SMA F A N S U R I

Dokumen Rahasia Yang Tersebar di Jalan Rawa

Reza Fahlevi
22 min readJul 4, 2023
Photo oleh Mwesigwa Joel dari Unsplash

Aku dan Zaki sedang berada di sebuah rumah yang ada di jalan Rawa. Kami berdiri di seberangnya tepat di bawah sebuah pohon rindang, sekitar 100 meter dari sana. Ku lihat arloji sejenak — ini sudah pukul 22.00, dan tak lama lagi semuanya akan dimulai.

Keadaan rumah itu terlihat ramai di mana masing-masing ada dua mobil dan sepeda motor terparkir di halaman depan. Dari sini aku melihat ke sekitar dan tak lama kemudian sebuah mobil sedan tiba. Ada seorang perempuan berpakaian serba hitam keluar, hanya berselang beberapa detik mobil yang ia tumpangi pergi.

Ku perhatikan sosok perempuan itu dari kejauhan, sesaat kemudian baru ku sadari ternyata dia adalah guru di sekolahku, SMA Fansuri.

“Ternyata… sesuai dugaanku sebelumnya.” Aku bergumam dalam hati.

Adapun guru perempuan itu bernama Riska, ia mengajar pelajaran Biologi di sekolah. Akan tetapi, dia tidak masuk ke kelasku, hanya mengajar di kelas XII dan X, sedangkan aku siswa kelas XI.

Aku terus memperhatikan Bu Riska; ia terlihat masih berdiam diri sejak dirinya turun dari mobil. Di waktu yang sama guru itu melirik ke kanan sejenak lalu menoleh ke kiri tepat di mana kami berada di bawah pohon rindang. Sepertinya ia tak menyadari kehadiran kami di sini sebab keadaannya memang gelap. Lampu jalanan ada tapi cahayanya tak sampai ke sini.

Setelah itu, Bu Riska berjalan — ia pergi menuju ke rumah itu.

“Hey, bukannya itu guru Biologi…?” Zaki bertanya.

“Ya, Bu Riska.”

“Sepertinya anggapanmu benar mengenai beliau.”

“Sepertinya begitu.”

“Lalu, apa yang kita lakukan sekarang?” Ia bertanya lagi.

“Aku sudah mengecek pekarangan rumah itu selama seminggu… kita akan masuk dari belakang.”

“Seminggu? Apa kau tidak diketahui?”

“Entahlah…” gumamku. “Mudah-mudahan saja tidak ada yang tahu aku sudah berkeliaran di sini dalam beberapa hari.”

“Jadi, kita bergerak sekarang?”

Aku menggeleng, “tunggu sampai 5 menit sejak Bu Riska masuk. Setelah itu baru giliran kita.”

Aku sendiri tak tahu ada berapa orang di dalam rumah itu. Seperti yang ku katakan, dari mobil serta sepeda motor yang ada di sana, sepertinya ada banyak orang di dalam.

Sebenarnya, aku sedikit curiga. Selama diriku mengintai rumah itu dalam waktu seminggu — siang dan malam — aku tak pernah melihat ada kendaraan yang terparkir di situ. Dan khusus malam ini, entah kenapa tiba-tiba terlihat seperti ada keramaian di dalam sana.

“Bagaimana? Sudah 5 menit dan Bu Riska juga sudah masuk dari tadi.” Ujar Zaki.

“Ayo…”

Kami berdua berlari menyeberangi jalan dan langsung menuju ke sisi belakang rumah yang dikelilingi dengan pagar tembok — adapun kami berada di luar pagar.

Begitu berada di ujung tembok, aku dan Zaki berhenti. Aku melirik pagar dinding ini sejenak yang menjulang agak tinggi. Selain itu, aku tidak menemukan apapun sebagai pijakan atau pegangan untuk memanjat tembok ini.

Lalu, ku toleh ke atas… sepertinya kami harus melompat sedikit agar dapat meraih sisi paling atas dari pagar tembok ini menggunakan kedua tangan. Itu satu-satunya cara untuk kami gunakan sebagai tumpuan saat memanjat. Meski demikian, waktunya terbatas. Ya… mungkin sangat terbatas.

Maka, tanpa berbicara lagi, aku mundur beberapa langkah lalu melompat… ku angkat kedua tangan untuk meraih sisi paling atas pagar — tapi aku gagal.

“Sialan…” aku mengoceh dalam hati.

Tak lama kemudian Zaki melakukan hal yang sama, bedanya ia berhasil — kedua tangannya berada di sisi atas beton. Meski begitu, ia kesulitan memanjat, bahkan kakinya mencoba merayap-rayap untuk mendorong tubuhnya ke atas sana.

“Hoyyy… bantu aku dong.” Pinta Zaki.

Segera aku datang dan mendorong tubuhnya ke atas. Begitu ia berhasil memanjat, dia berdiri di tembok tersebut seraya menjulurkan tangan.

“Cepat…!” Gumamnya.

Aku kembali menjauh dari pagar tembok ini lalu berlari dan melompat setinggi mungkin. Ketika tanganku hendak meraih tembok, dengan sigap Zaki menariknya. Hal ini hampir saja membuatnya terjatuh, beruntung ia masih bisa menjaga keseimbangan.

Di momen ini, Zaki sudah berhasil meraih satu tanganku, adapun tangan yang satu lagi ku coba sebisanya agar dapat memegang sisi atas tembok. Dan berkat bantuan temanku yang terus menarik tubuhku ini, aku pun berhasil.

“Sudah cukup, selebihnya biar aku berusaha sendiri.” Kataku.

“Memangnya kau bisa?”

“Sudah jangan banyak ngomong, aku tak bisa bertahan lama dalam posisi begini. Cepat turun…!”

Begitu Zaki hendak turun, tangannya yang tadi menggenggam tangku ia lepas. Sebagai gantinya, kini kedua tanganku sudah berpegangan di sisi atas pagar tembok.

Dan ketika ia turun, ku angkat tubuhku naik sampai separuh dada melewati pagar. Begitu ku kira cukup, dengan segera diriku menaikkan kaki kanan untuk memijaki sisi atas tembok. Berhasil, selanjutnya tinggal ku naikkan kaki yang satunya.

Usaha ini terlalu banyak membuang energi, aku sampai terengah-engah dan membuatku berdiam diri sejenak sambil mengatur pernapasan. Saat sudah agak stabil, aku pun meloncat turun.

“Sekarang, kita ke mana?” Tanya Zaki.

“Lewat sini.” Sahutku sembari berlari kecil ke arah belakang rumah.

Sampai… kami berdua menemukan pintu.

Aku sudah membawa obeng untuk mencongkel pintu jika memang terkunci. Maka, ku ambil benda ini dan hendak melakukan pekerjaanku.

Tapi, Zaki malah lebih dulu berjalan dan membuka pintunya. Tak tanggung-tanggung, ia mendorong pintu itu selebar-lebarnya. Kelakuannya itu membuatku panik dan segera berlari untuk menariknya bersembunyi di balik tembok.

“Apa yang kau lakukan?” tanyaku dengan suara pelan.

“Bukannya kita akan masuk ke dalam?”

“Iya… tapi bukan begitu caranya.”

“Lalu harus bagaimana?”

Aku menjadi geram saat mendengar dirinya bertanya seperti itu.

“Dasar… jangan ceroboh. Kita harus sembunyi-sembunyi. Kita tak tahu keadaan di rumah ini seperti apa.”

“Tapi, sepertinya memang tidak ada tanda-tanda banyak orang di dalam. Tidak seperti yang kau duga tadi.”

Perkataannya membuatku garuk-garuk kepala. “Yoo, kalau kita sedang memata-matai orang, berarti kita harus menganggap mereka orang jahat. Sekedar menganggap hanya untuk berjaga-jaga karena kita tak tahu seperti apa orang-orang itu. Sekarang kau lihat dengan matamu sendiri; ada beberapa kendaraan di halaman depan yang menandakan ada banyak orang di rumah ini. Lalu, setelah kau membuka pintu tadi, kau merasa tidak ada keramaian — berbanding terbalik dengan temuan awal. Dengan kata lain, itu menandakan bahwa ada kecurigaan di sini. Jika sudah seperti itu, kita harus berhati-hati .”

“Begitu ya…” Sahut Zaki. Ia menatap tanganku sejenak di mana aku memegang obeng. “Itu untuk apa?”

“Awalnya aku mau mencongkel pintu…”

“Untuk apa? Kan pintunya tidak terkunci…”

“Iya aku tahu…” balasku sambil menyimpan kembali obeng ini ke dalam tas mungil yang ku lilitkan di pinggang.

“Zaki, dengar…” sambungku lagi, “jangan gegabah, kita sudah masuk ke dalam situasi bahaya. Ikuti aku — jangan lakukan apapun kecuali aku yang minta.”

“Ya ya… aku mengerti.”

Setelah itu kami pun memasuki area dalam rumah. Aku berjalan di depan sedangkan Zaki mengikutiku di belakang. Sambil berjalan, aku memintanya untuk menghadap ke arah berlawanan dariku; dengan begitu kami bisa saling melindungi.

Suasana di dalam rumah terasa sepi, tidak seperti yang ku bayangkan di mana sebelumnya aku beranggapan bahwa ada beberapa orang di sini. Yang menjadi patokanku adalah kendaraan yang terparkir di halaman rumah ini.

Aku sendiri tak mau menganggap suasana di rumah ini sepi. Pasti ada beberapa orang yang barangkali mereka berada di suatu tempat — mungkin di dalam ruangan khusus. Selain itu, kondisi rumah yang diterangi oleh cahaya-cahaya lampu, ini menandakan kediaman ini tidak kosong.

Dari sisi belakang kami beranjak ke ruang tengah; terdapat empat sofa besar menghadap ke dinding di mana sebuah TV besar dan lebar terpampang di situ. Juga, di depan sofa terletak meja — ku lihat ada beberapa botol minuman keras serta tumpukan piring.

Kemudian, aku baru menyadari ternyata terdapat setidaknya empat ruangan di ruang tengah ini — aku yakin itu adalah kamar. Jaraknya saling berjauhan, dan ini mengilustrasikan betapa luasnya rumah ini.

Di momen ini, aku punya firasat buruk dan segera mengajak Zaki untuk menuju ke ruang tamu. Adapun di sini, kami berdua bersembunyi di balik lemari. Meski begitu, dari balik benda ini aku masih dapat melihat keadaan di ruang tengah.

Tak lama kemudian, terdengar suara seseorang membuka pintu dan di saat yang sama, seorang pria berkaos merah keluar dari sebuah kamar. Aku tak tahu ke mana dirinya pergi tapi sekitar satu menit kemudian, ia kembali lagi dan kali ini bersama Bu Riska. Mereka berdua masuk ke dalam kamar yang tadi.

“Apa yang dilakukan bu Riska bersama laki-laki itu?” Zaki bertanya dengan suara yang sangat pelan.

“Itu yang kita cari tahu…” sahutku seraya melihat arloji sesaat lalu melanjutkan, “kau tunggu di sini, aku akan pergi ke sana untuk mengecek situasi.”

“Apa kau mau mengintip bu Riska melakukan hubungan intim?”

“Bodoh…” celotehku.

“Lalu…?” Tanyanya dengan gelagat penuh penasaran.

Sialan orang ini, padahal beberapa hari yang lalu aku sudah menjelaskan alasanku mengintai rumah ini di mana secara tak langsung ada kaitannya dengan Bu Riska.

Lantas ku jelaskan ulang kepada Zaki bahwa yang sebenarnya terjadi adalah guru Biologi itu sedang berada dalam tekanan — lebih tepatnya ia sedang dalam situasi berbahaya — setidaknya dalam beberapa bulan terakhir.

“Ya aku tahu…” tutur Zaki, “kau sudah pernah bilang itu. Tapi, bagaimana jika anggapanmu itu salah? Bagaimana jika ini adalah rumah Bu Riska dan lelaki yang mengajaknya masuk ke dalam kamar tadi itu merupakan suaminya? Bagaimana…?”

“Bu Riska belum menikah.” Jelasku sambil menatapnya.

Adapun aku masih melanjutkan, “bukannya sudah ku bilang…? aku sudah berulang kali datang ke rumah ini — itu berarti… bukan hanya mengintai situasinya saja, aku juga sudah menanyakan kepada beberapa orang terkait rumah ini. Dan hasilnya, aku tahu bahwa kediaman ini milik orang bernama Julia, seorang dosen… dia hanya datang ke sini setiap malam minggu. Hari-hari lain, dosen itu menetap di rumah dinasnya.”

“Lantas, apa kesimpulan apa yang kau ambil dari itu semua?”

“Selama seminggu aku datang ke sini, aku mendapati bahwa tiga malam — selang-seling — Bu Riska ke rumah ini. Dan lagi, beliau selalu datang di jam yang sama persis di waktu saat dirinya tiba tadi. Juga, ia selalu diantar oleh seseorang menggunakan mobil sedan, dan satu jam sebelum guru itu tiba, pasti ada satu atau dua laki-laki tiba — masing-masing dengan sepeda motor. Mereka langsung memasukkan kendaran ke dalam garasi… tidak seperti malam ini, mereka menaruhnya di halaman. Selain itu, ini sudah kali ke empat Bu Riska datang ke sini — sederhanya, ia dipaksa datang.”

“Atas alasan apa Bu Riska dipaksa datang?”

“Kau akan mengetahuinya nanti. Sekarang…” kataku, “kau tunggu di sini, aku akan ke sana. Jangan ke mana-mana karena mungkin aku bisa saja butuh bantuanmu. Dan jika aku dalam bahaya, akan ku beri tandanya seperti yang sudah ku katakan padamu sebelum kita ke sini. Kau bawa kayunya kan?”

Zaki menjawabku dengan cara menepuk-nepuk tas ranselnya. Lantas aku meminta kayunya satu — benda ini berupa kayu pemukul baseball.

Setelah itu, aku pun beranjak cepat menuju ke kamar yang dimasuki oleh Bu Riska. Sampai di depan pintunya, aku berdiri sejenak sambil mencoba menguping, tapi tak bisa. Sepertinya kamar ini kedap suara.

Lantas aku berpikir sejenak; apa diriku mesti mencongkel pintunya menggunakan obeng? Atau langsung ku dobrak saja? Akan tetapi, jika aku mencongkelnya, itu akan memakan sedikit waktu dan orang di dalam kamar pasti mengtahuinya. Dengan demikian, aksiku tidak berjalan sesuai rencana.

Maka tanpa pikir panjang lagi, ku tendang pintunya sekuat tenaga. Begitu terbuka, aku langsung berjalan masuk dan menemukan Bu Riska sedang berlutut di hadapan seorang lelaki — mereka berdua dalam keadaan telanjang. Tapi, begitu menyadari kedatanganku, guru biologi itu langsung menutupi dadanya.

“Kamu…” ujar Bu Riska sembari menatapku, di saat yang sama beliau langsung mengalihkan wajahnya.

Sedangkan lelaki yang berdiri di hadapan Bu Riska tenang-tenang saja. Ia bahkan tak menghiraukan kehadiran diriku, malah kedua tangannya menjambak rambut guru perempuan itu; ia memaksa guru Biologi itu melakukan sesuatu terhadap kemaluannya. Sungguh kelewatan.

“Bisakah kau datang setelah kami bercinta? Kau masih di bawah umur, jadi jangan lihat adegan ini… nanti kau malah tertarik juga dengan perempuan ini.” Ujar lelaki tersebut.

“Pak Veri… begitulah kau dipanggil di sekolah… guru matematika yang ternyata terlibat dalam memanipulasi nilai-nilai siswa di sekolah. Tidak hanya itu, kau menjadi ketua panitia saat membuka pendaftaran siswa baru. Awalnya, siswa-siswi yang hendak bersekolah di SMA 7 harus melalui berbagai macam tes, tapi ada beberapa yang sengaja kau luluskan tanpa mengikuti tes sebab orang tua mereka sudah menyogokmu. Lalu, kau menyingkirkan siswa-siswa yang dinyatakan lulus murni tanpa ada alasan pasti. Kau sudah mengubur impian murid-murid yang punya impian sekolah di SMA 7.” Jelasku.

Ya… lelaki itu adalah seorang guru di SMA 7, ia juga merupakan wakil kepala sekolah.

“Hooo… ada bocah yang sok berlagak menjadi detektif. Kalau begitu, apa kau bisa membuka semua rahasiaku setelah aku menyetubuhi si perempuan Riska ini? Jika sudah selesai, kau boleh membeberkannya dan setelah itu, aku juga akan membunuhmu.” Sahut Pak Veri.

Aku tersenyum saja mendengarnya. Selain itu, sebenarnya senyumanku ini hanya sebagai tanda bahwa aku sedang merendahkannya.

“Hey nak, jangan ikut campur.” Gumam Bu Riska kepadaku. “Cepat pergi dari sini. Ibu tak mau kau terlibat. Cepat… lariii…”

Pak Veri lantas menampar beliau. “Dasar perempuan jalang… lakukan saja tugasmu sekarang…!”

Adapun Bu Riska dengan terpaksa memasukkan alat vital Pak Veri ke dalam mulutnya. Aku yang menyaksikan adegan ini dengan mata kepalaku, seketika menjadi murka. Aku harus mencari cara untuk menghentikan ibu guru Biologi itu melakukan perbuatan tersebut.

Sebagai ancaman, ku ayun-ayunkan stick kayu baseball yang ada dalam genggaman tangan. “Sebaiknya kau tidak lagi memaksa Bu Riska menuruti nafsumu. Jangan sampai aku melakukan cara yang kasar untuk menghentikanmu, pak.”

Dan melihatku yang sudah serius, Pak Veri lantas mencabut paksa alat vitalnya dari dalam mulut Bu Riska. Di momen ini, ia berdiri menghadapku… “apa yang kau inginkan, bocah?”

“Aku ingin menjebloskanmu ke dalam penjara karena kau sudah melakukan banyak kecurangan.”

“Memangnya kau tahu apa tentangku selain yang sudah kau jelaskan tadi? Jangan sok hebat… kau masih bocah ingusan.”

Ku tatap mata Pak Veri setajam mungkin lalu menjawab, “bukan Bu Riska saja, kau juga memaksa para siswi di sekolahmu untuk melakukan hubungan intim. Dan caramu melakukan itu adalah dengan ancaman — kau akan menaikkan kelas siswi-siswi itu asalkan mereka mau menuruti nafsu birahimu. Selain itu, sambil melakukan hubungan intim, kau memfoto bahkan juga mengambil video gadis-gadis itu dalam keadaan telanjang. Kau mengancam mereka — jika mereka berani membeberkan perbuatanmu, kau akan menyebarkan foto dan video tersebut. Akan tetapi, aku tahu… sebagian dari siswi yang pernah kau tiduri… foto dan video mereka sudah tersebar. Kau menjual tubuh gadis-gadis itu kepada pria bernama Mukhtar.”

Wajah Pak Veri langsung muram, “keparat kau bocah.”

“Tidak hanya itu…” sambungku lagi, “Pak Veri… kau juga berniat melakukan hal yang sama terhadap Bu Riska. Memang Bu Riska tahu bahwa selama kalian melakukan hubungan intim, kau mengambil video dan juga foto beliau. Alasan kenapa Bu Riska tak ragu untuk tetap mengikuti apa yang kau minta karena kau sudah berjanji takkan menyebarkan video syur itu, kecuali jika terjadi hal-hal di luar kesepakatan kalian berdua. Tapi, niat sebenarnya padahal sama — kau juga akan menjual video beliau ke Mukhtar. Bisa ku bilang… kau sedang berusaha melakukannya.”

Saat ku katakan itu, aku menatap Bu Riska, dan ekspresi beliau seketika terkejut tak percaya. “Veri… apa itu benar?”

Pak Veri tak menyahuti Bu Riska.

“Veri… jawab akuu…!” bentak guru Biologi itu.

Dan mendengar Bu Riska membentaknya, guru SMA 7 ini pun tersulut emosi, “diam kau bajingan…!”

“Bukan urusanmu jika aku mau menyebarkan itu semua… bagiku kau adalah wanita penghibur. Jadi kau tak perlu ikut campur. Lakukan saja apa yang aku perintah.” lanjut bapak itu lagi.

“Ta-tapi… bukan seperti itu perjanjiannya. Aku menuruti permintaanmu… rela melayani nafsumu… itu karena aku berjanji tidak akan membeberkan rahasiamu yang sudah meniduri banyak siswi dari sekolahmu. Kita… kita sudah saling sepakat, kan…”

“Sudah ku bilang diam…!” teriak Pak Veri. Ia hendak menendang wajah Bu Riska.

Adapun aku berlari cepat dan langsung menubruk guru SMA 7 ini hingga ia terdorong dan tergeletak di lantai di waktu yang sama.

“Bu Riska, pergi dari sini. Sisanya biarkan aku yang mengurus orang ini.” Kataku kepada beliau.

“Tidak semudah itu bocah…” sahut seseorang dari belakang.

Aku lantas menolehkan kepala ke belakang dan melihat seorang pria bertubuh besar sudah siap meyerangku. Di tangannya, ia memegang sebuah pedang yang ku yakini senajata itu sangat tajam dan mematikan.

“Aku yakin kau pernah mendengar samurai, kan bocah? Malam ini, kau akan menjadi saksi bagaimana ku cabik-cabik tubuhmu. Dan karena kau sudah sampai sejauh ini, aku tak ragu untuk membunuhmu.” ujar lelaki bertubuh kekar itu.

Yang ia katakan tadi, sepertinya itu bukan hanya sekedar guyonan saja… dia pasti serius. Lalu… sekarang aku harus apa? Badannya yang besar dan tegap seperti itu jelas bukan tandinganku. Selain itu, ia memegang pedang dengan sangat baik, jika ku pikir dia pasti lihai menggunakannya. Sedangkan aku hanya memegang stick baseball, dan sebenarnya aku tidak terlalu mahir menggunakan benda ini — terasa agak berat saat ku pegang.

“Sialan…!” aku membatin. Sekarang aku benar-benar buntu.

Adapun laki-laki itu tertawa sejenak, ia seperti merendahkanku dan hal itu membuatku jengkel. Mentang-mentang ia terlihat di atas angin, dia bisa seenaknya meremehkanku walaupun aku sendiri juga paham bahwa tak ada celah untuk bertarung dengannya. Jika aku mencoba dan memaksakan diri, bisa-bisa diriku terluka parah atau bahkan kemungkinan terburuknya adalah aku terbunuh.

“Sekarang bagaimana…?” aku terus bertanya-tanya dalam hati.

“Tapi bocah…” celoteh pria itu, “ku beri kesempatan untukmu membeberkan semua rahasia Veri. Dan jika kau sudah selesai… baru nanti kau ku bunuh…”

Dalam momen ini, aku menatap ke sekitar termasuk Bu Riska; dengan raut wajah terlihat sangat ketakutan, beliau masih duduk berlutut sambil terus menutupi dadanya. Kemudian, ia menatapku dan seolah-olah memberi pesan tersirat agar aku kabur. Tapi, aku tak ingin meninggalkannya — tidak setelah aku sampai sejauh ini.

Maka, satu-satunya cara adalah meladeni pria bertubuh kekar itu, aku harus bertarung. Mengalahkannya bisa membawa angin segar meski takkan mudah ku lakukan.

Untuk Pak Veri, sepertinya ia bukanlah laki-laki tipe petarung. Dia lemah, aku tahu setelah diriku mendorongnya tadi. Ia begitu mudah terjatuh, bahkan sampai sekarang ia masih kesulitan untuk bangkit.

Dan aku pun bersiap-siap; kayu di tangan sudah siaga untuk menyerang. Sedangkan lelaki itu masih tetap santai, ia sama sekali tak gentar bahkan di saat aku sudah mengarahkan kayu ini kepadanya.

Di saat diriku hendak menyerang, tiba-tiba Zaki datang. “Jangan bergerak…!” Teriaknya sambil mengarahkan pistol kepada lelaki bertubuh besar itu. Sesekali ia bidikkan juga ke Pak Veri yang masih tergeletak di lantai.

Di sini aku terkejut… bukan karena kehadiran Zaki yang tiba-tiba melainkan dari mana dia mendapatkan senjata. Dan lagi, senjata yang ia pegang pun bukan main-main — itu jenis pistol semi otomatis.

“Sialan Zaki… diam-diam ternyata dia punya senjata.” gumamku dalam hati.

Dan kehadiran Zaki sontak membuat pria bertubuh tegap itu ciut. Ia langsung mengangkat kedua tangan meski Zaki tidak menyuruhnya melakukan itu. Yang dikatakan oleh temanku tadi adalah jangan bergerak.

“Letakkan pedang itu dan berdiri menghadap dinding. Lakukan segera atau aku tak segan-segan menembakmu.” Ujar Zaki.

Lantas pria itu menurut. Dan saat ia hendak berbalik menghadap dinding, seketika dirinya melempari Zaki dengan pedang. Beruntung temanku masih dapat menghindar.

Di waktu yang sama, lelaki ini pun bergegas melarikan diri. Ia berlari, melompat dan menghantam jendela yang hanya berlapis kaca tipis. Adapun Zaki hendak mengejarnya tapi aku langsung melarang.

“Biarkan saja…” kataku.

“Kenapa? Dia bisa lolos.”

“Itu urusan nanti saja. Sekarang… urusan kita adalah Pak Veri. Jangan biarkan dia kabur.”

Zaki mengangguk dan mengambil tali dari dalam tas ranselnya. Lalu, ia melilitkan tali itu ke sekujur tubuh Pak Veri. Adapun guru itu mencoba melawan saat temanku sedang mengikatnya. Tanpa pikir panjang, ia langsung menghantam wajah bapak itu menggunakan pistol — tak tanggung-tanggung, Zaki melakukannya sebanyak tiga kali sampai mulut dan pelipis mata Pak Veri berdarah.

“Kapan lagi aku bisa berlagak keren di depan guru pecundang ini yang beraninya mengancam para perempuan.” Celotehnya sambil meludahi Pak Veri.

“Jangan berlebihan…” gumamku.

Ia pun tertawa sejenak, “santai saja… ini belum seberapa. Tapi jika dia terus melawan, aku masih punya cukup tenaga untuk memukulinya.”

Dasar Zaki… dia terlalu bersemangat.

“Ngomong-ngomong, kau tak pernah bilang kalau kau punya senjata…” gumamku.

Ia lantas tertawa, “ini rakitanku sendiri. Lihat…” sahutnya sembari mengarahkan pistol itu ke wajah Pak Veri.

Sesaat kemudian ia menekan pelatuknya…

Doorr…

Pak Veri langsung tersungkur dan mengerang kesakitan dalam keadaan tak berdaya.

“Hey apa yang kau lakukan, Zaki…?” Aku panik bukan main.

Parahnya, ia malah tertawa terbahak-bahak. “Jangan khawatir, ini cuma pistol palsu. Lagipula pelurunya hanya batu kerikil kecil, bukan betulan.”

“Bajingan… aku malah tertipu. Ku pikir kau punya senjata sungguhan.”

“Aku suka merakit-rakit barang bekas dan ku jadikan benda yang bisa ku pakai atau hanya sekedar pajangan di rumah — contohnya ya pistol ini.” Tuturnya.

Di sisi lain, Pak Veri masih terus mengerang, ia juga tak henti-henti mengeluarkan kata makian. Sikapnya itu malah membuat keadaan menjadi sangat berisik.

Ku minta Zaki agar ia menutup mulut Pak Veri. Dan tanpa basa-basi, sekali lagi dia memukuli wajah guru itu — kali ini menggunakan tangan kosong. Namun, itu sudah lebih dari cukup sebab guru cabul itu langsung terkapar lemah.

Lalu, di momen ini, aku datang mendekati Bu Riska. Saat diriku berjalan menghampirinya, beliau langsung memutar balik membelakangiku sambil kedua tangan terus menutupi sekujur dadanya. Aku paham, pasti Bu Riska malu.

“Jangan terlalu dekat, nak.” Ujar beliau kepadaku.

“Saya cuma mencari pakaian anda.”

“Sudah tak ada lagi… gak ada yang tersisa di sini.”

Aku bingung dan sejenak menolehkan mata ke sisi kiri. Ternyata, di sana ada pakaian Bu Riska — hanya dalamannya saja, itu pun sudah koyak-koyak dan tak layak dipakai.

“Ibu di sini saja sampai subuh, nanti ada yang menjemput ibu ke sini.” Ujarnya.

Mendengar ucapan Bu Riskan, aku menjadi sangat prihatin. Ku tanggalkan jaketku dan memberikannya kepada beliau.

“Pakai ini dulu…” kataku.

Beliau lantas menatapku sejenak kemudian mengambil jaket inidan langsung ia kenakan.

“Makasih…”

Setelah itu, tak sengaja diriku menemukan kain sarung di atas kasur. Maka aku mengambilnya dan menyuruh Bu Riska untuk mengenakan ini untuk menutupi tubuh bagian bawahnya. Kini, beliau sudah tak perlu risau lagi.

“Hey… ngomong-ngomong bagaimana dengan guru bajingan ini? Apa kita hanya mengikatnya saja di sini?” Tanya Zaki.

“Sebentar lagi seorang polisi akan tiba. Mungkin sekarang dia sedang menangkap laki-laki yang kabur tadi.” Aku menjawab.

Lalu Bu Riska melirikku, “sejak kapan polisi datang?”

“Mungkin sekitar lima menit yang lalu.”

“Apa kau yang menghubunginya?”

Aku mengagguk menanggapi pertanyaan guru perempuan ini.

“Sebenarnya…” tiba-tiba Pak Veri menyanggah, “siapa kalian ini? Masih bocah tapi sudah sok ikut campur urusan orang. Kalian… padahal tahu bahwa yang kalian lakukan ini sangat berbahaya, tapi kenapa tetap dilakukan? Kenapa keras kepala?”

“Sederhana,” jawabku. “Aku tak suka ada orang yang hidup di atas penderitaan orang lain. Selain itu, Bu Riska adalah guruku di sekolah, aku tak sudi kau mempermainkannya seperti itu.”

Adapun Zaki melanjutkan, “jika kau berurusan dengan orang-orang kami, itu tandanya kau berurusan dengan warga SMA Fansuri.”

Kemudian aku berujar panjang lebar. “Asal kau tahu saja Pak Veri… Bu Riska sudah mencoba melindungi para siswi yang kau peras itu. Beliau berusaha semaksimal mungkin agar siswi di sekolahmu tidak lagi menjadi budak seks-mu. Sayangnya, Bu Riska masih belum mengenal sosokmu yang sebenarnya sampai kemudian ia pun masuk ke dalam perangkap yang kau buat. Bagiku, apa yang dilakukan Bu Riska adalah contoh… dan aku bersama temanku Zaki hanya mencoba membantu beliau mengusut segala kejelekan yang kau sembunyikan itu. Sudah saatnya kau ku seret keluar dan membeberkan semua perbuatanmu terhadap siswi-siswi SMA 7 dan Bu Riska sendiri.”

Pernyataanku ini sesaat membuat Pak Veri bungkam, lalu ia bertanya, “bagaimana kau bisa tahu sejauh ini sedangkan aku tak menyadari sudah dimata-matai dalam beberapa hari?”

“Kau tak perlu tahu itu. Tapi kau harus tahu bahwa mulai malam ini, kau akan berada dalam penjara.”

“Keparat kau bocah…” maki Pak Veri.

Tak lama berselang, seorang polisi yang ku katakan tadi akhirnya tiba. Ia tak sendirian melainkan bersama laki-laki bertubuh kekar tadi. Pria itu benar-benar babak belur; wajahnya berantakan dan penuh dengan lumuran darah. Sepertinya polisi ini menemukan objek permainan yang sempurna.

“Kerja bagus. Sekarang kalian sudah bisa pergi dari sini.” Kata polisi ini.

“Tapi sebelumnya… bawa guru kalian itu ke tempat ini,” lanjutnya sambil memperlihatkan peta. “Nanti di sana ada dua rekanku bersama tim medis. Dia butuh perawatan psikologi terlebih dahulu.”

Aku mengangguk merespon perkataannya.

Setelah itu, sang polisi bergegas pergi dengan membawa Pak Veri dan juga pria besar itu. Adapun kami bertiga masih di dalam kamar, sedang bersiap-siap untuk pergi juga.

“Kita jalan lewat belakang saja. Anda… ikuti kami.” Aku berujar pada Bu Riska.

Bu Riska pun berjalan mendekatiku, setelah itu ia menamparku dua kali. Tak hanya itu, Zaki yang kebetulan berdiri di sebelahku juga mendapatkan tamparan.

“Jangan pernah bilang ke orang lain. Saya minta tolong sama kalian… tolong jangan buka kejadian malam ini ke siapapun. Cukup kalian saja — ” Pinta Bu Riska sambil menitikkan air mata.

Adapun aku mengangguk, “jangan khawatir, bu. Kejadian pada malam ini akan tetap menjadi rahasia.”

“Janji…?”

“Pasti. Saya tahu anda takkan semudah itu percaya kepada kami setelah apa yang dilakukan Pak Veri terhadap anda. Tapi…” aku tersenyum sejenak lalu melanjutkan, “semua hal yang terjadi pada malam ini akan tetap tinggal di sini. Selebihnya, kami takkan mengungkit-ngungkitnya lagi.”

Mendengar ucapanku membuat Bu Riska juga tersenyum. “Terima kasih…” ujar beliau.

Aku kembali mengangguk. Tapi tak berselang lama guru biologi ini kembali menamparku.

“Kamu… jangan sampai membayang-bayangkan saya dalam keadaan telanjang. Saya tahu kamu sudah melihat semuanya. Jujur kamu pasti melihat semuanya, kan…” celoteh Bu Riska lagi.

“Ya… pasti akan saya lupakan semuanya termasuk keadaan anda dalam kondisi seperti itu tadi.”

“Janji, kan?”

Aku tak menjawab Bu Riska melainkan menyuruhnya untuk cepat-cepat karena kami berdua akan membawanya ke suatu tempat sesuai permintaan sang polisi tadi.

Kasus antara Pak Veri dan Bu Riska semua berawal dari terungkapnya sebuah kejadian di mana tersebar video dan foto tak senonoh dari beberapa siswi di SMA 7 Banda, dan salah satu dari siswi itu bernama Liza, dia adalah keponakan Bu Riska.

Bu Riska yang mengetahui serta melihat sendiri video itu lantas mendatangi Liza dan menanyakan langsung padanya. Awalnya gadis itu menolak tapi setelah berulang kali ditanya, akhirnya ia pun mengaku. Adapun video dan foto yang tersebar itu selain dirinya ada gadis-gadis lain berinisial RW, DS, WF, A serta ZY.

Di momen itu, Liza memang sudah mengaku bahwa video dan foto tak senonoh yang tersebar itu, beberapa di antaranya adalah dirinya sendiri. Meski demikian, ia menolak untuk menjelaskan alasan mengapa dirinya sampai terjerumus ke dalam hal itu. Dan Bu Riska melihat ada sesuatu yang aneh dari sikap keponakannya. Lantas ia mencari tahu sendiri.

Singkat cerita, akhirnya Bu Riska tahu bahwa dalang di balik tersebarnya foto dan video siswi-siswi dari SMA 7 Banda adalah guru mereka sendiri yaitu Pak Veri. Dan seperti yang pernah ku jelaskan, beliau memeras para gadis itu dengan ancaman ia takkan menaikkan mereka ke kelas selanjutnya kecuali dengan satu syarat — melakukan hubungan intim dengannya. Oleh sebab ancaman itu, para siswi tersebut tak punya pilihan lain selain menuruti perkataan guru mereka.

Lalu, selama melakukan hubungan intim, Pak Veri diam-diam mengambil foto serta video siswi-siswi itu saat dalam keadaan telanjang —yang merekam dan memotret mereka adalah Julia, dosen sekaligus temannya Bu Riska. Meski demikian, ia juga mengenal dekat Pak Veri… bisa dibilang mereka punya hubungan khusus tapi bukan itu kebenaran sesuangguhnya, melainkan karena uang dan juga sebenarnya ia merupakan wanita simpanan Pak Veri.

Oleh karena Pak Veri punya dokumen berupa foto dan video, ia pun kembali mengancam gadis-gadis tersebut, seandainya mereka membeberkan rahasia dari perbuatan cabulnya, ia tak segan-segan menyebarkan aib mereka semua.

Maka, perbuatan Pak Veri tak ada yang tahu sampai beberapa waktu ke depan. Meski demikian, guru itu sepertinya melakukan kesalahan fatal, ia malah menjual foto serta video para siswinya kepada Mukhtar, dan orang terakhir itu pun menyebar luaskan dokumen tersebut sampai kemudian diketahui oleh Bu Riska. Adapun Riska mencoba mengusut kasus ini secara diam-diam hingga pergerakannya diketahui oleh Julia.

Julia yang sudah bekerja sama dengan Pak Veri lantas meneruskan informasi ini kepada temannya itu. Mereka lalu membuat satu kesepakatan untuk menjebak Bu Riska, yaitu dengan cara mengambil foto guru tersebut saat sedang mengganti pakaian. Tidak hanya itu, Julia bahkan berhasil mengambil video Bu Riska yang sedang mandi. Lalu, semua foto dan video itu diberikan kepada Pak Veri yang akhirnya lelaki itu punya angin segar. Dari situlah awal mula Pak Veri berhasil mengancam Bu Riska agar mau melakukan hububgan intim dengannya.

Memang Bu Riska menolak tapi sebenarnya sikapnya itu malah membuatnya dalam bahaya sebab jika beliau tak ingin melakukan hubungan intim dengan Pak Veri, maka foto dan video dirinya yang tak memakai pakaian akan disebar. Maka dengan terpaksa, sang guru Biologi itu pun menurut saja.

Saat melakukan hubungan intim, lagi-lagi ada peran Julia; ia merekam adegan Bu Riska dan Pak Veri secara diam-diam. Kemudian, lelaki itu memperlihatkan dokumen tersebut kepada Bu Riska — sang guru dari SMA 7 Banda ini mengancam, seandainya wanita itu berani membeberkan semua rahasia yang ia lakukan terhadap siswi-siswinya di sekolah, maka ia akan menyebar luaskan video serta foto Bu Riska.

Singkatnya, Bu Riska mematuhi Pak Veri dan sebagai gantinya, ia harus terus menuruti hawa nafsu laki-laki itu.

Namun, walaupun Pak Veri berkata ia hanya akan menyebar dokumen pribadi milik Bu Riska jika wanita itu berani membuka segala rahasia busuknya… sebenarnya itu hanya tipu muslihat saja. Sang guru SMA 7 itu memang punya niat akan menyebar luaskan foto dan video milik Bu Riska. Dan sebelum usahanya itu berjalan, cepat-cepat aku masuk ke dalam ranah kasus itu untuk membantu guruku.

Sejak Bu Riska tahu tentang rahasia Pak Veri, beliau pernah menceritakan hal itu kepada rekannya di SMA Fansuri. Adapun aku secara tak sengaja mendengar pembahasan mereka berdua dan tertarik untuk mencari tahu lebih jauh.

Kebetulan sekali, salah satu gadis yang menjadi korban Pak Veri adalah teman sekelas dari temanku, ia sering dipanggil John, adapun kawan wanitanya itu yang berinisial DS.

DS dan John sangat akrab, bisa dibilang mereka berdua adalah teman curhat. Sedangkan aku sudah mengenal John sejak SMP, jadi hubungan kami juga lebih dari sekedar kawan, bisa ku katakan kami berdua sudah seperti saudara.

Jadi, aku mengetahu kasus Pak Veri ini karena diceritakan oleh John. Dia yang mengatakan bahwa guru itu melakukan hubungan intim bersama para siswinya di sebuah rumah yang tak lain milik Julia. Lantas, aku pun pergi ke sana untuk melihat-lihat situasi.

Saat diriku sedang memata-matai rumah Julia, secara tak sengaja aku melihat Bu Riska datang ke situ, ia diantar oleh seseorang dengan mobil sedan. Sebelumnya, Pak Veri dan Julia sudah tiba lebih awal. Kejadian ini berulang saat malam selanjutnya aku datang lagi ke rumah itu.

Dari situlah aku curiga — saat itu dalam anggapan aku berpikir ada terjadi sesuatu terhadap Bu Riska. Bagiku, dirinya yang datang malam-malam sendirian ke rumah Julia di mana di dalamnya ada seorang lelaki cabul… sudah pasti mereka melakukan suatu hal.

Singkatnya, ku cari tahu sendiri mengenai sikap Bu Riska itu sampai kemudian aku tahu bahwa ia datang ke rumah Julia untuk melakukan hubungan intim bersama Pak Veri. Adapun kehadiran Julia adalah sebagai sosok perekam.

Suatu malam, aku yang sedang memantau situasi dari atas atap rumah Julia secara tak sengaja mendengar pembicaraan antara dirinya dan Pak Veri di teras belakang. Ya, mereka yang sudah punya foto serta video bercinta Bu Riska berniat untuk menjualnya kepada Mukhtar. Uang dari hasil penjualan itu akan diberi seluruhnya kepada Julia. Dari sinilah aku tahu niat jahat sang guru SMA 7 Banda itu.

Maka, setelah berulang kali memantau situasi rumah Julia dan juga menemukan waktu yang sangat tepat, bersama Zaki aku hendak menangkap Pak Veri. Sebelumnya aku mengajak serta Heri, teman sekelasku juga. Tapi dia sedang sibuk, maka terpaksa kami melakukan pekerjaan ini berdua.

Aku juga sudah memberi tahu polisi yang kebetulan sudah sangat dekat denganku. Melalui dirinya — dan dia juga mengizinkan aku untuk beraksi semauku, maka berdua dengan Zaki kami melakukan pekerjaan detektif ini.

Adapun si polisi itu sebenarnya sudah tiba di TKP tak lama setelah kami masuk ke dalam rumah Julia. Ia senantiasa menunggu di luar untuk berjaga-jaga jika ada musuh yang kabur atau jika kami berdua dalam masalah besar. Oleh karena itu, saat pria bertubuh kekar yang kabur setelah mengetahui Zaki membawa senjata, di luar saat ia melarikan diri aku tahu bahwa rekan polisiku pasti menangkapnya. Dan hal itu terjadi — ia tidak hanya menangkap pria tersebut tapi juga membuatnya babak belur.

Begitulah kasus di balik sosok cabul Pak Veri. Di sekolah… di SMA 7 Banda… guru itu memang dikenal sebagai laki-laki gatal yang suka mengganggu perempuan terutama para siswinya.

Lalu bagaimana dengan Julia dan Mukhtar? Keduanya sudah tertangkap sebelum aku berhasil melumpuhkan Pak Veri. Ya, rekan polisiku itu yang melakukannya bersama kelompoknya.

Ujung dari kasus ini adalah; Pak Veri dan yang lainnya berhasil ditangkap; para siswi yang menjadi korban dipindahkan ke sekolah lain yang lebih layak sebab di SMA 7 Banda mereka terus dibully; dan yang terakhir video serta foto Bu Riska yang sedang melakukan hubungan intim gagal dijual.

Tak hanya itu, bahkan lima bulan setelah kejadian tersebut, tak ada yang tahu bahwa Bu Riska sudah berulang kali dipaksa becinta dengan Pak Veri kecuali aku dan Zaki. Kami berdua memang tidak mengungkit-ngungkit lagi kasus itu sebab seperti itulah perjanjiannya.

Lagipula, apa-apa yang dialami oleh Bu Riska terhadap pencabulan yangbia terima dari Pak Veri memang tak seharusnya diketahui oleh orang lain… itu adalah aib. Apalagi, bulan depan beliau akan melangsungkan pernikahan, maka sudah semestinya masa lalu tak perlu diungkit lagi. Semua biar menjadi urusan Bu Riska bagaimana dia menjaga rahasia itu terutama terhadap calon suaminya.

Cerpen ini bercerita tentang kisah Detektif Jimmy semasa dirinya masih duduk di bangku SMA. Di kala itu, ia belum menyematkan nama Jimmy.

--

--

Reza Fahlevi
Reza Fahlevi

No responses yet