Senyumanmu di Hari Sabtu
Cerpen
— —
Bdubaamm…
Seketika konsentrasiku buyar. Rintikan gerimis yang masuk ke dalam mata sebelah kanan, membuat diriku tak fokus dan malah melajukan motor menghantam polisi tidur yang warnanya sama persis seperti aspal.
Lewat satu, ternyata malah terjerumus lagi ke dalam lubang besar. Seakan jalan Miruek bagaikan perangkap, berulang kali aku terkena imbas aspal yang sudah sangat tua itu.
Memang, mataku sudah rabun jauh, seharusnya ku pakai kacamata. Tapi benda itu tak lagi ku pakai sejak tiga tahun lalu. Bukan karena sudah berkurang, tapi lebih ke tidak nyaman saja.
“Lubang sialan…” gumamku.
“Polisi tidur pun ikut-ikutan…”
Rasa kesal menyelimuti wajah. Aku benar-benar kesulitan mengendarai motor dalam keadaan hujan. Jalanan yang licin, situasi mendung gelap, cukup menghadirkan sedikit penderitaan.
Tapi rintangan itu betul-betul ku lalui, tak peduli apapun itu. Memang kecepatan sudah cukup di angka 40 km/jam. Setidaknya aku sudah tahu tujuan berkendara dalam keadaan hujan yang kelihatannya sebentar lagi akan semakin deras.
Lima menit kemudian, aku pun tiba. Kedua tangan membuka ikatan helm yang melekat tidak terlalu sempit di leherku. Setelah benda bulat berwarna hitam polos itu terbuka, spontan tangan kananku mengambil hape.
Saat hendak menelpon, tiba-tiba seorang wanita berjalan ke arahku. Dari kejauhan tak dapat ku kenali siapa yang berjalan. Begitu sudah dekat,
“oh, rupanya Layyina. Kirain siapa.” Ujarku sambil tertawa kecil.
“Jeh, emangnya kamu gak liat bagus-bagus apa?”
Aku senyum saja, “kan mata aku rabun”.
Sambil ku masukkan kembali hape, mataku terus melirik Layyina yang sudah lima tahun tidak lagi bertemu. Padahal tak ada satu pun perintah yang ku berikan kepada mata ini, tapi entah mengapa aku sama sekali tak bisa mengakhirinya. Seperti ada rasa candu. Dan, satu hal yang dapat ku pastikan, senyumannya masih tetap sama, bahkan wajahnya pun juga. Tak ada yang berubah.
Jika pun ada, itu hanya usia saja. Ya, terakhir kali aku berjumpa dengan wanita ini, saat itu kami masih berumur 20 tahun. Dan lima tahun berlalu, aku sama sekali tidak terkejut melihat Layyina lagi. Malahan, seperti ada rasa senang yang menyerbu masuk ke dalam hatiku.
“Niih…” ujar Layyina sambil memberi macrame yang ku pesan seminggu lalu.
Aku sendiri baru tahu jika temanku ini ternyata punya bakat seni yang mumpuni, membuat kerajinan tangan yang orang-orang sering bilang the art of macrame. Ceritanya, sekitar dua bulan lalu aku mengomentari snap Instagram Layyina tepat setelah dirinya mem-posting karya macrame itu. Ku tanya-tanya sedikit, rupanya itu hasil buatannya sendiri.
Satu bulan berikutnya, ia kembali mem-posting story yang sama, hanya saja design-nya sedikit berbeda. Layyina bilang, hasil rajutan tali itu adalah bentuk usahanya mencari inspirasi dari berbagai akun yang memang memamerkan karya mereka.
Awalnya ku kira Layyina hanya membuat macrame itu untuk mengisi waktu luangnya saja. Ternyata ia juga menjualnya. Mendengar itu, aku mencoba bertanya lebih jauh dengan rada serius. Hingga setelah ku sadari percakapanku di DM Instagram sudah terlalu panjang, dan aku juga sudah tak tahu harus melanjutkan apa, aku pun memantapkan pilihan untuk membeli satu karyanya.
Walaupun sebenarnya itu hanya akal-akalan saja (baca: modus). Di balik itu, niat yang sebenarnya adalah agar aku bisa kembali bersua dengannya.
Dan waktu pun berlalu sampai pada akhirnya tadi pagi Layyina mengabariku bahwa macrame pesananku sudah siap. Maka, sore ini aku langsung tancap gas. Dalam hati aku bergumam,
“finally, satu rencana berjalan sesuai harapan.”
“Ooh ya, harganya berapa sih?”
Aku bertanya, padahal aku sudah tahu sebab tadi pagi aku juga sudah menanyakan pertanyaan ini. Hitung-hitung sebagai basa-basi karena aku tahu, pertemuan ini pasti akan singkat sesingkat-singkatnya.
“Bentar ya…” Layyina mengecek sesuatu di hape-nya.
“seratus lapan puluh…”
Sambil mengambil duit dari dompet, aku menyempatkan diri bertanya-tanya sedikit tentang kepindahannya dari Kampung Hamzah ke Lam Côt. Wanita ini menjelaskan bahwa rumahnya di kampung sebelumnya hanya rumah sewaan.
Ayah Layyina sudah lama mencari tanah untuk membangun rumah sendiri. Setelah mencari sana-sini, akhirnya ditemukan di Lam Côt. Proses pembuatan rumah memakan waktu sekitar dua tahun lebih. Begitu rampung, mereka pun pindah.
Dari seberang jalan sini, dapat kupastikan rumah Layyina belum sepenuhnya selesai. Barangkali ada beberapa yang ingin dipoles oleh sang ayah untuk memperindah bentuk rumah dan halaman.
Aku juga merasakan suasana yang jauh dari suara bising kendaraan. Walaupun penduduknya tak bisa dikatakan sepi, namun heningnya benar-benar membuatku sedikit teduh. Entah karena suasana kampungnya atau itu hanya karena ada Layyina di dekatku. Tapi sepertinya, kemungkinan yang kedua adalah jawabannya. Hmmm…
“Ehhh Jack, gak ada uang pas aja?” Tanya Layyina.
Aku menggeleng. Lalu ia memintaku untuk memunggu sejenak, ia ingin mengambil uang kembalian. Setelah langkah yang ke tiga, Layyina menoleh padaku,
“tunggu di situ aja…” katanya sambil menunjuk ke arah rumah.
“Gak apa kok, di sini aja.”
“Tapi kayaknya bakalan ujan lagi nihh…”
Memang saat aku tiba di tempat Layyina, hujannya sudah reda. Tapi aku melirik langit, awannya lebih hitam dari sebelumnya.
“Tunggu di rumah aja, ada ayah kok di situ…”
Seketika aku terkaget. Baru kali ini aku datang ke rumah seorang cewek, dan dia tanpa ragu langsung mengantarkanku ke ayahnya. Pikiranku langsung jauh menerka kejadian apa yang akan terjadi selanjutnya.
Jumpa dengan ayah Layyina? Setidaknya aku harus mempersiapkan diri untuk memberikan kesan baik. Sekurang-kurangnya, ada obrolan yang nyambung antara aku dan ayahnya nanti.
Dan tanpa sedikit pun keraguan, aku mendorong motorku sambil mengikuti Layyina ke rumahnya. Ia mempersilahlanku untuk masuk, tapi mungkin ada baiknya jika aku di teras saja. Aku tahu diri sedikit, terasa agak kurang sopan jika aku, seorang cowok, langsung masuk ke rumahnya. Tapi lain cerita jika orang tuanya yang mempersilahlanku.
Aku pun duduk manis di sebuah kursi panjang teras rumah Layyina. Dalam hati aku terus bergumam,
“pokoknya jangan sampe kaku, jangan sampe salting waktu ayahnya keluar jumpain aku.”
Tak lama berselang, mama Layyina tiba di hadapanku. Sepertinya baru saja kembali dari suatu tempat. Beliau tersenyum padaku, tapi matanya seakan bertanya-tanya akan seorang lelaki asing ini. Aku paham, segera diriku berdiri dan menyalami mamanya.
“Cari siapa ya…?” tanya mama Layyina.
“Layyina buk. Tapi tadi dah jumpa kok, mau ambil pesanan.” sahutku sambil memperlihatkan macrame itu.
Setelah itu wajahnya mulai berseri. Kami sempat berbincang sedikit. Dan ku katakan saja bahwa Layyina itu adalah teman SMA ku, bahkan juga kerabat sejak SMP. Tapi baik dia dan aku mulai akrab ketika di SMA.
Dalam obrolan, ku sisipkan sedikit tentang perasaanku terhadap lingkungan perumahan di sini. Kenyamanan dan keteduhan seakan menyihir hati untuk merasakan begitu tenangnya suasana kampung ini. Barangkali, cara seperti ini ampuh untuk mengakrabkan aku dan mama Layyina.
“Masuklah,” ujar ibu ini.
Aku kembali menolak, lebih baik di teras saja. Dalam hati aku berkata,
“jika saja ajakan mama Layyina dibarengi dengan ajakan ayahnya, aku harus mengiyakan tanpa perlu pikir ini itu.”
Selang beberapa menit kemudian, Layyina kembali. Bersamaan dengan itu, mamanya meninggalkan kami. Seakan memberi sebuah kode tersirat dengan mempersilahkan kami berduaan saja.
Dan benar saja, Layyina memberikan uang kembalian, lalu duduk di sebelahku. Kami agak jauh memberikan jarak. Sepertinya, baik aku ataupun dia paham, cewek dan cowok itu tak seharusnya duduk berdekatan jika belum sah!!!
Aku yang tadinya hendak langsung pulang, tapi malah berakhir di sini. Layyina mulai berbicara, aku mendengar baik-baik sambil sesekali merespon dirinya. Tiba-tiba…
“Layyina, seduhin minum dong kawannya. Itu juga ada kue, bawa keluar aja…” ujar mamanya.
Padahal aku sudah bilang untuk tak perlu repot-repot. Tapi wanita ini tak menghiraukannya, masuk ke dalam dan kembali lagi dengan membawa secangkir teh dan kue bolu menggunakan talam.
“niat mau ambil macrame, malah buat repot kamu…” kataku.
“gak ah, masak repot sih. Santai aja…”
Langit yang tadinya terlihat sangat hitam, kini sudah mulai sedikit cerah. Pemandangan sore memang tak pernah gagal membuatku kagum. Dan sekarang paketnya bahkan bertambah dengan adanya Layyina di samping. Sungguh, aku seperti begitu menghargai waktu ini. Tak ingin ku sia-siakan dua keindahan di depan mata; milik langit dan Layyina.
Kami lalu melanjutkan obrolan yang tadinya sempat terputus sejenak.
“Di komplek ni masih banyak rumah yang kosong tapi sebetulnya udah ada pemiliknya. Kayak yang rumah di situ…”
Ujar Layyina mengarahkan telunjuknya ke sebuah rumah berpagarkan coklat. Letaknya di sebelah kanan, terpisah tiga rumah dari rumahnya.
“kenapa gak disewain aja ya…?”
“Ntah. Tapi yang punya-nya sering tinggal di situ tiap sabtu-minggu. Sabtu ni entah kenapa tumbenan gak…”
Aku dengar saja sambil meneguk teh hangat seduhannya. Rasanya benar-benar sesuai seleraku, tidak terlalu manis.
“Di sini rata-rata dosen yang tinggal. Kan biasanya dosen punya rumah dinas, jadi pas hari libur, mereka sempatin waktu untuk tinggal di sini. Mungkin karna agak risih tinggal di kota…”
“Iya, bising…” sahutku.
Kami saling bertukar kata, cerita, dan pengalaman masing-masing saat kuliah. Tak sedikit pun kami menuju ke masa yang lebih lampau, masa SMA. Karena memang di waktu itu kenangannya sedikit lebih banyak.
Aku… ku perhatikan saja wajah Layyina yang bercerita panjang lebar… dia memang seperti itu. Dan saat ku tatap dalam, sungguh rasa nyaman mengubah segalanya. Lebih lagi, wajah manisnya itu selalu berhasil membuatku terpana.
Ku ingat sekilas, terakhir kali aku bersua dengannya, lebih kurang situasinya sama seperti saat ini. Cerita panjang lebar, saling bertukar tatapan, saling menebar senyuman, dan aku yang terlalu candu meliriknya. Ku rasakan lagi itu semua, di detik ini.
Obrolan kami terhenti sejenak, kini malah menikmati langit petang yang warnanya mulai ke-orenan akibat pantulan cahaya matahari dan mulai menipisnya mendung.
Tak lama berselang kami kembali mengalihkan pandangan, sekarang sudah saling menatap tanpa kata. Layyina masih sempat-sempatnya tersenyum padaku. Dan caranya ia melakukan itu, sulit ku jelaskan.
Indah, indah dan indah. Hanya itu saja. Selebihnya, barangkali biar Tuhan saja yang menjelaskannya, aku tak berkemampuan.
“Hahaha…” tiba-tiba Layyina tertawa kecil.
Aku sedikit malu, sepertinya dia tahu jika aku menatapnya dalam perasaan.
“jangan kaku kali gitu,” ujarnya.
Dalam hati aku berkata, dia memang menyadari gerak-gerikku.
Dan, tak terasa sudah pukul enam sore. Memang waktu itu seakan berjalan lebih cepat saat situasi sedang dalam bahagia.
“Hampir maghrib, aku mau pulang dulu.” Kataku.
“Tapi masih gerimis nih…”
“Sebelum lebat, kan…” lanjutku sambil tersenyum.
Setelah menghabiskan teh, aku mulai bersiap-siap. Layyina memperhatikan saja apa yang sedang ku lakukan.
“Nih… makasih ya udah order.” kata Layyina, ia memberikan macrame itu padaku.
Kami kembali saling menatap, sedikit lama. Ku rasakan ada sebuah gejolak di dalam hati yang semakin membara — gejolak rasa yang begitu ingin ku sampaikan pada wanita ini.
“Layyina, maaf aku udah terlanjur suka sama kamu. Pengen rasanya jujur, tapi aku terlalu ragu. Bahkan, kalo pun aku ungkapin sekarang, kayaknya juga ga mungkin. Karna kamu sendiri juga udah ada pacar. Tapi, semakin lama ku pendam, semakin aku gelisah. Apa kamu tau tentang ini…?”
Semua yang dapat ku lakukan hanya bergumam.
Sadar waktu terus berjalan, aku bergegas. Ku sangkutkan macrame itu yang sudah dibalut rapi oleh Layyina di tempat sangkutan motor, lalu memakai helm, dan pamit. Bersamaan dengan itu, Layyina tak berhenti mengumbar senyuman.
Mungkin bukan waktunya untuk berterus terang tentang perasaan di saat dia sudah berpacaran. Aku mencoba menyadari situasinya. Sulit, sukar, dan terlihat mustahil. Cinta yang sudah tumbuh dan mekar di hati ini sejak SMA, harus ku pendam dalam waktu lama. Tapi, aku tak bisa lagi berbohong pada diri sendiri bahwa semakin ku sembunyikan, semakin diri ini tersiksa dari dalam. Aku… mesti bertarung untuk memulihkan kondisi kecemasan.
Tapi tak mengapa. Semua itu bisa terobati dengan pertemuan ini, yang awalnya ku kira akan sangat singkat, tapi malah berakhir dengan saling bertukar cerita. Dan senyuman Layyina yang akhirnya dapat kembali ku lihat dari bola mata ini, aku… seperti melampiaskan rindu yang sudah lama mengikat hati.
Apalagi, tujuan “modusku” memesan macrame buatannya, seebenarnya sudah berjalan lebih dari rencana yang telah ku siapkan. Setidaknya, aku tak perlu menyesali rasa terpendam ini. Berjumpa lagi dengan Layyina, lebih dari cukup untuk membuatku nyaman dengan hanya menatap senyumannya itu.
“Jack, lain waktu singgah-singgah lagi ya…” ujar Layyina.
Aku mengangguk.
Tak lama gerimis kembali turun. Tapi aku lebih bahagia untuk basah-bahasan sekarang.
— —
28–11–2020