Hujan serta terpaan angin memaksa Khalid memburu langkahnya dari parkiran kampus. Jaket hitamnya basah kuyup. Sadar akan hal itu, ia segera melepas diri dengan ikatan tas ransel yang semula berada di punggungnya, lalu melindungi tas itu ke dalam jaketnya. Ia khawatir jika buku-buku di ranselnya kebasahan, apalagi di dalamnya ada laptop. Seakan terjebak dalam guyuran hujan, lelaki ini pun berlari dan akhirnya ia pun sampai di lobi.
“Huft, luar biasa memang”. Gumam Khalid dalam hati.
Sesampainya di sana, ia langsung membuka ransel untuk memastikan isi di dalamnya itu baik-baik saja. Jari jempol serta telunjuk seperti spontan begitu saja bergerak ke sebuah zipper ranselnya.
Sreeekk…
Begitu ransel itu terbuka, syukur semua dalam keadaan aman. Walaupun ada dua buku catatannya yang kebasahan, tapi tidak sampai merusak buku tersebut. Ya meskipun sialnya, satu buku yang menjadi korban adalah diary miliknya. Khalid langsung mengambilnya dan mulai melihat-lihat lembar per lembar. Dari bahasa tubuhnya, diary itu merupakan benda berharga. Terlihat jelas dari mimik wajah laki-laki ini yang panik.
“Untung cuma basah sedikit.” Khalid kembali bergumam sambil menghela napas panjang.
Ia langsung melihat jam di tangannya yang sudah menunjuk pukul sepuluh kurang lima. Sebentar lagi kuliah akan dimulai. Dan Khalid dalam keadaan basah kuyup. Tapi dia memang harus hadir sebab Pak Jufri, dosen matakuliah Linguistik, adalah orang yang tepat waktu. Tak peduli hujan ataupun badai, ia tidak pernah sekalipun meninggalkan kewajibannya mengajar. Terlebih lagi, beliau dikenal sebagai dosen killer di kampus. Tak ada pilihan lain kecuali Khalid harus bergegas ke kelas. Tidak ada alasan ini itu di hadapan Pak Jufri.
Tok tok tok
Khalid mengetuk pintu dan selang beberapa detik ia membukanya…
Kosong!
Tidak ada satupun. Matanya menatap ke sana kemari dan tepat saat ia melihat ke bangku paling belakang, ternyata Pak Jufri sedang duduk santai di sana sambil membaca buku. Beliau sadar dengan kehadiran Khalid.
“Masuk. Tepat waktu walaupun hujan ya…” Kata Pak Jufri.
“Iya pak, lumayan deras juga.”
Khalid langsung masuk dan duduk di kursi paling sudut kanan belakang. Jarak dirinya dengan pak dosen tersebut terpisah oleh enam meja. Ruangan ini memang sangat luas. Total semua dapat menampung sekitar enam puluh kursi serta meja. Entah untuk apa dibuat demikian, padahal jumlah mahasiswa terbanyak yang pernah kuliah di ruangan ini hanya sampai lima belas. Belum lagi terdapat lima AC yang satu terletak tepat di bawah papan tulis di depan kelas. Dua lainnya berada di tengah-tengah ruangan, sebelah kanan dan kiri kelas. Dan sisanya terpampang di belakang. Papan tulisnya juga lumayan besar. Cocok untuk menjadi wadah bagi orang-orang yang menyukai seni Doodle. Dengan ruangan yang terang, dipenuhi beberapa lampu berdaya tinggi, sepertinya tidak akan ada mahasiswa yang ngantuk saat mengikuti kuliah.
Khalid serius dengan diary-nya. Ada satu catatan yang memang sering ia baca. Entah karena memang tulisan itu sangat berkesan atau ada sesuatu yang lain, tapi ia begitu menghayati setiap kata hasil tulisannya. Terkadang ia memejamkan mata, mungkin inilah kenangan yang telah melekat jauh di dalam hatinya. Namun tak lama kemudian Pak Jufri membuyarkan fokus Khalid.
“Kayaknya gak ada tanda-tanda yang lain bakalan datang, udah dua puluh menit juga…”
Khalid terkejut. Benar juga, sudah hampir setengah jam tapi yang lainnya tidak ada yang hadir. Ia melihat pak Jufri berdiri dan menutup buku bacaannya.
“Ada baiknya kita tunda aja kuliah hari ini,” Ujar bapak tersebut sambil menatap Khalid.
Laki-laki ini mengangguk dan bersiap-siap untuk keluar kelas. Namun ia menunggu Pak Jufri keluar terlebih dahalu. Beliau… setapak demi setapak berjalan ke mejanya, membuka ransel dan menaruk buku bacaanya ke situ. Dalam hati Khalid bergumam, tidak biasanya Pak Jufri meng-cancel kuliah. Tapi setidaknya ini sebuah angin segar baginya. Sebab, dua hari yang lalu, beliau sempat memberikan tugas kepada para mahasiswa. Dan hasilnya nanti akan dipresentasikan. Dengan ditundanya kuliah hari ini, setidaknya Khalid dapat mempersiapkan diri untuk presentasi. Apalagi, dua temannya Fitri dan Ridho tidak hadir. Walaupun tugas sudah dititipkan pada laki-laki ini, tapi kehadiran mereka sangat dibutuhkan oleh Khalid.
Khalid lalu bangkit dan mengenakan ranselnya. Akan tetapi, Pak Jufri malah mengeluarkan laptop.
“Ngomong-ngomong Khalid, lebih baiknya lagi kalo kita tetap lanjut kuliah…”
Sontak laki-laki ini tak bersemangat. Ia pun terpaksa duduk kembali.
“Saya harap kamu udah siap dengan tugas yang saya kasih. Connect-kan laptop kamu ke projektor, langsung presentasi aja.” Ujar Pak Jufri.
Tanpa menyahut apapun, Khalid bergegas melakukan apa yang diperintahkan oleh pak dosen tersebut. Apapun itu, ia masih belum siap untuk presentasi. Dalam hati ia merasa Pak Jufri akan menanyakan banyak pertanyaan, mengingat dirinya hanya sendirian, juga sisa waktu yang masih lama, Khalid pasrah saja jika nantinya ia akan dibantai dengan pertanyaan sulit dari Pak Jufri.
Pukul setengah dua belas. Kuliah selesai. Khalid berniat untuk singgah ke kantin sambil menikmati kopi panas. Cuaca hujan seperti ini pasti cocok dengan sesuatu yang panas-panas. Ia pun bergegas ke sana. Jarak kantin dari ruangan kuliahnya sedikit berjauhan. Butuh waktu sekitar lebih dari lima menit. Memang terdapat beberapa jalan pintas, tapi hujan ini tidak mungkin melaluinya lewat sana. Apalagi selama mengikuti kuliah tadi, Khalid sudah cukup menderita menahan sejuknya ruangan itu.
Ia berjalan sambil memainkan hape. Kedua jempolnya sibuk menari-nari di papan keyboard. Tak lama setelah itu, ia tiba di kantin dan langsung memesan kopi hitam panas. Tak lupa, ia juga mengeluarkan diary serta pulpen. Sepertinya Khalid mulai menulis kejadian yang telah ia alami pada hari ini.
Sambil menyeduh kopi yang masih panas itu, ia sudah lebih sibuk bersama dunianya sendiri. Sedangkan hujan semakin deras saja. Seakan saling mengerti, guyuran hujan membuat Khalid terus memasuki dimensi dalam diari-nya. Tanpa lama, tulisannya sudah memenuhi satu halaman buku.
“Mmm, cepat juga ya…” Gumam laki-laki ini.
Dari kejauhan, ada seorang wanita berjalan di tengah derasnya hujan. Payung yang melindunginya dari amukan air itu terlihat tak ada gunanya. Wanita itu tetap saja kebasahan. Tapi ia tak peduli dan terus saja menghantam hujan. Kakinya melangkah memburu setapak demi setapak. Dan akhirnya ia pun sampai…
“Khalid…”
Laki-laki ini spontan memalingkan matanya ke arah suara itu.
“Maaf ya lama…” Ujar wanita tersebut. Ia bernama Intan.
“ohh, santai aja. Duduk lah.”
Intan lalu duduk berhadapan dengan Khalid. Wanita ini adalah teman dekatnya Khalid. Pertama kali mereka saling mengenal adalah saat masih SMP. Kemudian berlanjut ke SMA hingga sampai satu kampus juga. Maka tak heran keduanya sudah mengerti satu sama lain dengan sangat baik.
“Masuk ya tadi…?”
“Iya hahaha, tau lah Pak Jufri…”
“Hmmm…”
“Kamu sendiri?”
“Gak. Tadinya sih mau langsung pulang. Untung kamu cepat kabari aku…” Kata Intan.
Khalid hanya tersenyum. Ia lalu memanggil seorang pelayan untuk membawakan minum kepada Intan.
“Eh, mau minum apa?”
“mmm, aku kurang suka sih kopi. Kayaknya sanger aja deh, sanger panas. Pas nih ujan-ujan gini…”
“Sanger kan kopi juga?”
“Eh, iya ya hahaha…”
Intan tertawa malu menjawabnya.
“Tapi kan warnanya beda,”
“tapi itu tetap kopi dicampur susu…”
“isss, ngalah aja kenapa sih?” Sahut Intan.
Sontak Khalid pun tertawa terbahak-bahak. Dalam hati ia bergumam, ada benarnya juga. Lagi pula, mendebatkan minuman yang sudah jelas-jelas kopi tak ada gunanya juga.
“Jadi ada apa? Tadi katanya kamu ada perlu?” Tanya Intan.
“Iya nih…”
Khalid lalu menghela napasnya sejenak, lalu merunduk sambil memejamkan mata. Sepertinya ada sesuatu yang mengganggu pikiran laki-laki ini.
“Pasti tentang dia kan…” Sahut Intan lagi.
Khalid lalu mengangguk.
“Aku pengen tau apa aja yang udah kamu lakuin sejak kejadian itu.” Kata Intan.
Khalid mulai menggaruk-garuk kepalanya. Wajahnya dengan cepat berubah menjadi cemas. Seperti ada yang ditakutkan.
“Annisa ya, mmm…” Ujar laki-laki ini dengan suara pelan.
Annisa adalah wanita yang disukai oleh Khalid. Awal pertemuan mereka bermula di perpustakaan wilayah. Adalah lagi-lagi Pak Jufri memberikan tugas kelompok berupa workshop kepada laki-laki ini dan teman sekelas lainnya. Agar terealisasi tugas tersebut, pak dosen itu menginstruksikan agar partisipan yang ikut serta adalah mahasiswa dari kampus tetangga, yaitu Universitas Seulaweut. Sedangkan Khalid kuliah di Universitas Putroe Phang. Meskipun berbeda kampus, namun jurusannya tetap sama yaitu Sastra Bahasa Indonesia.
Maka, bergeraklah Khalid bersama tim kelompoknya untuk melakukan workshop yang diadakan di pustaka wilayah. Di sanalah ia berjumpa dengan Annisa yang tak lain adalah partisipan dari tugas kuliah mereka.
Tak banyak hal istimewa yang membuat Khalid jatuh hati pada Annisa. Cukup dengan memandangi mata wanita itu, ia seakan langsung terpesona dengan keelokannya. Apalagi ketika lelaki ini sedang memberikan materi, tak jarang gadis itu menebarkan senyumannya kepada Khalid. Senyuman itu benar-benar membawa laki-laki ini seakan terbang.
Setelah workshop, Khalid menemui Annisa. Dan di sinilah semua rasa hati itu muncul. Ia mulai gugup berbicara di hadapan wanita itu. Walaupun tak banyak hal yang dibahas, tapi sudah cukup memberikan kesan kepada Khalid. Dan getaran yang terasa dari dalam dirinya begitu mudah dipahami. Ya, setelah itu Khalid berani mengambil kesimpulan bahwa ia sudah jatuh cinta kepada Annisa. Terlebih lagi, gadis ini juga mengenal Intan karena mereka berdua pernah belajar di sebuah bimbel yang sama.
Sejak waktu itu, Khalid banyak sekali menanyakan hal-hal tentang Annisa kepada Intan. Bukan apa-apa, baru kali ini ia menyukai wanita secepat itu. Hanya dengan sekali menatap mata dan senyumannya, keduanya itu sudah mampu melelehkan kekokohan hati laki-laki ini. Ia yakin, getaran di hatinya itu bukanlah kebohongan melainkan memang rasa cinta yang timbul sendirinya.
Akan tetapi, Khalid terlalu bingung apakah ia akan mengungkapkan perasaannya atau hanya memendamkannya saja. Berulang kali ia meminta saran dari Intan apa yang harus ia lakukan. Sebab, hari demi hari, Khalid terus menerus kepikiran Annisa. Dan saran dari temannya ini sungguh sederhana. Ya, Intan seolah menjadi langkah awal bagi lelaki ini untuk mengungkapkan perasaannya. Walaupun mulanya ragu sebab Khalid belum pernah mengungkapkan rasa cinta kepada wanita, tapi akhirnya ia memberanikan diri. Butuh waktu dua minggu untuk mempertimbangkan itu. Ketika sudah bulat, rasa percaya diri kian melekat dalam hati Khalid.
Singkat cerita, Khalid mengungkapkan perasaannya namun ternyata ditolak secara halus oleh Annisa. Wanita ini berdalih demikian karena alasannya yang ingin menyelesaikan kuliah terlebih dahulu. Apalagi untuk urusan hubungan percintaan, Annisa tidak mau terburu-buru. Bagi wanita ini, masih banyak urusan yang harus dilakukan ketimbang terjebak dalam ilusi cinta yang belum pasti itu murni dari hati. Dan Khalid harus menerima kenyataan ini, tapi ia ikhlas menerima keputusan dari Annisa. Urusan hati yang tak sejalan, sulit untuk disatukan. Maka setelah momen ini, keduanya putus komunikasi.
Akan tetapi, dari lubuk hatinya, Khalid seperti yakin bahwa rasa cintanya ini benar-benar tulus, suci dan bukan main-main. Oleh sebab itu ia mencoba meyakinkan Annisa dengan segala cara. Tanpa disadari ia mulai terobsesi terhadap wanita itu. Sampai-sampai ia berusaha mencari tahu segalanya tentang gadis itu; alamat rumahnya, hobinya, tempat nongkrongnya, bahkan nomor plat motor Annisa pun sampai diingatnya. Semua itu dilakukan secara diam-diam.
Namun, perbuatan lelaki ini diketahui oleh perempuan itu, dan ia tak suka Khalid melakukannya. Bagi Annisa, pria ini sudah melampaui batas dengan melakukan hal-hal tersebut. Apalagi gadis ini takut jika ternyata nanti Khalid punya rencana jahat terhadap dirinya. Maka, Annisa pun menemui lelaki itu dengan rasa marah. Sambil menangis ia meminta Khalid untuk melupakannya. Bagaimanapun caranya, laki-laki ini harus melupakan bayang-bayang Annisa.
Setelah mendengar pengakuan emosional Annisa itu, Khalid lalu sadar bahwa apa yang ia lakukan itu adalah sebuah kesalahan. Ia telah mengganggu kenyamanan wanita itu dalam beraktivitas. Segala cara ia lakukan untuk membuktikan cintanya kepada Annisa, segala cara pula gadis itu menjauhi Kahlid. Hingga semuanya menjadi kacau bagi laki-laki ini. Ia merasa begitu bersalah terhadap wanita yang ia cintai itu.
Sangking menyesal dirinya, ia terus mencoba menebus segala kesalahannya itu dengan menghukum diri. Dan kini, Annisa bahkan tak ingin lagi mengenal Khalid. Ia menganggap diri tak pernah berjumpa dengan laki-laki ini. Artinya, gadis itu tak akan pernah membuka pintu kepada Khalid untuk menerima cintanya. Padahal pada saat workshop itu, mereka berdua sangat akrab dan begitu cocok untuk menjadi teman. Tapi semua sudah terjadi. Entah semua yang dilakukan oleh Khalid itu benar atau salah, ia masih bingung. Bagaimanapun juga, amarah Annisa dan caranya menangis di hadapan lelaki ini merupakan bentuk kekecewaan yang begitu besar.
Kembali kepada Intan dan Khalid. Lelaki ini sengaja meminta temannya itu untuk hadir karena ada sesuatu yang hendak ia katakan. Bisa dibilang curhat. Mungkin, Khalid masih merasa bersalah terhadap Annisa akibat obsesinya itu yang telah meninggalkan kesan luka di hati wanita tersebut.
“Khalid, udah. Lupain aja semua kejadian itu. Gak ada gunanya juga kamu mikirin begituan.”
“Tapi Tan…”
“Khalid, apa yang dibilang oleh Annisa seharusnya udah cukup jelas untuk kamu. Gak ada yang perlu dipikirin lagi…”
Khalid meneguk kopinya yang mulai mendingin.
“Maaf sebelumnya, tapi harus aku bilang. Apa-apa yang kamu dengar dari Annisa, semua pengakuannya itu udah cukup jelas sekarang. Dia bukan tipe cewek yang plin plan dengan pilihannya. Dengan kata lain, kamu gak akan pernah bisa diterima olehnya. Ini memang sakit, tapi sesuatu seperti ini harus kita terima dan yakini. Gimana kita harus memaksa hati orang lain agar tetap berjalan di arah yang sama dengan kita? Itu sulit, dan bahkan gak akan mungkin.”
Khalid hanya diam saja. Ia mencoba mengingat semua yang telah terjadi antara dirinya dan Annisa.
“Sekarang gini aja, coba kamu bayangin kalian bertukar posisi. Sekeras apapun usaha Annisa mencoba meyakinkanmu untuk mencintainya, sedangkan kamu sama sekali gak punya rasa kepadanya, pasti kamu juga akan melakukan hal yang sama. Ya, walaupun gak dengan cara yang sama. Tapi begitulah gambarannya. Jadi mulai sekarang sadarkan dirimu, Annisa gak kayak yang kamu harapin.” Ujar Intan.
Khalid lalu memberikan diray miliknya itu kepada Intan dan di terima dengan baik oleh gadis itu.
“Aku gak pernah kasih catatan itu ke orang lain, tapi coba buka di lembar ke sepuluh. Mungkin kamu bakal paham kenapa aku masih aja membuktikan diri kepada Annisa.”
Intan pun membaca coretan harian Khalid. Sesekali ia menatap ke arah lelaki itu yang malah termenung bersama suara hujan yang sudah agak mereda. Tak lama setelah itu, gadis ini mengembalikan buku tersebut.
“Aku ngerti Khalid. Tapi gak ada yang perlu disesalkan. Semua udah terjadi, udah berlalu. Sekarang saatnya bangkit, ambil pelajarannya dan pastikan kamu gak akan mengulangi kesalahan yang sama. Aku yakin, Annisa udah maafin kamu, kan kamu udah minta maaf. Aku tau gimana dia. Jadi kamu jangan khawatir dengan itu. Sekarang adalah melawan dirimu sendiri. Maafin diri, ikhlasin, semua bakal baik-baik aja kok.”
“Mungkin satu-satunya cara adalah itu, maafin diri sendiri. Tiga tahun lalu sejak aku menyukainya, ku simpan namanya dalam doa, dan terjebak dalam penyesalan dari kesalahanku sendiri. Tiga tahun yang menyakitkan, suram juga.” Ujar Khalid.
“Kamu bakal jumpa dengan wanita lain yang dia mencintaimu sama seperti kamu mencintainya. Terkadang, kita harus berjumpa dengan orang yang salah dulu agar nanti waktu dipertemukan dengan orang yang tepat kita udah gak lagi lakuin kesalahan. Itu karna kita udah belajar dari masa lalu. Percaya, situasi ini akan berakhir kok. Yang kamu butuh sekarang adalah waktu, waktu untuk mengikhlaskan, waktu untuk menyesuaikan diri, melepas diri dan waktu untuk menuju ke situasi yang lebih baik lagi. Aku percaya kok, Khalid.”
Ujar Intan tersenyum.
“Aku gak tau kapan bisa lepas diri dari bayang-bayang Annisa.”
“Gak perlu memaksa. Pelan-pelan, nanti kamu akan rasa sendiri hasilnya.”
“Iya betul, aku gak bisa paksa. Tapi kalo memang aku harus lupain dia, relain dia, aku harus lebih yakin dari sebelumnya.”
“Kenapa gak cari yang lain?” Tanya Intan tersenyum.
“Cari cewek lain? Hahaha. Intan, aku bukan cowok yang kayak gitu. Aku ini bukan tipe cowok yang mudah jatuh cinta walaupun sama cewek yang cantik sekalipun. Sebab, yang cantik itu banyak, tapi yang singgah di hati cuma yang meninggalkan kesan untukku. Lagian, aku gak mau sembarangan soal cinta-cintaan sama cewek.”
Intan mengangguk sambil tertawa.
“Jadi di dalam diary itu semuanya tentang Annisa?” Tanya gadis itu.
Khalid mengangguk. Ia meneguk kopi terakhirnya. Lalu dibukanya buku tersebut dan mulai menulis lagi. Sedangkan Intan hanya melihat saja apa yang diukir oleh laki-laki ini.
“Kalo memang aku harus lupain Annisa, maka yang aku tulis sekarang ini adalah yang terakhir untuknya. Semua halaman yang sebelumnya selalu bersambung, sekaran udah waktunya aku tamatin. Ya kan Intan…”
Wanita itu mengangguk.
“Begitu tamat, kamu kemanain buku itu?” Tanya Intan.
“Gak tau, mungkin aku simpan. Atau mungkin nanti bisa aja aku buang… mmm atau dibakar hahaha”
Selang beberapa menit kemudian Khalid menutup diary itu dan menaruknya di ransel. Ia kembali menatap rintikan hujan yang sudah semakin mereda. Tangan kanannya mengambil gelas kecil dan ia teguk kopinya. Butuh beberapa detik baginya untuk menyadari bahwa kopi tersebut sudah habis. Khalid pun cepat-cepat meletakkan gelas itu di tempat semula dengan raut wajah malu. Kini ia menoleh ke Intan yang sudah tertawa melihat tingkah laki-laki ini.
“Makanya jangan melamun terus. Kopi udah habis masih aja diminum. Kenapa gak dengan gelasnya aja kamu telan…” Intan tertawa terbahak-bahak.
“Niatnya tadi sih gitu, tapi… ya gitu lah.
Mereka berdua tertawa lepas.
Setelah kejadian itu, suasana menjadi hening. Baik Intan maupun Khalid asyik dengan hape masing-masing. Gadis ini sibuk membalas pesan Whatsapp sedangkan Khalid menyibukkan diri dengan melihat-lihat postingan story dari followers Instagramnya. Terlihat ia begitu bosan dengan hal itu.
“Hey Khalid, gimana nanti sore kita ke Cafe Piyoh Singgah? Ada menu makanan baru loh di sana. Gimana gimana…?”
“ Sebetulnya nanti sore aku mau ke puswil, Pak Jufri baru aja kasih tugas baru. Tapi boleh lah, jam berapa?”
“Jam lima ya…”
Khalid mengangguk.
“Jemput ya… hahaha”
“Iyaaa, tenang aja itu. Aku kan sahabat baik.” Sahut Khalid.
“Okee deh. Jadi sekarang?”
“Duduk aja dulu. Masih ujan juga nih. Gerimis sih, tapi bakal basah juga kalo kita pulang sekarang.” Jawab Khalid.
“Iya sih…”
Mereka pun terus melanjutkan perbincangan. Namun kali ini bahasannya sudah menuju kepada permasalahan kuliah. Maklum, di semester enam ini, tugas yang diberikan semakin banyak dan rumit. Setiap mahasiswa harus siap batin untuk menerimanya dengan sukarela. Maka tak jarang mereka saling bekerja sama untuk menyelesaikan tugas. Sebab tak lama lagi, mereka sudah harus menentukan judul penelitian untuk memulai bab di sebuah skripsi.
Setelah curhat begitu panjang dengan Intan, akhirnya Khalid mulai mencoba menyadarkan dirinya. Ia mencoba menerima kenyataan antara dirinya dan Annisa. Tiga tahun kisah cintanya terbentuk terhadap wanita itu, tiga tahun ia mencoba membuktikan kepada Annisa bahwa dirinya sunguh-sungguh mencintai gadis itu, namun semuanya berakhir buruk, jauh dari apa yang diharapkan oleh lelaki ini.
Semakin Khalid mengejar cintanya Annisa, semakin wanita itu jauh dari jangkauan laki-laki ini. Maka atas dasar itu, ia menampar diri seraya berkata dalam hati,
“sudah cukup. Sudah berakhir. Gak ada lagi, gak akan pernah lagi.”
Catatan tentang Annisa masih bersamanya. Kini ia menyimpannya dalam lemari buku di kamarnya. Sejak terakhir kali ia menulis di diary itu, tak pernah lagi tangannya menyentuh lembaran-lembaran tersebut. Semua hanya berisi kenangan yang dapat membawanya kembali ke masa lalu. Sekarang Khalid hanya ingin melanjutkan hidupnya, kembali dijalani dengan normal di mana ia tak lagi merasa ada beban ketika mengerjakan tugas kampus, atau memikirkan bayang-bayang Annisa ketika ia sedang sendirian. Meskipun ia tahu, tidak akan mudah untuk keluar dari kenangan pertamanya bersama gadis itu.
Namun ada satu hal dalam dirinya, ia sama sekali tidak membenci wanita itu meskipun cintanya ditolak, di saat ia begitu yakin bahwa dirinya mencintai gadis itu dengan tulus dari hatinya. Bukti itu adalah, ketika laki-laki ini terus meyakinkan Annisa akan perasaannya selama tiga tahun, tanpa pernah ragu untuk melakukannya walaupun harus tejebak dalam sebuah obsesi.
Dan yang terpenting adalah, Khalid tidak pernah menyesal telah mencintai Annisa. Yang tertutup akan terbuka. Semua rahasia hatinya akan diketahui oleh wanita yang juga mencintainya. Khalid tak pernah ragu akan hal itu, karena itulah prinsipnya.
“Aku hanya berharap yang terbaik untukmu, di mana pun kamu berada, tetaplah menjadi hebat. Tapi… maafkan aku wahai Annisa.”
19 05 2017
— Breaking Reza