Siti Keumala

Bagian 2

Reza Fahlevi
38 min readNov 26, 2023
Foto oleh Dev Benjamin dari Unsplash

“Buntuti mereka…” kataku kepada seorang polisi melalui radio penghubung yang tersemat di kerah jubah.

Lantas ku lihat polisi itu melakukan apa yang ku pinta. Dengan tenang ia terus berjalan mengikuti dua pria berjaket hitam.

“Jangan gegabah, ada banyak orang di sekitarmu. Tunggu waktu yang tepat.” Sambungku.

Ia menurutinya sambil terus menaruh mata kepada dua sosok mencurigakan itu. Keduanya berjalan ke suatu tempat hingga tak lama berselang salah satu di antara mereka mengambil pistol. Namun, belum sempat dirinya melakukan aksi, sang polisi bergegas merebut senjata tersebut dan dengan satu gerakan cepat ia menahan pria itu. Sedangkan temannya langsung melarikan diri.

Di sisi lan, orang-orang mulai panik melihat seorang polisi menahan pria berjaket hitam, meski aku tahu mereka masih belum yakin terhadap apa yang sebenarnya terjadi.

“Detektif, yang satu berhasil kabur.” Katanya.

“Tak apa. Biarkan saja.”

Sembari memerhatikan situasi, dalam sekejap aku menyadari bahwa terdapat beberapa pria lainnya yang mencurigakan — mereka berjumlah 4 orang. Di sini aku melihat salah satunya seperti sedang mengambil sesuatu, sedangkan aku mulai merasakan firasat buruk.

Maka, dari tempat persembunyian ini, ku ambil pistol dari dalam jubah kemudian menembak ke empat musuh sekaligus, dan jarum-jarum halus pun meluncur deras menancap ke paha mereka.

Hanya beberapa detik setelahnya, 4 pria itu seketika berguling-guling seraya mengerang kesakitan.

“Detektif, apa yang terjadi…? Tanya polisi lagi.

“Mereka juga musuh. Sekarang waktumu — tahan semuanya lalu beri kabar ke rekan-rekanmu yang lain.” Jawabku melalui radio penghubung.

Setelah mengatakan itu, aku langsung pergi ke suatu tempat.

Tepat pukul 2 dini hari aku tiba di sebuah hotel dan kini sedang berada di atapnya. Aku mendengar dengan seksama percakapan antara para tentara bayaran — mereka sedang berada di dalam sebuah kamar lantai tiga.

Begitu pembahasan selesai, aku berjalan ke tepian atap sejenak dan melihat pekarangan parkir dari atas sini. Sesaat kemudian tampak dua laki-laki mengenakan jas berjalan dan masuk ke dalam sebuah mobil. Saat kendaraan itu berjalan, aku menembakkan sebuah alat pelacak dan menempel dengan sempurna di bagian pintu kanan.

Setelah itu, aku mengambil tali yang sebelumnya sudah ku lilitkan ke sebuah tiang kemudian mulai turun dari atap dengan perlahan-lahan menuju ke lantai tiga.

Begitu sampai di depan sebuah kamar yang ku tuju, ku tolak tubuh jauh ke belakang; saat diriku melaju ke sisi sebaliknya, lantas segera ku angkat kedua kaki dan menghantam jendela yang terbuat dari kaca.

Praaanggg…

Kacanya pecah.

Kini, aku sudah berada di dalam. Hal pertama yang ku lakukan adalah melihat ke sekitar; ada enam pria di sini. Mereka seketika kaget ketika melihatku muncul secara mendadak.

“Siapa kau…” tanya salah satu dari mereka, sedangkan yang lainnya bergerak cepat mengambil senapan dari atas meja.

Di waktu yang sama, aku menoleh ke kiri dan melihat Siti Keumala sedang duduk dengan tenang. Sejauh ini ia masih baik-baik saja. Maka, mempersingkat waktu, aku datang dan menyerang semua pria ini sebelum mereka berhasil mengarahkan senjata kepadaku.

Empat di antaranya berhasil ku lumpuhkan; sisanya mampu bangkit, bahkan satu pria berkaos putih berlari lalu kembali lagi bersama sebuah pedang di tangan. Ia mengayunkan benda itu dengan sangat lihai sedangkan aku terus mengelak sebisanya. Hampir semua yang ada di dalam kamar ini berhamburan karena mengenai tebasan pedang.

Sambil menghindari serangannya, aku mengambil sebuah besi padat dari dalam jubah kemudian segera menahan laju pedang. Begitu pedangnya menghantam besiku, seketika senjata itu patah dan sontak membuat pria tersebut terkejut tak percaya. Adapun aku segera menghantam wajahnya menggunakan besi — ia pun tergeletak tak berdaya.

Selanjutnya, satu musuh tersisa; aku sudah melihat ia berhasil mengambil pistol. Dengan gerakan cepat diriku menghindar semampunya beriringan dengan dia yang menembakiku tanpa henti. Tak ada satu pun peluru yang berhasil mengenaiku. Sebaliknya, dalam satu kesempatan sempit, aku melempar besi dan lantas menghantam wajahnya.

“Bajingaaan…” maki orang itu sambil memegangi wajah.

Hanya berselang satu detik setelahnya, aku mendatangi pria ini; ku jambak rambutnya dan mengantukkan kepalanya ke dinding. Ia pun ambruk.

“Hebat sekali.” Kata Siti Keumala. “Kau menghabisi mereka semua sekaligus.”

Aku mengabaikan pujiannya dan bertanya, “bagaimana dengan Ghufran?”

“Aku akan bertemu dengannya pukul 3 nanti.”

“Jadi dia juga datang ke sini?”

“Tidak…” sahut Keumala. “Aku yang akan mendatanginya.”

Setelah itu, aku mengambil tali dan mengikat dua musuh yang ku kalahkan tadi — mereka tergeletak lemah bersimbah darah.

“Kau tidak mengikat mereka semua?” Tanya Siti Keumala.

“Dua sudah cukup. Lagipula, empat lainnya sudah tak berkutik. Aku sudah menyerang titik-titik vital.”

“Setelah ini, apa yang akan kau lakukan?” Tanyanya lagi.

“Menangkap Ghufran. Aku akan tetap mengandalkanmu.”

“Lebih baik jangan dulu… paling tidak jangan malam ini.”

Entah kenapa ku lihat Keumala seperti sedang ketakutan. Sikapnya membuatku menatapnya keheranan. “Kenapa?” Tanyaku.

“Aku yakin kau pasti sudah mendengar semua percakapan mereka tadi. Detektif… jika kau memaksakan diri, kau bisa saja terbunuh. Lebih baik malam ini kau mengatur strategi yang lebih matang untuk mengalahkan Ghufran.”

“Apa kau mengkhawatirkanku?”

“Jangan anggap remeh orang itu. Yaa aku tahu kau laki-laki yang tangguh, tapi Ghufran — dia bukan orang sembarangan. Jika aku menjadi dirimu, aku akan memilih untuk melihat gaya tarungnya terlebih dahulu. Apalagi, pertemuan nanti melibatkan beberapa orang yang cukup berbahaya.”Jelas Keumala.

“Terima kasih sudah mengingatkanku. Sekarang cepat pergi dari sini. Kita akan berjumpa lagi di tempat lain pukul 3 nanti.”

“Detektif… ku harap kau bukan orang yang keras kepala. Yang ku bilang barusan, aku sama sekali tak berbohong — dan bukan juga aku bermaksud meragukan kemampuanmu. Tapi aku yakin kau pasti belum pernah berjumpa dengan Ghufran — apalagi melihatnya bertarung.”

“Ya, aku tahu. Mulai sekarang aku akan berhati-hati.” Sahutku.

“Baiklah…” balas Siti Keumala. Ia lantas bergeas pergi dari kamar ini. Sedangkan aku masih harus melakukan seuatu kepada para bandit. Mekipun mereka sudah lemah, aku tetap tak bisa membiarkan mereka begitu saja. Paling tidak sampai kapten Tiyo dan pasukannya tiba ke sini.

“Ternyata… kau detektif yang sering diomongkan itu. Tak ku sangka kami malah berhadapan denganmu. Aku juga terkejut rupanya wanita itu selama ini bekerja sama denganmu.” Kata salah satu dari mereka.

“Maaf datang tiba-tiba…” balasku.

“Apa kau berhasil memuaskannya di atas ranjang sampai-sampai dia berani berkhianat pada kami?”

“Sebagai seorang pria, aku punya banyak cara untuk memuaskan wanita tanpa harus menjamahnya di ranjang. Dan bagi laki-laki cabul sepertimu takkan mampu memperlakukan perempuan sepertiku karena di dalam benakmu semua hanya tentang melampiaskan nafsu birahi.”

“Cih…” gumamnya. “Kau memang berhasil mengalahkan kami berkat bantuan wanita itu. Tapi, jika orang yang kau cari adalah Ghufran — tak peduli siapa kau… ku ingatkan dirimu untuk berhati-hati. Dia bisa mematahkan tulang-tulangmu dalam sekejap. Dan jika dia tahu bahwa Siti Keumala sudah berkhianat, perempuan itu pasti akan dibunuh.”

Perkataannya itu malah membuatku penasaran; sebenarnya kemampuan macam apa yang dimiliki oleh Ghufran. Aku terus memikirkannya.

Di tengah perjalanan, ku pacu sepeda motor Trail setajam mungkin. Jalanan kota sangat sepi, jadi aku bisa begitu leluasa.

Dari kejauhan, ku lihat ada sebuah mobil. Itu adalah kendaraan yang sempat ku taruh benda pelacak ketika masih berada di hotel.

Ku tingkatkan kecepatan hingga kini diriku hanya berjarak beberapa meter saja dari mobil tersebut. Tak ingin membuang banyak waktu, lantas ku ambil grapple gun lalu menembak. Ujung dari talinya seketika menghantam kaca belakang dan tersangkut di sebuah benda. Beriringan dengan itu, aku pun tertarik ke sana — ku hantam saja kacanya dan dalam sekejap membuatku berhasil berada di dalam mobil.

Hanya selang satu detik, tanpa basa-basi aku langsung mencekik seorang pria dari belakang yang tak lain adalah Kamarudz — ia duduk di samping tempat kemudi.

Kamarudz berusaha melawan meski sebenarnya itu sia-sia. Di sisi lain, sang sopir panik, namun ia tetap mencoba fokus menyetir sambil sesekali memukuliku.

“Siapa kau, bajingan…?” teriak si sopir.

Aku tidak menyahutinya. Dan sebagai gantinya, ku antukkan kepalanya ke tempat kemudi; hal ini membuat mobil oleng.

Lalu, aku menendang pintu kemudian mengambil kembali grapple gun yang langsung ku tembak ke sisi luar. Sambil merangkul kedua orang ini, diriku langsung tertarik oleh tali. Kami bertiga berhasil keluar dari mobil — aku dan para musuh terbang menuju ke sebuah pohon rindang dan mendarat di atas dahannya yang lumayan padat. Kedua bandit dalam posisi yang tak menguntungkan sebab aku mencekik leher mereka.

Di samping itu, aku sempat melihat di mana mobil tadi terus melaju serong ke samping kanan hingga akhirnya menabrak tiang lampu jalanan.

Duaaarr…

Mobilnya seketika meledak.

“Le… pas… kan… ke… pa… rat…!” ujar Kamarudz dengan terbata-bata.

Maka aku menurutinya dan ia pun terjatuh dari ketinggian sekitar 5 meter. Dapat ku dengar ada suara patahan begitu lelaki itu menghantam aspal.

Kamarudz menjerit histeris karena kesakitan. Ia juga tak berhenti melontarkan cacian.

Di sini, aku ikut melompat ke bawah sambil mencengkeram leher sang sopir dan kemudian mendarat dengan mulus berkat bantuan jubah yang mengaliri udara. Lalu, tanpa berkata apa-apa ku pukuli perut si sopir hingga dirinya ambruk begitu saja. Setelah itu, baru diriku berjalan kepada Kamarudz.

“Detektif… Jimmy…” Katanya yang terkejut.

Berbeda dengan tentara bayaran yang lain, Kamarudz bisa langsung mengenaliku.

“Jangan-jangan kau tahu rencana kami…” lanjutnya.

“Katakan padaku kepada siapa saja Ghufran menjual senjata ilegal.”

“Kenapa kau bisa tahu…?” Ia malah balik bertanya.

Oleh sebab Kamarudz tidak menjawab pertanyaanku, maka aku pun meninju wajahnya sampai-sampai darah tersembur dari mulut. “Jawab yang ku tanyakan…!” balasku.

“Apa untungnya jika aku menjawabmu? Kau pikir kau bisa menggagalkan misi kami?”

“Jika aku sudah berhasil menemukanmu, itu tandanya aku berniat serius untuk menggagalkan semua rencana kalian.”

Kamarudz terlihat kesal dengan perkataanku. Tapi, aku lebih kesal lagi sebab ia tetap tak kunjung memberi tahu jawabannya. Lantas, ku tarik kerah baju orang ini dan menatapnya sedingin mungkin.

“Jika kedua kakimu yang sudah patah masih belum cukup membuatmu berbicara, maka akan ku patahkan tanganmu. Dan jika masih belum cukup juga, aku tak segan-segan meremukkan tulang punggungmu.” Kataku mengancamnya.

Bahkan, setelah ku ancam, Kamarudz masih bersikukuh untuk bungkam. Dia berpikir aku bercanda, maka tanpa ampun lagi ku patahkan tangan kanannya. Ia menjerit tak karuan.

“Siapa yang memintamu bernyanyi…?” kataku lagi sambil mencekik leher Kamarudz; seketika suara teriakannya langsung tersangkut.

Di tengah menginterogasi, dari radio penghubung aku mendengar suara Siti Keumala yang sedang berbicara. Sepertinya ia sudah bersama Ghufran. Lantas aku bergegas pergi dan meninggalkan Kamarudz serta sopirnya. Sisanya, ku serahkan saja pada kapten Tiyo agar dia membawa kedua orang ini ke markas besar.

Dalam perjalanan menyusul Siti Keumala, tiba-tiba suaranya yang terkoneksi dengan radio penghubung putus begitu saja. Aku panik dan menunggangi Trail di atas kecepatan rata-rata.

Sekitar lima menit kemudian diriku sampai ke sebuah rumah besar bertingkat tiga. Dari jalanan, ku lihat juga pekarangan rumah itu sungguh luas.

Aku menghentikan Trail di suatu tempat yang gelap — jaraknya lumayan jauh dari kediaman tersebut. Mulai dari sini, aku langsung berjalan ke sebuah gedung dan segera menaiki atapnya.

Tujuanku dari atap ini sudah jelas yaitu menuju ke rumah tadi. Aku harus menyelinap diam-diam. Oleh karena jarak gedung ini dan kediaman itu lumayan jauh, maka kali ini aku menggunakan senapan tali yang lebih besar.

Ku bidik senapannya ke sebuah tiang; setelah menekan pelatuk dan talinya menjalar serta tersangkut ke sana, aku pun terbang dan sigap menyangkut diriku di pucuk tiangnya.

Di detik selanjutnya, aku mengambil ancang-ancang kemudian melompat ke balkon di lantai tiga. Begitu sampai, ku lirik ke sekitar sejenak dan memutuskan menyusup ke dalam melalui langit-langit yang plafonnya berhasil ku lubangi.

Kini, aku sudah berada di dalam langit-langit. Sejenak ku lihat ponsel pelacak untuk mencari tahu di mana Siti Keumala berada. Alat penangkap suara yang ku taruh di pakaiannya juga berfungsi untuk melacak posisi.

Dan setelah ku perhatikan layar ponsel selama beberapa detik, ku putuskan untuk berjalan ke arah jam 2. Aku terus melangkah cepat namun tetap dalam kewaspadaan. Ada sekitar 10 meter, aku sudah berada di posisi Siti Keumala — lebih tepatnya ia berada di bawahku.

Ku lubangi plafonnya sejauh mata dapat memandang ke dalam. Ketika selesai, aku melihat ke situ dan yang pertama ku temukan adalah Siti Keumala; ia sedang duduk di sebuah sofa dalam keadaan telanjang. Selain itu, dapat ku lihat dengan jelas bahwa gadis itu sedang menangis. Sepertinya ada hal buruk terjadi padanya, dan aku berpikir barangkali Ghufran sudah tahu bahwa sebenarnya Keumala sedang memata-matainya.

Di momen ini, aku berjalan dan memutuskan kabel lampu, lalu kembali lagi ke tempat semula. Sekarang, ku lihat suasana di dalam sana sudah berubah menjadi gelap gulita.

Selanjutnya, aku melubangi plafon lebih lebar dan dalam sekejap diriku sudah berada di dalam tanpa mengeluarlan satu pun suara bising.

“Apa-apaan ini… kenapa lampunya malah mati.” ujar seseorang. “Di mana senter? Aku mau mengecek ke sekitar. Pasti ada yang tak beres.”

“Tak perlu…” jawab seseorang yang lain; lalu seketika muncul cahaya, membuatku dapat melihat wajahnya dengan sangat jelas di dalam kegelapan ini.

Ya… dia adalah Ghufran yang sedang berdiri tepat di sebelah Siti Keumala.

“Listriknya padam, itu pertanda tamu yang kita nanti-nantikan sudah tiba, bukan begitu, Detektif Jimmy.” Lanjutnya.

Ghufran lantas mengarahkan cahayanya kepadaku. “Di situ kau rupanya…” kata orang ini.

Dia bisa langsung tahu posisiku padahal masih dalam gelap gulita.

“Jadi, sudah berapa banyak teman-temanku yang berhasil kau tangkap, detektif…?”

“Menyerahlah, Ghufran. Tak ada jalan lagi bagimu untuk kabur.” Sahutku.

Ia malah tertawa terbahak-bahak. “Benarkah? Tapi aku penasaran… siapa di antara kita yang akan melarikan diri nanti. Jadi, ku harap kau tidak keberatan jika ku ajak bertarung. Tenang saja, memang ada 10 orang lainnya di sini, tapi mereka takkan ikut campur. Ini hanya di antara kita saja.” Ujarnya dengan sombong.

“Bukannya menolak, tapi aku sedikit sibuk karena setelah menangkapmu, aku juga akan membungkam semua bawahan serta rekanmu.”

“Ya, aku sudah tahu, detektif. Ini semua berkat Siti Keumala. Dia bukan hanya wanita simpanan bagiku, tapi juga anjing betina yang sangat setia. Jika bukan karenanya, aku bisa saja tertangkap mudah mengingat kau begitu lihai menyusup… seperti yang kau lakukan barusan.”

Aku terkejut mendengar Ghufran. “Siti Keumala?”

“Sayang sekali… wanita yang sudah kau percayakan ini malah mengkhianatimu dan memilih untuk membantuku. Jangan terkejut, detektif… ini terjadi karena Siti Keumala memang sengaja ku jadikan sebagai mata-mata.” Sambung Ghufran.

Aku benar-benar tak percaya. Ku pikir selama ini ia sudah membulatkan tekad untuk bekerja sama denganku.

“Padahal malam ini aku ingin bercinta sebentar dengannya. Tapi berhubung kau datang, maka aku akan meladenimu terlebih dahulu. Setelah itu, aku dapat meniduri Siti Keumala dengan tenang tanpa ada gangguan.”

Setelah mengatakan itu, seketika ruangan ini menjadi terang benderang. Lalu, Ghufran mengambil sebuah besi dan berjalan mendekatiku. Di tengah dirinya melangkah, aku menyempatkan diri melirik ke sekitar, kemudian berlari ke sisi kiri dan menyerang seorang pria. Tak hanya itu, aku terus gerak cepat dan menghabisi seluruh bandit hingga tersisa Ghufran seorang bersama Siti Keumala yang masih setia duduk di sofa. Di sini, ku pandangi wanita itu dengan murka dan membuatnya tak berani menatapku.

“Aku datang…” teriak Ghufran. Ia mengayunkan besi ke wajahku tapi aku langsung menghindar.

“Jangan tertegun melihat Keumala yang sedang telanjang, detektif. Yaa walaupun kita setuju bahwa ia memiliki tubuh yang indah — apalagi payudaranya yang kenyal dan padat itu.” Gumam Ghufran.

Ia terlalu banyak mengoceh, membuat telingaku muak mendengarnya.

“Sangat luar biasa melihatmu bisa menghabisi teman-temanku sekaligus, padahal mereka semua orang yang terlatih. Tapi, aku tak terkejut sebab kau pun juga bukan sosok sembarangan.” lanjutnya lagi.

Ghufran berlari ke arahku dan mengayunkan besi dengan membabi buta. Ia begitu berhasrat menghabisiku menggunakan benda sialan itu. Sedangkan aku terus mengelak sembari berjalan mundur. Dalam momen ini, tak ada satu serangan yang berhasil mengenaiku.

“Mau sampai kapan kau terus menghindar? Mana aksimu yang ditakuti oleh para mafia? Keluarkan agar aku merasa punya lawan yang sepadan…” ujar Ghufran. Ia terus memperovokasiku meski sebenarnya aku sama sekali tidak terpancing.

Sampai di satu kesempatan, aku menemukan momen yang tepat. Maka, bersamaan dengan Ghufran mengarahkan besi ke dadaku, aku langsung bereaksi cepat untuk menangkis tangan lelaki ini dan membuat besi tersebut lepas dari genggamannya. Bersamaan dengan itu aku langsung meninju pipinya hingga pria ini terhempas.

Tak cukup sampai di situ, aku datang lagi dan menendang wajah Ghufran. Ku pikir dirinya akan ambruk, tapi tak ku sangka ia masih mampu berdiri.

Meski begitu, pertahanan si bandit terbuka, membuatku dapat mendaratkan pukulan ke perutnya — ia terdorong beberapa langkah ke belakang. Namun lagi-lagi, orang itu masih juga kokoh.

“Hanya itu? Baiklah… sekarang giliranku.” Katanya.

Ghufran berlari dengan kencang dan menghujaniku pukulan bertubi-tubi. Kepalan tinjunya terlalu cepat meski aku sendiri masih mampu menangkisnya. Akan tetapi, ia malah memberi serangan mendadak; laki-laki ini menendang betisku hingga diriku terjatuh. Di sinilah kemudian dia menendang wajahku dengan keras. Aku pun tercampak jauh.

Belum sempat bangkit, Ghufran datang lagi dan menjambak rambutku. Laki-laki ini juga mencoba menyikut dadaku namun berhasil ku cegah. Tapi setelahnya, ia menarik rambutku kemudian mengantukkan wajahku tiga kali ke dinding.

Di saat ia hendak mengantukkan wajah yang ke empat kalinya, aku berhasil melepaskan diri dan mendaratkan sebuah tinju ke hidungnya. Kini, ku serang dirinya bertubi-tubi hingga ia ambruk.

Dalam posisinya yang tergeletak, aku berniat menginjak dadanya, tapi dia lebih cepat — Ghufran langsung menggulingkan tubuhnya dan kembali berdiri.

Ia berlari mengambil pedang lalu balik menyerangku. Sebanyak lima kali dirinya mengayunkan senjata itu hingga yang ke sekian aku menarik diri untuk mundur beberapa langkah dan spontan melirik ke area dada dan melihat ada sobekan di kaosku. Saat menolehkan mata ke depan, aku terkejut karena Ghufran malah sudah berada di hadapanku; ia lantas langsung menendang dadaku dengan keras— adapun aku terhempas jauh ke belakang hingga menubruk sesuatu.

“Matii kauu…!” Teriak Ghufran sambil menghujani pedang.

Aku spontan melirik pedang tersebut dan dengan satu gerakan refleks ku tahan lajunya menggunakan kedua genggaman tangan. Memang senjata ini gagal melukai kepalaku, tapi sebagai gantinya, aku tahu telapak tangan mulai berdarah. Sedangkan Ghufran tak tinggal diam, ia sengaja menarik pedangnya dan membuat telapak tangan teriris tajam.

Begitu benda tersebut lepas dari genggamanku, si tentara bayaran ini mengangkat kakinya tinggi-tinggi dan menyepak kepalaku. Aku pun roboh seketika.

Dalam posisi terbaring di lantai, Ghufran menendang-nendang tubuhku dengan penuh nafsu. Ia membuatku tak bisa melakukan banyak pergerakan selain hanya berusaha sebisa mungkin melindungi kepala menggunakan kedua tangan.

Setelah tendangan yang kesekian, aku tahu Ghufran sedang mengambil ancang-ancang untuk menusukku dengan pedang. Maka, ku gelindingkan tubuh beberapa kali — bersamaan dengan itu, Ghufran menancapkan pedang namun hanya mengenai lantai.

Setelah bergelinding, aku pun bangkit. Namun baru satu detik, Ghufran malah menendang punggungku. Aku kembali terdorong kemudian menghantam meja serta wajahku mengenai beberapa botol kaca yang seketika pecah. Akibatnya, diriku mulai merasa sedikit pusing.

Di sini aku berusaha untuk berdiri meski tubuh masih oleng belum stabil. Tapi aku tahu saat ini Ghufran sedang berlari menuju kepadaku seraya mengarahkan ujung pedang. Maka, dalam sepersekian detik, aku bereaksi cepat ; ku ambil satu botol kaca yang masih utuh dari atas meja, begitu dirinya sudah semakin dekat, dalam waktu itu pula ku hantam kepalanya menggunakan botol.

Kini situasinya berubah; Ghufran Ambruk dengan bersimbah darah, sedangkan aku berdiri kokoh di hadapannya. Dalam momen ini, aku mengambil pistol dari dalam jubah dan menembaki ke sekitar. Benda-benda bulat nan kecil meluncur deras dari dalam senapan dan menempel erat ke dinding-dinding. Sekarang, aku tinggal menunggu waktu untuk membuat sebuah kejutan yang tak terduga-duga.

Setelah itu, aku melirik Ghufran yang tengah terbaring lemah.

“Takkan ku biarkan kau mengalahkanku…” katanya.

“Sayangnya kau memang benar-benar sudah kalah…”

“Keparaaatt…!” ia berteriak.

Di sini, ku tarik kerah pakaian Ghufran dan menghujani beberapa pukulan ke wajahnya. Darah tersembur deras dari mulut serta hidungnya.

“Detektif… hentikan…!” Ujar Siti Keumala histeris.

Ku hentikan pukulan dan mencampak Ghufran ke lantai, lalu aku menoleh pada Siti Keumala seraya memberi tatapan dingin.

“Kau harus ikut denganku nanti. Ada banyak hal yang harus ku ajarkan padamu mengenai amanah dan tanggung jawab.” Kataku kepadanya.

Setelah mengatakan itu, aku mengambil borgol dan hendak membelenggu tangan Ghufran. Namun, belum pun ku lakukan, aku terkejut sebab ada yang mendobrak pintu ruangan ini. Maka spontan ku toleh ke kanan dan melihat ada banyak pria bersenjata yang sudah mereka arahkan kepadaku.

Paham situasinya semakin memburuk, aku lantas mengambil dua shuriken dari dalam jubah dan dengan cepat menyasari dua orang bersenjata itu untuk mengecoh yang lainnya. Begitu senjata tersebut menancap ke paha dari dua pria, aku pun berlari menghantam kaca dan langsung melompat dari lantai tiga. Bersamaan dengan itu, terjadi ledakan beruntun di dalam sana.

Aku mendarat sempurna begitu tiba di area pekarangan rumah ini. Namun, di sini ternyata ada masalah lain. Aku menoleh ke belakang dan menyadari bahwa kini diriku sudah dikepung. Yang lebih buruknya lagi, mereka semua bersenjata.

Di momen ini, ku atur pernapasan sambil berpikir jernih. Kemudian, diam-diam aku mengambil dua benda bulat dan ku jatuhkan — benda bulat ini seketika meledak dan mengeluarkan asap yang sangat banyak, juga sangat tebal. Seraya mengancing jubah, aku berlati kencang. Ku pukuli siapa saja yang ada di dalam kabut asap ini — di sisi lain, mereka semua tak bisa menyadari kehadiranku meski orang-orang ini terus mengeluarkan tembakan. Beruntungnya tak ada satu pun peluru yang berhasil menyasariku.

Aku terus berlari dengan niat kabur. Dan entah berapa lama diriku meladeni mereka, juga entah berapa banyak musuh yang berhasil ku kalahkan… tepat di satu waktu aku menemukan satu momen yang tepat, lantas ku pacu langkah kaki lebih cepat kemudian mengambil grapple gun dan menembak ke sebuah gedung. Aku langsung tertarik ke sana meninggalkan mereka semua.

Begitu tiba di gedung ini, aku bergegas menuju ke sepeda motor Trail yang ku parkir di sisi belakang. Hanya dalam beberapa detik kemudian, ku nyalakan Trail lalu menancapkan gas.

Saat sudah berada di jalan, dari belakang ku sadari ternyata ada beberapa mobil yang mengejar. Tidak hanya itu, mereka juga menembakiku. Meski begitu, aku tetap memaksa untuk fokus walaupun ku tahu bahwa peluru-peluru itu bisa saja menembus tubuhku sewaktu-waktu.

Terus saja ku tunggangi Trail jauh dari markas para tentara bayaran. Adapun mobil-mobil itu masih senantiasa membuntutiku. Tapi aku tahu bahwa kini kami sudah sangat jauh dari kediaman itu.

Maka, ku lirik ke kaca spion seraya tangan kiri mengambil pistol. Di sini, aku memperhitungkan segalanya termasuk posisi kendaraanku dan juga mobil-mobil itu. Kemudian, dalam satu kesempatan sempit aku membidik ke belakang lalu menekan pelatuk senapan. Sebuah peluru meluncur deras dan berhasil mengenai ban dari salah satu mobil; kendaraan tersebut sektika terbalik hingga menghantam dua lainnya. Kehancuran pun tak dapat terelakkan.

Kini, tersisa satu mobil lagi yang terus mengikutiku. Aku sengaja meningkatkan kecepatan sampai meninggalkan kendaraan itu lumayan jauh. Lalu, spontan diriku membanting setang Trail dan sekarang berbalik arah melaju menuju ke mobil itu.

Baik Trail-ku dan mobil tersebut berada dalam lintasan yang sama serta melaju di angka kecepatan maksimal. Dari sini, aku menghitung bahwa sekitar beberapa meter lagi, kendaraan kami akan saling menabrak. Dan ketika sudah semakin dekat, aku menekan kopling bersamaan dengan menancapkan gas, seketika ban depan Trail terangkat menjulang tinggi.

Ketika sudah sangat dekat, ku beratkan massa tubuhku lalu di saat yang sama aku berdiri hingga membuat ban belakang ikut terangkat. Di momen inilah — Trail-ku terbang dan menghantam bagian depan mobil. Tapi, aku tidak berhenti sampai di situ. Tepat setelah menghancurkan kaca depannya; aku terus menancapkan gas hingga sepeda motor ini merengsek sampai ke bagian atap mobil hingga ke sisi belakang, kemudian kembali lagi ke aspal.

Setelah itu, aku memutar balik dan kini malah diriku mengejar mobil tersebut. Si pengendara masih tetap memaksa membawa kendaraannya meski sudah ku hancurkan setengah tadi. Sedangkan aku tak mau membuang-buang waktu lagi — dengan pistol yang masih di tangan, aku menembak bannya. Dalam sekejap mobil itu terbang lalu terseret jauh serta terguling-guling beberapa kali sampai kemudian berhenti dalam posisi atap kendaraan berada di bawah.

Di sinilah aku menghentikan Trail; ku parkirkan di tengah jalan lalu berjalan kaki menuju mobil itu. Badan kendaraannya hancur, juga kaca-kacanya pecah. Bisa ku lihat terdapat dua orang di dalam sana.

Salah satu bandit berhasil keluar dari mobil; ia berlutut lemah seraya mengarahkan senapan kepadaku. Adapun aku terus berjalan tenang sembari mengambil sebuah shuriken kemudian melempar dan menancap mulus ke tangannya yang sedang memegangi senjata — seketika senjata itu lepas.

Saat sudah berada tepat di hadapan bandit ini, aku menjambak rambutnya serta memaksamya untuk berdiri.

“Jangan bunuh aku…” katanya memohon. Kini ia ketakutan setengah mati.

Sedangkan aku mengabaikan perkataan laki-laki ini dan mengantukkan kepala ke hidungnya, lalu menghantamkan wajahnya ke badan mobil. Ia langsung terkapar tak sadarkan diri.

Setelah kabur sejauh ini, akhirnya aku merasa kini sudah aman. Tak terbayang bahwa aku harus menghadapi Ghufran beserta puluhan bawahannya seorang diri. Dan sayangnya aku gagal menangkap si tentara bayaran itu, padahal sebelumnya aku berhasil mengalahkannya.

Tapi, yang membuatku lebih kesal adalah Siti Keumala — tak habis pikir wanita itu malah mengkhianatiku dengan cara seperti ini.

Sialan.

Aku membuka pintu ruang penyidik dan langsung mendengar suara kapten Tiyo yang membahana.

“Jangan mempermainkanku…” bentak Tiyo kepada seorang tentara bayaran yang berhasil ku lumpuhkan di sebuah hotel.

“Mau berapa kali kau tanya, aku takkan pernah buka mulut.” Sahutnya.

Di tengah keributan ini, aku masuk ke dalam ruang penyidik dan berujar, “lepaskan borgol di tangannya.”

Kapten Tiyo menoleh padaku. “Apa yang kau rencanakan?” Tanyanya. Tapi aku tidak menyahut apa-apa, hanya diam sambil terus menatap si tentara bayaran itu.

Adapun Tiyo menyuruh bawahannya untuk melepaskan borgol dari tangan si berandal itu. Begitu bebas, ia berlari ke arahku dan hendak menyerang. Akan tetapi aku lebih dulu bereaksi; ku raih tangannya bersamaan dengan membalikkan tubuh laki-laki ini membelakangiku, kemudian menahan kedua lengannya ke punggung.

“Sebesar apa nyalimu? Katakan.”

“Satu lawan satu — jika aku kalah, aku bersedia mengatakan semuanya tentang Ghufran dan teman-temannya.” Sahut sang bandit.

Aku lantas mendorong dirinya hingga ia tersungkur. Laki-laki ini lalu bersegera bangkit sambil mengatur pernapasan.

“Tanganku sudah gatal ingin meremukkan wajahmu.”

“Lakukan sesukamu…” balasku.

“Mari buat kesepakatan, aku bersedia berbicara jika kalah. Dan seandainya kau yang kalah, maka biarkan diriku pergi dari sini dengan aman.”

“Kau takkan ke mana-mana karena kau akan kalah…”

“bajingaan…!” teriaknya.

Sang tentara bayaran berlari kencang; ia datang dan langsung melayangkan tinju bertubi-tubi. Sedangkan aku santai saja dan meladeninya dengan tangkisan demi tangkisan. Hal tersebut membuatnya berang.

“Jangan remehkan aku…” ia berteriak lagi.

“Baiklah…” jawabku.

Aku pun mendatanginya, lalu dengan satu gerakan cepat ku daratkan sebuah tinju keras ke dadanya. Laki-laki ini terpaksa menekuk. Selanjutnya, aku mencekik leher si bandit lalu mengangkat tubuhnya dan ku banting ke sebuah meja. Seketika meja ini patah — adapun ia tergeletak tak berdaya.

Masih belum cukup, aku menarik pakaiannya dan mendorong jauh dirinya hingga menabrak dinding. Datang lagi… kini ku antukkan kepalanya ke dinding dan dia pun ambruk tak karuan.

“Kau sudah kalah, sekarang… katakan semuanya padaku.” ujarku kepada si tentara bayaran ini.

Meski begitu, sikapnya menunjukkan bahwa ia tetap menolak untuk berbicara, dan itu membuatku murka. Aku benci terhadap orang yang mengingkari janji, maka ku ambil kunai dan mengancamnya.

“Kau pasti sudah tahu bagaimana perawakanku. Aku akan berhitung sampai 3, jika kau tetap membisu, akan ku potong pergelangan tanganmu.” Ancamku.

“Lakukan saja… aku tahu kau pasti takkan berani…”

Dia berpikir aku main-main. Maka tanpa basa-basi lagi ku kabulkan permintaannya — aku memotong pergelangan tangan laki-laki ini. Akibat dari itu, ia menjerit histeris— darah seketika mengucur deras.

“Keparat kaauu…” maki bandit tersebut. Aku yang sedang berdiri lantas menekukkan badan dan mencekik lehernya.

“Aku orang yang menepati janji. Jika kau masih juga bungkam, akan ku siksa lebih perih daripada ini. Asal kau tahu, aku tidak selembut pria berjaket hitam itu.” Kataku yang merujuk kepada kapten Tiyo.

Sambil menanti respon si tentara bayaran ini, aku sudah bersiap-siap memotong pergelangan tangan kirinya. Namun kali ini dia menyerah.

“Baiklah… baiklah… aku akan mengatakan semuanya padamu.” ujarnya.

“Ingat satu hal, apabila ada satu kebohongan yang terlontar dari mulutmu, ku pastikan kau takkan bisa lagi mengunyah makanan.” balasku.

Sang bandit mulai ketakutan setengah mati. Ia melirikku sembari menelan ludah. Oleh karena tatapanku begitu dingin, orang ini pun akhirnya berbicara panjang lebar mengenai Ghufran serta antek-anteknya.

Lima belas menit kemudian

Dua polisi membawa si tentara bayaran ke klinik untuk mengobati luka-lukanya, termasuk pergelangan tangan yang ku potong tadi. Ia sudah mengatakan beberapa informasi mengenai Ghufran walaupun aku harus memakai cara yang lumayan bengis.

Aku tidak selembut pria berjaket hitam itu; perkataanmu tadi benar-benar membuatnya ketakutan. Ternyata kau kejam juga.” Ujar kapten Tiyo.

“Kita tidak sedang berhadapan dengan bandit abal-abal. Cara lembut takkan mampu membuat mereka berbicara.” balasku.

“Yaa… kau benar. Jadi, selanjutnya apa yang kan kau lakukan? Ku dengar kau baru saja dikeroyok oleh sekawanan tentara bayaran itu…”

“Aku bisa saja menangkap mereka semua sekaligus jika tak ada yang berkhianat.”

“Apa maksudmu? Siapa yang berkhianat?” Tanya Tiyo penasaran.

“Bukan salah satu dari kita — hanya seorang kenalanku. Yang jelas, berdasarkan pengakuan bandit tadi, sekarang kita tahu bahwa mereka punya beberapa markas — Ghufran terhubung ke semua tempat itu. Dan peran dia hanyalah sebagai agen penjual senjata; adapun misi terselubungnya seperti yang sudah ku jelaskan padamu.”

“Jadi, rencana mereka yang ingin membunuh para jenderal tentara murni rencana milik Kamarudz — dan kau malah sudah berhasil menangkapnya. Dengan kata lain, kasus ini sudah bisa kita katakan berakhir setengah, kan?”

“Mendengar dari akuan bandit tadi, sepertinya belum ada tanda-tanda kasus ini sudah berakhir setengah. Aku merasa ada sosok lain yang punya peran besar menggerakkan para tentara bayaran itu.” Jelasku.

“Lalu, apa yang harus kita lakukan?”

“Aku akan mencari beberapa informasi lagi.”

“Kalau begitu, ku harap kau bersedia melibatkan beberapa bawahanku. Tim jaguar bisa kau andalkan. Mereka orang-orang yang terlatih khusus di bawah bimbinganku. Kau bisa mempercayai mereka.”

Aku menanggapi masukan Tiyo dengan anggukan, kemudian bergegas pergi menuju kediamanku.

Dari dalam sebuah gudang, aku senantiasa bersembunyi seraya menanti momen yang tepat untuk beraksi. Dan setelah lebih dari 30 menit di sini, lantas diriku mulai bergerak.

Aku membuka pintu gudang lalu mengintip sejenak. Begitu ku pastikan situasinya aman, aku langsung berlari menuju ke sebuah ruangan. Saat berada di dalamnya, aku bersua dengan 10 pria bersenjata. Mereka mulai bersiaga tepat di saat menyadari kedatanganku. Namun belum sempat melakukan apa-apa, listriknya padam dan mengagetkan semuanya. Sedangkan aku — inilah waktu yang tepat — ku habisi pria-pria ini dengan pukulan tajam tapi tak mengeluarkan suara sedikitpun. Satu per satu mereka runtuh tak berdaya.

Setelah berhasil mengalahlan semua bandit, aku lalu mengancam mereka agar bersedia buka mulut. Ancamanku terlalu besar bagi mereka hingga tak ada seorang pun yang menolak memberi informasi kepadaku.

“Jaguar A… waktunya beraksi.” kataku melalui radio penghubung.

Lantas sekitar satu menit kemudian mereka berhasil memasuki ruangan ini.

“Amankan mereka…” perintahku kepada kapten tim Jaguar A.

“Bagaimana denganmu?” tanyanya.

“Aku akan melanjutkan misi ke tempat lain.”

Selang 10 menit kemudian

Kini aku berada di sebuah tempat karaoke. Suasananya terlalu berisik dengan nyanyian serta teriakan-teriakan pengunjung. Ini merupakan salah satu tempat hiburan anggota dewan yang nakal-nakal; jadi bukan lagi hal yang mengejutkan ketika aku menemukan pemandangan seperti laki-laki berperut buncit menggoda para wanita setengah telanjang yang sedang bernyanyi.

Ku abaikan orang-orang itu dan mengalihkan mata meoleh ke salah satu laki-laki berkemeja biru gelap. Ia sedang duduk sambil meneguk minuman keras. Dan tak lama setelahnya, ia beranjak — sedangkan aku mengikutinya dari belakang.

Ternyata, laki-laki itu pergi menuju toilet. Di momen ini, aku menantinya di depan pintu selama beberapa menit. Dan begitu ia membukanya lagi, seketika dirinya terkejut.

“Kau…” gumamnya.

Aku langsung meninju wajah laki-laki ini sebagai bentuk salam, kemudian mendorongnya masuk ke dalam toilet lagi bersamaan dengan diriku sendiri. Ku kunci pintunya lalu menghabisi laki-laki ini hingga ku akhiri dengan mengantukkan kepalanya ke cermin.

“Kau pasti tidak sendirian di sini. Katakan di mana rekan-rekanmu berada.” Kataku.

“Mereka… ada di ruang… VIP.” Jawab laki-laki ini.

“Di mana ruangan itu?”

“Lantai lima…”

“Bawa aku ke sana…” Ujarku memaksa.

Bukannya bersegera menurutiku, ia malah mengajukan pertanyaan tak penting. “Apa yang kau cari…?” tanyanya.

Aku tidak menjawab namun kembali meninju wajahnya lalu membalas, “kau paham kan apa yang ku katakan tadi, kan? Aku memintamu untuk membawaku ke sana. Jangan buang-buang waktu lagi.”

Oleh karena gelagatku yang serius, ia lantas menurutiku tanpa banyak mengoceh lagi. Dengan kepala yang bersimbah darah, laki-laki ini melewati kerumunan sambil berlari. Adapun pengunjung lain ku lihat hanya menatapnya dalam kebingungan.

Lalu, kami pun tiba di ruang VIP yang ia maksud. Ku suruh dirinya membuka pintu dan masuk ke dalam. Laki-laki ini menurut saja.

Begitu pria itu berada di dalam, semua yang ada di ruangan VIP ini terkejut. Keributan mulai terdengar olehku yang sedang berdiri di balik tembok. Seraya menggenggam benda bulat, aku menghitung sampai tiga lalu melemparkannya ke dalam. Satu detik setelahnya, terjadi ledakan beserta gumpalan asap yang mengepul ke seluruh sisi ruangan ini.

Maka, aku masuk dan menutup pintu serta menguncinya. Setelah itu, ku habisi semua orang di sini di tengah kepulan asap. Tak ada satu pun yang mampu menyerang balik diriku sebab pandangan mereka terutup oleh kabut tebal.

Beberapa saat kemudian, semua musuh tak berkutik — tersisa hanya lima wanita yang berlutut ketakutan. Mereka semua dalam kondisi setengah telanjang.

Saat gumpalan asap mulai lenyap perlahan-lahan, wanita-wanita itu menatapku dan seketika menjerit meminta tolong. Mungkin mereka takut melihatku berdiri dingin sambil memegangi kunai di tangan yang penuh dengan lumuran darah.

Dan begitu mereka mengalihkan pandangan ke para berandal yang terbaring di lantai, wanita-wanita itu menjerit histeris, seakan-akan tak percaya terhadap apa yang mereka tatap — seluruh pria yang ada di ruangan ini tergeletak berdarah-darah . Paha dan dada mereka ku lukai menggunakan kunai.

Tak lama berselang, tim Jaguar B tiba di tempatku berada. Sesuai rencana, mereka mengamankan para bandit beserta kelima wanita.

“Begitu sampai ke markas, aku mau kalian jangan hanya menginterogasi pria-pria ini, para wanita juga. Lakukan apa saja hingga mereka bersedia buka mulut.” Kataku kepada kapten dari tim Jaguar B.

“Bagaimana dengan tempat ini? Kita semua tahu ini tempat ilegal.” Balasnya.

“Kapten Tiyo sudah mengirim pasukan lain, dan mereka sedang dalam perjalanan ke sini.”

Satu jam kemudian

Aksi penyusupan selanjutnya berada di sebuah gedung yang ternyata merupakan tempat penyimpanan senjata ilegal. Sebenarnya ada tiga tempat lainnya yang digunakan oleh para tentara bayaran untuk menyimpan berbagai jenis senjata yang mereka beli secara ilegal. Namun yang kini ku datangi adalah markas yang sering disinggahi oleh Ghufran.

Meski ku tahu malam ini dia sedang tidak berada di gedung ini, tapi aku tetap menyusup. Aku memulai pergerakan dari atap gedung lalu bergegas memasuki area dalamnya di lantai dua. Di depan sebuah ruangan, diriku berdiri santai sambil merokok. Tak lama setelahnya, seseorang keluar dan langsung bersua denganku.

Dirinya yang panik hendak langsung menyerang tapi aku sigap melempar rokok ke wajah laki-laki ini lalu menghujani sebuah tinju keras ke perutnya. Di waktu yang sama juga kemudian aku menendang dadanya hingga ia tercampak ke dalam ruangan.

Di sini, aku juga ikut memasuki ruangannya dan melihat terdapat 4 laki-laki bertubuh kekar. Selain itu, ada banyak jenis senjata dari berbagai macam level yang terpampang di sebuah lemari kaca dan juga di setiap hamparan dinding. Lalu, tepat lurus dari mataku yang memandang, ku lihat juga ada sebuah pintu — mungkin di dalamnya juga tersimpan jenis senjata lain.

“Apa yang membuatmu datang ke sini…?” tanya salah satu dari pria bertubuh kekar itu. “Kau mau cari masalah? Sayang sekali kau sudah salah masuk, kawan.”

Ia dan tiga temannya serentak mengambil besi serta rantai. Mereka berempat bersiap-siap bertarung denganku.

“Ku pikir kalian semua benar-benar sosok pemberani. Ternyata hanya sekumpulan pengecut. Lalu untuk apa otot-otot kalian itu? Hanya sekedar pamer?” Kataku sembari memperovokasi.

Pria yang mengoceh tadi tersulut emosi. Dia berjalan dengan gagah dan melayangkan besi padat yang ada di tangan kanannya. Aku sendiri tidak mengelak melainkan malah ku tinju besi tersebut hingga patah. Dan gertakan itu membuatnya terkejut, sedangkan aku langsung menghabisi laki-laki ini dengan satu pukulan ke dagunya. Seketika dirinya tersungkur.

Mengetahui salah satu berhasil ku kalahkan, lantas ketiga pria tersisa kompak mengeroyokiku. Usaha mereka percuma — aku mengelak dan langsung menendang dua musuh sekaligus ke wajah mereka. Sedangkan yang terakhir adalah laki-laki yang memegangi rantai; ia masih berusaha menyerangku menggunakan benda itu tapi tak kunjung sukses.

Di satu kesempatan, ketika ia mengayunkan rantai, diriku sigap meraihnya kemudian dengan satu gerakan cepat ku tarik sampai-sampai dirinya juga terikut. Tepat di hadapanku, aku mengepal tinju dan mendaratkan ke rahangnya. Laki-laki ini tergeletak pingsan dalam waktu itu juga.

Selanjutnya, aku mengikat sebuah tali panjang ke tiang besi, lalu melilitkan yang tersisa ke kaki-kaki berandal ini. Begitu selesai, aku pun membahu salah satu dari mereka ke dekat tembok, kemudian mengambil pistol dari dalam jubah. Ku hujani dinding padat itu dengan peluru khusus hingga jebol.

Setelah itu, aku menjatuhkan mereka dari lantai dua — meski begitu, mereka semua tidak menghantam permukaan melainkan tersangkut sekitar 5 meter dari area pekarangan gedung ini berkat lilitan tali.

Di bawah sana sudah ada tim Jaguar C; mereka bersegera melepas ikatan bandit-bandit itu satu per satu.

Di sisi lain, aku beranjak cepat dengan menaruh alat peledak di ruangan ini, kemudian bergegas naik ke langit-langit menggunakan grapple gun. Saat talinya menarik tubuhku ke atas, diriku sigap menaikkan kedua kaki untuk menghantam plafon beserta gentengnya, hingga seketika aku sudah berada di atap gedung. Beriringan dengan itu, terjadi ledakan besar di area dalam. Sejenak ku lirik ke sana, apinya mulai berkobar hebat.

Dari atap aku memantau situasi untuk memastikan keamanan tim Jaguar C. Masih ada sedikit lagi waktu, pikirku dalam hati. Lantas ku ambil pistol lainnya yang juga dari dalam jubah, begitu ku lihat ada orang yang mencurigakan, tanpa pikir panjang aku menembakinya. Terhitung selama tim Jaguar sedang melakukan tugas mereka, ada sekitar lima musuh yang mendekat. Dan aku berhasil menembak setiap kaki mereka hingga semuanya menjerit mengerang kesakitan.

Bukan peluru pada umumnya yang melukai kaki-kaki para bandit, melainkan jarum kecil yang menancap dan memberikan rasa sakit bagaikan tersengat oleh lebah. Oleh karena itu mereka menjerit tak karuan.

Lima menit kemudian, tim Jaguar C berhasil pergi untuk membawa musuh ke markas besar. Sekarang hanya tinggal diriku seorang, maka ini sudah saatnya.

Aku mengambil beberapa benda bulat hitam; di permukaannya ada tombol untuk mengatur waktu. Ku atur sesuai yang ku butuhkan kemudian melemparkannya ke setiap sudut pekarangan gedung.

Selanjutnya, aku mengambil pistol semi otomatis yang ukurannya lebih kecil dari biasanya lalu menembak acak ke berbagai sisi. Tujuanku hanya untuk mengalihkan musuh-musuh yang masih berada di sini.

Lantas dari atap ku lihat satu-satu musuh berhamburan keluar mengelilingi pekarangan gedung. Adapun aku sengaja menampakkan diri agar mereka menyadari posisiku.

Begitu ketahuan, aku berlari ke arah jam 9 lalu dengan percaya diri melompat dari atas ini. Diriku mendarat tepat di tengah musuh-musuh, dan ku habisi mereka dalam sekejap.

Meski begitu, aku tahu mereka semua sudah menantiku di setiap sudut gedung. Maka, diriku sengaja berlari ke area depan. Di sini, sekitar 20 pria sudah menunggu — mereka berdiri seraya memegang senjata.

“Berhenti dan taruh kedua tanganmu di belakang kepala.” teriak salah satu dari mereka.

Aku pun mengikuti apa yang ia katakan. Namun sesaat setelahnya, terjadi ledakan besar dari arah jam 10. Ledakan itu langsung membangkitkan api yang dahsyat.

Jeda dua detik berselang, ledakan lain terjadi di sudut belakang gedung dan terus menyambung mengelilingi seluruh pekarangan gedung ini.

Para musuh mencoba melarikan diri sedangkan aku tak memberi satu kesempatan pun. Ku hajar mereka di tengah ledakan dan sambaran api. Akibatnya beberapa mengalami luka bakar. Adapun aku, meski berada dalam kobaran api, diriku tetap tenang menghabisi pria-pria ini. Jubah yang ku kenakan tahan api, jadi aku tak perlu risau jika si jago merah menjilatiku. Meski begitu, aku tetap mencoba agar keoalaku tidak mengenai percikan api.

Hanya dalam satu menit, aku berhasil melumpuhkan seluruh bandit. Dan hanya dalam waktu yang sangat singkat, api sudah melahap gedung ini dari lantai satu sampai ke lantai dua — hingga ke atapnya.

Di momen ini, aku mengikat para bandit dan menyeret mereka ke area luar gedung agar tidak tersambar api. Beberapa yang mengalami luka bakar terus mengerang kesakitan, tapi aku sama sekali tak peduli. Lalu, ada satu orang yang mengajukan pertanyaan.

“Siapa kau, keparat…?” Tanyanya dengan suara samar-samar.

Lantas ku datangi dirinya dan menjawab, “aku Detektif Jimmy.”

Setelah memperkenalkan diri, aku pun mengantukkan kepalanya dengan kepalaku. Dia seketika tegeletak tak sadarkan diri.

Sekitar 10 menit berselang, tim Jaguar D sampai. Mereka cepat-cepat mengamankan para bandit ke markas besar. Di sisi lain, aku pun juga bergegas pergi.

Semua musuh yang ku tangkap di tiga tempat berbeda; mereka semua merupakan tentara bayaran yang bekerja langsung di bawah arahan Ghufran. Kini, dengan tertangkapnya mereka semua, ku yakini pria itu sudah tak memiliki bawahan.

Ya, seharusnya seperti itu.

Tapi, aku tetap tak boleh meremehkannya, walaupun diriku sudah memberi gertakan nyata kepada Ghufran dan yang lainnya.

Di suatu sore, aku menyempatkan diri untuk singgah ke kantor Harian Cot Jambee. Kantor itu merupakan media dan salah satu yang terbesar serta juga terpercaya di kota ini.

Saat ini aku sedang berada di dalam ruangan kepala redaksinya. Ku perhatikan dengan seksama; tempat ini masih sama seperti semula sejak terakhir kali alu mendatanginya. Tidak banyak yang berubah, hanya ada beberapa bingkai lukisan yang terpampang di dinding.

Aku berjalan ke sebuah meja di mana terdapat sebuah foto dalam bingkai kecil. Ada anak laki-laki serta dua gadis kecil berfoto bersama ayah mereka. Ketika sedang larut memerhatikan foto ini, seketika diriku buyar setelah mendengar suara pintu terbuka.

Ku toleh ke belakang dan melihat ada seorang laki-laki berkemeja putih. Awalnya ia melihatku dengan penuh pertanyaan sebelum akhirnya dia mengumbar senyuman.

“Ternyata kau… sejak kapan tiba?” Tanya laki-laki ini. Namanya Ahmad Ghazali dan dia merupakan direktur Harian Cot Jambee.

“Baru saja…” aku menanggapi Ghazali, kemudian mengalihkan pandangan untuk menatap bingkai foto tadi.

“Sejak menjadi detektif dan memakai nama Jimmy, juga memakai topeng semi relaistis — ini kali pertamanya kau datang lagi ke sini. Apa kau merindukan tempat ini?” Lanjut Ghazali.

Aku tersenyum tipis mendengar perkataannya, namun tidak ku jawab dan hanya terus melihat foto. Dan beberapa saat kemudian ia kembali berujar.

“Sudah sekian tahun sejak dua adik perempuanmu menghilang. Tapi, apa kau berhasil mencari tahu keberadaan mereka?” Tanyanya.

Aku menggeleng. “Masih misteri. Tidak mudah mencari mereka.” sahutku.

Ghazali lantas menggusuk-gusuk punggungku lalu di waktu yang sama ia memeluk erat tubuhku. “Aku turut berduka terhadap dua saudari kembarmu. Ku harap mereka baik-baik saja di manapun mereka berada — dan ku harap kau tetap tegar, detektif.” Katanya yang menghiburku.

Di sini, aku membalas pelukannya lalu menjawab, “tolong berhenti memanggilku seperti itu, pak.”

Ghazali lantas melepaskan pelukannya. Kini ia malah tersenyum. “Aku juga minta tolong agar kau berhenti memanggilku dengan kata-kata pak.” Ujarnya.

“Kalau itu tak mungkin. Anda dulu guru saya. Ya walaupun itu di masa lalu dan sekarang anda sudah tidak mengajar lagi, tapi bagiku anda akan terus menjadi sosok guru — sosok yang telah mengajariku banyak hal hingga aku berhasil menjadi seperti ini.”

“Ya… satu sisi kau memang benar. Tapi ingat juga bahwa aku menjadi direktur di sini… itu semua juga berkatmu, kan.”

“Kalau itu tidak perlu dibahas…” gumamku.

“Perlu…” balas Ghazali dengan spontan. Ia lalu bercerita panjang lebar tentang masa lalu kami ketika diriku masih duduk di bangku SMA dan dia masih seorang guru.

“Sungguh aku merindukan kalian semua .” Kata Ghazali. “Sudah sangat lama aku tidak berjumpa dengan Heri dan Zaki.”

“Mereka baik-baik saja. Sebenarnya, keduanya selalu menitipkan pesan untukmu melalui saya, tapi berhubung saya jarang datang ke sini, salam mereka tak pernah sampai.”

“Tak apa… aku tahu kau sangat sibuk mencari mafia di setiap sudut kota. Siapa sangka dirimu yang dulu hanya dikenal sebagai orang cerdas tapi tak mampu bertarung — sekarang semua hal berubah, kau menjadi sosok yang sangat ditakuti oleh musuh-musuhmu. Dengan sikapmu yang misterius dan dingin, kau benar-benar sudah menjelma menjadi mimpi buruk bagi para beranda — tapi di waktu yang sama kau adalah penjaga kota ini dari balik kegelapan. Sejauh ini kau sudah melakukan pengorbanan — detektif, penduduk Cot Jambee berhutang budi kepadamu — aku pribadi berhutang budi kepadamu.” Ghazali berkata panjang lebar.

“Pak, jangan terlalu melebih-lebihkan. Saya tak pernah merasa semua penduduk kota berhutang budi. Semua misi yang saya lakukan murni karena keinginan sendiri. Ini adalah prinsip yang sudah tertanam sejak masa-masa SMA. Sebaliknya, saya merasa masih belum cukup memberi kesan aman di kota Cot Jambee.” balasku.

Ghazali lantas melirikku lalu ia kembali memelukku. “Aku bangga pernah menjadi gurumu. Dan aku lebih bangga lagi melihatmu seperti ini. Jimmy, pasti ayahmu sangat bangga di alam sana melihatmu tumbuh menjadi seorang pria dewasa. Dan seandainya Sarah temanmu itu masih ada di dunia ini, aku yakin dia pasti akan menjadi orang pertama yang bahagia mengetahui bahwa kau menjelma menjadi sosok penyelamat di balik kegelapan.”

“Sarah adalah masa lalu. Saya sudah menyimpan gadis itu di dalam sebuah tempat khusus di hati saya… bersama dengan seluruh perasaan yang terpendam ini. Sekarang, ada masa depan yang harus dihadapi — saya harap bisa melaluinya dengan baik dan tentu saja saya membutuhkan bantuan anda di sini sebagai direktur media untuk menyebarkan berita. Para bandit akan selalu ada, tapi bukan berarti mereka tak bisa ditumpaskan. Dan salah satu caranya adalah menyebarkan berita tentang kemunduran mereka — persis seperti yang anda lakukan terhadap berita di pagi ini.” Jelasku.

Ya, Harian Cot Jambee merilis sebuah berita penting pagi ini, berkaitan dengan para tentara bayaran yang berhasil ku habisi tadi malam. Kabar tentang mereka yang tertangkap terpampang jelas di halaman depan koran dengan judul “Siapa Lagi Selanjutnya?”.

Berita ini menjadi lebih menggemparkan dengan menampilkan foto dari gedung yang ku ledakkan. Semua persis sama seperti yang ku pinta kepada seorang jurnalis bernama Benny.

“Mengenai berita tentara bayaran itu, sebenarnya apa maksudmu memasangkan foto gedung yang terbakar beserta orang-orang yang terikat?” Tanya Ghazali.

“Itu sebuah pesan, pak.” Sahutku. “Saya berniat memberi pesan ancaman kepada yang lainnya — ancaman bahwa Detektif Jimmy sudah benar-benar ikut campur terhadap semua rencana mereka.”

“Luar biasa. Lalu, apa rencanamu selanjutnya?”

“Saya sedang berhadapan dengan tentara bayaran berkemampuan tingkat tinggi. Sudah jelas bahwa saya memburu mereka, dan nama selanjutnya adalah orang itu — Ghufran — dalang di balik penjualan senjata ilegal ini harus tertangkap.”

“Detektif… tak ada yang ku harap selain mendoakanmu agar selamat dalam setiap misi yang kau jalankan. Semoga kasus kali ini bisa tuntas secepat mungkin.”

“Itu yang kita harapkan bersama. Jadi, tolong bantu saya dari kantor ini.”

“Sudah pasti. Aku akan membantumu sebagaimana Heri melakukan hal yang sama di Markas Besar Kepolisian Cot Jambee.” Pungkas Ghazali.

Aku lalu menyalami Ghazali seraya menciumi tangannya. Sejak SMA, ini sudah menjadi kebiasaanku setiap saat bertemu dengannya yang sejatinya merupakan mantan guruku. Aku benar-benar menaruh rasa hormat yang besar kepadanya.

Malam sekitar pukul 9, aku tiba di sebuah apartemen yang sebelumnya pernah ku datangi saat memergoki Siti Keumala bersama seorang tentara bayaran. Awalnya ku pikir kediaman ini milik wanita itu, ternyata temannya yang tinggal di sini.

Diam-diam, aku sudah berada di dalam apartemen. Di kamar mandi ku dengar ada suara percikan air. Ku rasa seseorang sedang berada di dalam. Lantas aku pun berjalan ke sana dan berdiri di depan pintunya.

Sekitar lima menit kemudian, pintu kamar mandi terbuka dan aku langsung berhadapan dengan seorang wanita yang mengenakan handuk. Ia seketika terkejut dan menjerit ketakutan, sedangkan aku hanya diam saja dengan sikap yang dingin.

“Siapa kau…?” Tanya wanita itu. Bibirnya ku lihat gemetar hebat.

“Di mana Siti Keumala berada?”

“Dia… dia… tidak ada…”

“Maka katakan padaku di mana dia sekarang ini…”

“En… entahlah… dia… dia…” wanita ini begitu ketakutan sampai-sampai dirinya tak mampu lagi berbicara tenang.

Di sini aku berjalan mendekatinya dan membuatnya melangkah mundur menjauhiku, sampai kemudian kami berdua berada di dalam kamar mandi. Lalu, ku tutup dan mengunci pintunya.

“Aku mencari Siti Keumala. Dan tugasmu hanya memberi tahuku tempat tinggalnya serta di mana saja tempat-tempat yang sering ia datangi.” Kataku.

Wanita ini tetap masih belum mampu berbicara. Ia hanya bengong menatapku dengan pandangan kosong. Sedangkan aku mulai memberi ancaman.

“Tenangkan dirimu… aku tidak berniat melakukan apa-apa. Dan sebagai gantinya, kau harus mengatakan semua hal yang berkaitan dengan Siti Keumala. Jika tidak, aku bisa berubah pikiran dan melancarkan sesuatu kepadamu — tepat di waktu yang sangat pas.” Terangku.

Ia pun memaksakan diri untuk berbicara meski berada dalam kondisi ketakutan setengah mati. Bahkan, ketika sedang menjelaskan panjang lebar, kain handuknya malah melorot tanpa ia sadari.

“Hanya itu yang ku tahu…” ucapnya.

“Baiklah, itu sudah cukup. Terima kasih. Jangan lupa kenakan lagi handukmu.” Balasku.

Wanita ini menatap tubuhnya sejenak lalu dengan terkejut ia bergegas mengambil handuk dan mengenakannya dengan amburadul. Bersamaan dengan itu, aku berbalik badan kemudian membuka pintu kamar mandi. Dengan santai aku berjalan keluar.

“Ap… apa yang ingin kau lakukan pada Keumala? Ka… kau tidak berniat menidurinya juga kan?” Tanya wanita itu.

“Wanita sepertimu saja tidak ku sentuh sama sekali, apalagi jika hanya Siti Keumala.” Jawabku.

Aku terpaksa memberi perbandingan walaupun sebenarnya diriku tak ingin mengungkapkannya.

“Si… siapa kau sebenarnya…? Kau sangat misterius dan tidak terlihat seperti seorang tentara bayaran yang selama ini bersama Siti Keumala.” tanyanya lagi.

“Aku memang bukan bagian mereka — aku adalah orang yang akan menyeret mereka ke dalam penjara.”

“Pantas saja…” balas wanita itu lagi yang spontan membuatku berhenti berjalan. “Pantas saja kau tidak melakukan apa-apa kepadaku. Karena… baru kali ini aku menemui pria di dalam apartemenku di mana kau satu-satunya yang tidak menyentuh bagian tubuhku padahal aku sedang dalam keadaan seperti ini. Apa kau Detektif Jimmy? Aku sempat mendengar beberapa hal tentangmu dari beberapa tentara bayaran yang datang ke sini untuk meniduri Siti Keumala. Dan mereka begitu waspada terhadapmu. Ternyata, sosokmu itu seperti ini. Sekarang aku tak perlu penasaran bagaimana kau bisa menyelinap masuk ke apartemenku.”

Wanita itu mulai banyak berbicara sekarang. Rasa takutnya seakan-akan lenyap setelah tahu aku sedang memburu para tentara bayaran. Tapi, aku tidak peduli terhadapnya dan bergerak cepat untuk mencari Siti Keumala.

Pukul 12 malam

Sebelum mencari Siti Keumala, aku menanti kapten Tiyo di markas besar. Kini diriku sedang duduk di ruangannya sembari merokok. Sudah hampir 30 menit ku tunggu tapi dia tak kunjung datang. Tak biasanya dia terlambat seperti ini.

Oleh karena bosan, aku mengambil buku dan mulai membaca. Seraya fokus, ku ambil ponsel dan tak sengaja jemariku menekan sebuah tombol hingga layarnya menyala. Ku lihat ternyata sejak pukul 10 tadi Tiyo mengirimiku sebuah pesan singkat. Lantas ku buka dan membacanya; ia menyampaikan bahwa saat ini dirinya sedang berada di markas tentara untuk menemui Syukran.

Tak bisanya Tiyo bertemu dengan Syukran, apalagi setelah adanya keretakan di antara polisi dan tentara. Tapi aku penasaran… mungkinkah si panglima itu sedang membahas kasus dari tentara-tentara bayaran? Sebab, seperti yang dikatakan Tiyo, Syukran sengaja tidak meminta bantuan kepada polisi untuk menuntaskan para bandit. Sebaliknya, ia berniat menghabisi mereka semua dengan tangannya sendiri.

Tapi, dengan tertangkapnya beberapa tentara bayaran, apakah kini Syukran berniat bekerja sama? Atau dia meminta secara pribadi kepada Tiyo agar polisi berhenti ikut campur.

Ya… Syukran pasti tahu bahwa polisi terlibat dalam penangkapan tentara-tentara bayaran itu sebab mereka berada di dalam penjara Markas Besar Kepolisian Cot Jambee. Maka, jika bukan mengajak kerja sama, sudah pasti dia ingin polisi berhenti ikut campur agar dirinya bisa leluasa menghabisi para berandal tersebut.

Meski begitu, aku tertarik mencari tahu apa yang sedang dibahas oleh kedua petinggi itu. Maka, ku putuskan pergi ke sana menggunakan mobil.

Ketika sampai di pagar depan markas tentara, seorang penjaga datang. Ia memintaku berhenti dan menyuruh membuka kaca mobil. Ku turuti saja sebab kali ini aku datang tidak melalui cara menyusup.

“Ada keperluan apa, pak?” tanya petugas ini dengan sopan.

Seraya memperlihatkan lencana detektif, aku menjawab, “Komandan Syukran memintaku datang ke sini.”

“Tapi, saat ini komandan sedang mengadakan rapat.”

“Ya aku tahu… aku juga terlibat dalam rapat itu.” sahutku.

Ia lantas mengangguk dan menyuruhku memarkirkan mobil terlebih dahulu. Setelah itu, dirinya mengantarkanku ke dalam. Kami terus berjalan menuju sisi bawah markas —lebih tepatnya ruang bawah tanah.

Beberapa saat kemudian, kami tiba di depan sebuah ruangan yang tertutup rapat oleh pintu berlapis besi. Sang petugas hendak mengetuk pintunya tapi aku langsung membuka dan melihat sebuah pemandangan yang mengejutkan — Syukran memukuli perut Tiyo hingga tubuhnya sedikit tertekuk.

Dan melihat kehadiranku, Syukran seketika terkejut. “Kau…” gumamnya dengan penuh tanya.

“Kenapa kau membawanya ke sini?” Tanya Syukran kepada si penjaga gerbang yang mengantarkanku.

“Di… dia bilang dia ingin menjumpai anda karena anda yang memintanya.”

“Omong kosong… seret dia keluar. Aku sedang ada urusan.”

Di momen ini, aku spontan menyahut, “dan urusanmu sudah menjadi urusanku.”

Di sisi lain, si penjaga hendak menarikku tapi kemudian aku bereaksi cepat… ku antukkan kepalanya ke dinding hingga dirinya ambruk. Bersamaan dengan itu, aku berjalan masuk dan melihat terdapat 10 tentara lainnya sedang duduk. Tidak hanya itu, ternyata Ghufran bahkan juga Siti Keumala berada di sini. Dalam satu detik, aku mulai paham.

“Kau keras kepala. Aku sudah memintamu untuk tidak ikut campur. Tapi karena kau bersikeras, maka kau juga akan ku habisi di sini.” ucap Syukran dengan lantang, adapun tentara-tentara lain mulai berdiri dan bersiap-siap bertarung.

“Kita berjumpa lagi… ternyata setelah bertarung denganku, kau masih belum jera juga…” kata Ghufran. Ada lilitan perban di kepalanya.

Aku lantas tersenyum mendengar ucapannya. “Dasar… kau bahkan tak sadar diri setelah perban terbalut di kepalamu. Bagaimana? Apa kau siap ku beri luka lainnya?” Balasku.

“Jadi inilah sosok Detektif Jimmy yang sangat ditakuti.” Sambung Syukran. “Aku merasa terhormat kau bisa melukai Ghuran. Asal kau tahu, tak ada yang bisa melukai temanku ini sebelumnya… kaulah satu-satunya yang berhasil.”

“Tak perlu basa-basi lagi. Sampai di sini, kau terlibat dalam penjualan senjata ilegal. Dengan kata lain, kau juga punya rencana untuk membunuh jenderal-jenderal tentara lainnya.” Kataku sembari berjalan.

“Sepertinya kau bukan tipe orang yang suka berbincang-bincang dulu. Meski begitu, yang kau katakan itu terlalu benar, aku sampai tak bisa mengelak. Lantas, apa kau berniat menangkapku?” Syukran mencoba memprovokasiku.

Dia tak tahu bahwa aku anti terhadap lontaran provokasi. Ketimbang berbicara panjang lebar, aku langsung memukuli seorang tentara. Di sisi lain, dari sudut pandangan buram, aku melihat Tiyo juga melakukan hal yang sama — ia menyerang Ghufran.

Aku sendiri — setelah berhasil menjatuhkan salah satu tentara, seketika diriku dikeroyoki. Namun, aksi mereka mudah saja ku atasi. Tak ada yang berhasil mengenai satupun pukulan ke sekujur tubuhku. Malah sebaliknya, aku menghujani kepalan tinju dan kaki ke setiap wajah serta dada mereka. Dalam sekejap para tentara ini ambruk.

Kemudian, aku hendak mendekati Siti Keumala, tapi punggungku mengenai sebuah pukulan keras hingga diriku tersungkur. Gerak cepat, aku membalikkan posisi badan dan bergegas berdiri. Namun, kali ini wajahku dihantam menggunakan kursi. Aku terhempas begitu saja.

“Melukaimu seperti itu ternyata tak cukup. Aku harus serius menghadapimu.” Kata Syukran seraya memegangi kursi.

Ia lalu datang mendekatiku lalu mengangkat kursi tinggi-tinggi dan menghantam tubuhku. Benda itu patah, adapun aku harus menahan rasa sakit di bahu.

Menolak menyerah, aku bangkit lagi dan melayangkan sebuah tinju kepada Syukran. Ia mampu mengelak cepat kemudian memberi pukulan balasan yang mengenai wajahku.

Setelah itu, Syukran berlari mengambil kayu balok. Dari yang ku lihat, balok itu pasti sangat padat. Aku harus berhati-hati agar tidak mengenaiku.

Si panglima tentara itu lantas bejalan mendekatiku. Ia menyerang menggunakan balok — awalnya aku berhasil mengelak, tapi yang kedua kayu itu menghantam dadaku.

Aku ambruk seketika dan di sinilah Syukran menghabisiku; ia memukuliku dengan balok tanpa henti. Sedangkan aku yang dalam posisi terbaring hanya bisa melindungi kepala menggunakan kedua tangan.

Aku terus bertahan dalam posisi ini meski balok itu terus menghujani serangan ke sekujur bahu. Oleh karena semakin terdesak, ku gelindingkan tubuh lalu bersegera bangkit.

Selanjutnya, aku mengambil besi kecil kemudian menekan sebuah tombol di permukaannya dan seketika memanjang. Ketika Syukran datang seraya mengayunkan balok, di waktu yang sama aku menahan laju kayu itu. Saat berbenturan dengan besi, baloknya malah patah.

Syukran yang kaget cepat-cepat berlari dariku. Kini, ia berhasil mengambil pistol dan mengarahkannya kepadaku. Namun sebelum dirinya menekan pelatuk, aku lebih dulu melempar besi yang menghantam tepat ke wajahnya.

Setelah itu, aku berlari ke arah Ghufran— ku rebut pistol dari tangannya, kemudian dengan satu gerakan cepat aku melilitkan lengan kanan ke lehernya dan membantingkan tubuh orang ini ke lantai.

Tapi Syukran cepat-cepat merangkak untuk bangkit lagi. Baru sepersekian detik dirinya berdiri, aku melempar sebuah shuriken dan tertancap ke pahanya.

“Aakkhh…” ia mengerang.

Di sisi lain, ku lihat Tiyo ternyata sudah tidak lagi berhadapan dengan Ghufran saja — kini ia harus bertarung melawan enam tentara sekaligus. Aku hendak membantu tapi entah kenapa seketika ada firasat buruk masuk ke dalam hatiku. Maka, ku habisi musuh seadanya hingga mereka terkapar tak berdaya, lalu menarik Tiyo keluar dari ruangan ini.

“Hey, kita belum selesai menghabisi mereka.” ujar Tiyo. Ia malah masih memikirkan untuk menyelesaikan pertarungan.

“Kita akan mengaturnya di tempat lain.” Jawabku sambil berlari menarik tangannya.

Ketika berada di ambang pintu, aku berhenti sejenak karena teringat sesuatu.

“Ada apa?” Tanya Tiyo.

Aku tidak menanggapinya dan kembali masuk untuk membawa serta Siti Keumala. Awalnya dia mencoba melawan tapi ku naikkan saja wanita ini ke punggungku lalu cepat-cepat kabur.

“Lewat sini…” kataku kepada Tiyo.

Kami lantas berbelok ke kiri dan terus berlari melewati lorong terowongan bawah tanah. Ada sekitar beberapa meter setelahnya, aku mengambil sebuah benda hitam dan melempar jauh ke depan sana. Tak lama berselang benda itu meledak dan menghancurkan dinding terowongan. Adapun kami keluar dari situ.

Di sini, aku berhenti sejenak dan Tiyo pun juga ikut-ikutan.

“Apa yang kau lakukan?” tanyanya.

“Mengecoh mereka.” Sahutku sambil melakukan sesuatu di sebuah remot.

Tak lama berselang terdengar suara ledakan dahsyat sebanyak tiga kali.

“Apa itu…?” Tanya Siti Keumala yang kaget. Dia masih berada di punggungku.

“Sudah ku bilang itu pengecoh. Kau diam saja, jangan terlalu lasak.”

Lalu Tiyo bertanya, “apa kau menaruh bom saat menuju ke sini?”

“Tidak. Yang meledak tadi mobilku.”

“Kau meledakkan mobilmu sendiri?”

“Terkadang ada hal yang mesti dikorbankan.”

“Tapi kenapa kau buru-buru membawa kami ke sini? Ada apa?”

“Kita sedang berhadapan dengan panglima tentara. Sejak awal Syukran sudah memberi kabar kepada yang lain untuk membantunya menghabisi kita. Jadi mereka pun datang… dan aku baru menyadarinya tepat sebelum mereka tiba.” Jelasku.

“Lalu, bagaimana kita kabur dari markas ini?” Tanya Tiyo lagi.

“Dengan mobilmu.”

“Mereka sudah menahan mobilku, bahkan juga merampas senjata. Aku tak punya apa-apa lagi …” jawabnya.

Ku tatap Tiyo agak lama kemudian berujar, “kalau begitu, kita juga merampas milik mereka. Kalian tunggu di sini.” Kataku seraya menuruni Siti Keumala dari punggung.

“Nagomong-ngomong, wanita ini kenalanmu?” Tiyo kembali bertanya.

Seraya menekan pelatuk grappe gun ke atap, aku menjawab, “dia orang yang sudah mengkhianatiku. Jadi berhati-hatilah.”

Setelah mengatakan itu, aku seketika tertarik ke atas. Begitu berada di atapnya, aku langsung berlari ke arah jam 4, kemudian terjun ke bawah, tepat di tempat mobil-mobil tentara ini terparkir.

Saat berhasil mendarat, ada dua tentara yang menyadari kehadiranku. Mereka lantas bergegas datang dan menyerang.

Ku ladeni mereka dengan mudah — aku menghabisi keduanya dengan hanya satu pukulan dan setelahnya mereka tergeletak tak berdaya.

Gerak cepat, aku berlari ke sebuah mobil Reo; kebetulan sekali kuncinya malah tersangkut di sini. Lantas ku nyalakan dan mengemudikannya ke tempat tadi. Ketika sampai, Tiyo masuk ke dalam beserta Siti Keumala.

Aku membawa mobil ini ke sisi belakang markas dan tanpa basa-basi ku tabrak saja pagarnya yang tertutup. Setelah berhasil keluar, aku melihat beberapa mobil lainnya mengejar kami. Maka, ku ambil beberap alat peledak yang berbentuk bulat kecil dan menghamparkannya ke sepanjang jalan. Ledakan besar pun menggetarkan suasana malam yang sunyi; ku lihat dari kaca spion, api menyala-nyala seakan menyinari langit yang gelap.

Bersamaan dengan itu, aku terus memacukan mobil dengan tajam. Adapun kendaraan-kendaraan lain yang mengejar kami sudah tidak terlihat lagi tepat setelah ledakan besar terjadi. Barangkali mereka tak ingin mengambil resiko untuk melewati hadangan si jago merah.

Bersambung…

--

--

Reza Fahlevi
Reza Fahlevi

No responses yet