Sebuah Pesan Sederhana di Hari Guru

Reza Fahlevi
6 min readNov 28, 2021

Sejak tadi pagi aku mengajar seorang anak laki-laki. Usianya masih setingkat SD, tapi untuk segi kemampuan memahami pelajaran, dia termasuk cepat di kalangannya. Tapi ya begitu, namanya anak-anak sudah pasti tidak bisa terlalu serius belajar. Ada saja tingkahnya yang sesekali lalai, apalagi jika ada mainan di dekatnya.

Kesulitan mengajar anak kecil ya itu, konsentrasi mereka cepat buyar bahkan hanya karena hal sepele saja. Mau tak mau, kesabaran akan menjadi kunci sejauh mana sih kemampuan kita mengajar dan berusaha masuk ke dunia mereka. Jujur, hal itu yang terkadang membuatku harus terdiam sejenak sambil bergumam dalam hati, “apa dulu aku juga kayak gitu waktu kecil…?”.

Aku sendiri tak pernah menganggap diri sebagai guru. Hanya seorang pemuda berusia 25 tahun yang meneruskan serta melakukan apa yang telah dipercaya oleh guru-guru saya terdahulu. Dikatakan sebagai guru, bagiku itu masih terlalu berlebihan. Sebab aku tau makna di balik “guru” itu, ada sebuah tanggung jawab besar yang mesti diemban. Bagiku, tanggung jawab itu bukan sebuah hal sepele.

Memang selain menulis, kegiatanku selama ini adalah mengajar. Aku mulai turun tangan langsung sejak 2018, yaitu PPL (praktek mengajar). Pertama kali mengajar dan langsung diberi kepercayaan oleh guru bimbinganku waktu itu untuk mengajar di dua kelas.

Sejak itu, selesai dari tugas magang, ada beberapa kali aku mengganti kawan atau seniorku untuk mengajar di tempat mereka, hitung-hitung untuk membantu dan sebagai penambah jam terbangku juga. Hingga pada pertengahan 2019, aku mulai mengajar tetap di sebuah dayah/pondok pesantren sampai sekarang.

Di sela-sela mengajar di dayah itu, aku juga menyempatkan waktu untuk berkecimpung ke dalam dunia private course. Les privat ini sudah dimulai sejak 2020 tepatnya saat maraknya Covid 19. Juga pernah beberapa kali membantu persiapan anak-anak SMP mengikuti Ujian Nasional sampai akhirnya dihentikan oleh sebab Covid 19 juga. Walaupun begitu, sebenarnya waktu keseharianku lebih banyak ku habiskan untuk menulis.

Beberapa hari yang lalu, kita baru saja memperingati hari guru. Sebuah hari sakral di mana semua murid bahkan yang nakal sekalipun, tiba-tiba berubah menjadi sangat peduli dan begitu bijak di Hari Guru ini. Banyak kata mutiara dijadikan sebagai puisi, pantun, bahkan tulisan diary untuk kemudian di-upload ke Instagram atau story Whatsapp.

Kawan-kawanku yang sudah mengajar di beberapa sekolah pun memamerkan kegiatan perayaan Hari Guru seperti pembacaan puisi khusus untuk guru, lomba yang juga dipersembahkan untuk guru, sampai hadiah istimewa diberikan dengan suka cita kepada guru. Ada juga yang dipilih oleh para siswanya sebagai guru favorit sampai diberikan sebuah penghargaan berupa sertifikat. Sungguh menyenangkan aku melihatnya waktu itu.

Tak ku sangka, menjadi guru akan disambut sebegitu meriahnya di hari sakral tertentu. Aku melihat, hampir semua larut dalam kesukacitaan menyambut Hari Guru yang dianggap sebagai “Pahlawan Tanpa Tanda Jasa”. Meskipun kenyataannya tidak selalu dianggap demikian. Tapi aku terharu, melihat anak-anak sekolah mempersembahkan sesuatu kepada gurunya di hari yang sangat spesial.

Saat itu aku berharap ada siswa atau setidaknya seorang saja, datang dan menyapaku di hari sakral tersebut. Atau beberapa dari teman seangkatanku, betapa berharapnya aku ingin diberi setidaknya sebuah ucapan di hari sakral ini melalui DM Instagram, posting-an snap yang di-tag akun-ku, atau di pesan WA. Tapi tak ada satupun dan sepertinya, aku terlalu berharap banyak.

Ingin rasanya seperti teman-temanku, update snap di IG yang isinya tentang perayaan Hari Guru. Sedang aku, jangankan untuk diberi sesuatu oleh murid, diberi ucapan saja tidak ada. Rasanya sekayak iri melihat kerabatku yang dulunya satu kampus dan sekarang sudah jadi guru, banyak surprise yang mereka dapat di Hari Guru.

Di situ aku paham, mungkin mereka memang lebih layak diperlakukan seperti itu. Aku mencoba bersikap positif, barangkali itu tandanya mereka sudah menjadi guru teladan, sudah menjadi sosok guru yang disukai oleh murid-murid, disegani oleh rekan sesama guru. Dan aku, mungkin juga sebagai tanda, bahwa aku belum menjadi sebijak kawan-kawan yang lain. Jadi ku anggap wajar saja.

Beberapa hari setelah Hari Guru, ternyata sebuah late surprise tiba secara tak terduga-duga. Ya, aku sama sekali tak menyangka akan diberi hadiah. Awalnya aku heran, kenapa ada yang memberikan surprise, ada acara apa sebenarnya nih…? Ternyata mereka memberikannya sebagai perayaan Hari Guru. Dan yang memberikan hadiah tersebut adalah keluargaku sendiri. Betapa tak ku sangka mereka bakal teringat hari sakral itu di saat aku sudah mencoba untuk tidak berlarut-larut lagi sebab ku kira gak ada yang akan memberikan sebuah pesan untukku.

Aku tak tau apa harus senang atau sedih saat menerima surprise dari keluargaku. Mereka benar-benar ingat tentang hal sekecil ini. Aku hanya merasa begitu dianggap… ya, sangat dianggap dengan cara yang seperti itu. Meskipun late surprise, tapi ini bukan tentang pemberiannya melainkan tentang aku yang ternyata memang dianggap seorang guru oleh keluargaku sendiri.

Saat aku begitu berharap ingin diberi ucapan selamat oleh kawan dan murid-muridku, ternyata ucapan itu datang dari keluarga kecilku. Dan ini bahkan lebih dari sebuah ucapan… cukup membuatku tertegun sejenak… dan cukup membuatku sangat terharu. Padahal caranya begitu sederhana, tapi bagiku terlalu spesial.

Dari sini aku mencoba memahami bahwa terlalu banyak berharap dari orang lain terkadang memang tidak diperlukan. Sebab, ketika yang kita harapkan itu tidak terealisasikan, akan ada rasa sakit yang timbul dari hati. Itu karena, kita terlalu yakin terhadap harapan dari mereka.

Itu pula yang aku rasakan. Saat aku begitu berharap dapat sebuah pesan di Hari Guru dari kerabat ngajar, murid atau atasanku di dayah tempatku mengajar, ternyata keluarga kecilku yang memberikannya. Awalnya iri dan sedih, tapi kemudian terhapus segera dengan cara elegan keluargaku ini.

Aku paham, dari sini, hanya keluarga saja yang tahu tentang kita luar dan dalam. Hanya keluarga saja yang mampu menciptakan kebahagiaan sempurna. Mungkin orang lain bisa melakukan hal yang sama, tapi kenangannya itu akan berbeda. Terkadang aku terlalu jauh mencari kebahagiaan di luar sana, padahal kebahagiaan itu ada di rumahku sendiri.

Sekarang aku mulai mengerti, ternyata keluargaku tak pernah menganggap sebelah mata terhadap apa yang ku lakukan di luar sana. Mereka tau aku mengajar, dan mereka menghargainya tepat di Hari Guru, walaupun tidak terlalu tepat juga. Ternyata mereka selama ini menganggapku sebagai seorang guru. Padahal bagiku, mengemban tugas guru itu terlalu berat tanggung jawabnya. Tapi, senang rasanya, mereka menganggapku seperti itu.

Apa yang dilakukan oleh keluargaku, sejenak aku teringat akan sosok guru yang sangat ku hormati, Alm. Dr. Bukhari Daud. M.Ed. Ya, beliau lah orang yang sangat berjasa membentuk karakterku saat kuliah. Beliau banyak memberi petuah tentang bagaimana menjadi guru, serta tanggung jawab yang seperti apa yang harus dipegang teguh oleh seorang guru. Beliau adalah guru terbaik sekaligus ayah keduaku. Sebab sosok Pak Bukhari-lah, aku mulai tau arah perjalananku sebagai seorang mahasiswa dan sekarang sebagai pengajar. Itu karena, beliau percaya padaku layaknya keluargaku sendiri. Aku pun menjadi sangat percaya diri.

Meski ku tau, aku tak bisa menjadi seperi Pak Bukhari yang begitu bijak. Tapi aku tak pernah ingin berhenti belajar dari sosok beliau, meskipun guruku ini sudah meninggal dunia. Karakternya sebagai seorang guru dan seorang pribadi akan tetap tinggal, aku merasakannya abadi di dalam hati ini.

Aku merasa diri belum cukup ilmu untuk disandangkan seorang guru. Bagiku, mengajar sana sini hanya sebagai tugas penyambung lidah dari guru-guruku sejak aku TK hingga kuliah. Ada banyak hal yang ku pelajari, ada banyak hal yang dulunya belum ku ketahui. Sekarang, barangkali adalah tugasku, untuk setidaknya membuat siswaku menyadari tujuan mereka belajar di sekolah itu untuk apa.

Aku tak bisa berbuat banyak, aku juga tidak bisa meyakinkan setiap orang bahwa aku dapat mengubah muridku menjadi lebih pintar dan hebat di mata pelajaran yang ku ajarkan. Yang dapat ku lakukan adalah, aku selalu percaya kepada siswa-siswaku. Ya, aku percaya mereka akan memiliki masa depan yang cerah bahkan lebih cerah dari punyaku. Sebagai pengajar, itulah yang aku tanamkan dalam hati. Sebab, aku tak pernah ingin menganggap remeh siapapun. Masing-masing punya kemampuan di bidangnya sendiri. Termasuk pun diriku.

Menjadi guru itu memang berat apalagi jika harus berhadapan dengan murid nakal dan keras kepala. Seperti yang ku katakan tadi, kuncinya adalah kesabaran. Dan menjadi guru itu tidak menjamin akan diingat oleh muridnya sendiri atau oleh rekan ngajar sekalipun, tak ada yang bisa menjamin.

Tapi, keluarga adalah satu-satunya yang dapat menjamin bahwa kita ada sebagai diri kita sendiri. Layaknya aku yang dianggap sebagai sosokku sendiri yang bertugas mengajar di sebuah pondok pesantren. Selain itu, aku juga dianggap penulis sebab memang keseharianku selain mengajar yaa menulis.

Terkahir, tulisan ini sengaja ingin ku buat untuk mengucapkan banyak terima kasih yang tak terhingga kepada keluarga sejatiku. Aku takkan menjadi seperti ini tanpa mereka di sampingku. Terus menopang aku dalam situasi dan kondisi apapun. Merekalah segala-galanya. Merekalah cinta ketulusan. Mereka adalah keluarga yang ku cintai melebihi apapun.

Terutama untuk kakakku, Fitria Dwi Ananda… terima kasih sudah menganggapku ada dengan cara yang tak terduga-duga. Selalu seperti itu, sejak saat itu…

Aku merasa sangat berharga di sisi kalian, sampai detik ini.

Reza Fahlevi

-BREAKING REZA

--

--