana, masih terasa hampa karna…
karna tak ada rasa yang sama di antaranya dan wanita itu.
Cinta yang terlanjur terungkap sejak empat tahun yang lalu, sirna karna pintunya tak kunjung terbuka.
Memaksa diri untuk terus membuktikan mawar miliknya kian merah ketika bersama wanita itu, tapi yang satunya hanya memudar menjadi abu-abu. Karna, cinta yang berbeda haluan.
Tapi puisi itu tetap terungkap dari bibirnya, hingga ku bertanya…
“Hery, apa yang ingin kau tunjukkan padanya?”
Malam puisi…
Saksi bagaimana ia mencoba membuktikan cinta kepada wanita yang selalu ia panggil namanya…
“Ika…”
Malam puisi, adalah tempat di mana hanya ada raut kekecewaan yang terhantar jelas dari senyuman di wajah Ika.
Tepat di malam puisi itu, ia menangis dan menyesali satu kesalahan fatal yang telah terjadi… antara dirinya dan Ika.
Di situlah, di persimpangan itulah, perpisahan yang sebenarnya, membentang jarak yang cukup jauh. Hanya karna ada cinta berlapis obsesi pada Hery.
Dan di malam puisi itu, Hery tak lagi mengenal jati dirinya. Terlepas begitu saja sebab kini ada benci yang hadir di balik hati Ika.
Depresi, tertekan, merasa bersalah.
Semua bersatu dan meremukkan hati seorang lelaki. Hingga muncullah trauma yang berlebihan dikarnakan ada rasa takut yang bergejolak. Meruntuhkan kekokohan laju langkahnya. Dan… terbitlah kemudian sebuah fobia yang kini terus menerus menghantui lamunannya.
“Ika kecewa, karna aku telah melakukan kesalahan fatal terhadapnya.”
“Ika marah… itu semua karna aku.”
“Dan kekecewaannya, berlabuh tepat di batinku, hingga aku seperti harus menghukum diri sebagai penebus dosa terhadap dirinya.”
Lalu… terukirlah ribuan maaf; terkirimlah air mata penyesalan dalam lantunan ayat-ayat suci. Entah keduanya itu sampai dalam mimpinya Ika, atau malah tersesat dibawa arus angin yang tak menentu.
Ada cerita air mata batin. Ada kisah cinta yang rumit. Saat seorang lelaki menganggap diri dia benar-benar tulus, di saat itulah obsesinya muncul untuk menyukai apa yang wanita itu sukai.
Luka yang terbit adalah pelajaran hidup.
Tangisan yang menitik, adalah pelampiasan.
Penyesalan yang menghantui, adalah dosa yang seharusnya tak pernah terjadi.
Tapi… bukankah semua itu sudah terjadi???
“Hery, kuatkan hati karna kau seorang diri di sini. Hampa yang kau takuti kini menjadi teman hidup yang kau sendiri harus berjuang melepasnya jauh-jauh.”
Tepat di angka lima bulan Maret 2021, membawanya kepada Kala Berdua, melihat masa lalu; bagaimana ia mati-matian mengejar Ika yang berakhir dengan kekecewaan mendalam.
Jangan dibayangkan kenapa ada satu momen yang harus menjadi seperti ini. Sedangkan takdir telah berada di sisi untuk dijalani dengan resiko yang seharusnya dia pahami.
Hery, ku ibaratkan sebagai lelaki yang patah. Terpisah dia dan bayangan putihnya. Tertekan batinnya karna kesalahan terhadap Ika. Menjadi lelaki yang harus menghadapi fobia baru.
Tapi… itu sudah berlalu.
Sekarang, meskipun belum sepenuhnya pulih. Hery sudah mampu menyesuaikan diri, memahami maksud tersirat, mengerti akan rasa yang tersembunyi di balik hati Ika.
Ketika ia tahu bahwa semakin wanita itu dikejar, semakin jauh pula dirinya. Maka, sebagai seorang lelaki, Hery memutuskan untuk berhenti. Ia mulai menopang tubuh dengan kaki yang masih gemetaran, mengatur langkah dari awal, serta melahirkan cahaya hatinya yang sudah redup bertahun-tahun.
Dan meskipun masih belum juga mengenali dirinya sendiri, ia tetap mencoba yakin bahwa sosoknya yang telah terpisah di dua samudra berbeda, akan kembali suatu hari nanti.
Tentang Ika yang kini jejaknya telah lenyap, akan tapi wanita inilah yang telah mengajarkan Hery untuk menjadi lelaki sejati.
Di Kala Berdua malam puisi itu berlangsung. Di sana ia menatap Ika untuk yang terakhir kali. Kini, baik Hery atau wanita itu, telah berada di daratan yang berbeda. Jauh dalam jarak, terlalu jauh untuk diharapkan kembali.
Rentang waktu setahun, membawanya kembali ke tempat yang sama. Di Kala Berdua itu, kini Hery hanya menikmati secangkir espresso pahit, sepahit kenangannya bersama wanita yang ia simbolkan sebagai sosok syahdu.
Tapi, ia tak ingin memaksa hati untuk menutup pintu jika sewaktu-waktu, Ika mendengar tangisannya dulu. Adalah kebenciannya yamg hendak ia redam. Itu karna ia yakin, pertemuannya, cintanya serta ungkapan rasanya kepada Ika, adalah ketulusan yang sulit dijelaskan.
“Terkadang ada kenangan yang harus dikubur dalam-dalam agar lenyap bayangannya. Namun sebagian dari ingatan lainnya, harus tetap ada di sisi sebagai pelajaran hidupku untuk menghadapi masa depan yang akan tetap berkelok tiba-tiba di tengah jalan.”
Hery adalah lelaki, mencintai wanita sebab ia telah memilih. Dan karena dia memang yakin rasanya menuju ke sana.
Lalu kemudian, jika rasa telah berlabuh kepada orang yang salah, itulah saatnya untuk belajar. Sebab cinta tidak perlu diutarakan secara terburu-buru.
Di Kala Berdua, di situlah terdapat simbol kesedihan dan juga simbol kebangkitan.
Semua akan baik-baik saja.
Sejauh yang ku tau, Hery masih mampu berjalan dengan kakinya sendiri. Ya… dialah orangnya.
“Karna yang ku lakukan adalah menulis. Akan lebih indah tulisannya jika kau Ika, orang pertama yang membacanya…”
29 Februari 2020
5 Maret 2021
Kala Berdua
Malam Puisi
Pango
Banda Aceh
Aku masih sama, selalu mengharapkan yang terbaik untukmu, di manapun kamu berada. Mungkin… hingga waktunya berakhir nanti. Itulah kebenarannya, Riska Riwana.
— Breaking Reza