Surat Kecil
Kau tahu kan tanda yang ku tunjukkan padamu?
Aku tahu kau menyadarinya, namun entah mungkin kau terlalu menahan diri atau kau sama sekali tak peduli… hingga aku menganggap semua ini percuma.
Tapi apa kau tahu? Sebagai lelaki — yang kini mulai jatuh hati secara diam-diam kepadamu — aku berusaha sekeras mungkin untuk mengatakan satu kejujuran — aku berusaha semaksimal mungkin untuk menyatakannya perlahan-lahan padamu. Dan asal kau tahu… aku bukan lelaki seperti kebanyakan yang kau kenal.
Apa kau tahu? Sebagai lelaki — yang kini terus memikirkanmu di setiap waktu — aku berusaha keras untuk menghidupi percakapan-percakapan — meski melalui perantara, aku tetap berusaha menemukan suatu pembahasan yang dapat membuatmu nyaman — ku cari berbagai hal untuk bertanya dan memulai obrolan — namun ketika kau hanya memberi respon singkat, aku merasa semua itu percuma.
Aku merasa semua usahaku tak cukup membuatmu mengerti betapa sebagai lelaki, terlalu sulit sebenarnya menghidupi percakapan. Ku ajukan banyak pertanyaan dengan maksud tertentu — dengan maksud agar kau menaggapinya — dan dengan maksud agar kau merasa nyaman — dengan maksud agar kita berdua tidak canggung.
Dan melihatmu hanya memberi tanggapan singkat, hingga aku merasa seperti hanya diriku saja yang berbicara panjang lebar… wahai wanita, sebenarnya tahukah engkau bahwa sebagai laki-laki aku telah berusaha memikatmu dengan cara-cara sederhana seperti ini?
Ada banyak kejadian memilukan terjadi, dan aku tak ingin semua itu terulang lagi. Aku tak ingin mencintai wanita melebihi kemampuanku. Sebab, aku pernah jatuh ke dalam sebuah obsesi panjang. Lantas obsesi itu membuatku dijauhi oleh orang yang ku anggap sebagai sosok yang tepat untukku — aku tak ingin itu terjadi lagi padamu.
Setelah ku beri tanda yang nyata kepadamu, setelah ku ajak kau untuk bertemu walau sesaat… ketahuilah bahwa semua itu merupakan usahaku yang ingin menyampailan perasaan perlahan-lahan. Aku tak berniat mengotorimu — sebagaimana aku tak pernah berhasrat untuk merayu mesra bersamamu, karena aku tahu kau bukan perempuan seperti itu.
Ketahuilah bahwa aku tak ingin perasaan ini kembali tersangkut di hatiku untuk selama-lamanya. Cukup sudah aku mengubur rasa cinta kepada seorang wanita di masa lalu — kini aku ingin menatap masa depan yang lebih cerah, dan ku pilih satu sosok yang menurutku mampu memberi warna lebih — dan sosok itu adalah engkau.
Kita semua sepakat bahwa kejujuran merupakan hal terpenting untuk dilisankan. Maka, aku sudah memberi tanda, sudah juga ku lakukan sedemikian usaha… lantas coba jujurlah… sebenarnya, apa kau menyadari tanda itu? Atau kau memang menyadarinya tapi sebenarnya kau risih terhadap semua tanda yang ku berikan? Atau itu semua membuatmu terganggu? Atau kau memamg sama sekali tidak memiliki rasa yang sama sepertiku? Duhai sosok yang diibaratkan bunga… jujurlah padaku agar aku mengerti.
Kata orang, seorang pria harus menyatakan cintanya kepada wanita yang ia idamkan. Itu adalah proses awal untuk saling mengenal satu sama lain, juga tahapan untuk menentukan — dan aku, aku melakukannya pelan-pelan.
Aku merasa bahagia jika pada akhirnya ku tahu bahwa kau memiliki rasa yang sama terhadapku.
Sebaliknya… aku memang bersedih seandainya kau tidak menyukaiku sebagaimana diriku ini. Tapi, setidaknya aku tahu alur hatimu hingga tidak lagi membuatku terus berharap dalam tanya.
Aku sudah pernah mengharapkan seorang wanita — ku sebut-sebut namanya dalam doa — bahkan ku lantunkan namanya, juga ku imajinasikan wajah serta senyumannya setiap saat aku hendak terlelap dan bangun di pagi hari. Pada akhirnya, semua harapan itu pupus.
Ada banyak kisah cinta tertulis di masa lalu, semua kisahnya berakhir memilukan di sisiku. Aku hanya tak ingin mengulangi cerita-cerita suram itu karena terlalu membuatku menderita. Dan alasan ku beri secuil tanda padamu agar semua itu tidak lagi terulang. Namun, ku pikir kau harus memutuskan — membuat keputusan terhadap diriku yang terlanjur jatuh cinta padamu.
Aku tak ingin berharap terlalu berlebihan, oleh karenanya ku serahkan semua pada Tuhan — kali ini aku benar-benar melibatkan-Nya agar tidak jatuh di lubang yang sama berulang-ulang kali. Sebab aku benci melihat jenis kekurangan ini bersemayam di dalam jiwa dan ragaku.
Ketahuilah, aku bukan lelaki yang mudah mengutarakan cinta. Ada beberapa wanita yang sirna dariku sebab yang bisa ku lakukan hanya berdiam diri tanpa bergerak, hingga mereka pergi tanpa pernah tahu isi hatiku.
Dan ketahuilah bahwa kini aku berusaha — berusaha sekeras mungkin agar semua yang pernah menjadi mimpi buruk tidak lagi menghantuiku di masa depan. Maka, aku datang padamu, memberi salam, membuka percakapan, hingga ku beri tanda yang kali ini tidak secara tersirat; semua ku lakukan agar aku tahu arah hatimu.
Kau pasti menyadarinya, jika seorang laki-laki sudah mengajak seorang wanita untuk makan siang di waktu luang yang sempit… kau pasti sudah tahu artinya kan? Aku tahu kau pasti paham.
Dan kau pasti juga sadar, jika aku mengajakmu makan siang — hanya kita berdua — kau tahu tandanya kan? Kita bukan lagi anak SMA yang suka mengkhayal di balik rasa cinta. Kita adalah dua sosok yang sudah dewasa, menatap diri dalam realita cinta dan kehidupan. Dan karena kita mengerti bahwa cinta di antara laki-laki juga wanita bukan hanya sekedar berbagi kisah bahagoa serta kemesraan, maka kau pasti paham bahwa aku tidak jatuh cinta sembarangan terhadapmu.
Namun setelah sekian usaha yang ku lakukan, kau masih tetap membuatku bertanya-tanya. Maka ku putuskan satu pilihan untuk berhenti menaklukkan rasa penasaran. Kini, ku pasrahkan diriku yang berjalan sendirian; jika nanti kita memang ditakdirkan untuk bersatu, Tuhan punya segala cara untuk mempertemukan kita lagi meski saat ini masih terasa bahwa hanya diriku saja yang menyukaimu.
Ku harap kali ini aku mampu menghadapinya. Ku harap keputusan ini tepat untuk kita berdua sebab ada ujaran kata-kata suci sebelum aku memutuskannya.
Aku mencoba meyakinkan diri bahwa kali ini ku pasrahkan semuanya pada-Nya. Sebab, itulah hal terakhir yang dapat ku lakukan setelah sekian usaha yang ku tunjukkan padamu, Rani.
Ku biarkan orang-orang berkata sesuka hati mereka. Perkara hatiku ini, hanya diriku sendiri yang memahaminya.
Aku sudah berusaha, selebihnya ku serahkan pada Tuhan seraya berharap kali ini dan beberapa waktu ke depan, ada kabar gembira yang Ia titipkan padaku.
Aku sudah menanti dalam waktu yang cukup lama, dan barangkali aku harus bersabar sedikit lagi — sedikit lagi sampai aku benar-benar dapat melihatnya dari kedua mata; bahwa wanita yang ku cintai sebenarnya juga mencintaiku.
Dan entah di mana wanita itu berada, hanya Tuhan yang tahu. Tapi Ia juga tahu bahwa hatiku bergetar terhadapmu.