Sebatang Kara

Reza Fahlevi
3 min readOct 25, 2021

--

— —

Kau mencoba menjalani kehidupan. Bersama luka menjerit dalam kesunyian. Menghadapi kondisi hari yang berlawanan… berlawanan dari keinginan hati.

Mencari keberadaan sang jawaban, menanti bersabar dan termenung. Kaki sungguh merasakan sakit yang menusuk. Engkau terduduk lesu seakan tak berpengharapan.

Kembali awan kelabu menghitamkan mata memandang. Menerobos kabut tebal yang membutakan sanubari dalam berharap, berharap untuk terus percaya saat keraguan semakin menggoncang keteguhan batin.

Engkau berpaling untuk berjalan haluan yang berbeda, tapi entah mengapa sampai sekarang masih juga tidak bergerak.

Ada rasa takut yang masih terngiang jelas dalam ingatan. Kenangan masa kelam yang dulu pernah mengubah sosok jati dirimu. Kau berkelahi untuk bertahan hidup. Kau berkelahi untuk mengalahkan aura kejahatan.

Meskipun matahari fajar memberikan cahaya semesta, entah bagaimana semua itu tak dapat menerobos masuk ke dalam relung kalbu. Kau terus saja merenungkan nasib buruk yang sampai saat ini masih menyerang tubuh dalammu.

Keutamaan hidup adalah berjuang di balik bara api yang menghanguskan. Bagaikan kayu yang terbakar liar, hatimu terkadang memberontak tak karuan oleh sebab ketidaksabaran… emosi yang tidak terkontrol.

Tangisan senyap berupa kode — bahasa tubuh — sebagai pertanda bahwa kau terlalu tersiksa… sungguh menyiksa dan tak berdaya. Seakan malam ini adalah kesempatan terakhir bagimu.

Tapi pesan tersirat itu benar-benar tersimpan rapi di dalam hati. Saat kau sudah melajukan diri ke arah kesesatan, kata-kata mutiara yang dulu pernah masuk melalui telinga, menyadarkan dirimu yang sudah hilang kendali.

Sendiri saja dan tak ada yang lain. Berbagi kabar, kabar yang tak sampai. Memberi secuil senyuman berupa kekosongan. Kau berusaha menaklukkan kehampaan di saat kekuatanmu sudah berada di ambang kehabisan.

Luka terbentuk, mengiris perih urat-urat nadi. Membuang percuma tangisan yang menitik. Menganggap hebat karna kau tau dikau hanya seorang yang lemah. Melawan… karna begitu sulit untuk berteman bersama gelisah.

Tak akan ada yang mengantarkanmu rantang, tak ada yang datang memberimu pelipur lara. Lakukan karena kau hanya seorang diri. Tak ada orang lain yang akan mengisi hari-harimu.

Batu nisan yang ada di hadapanmu itu adalah bukti, bahwa cerita mereka akan berlanjut padamu. Sudah seharusnya kau persiapkan langkah, untuk melalui sulitnya terjangan badai di seberang lautan sana.

Batu nisan di hadapanmu itu merupakan simbol keberanian yang sudah diwariskan padamu. Ambillah serpihan baranya, kau akan mengerti suatu hari nanti.

Batu nisan ini adalah tempat di mana kedua orang tuamu terbaring. Hapuslah air mata sebab besok badai akan kembali bersua, memporak-porandakan kekokohan topangan kakimu… jika sewaktu-waktu kau lengah.

Kau sudah terlalu lama meratapi diri. Jawaban yang kau cari terkadang tak akan pernah sampai jika hanya berdiam diri saja di sini. Putuskan apa yang harus kau genggam, putuskan apa yang harus kau tinggalkan.

Dunia tak pernah berhenti mencacimu, tapi dunia tidak juga seburuk sanggkaanmu. Hiduplah semaksimal mungkin. Sendirinya engkau karna Tuhan Maha Tahu akan kapasitas yang kau miliki, lebih hebat daripada mereka.

Jangan biarkan depresi menyerang keteduhan hati. Yang pernah terlahir akan pergi meninggalkanmu, yang belum tiba akan datang menyapamu. Bersiaplah, karna waktu tak perna menunggu dirimu untuk siap.

Luka itu ada, membuktikan bahwa kau itu hidup.

Kesendirian itu kau rasakan, sebab kau akan mengerti bahwa terkadang melakukan semuanya seorang diri sungguh mustahil.

Kini kau pahami luka dalam yang menyerang. Coba ilustrasikan dalam hati, apa yang akan kau lakukan untuk menambal lubang yang sudah menjadi mimpi buruk dirimu?

Kini kau sadari bahwa kesendirian itu merupakan bentuk siksaan nyata. Coba kau gumamkan, apa yang akan kau lakukan untuk mengisi kekosongan itu?

Semua pertanyaan tak harus terjawab. Semua rintangan tak perlu kau selesaikan. Jalani saja jika menurutmu itu yang terbaik. Dan jika nanti kau terlalu lelah hingga melampiaskan kekesalan, lampiaskan saja dalam bentuk doa.

Apabila nanti kau tak tau lagi makna kehidupan ini, kilaslah kebelakang betapa kedua orang tuamu sungguh sangat percaya bahwa perjalanan hidup ini, akan kau lanjutkan dengan caramu sendiri.

Lihatlah cermin dan katakan, “aku takkan pernah menyerah…!”

Kau… pasti akan kembali kuat.

Kau… pasti akan melaluinya.

Percayalah, karna aku percaya padamu. Dan percayalah, sungguh Tuhan memercayaimu lebih dari yang kau kira.

— breaking reza

--

--

Reza Fahlevi
Reza Fahlevi

No responses yet