Aku begitu panik mendengar ibu terbatuk-batuk yang semakin parah. Dari kamarku, aku langsung menuju ke kamar ibu dan melihat wajahnya pucat sekali. Batuknya belum juga berhenti. Aku datang dan duduk di samping kanannya, menggusuk-gusuk punggungnya. Napas ibu terasa semakin sesak, ia menderita akibat batuk itu. Tak lama kemudian ibu seperti ingin muntah. Dalam sekejap aku tahu ibu tak mampu berjalan ke kamar mandi untuk memuntahkan apa-apa yang ada di dalam tubuhnya. Dengan spontan langsung ku panggil Iwan, adik laki-lakiku,
“deekk, tolong ambilin plastik, cepaatt!!!”
Suaraku besar, aku memang panik mendengar ibu batuk seperti itu. Ini yang paling parah selama ibu menderita batuk kering. Dapat kurasakan betapa sakit tenggorokan ibu. Perih!
Selang beberapa detik kemudian, Iwan datang membawa sebuah kantong plastik kresek berwarna hitam. Tanpa berlama-lama, ku pegang plastik itu tepat di bawah mulut ibu. Tangan kanannya memegang tangan kiriku, erat terasa. Tepat saat itu, air mataku hampir membanjiri pipi, tapi ku tahan sekuat mungkin agar tidak menitik. Aku tak ingin terlihat lemah di saat ibu sedang butuh pertolongan.
Dan, muntahan itu pun keluar dari mulut ibu. Ternyata darah yang muncul, banyak pula. Posisi ibu yang awalnya masih terduduk tegap kini terpaksa merunduk. Sepertinya ia tak kuasa menahan itu. Beliau terus terbatuk darah. Tanganku masih spontan memerintahkan Iwan untuk mengambil tisu di atas meja cermin kamar ibu. Dan adikku melakukan saja apa yang ku pinta.
Begitu batuknya berhenti, aku langsung membersihkan darah yang mengotori bibir ibu.
“Dek, ambil air untuk kumur-kumur, banyak kali darahnya…”
Iwan berlari dan mengambil segayung air dan sebuah wadah untuk penampungan. Begitu tiba…
“Bu, kumur-kumur dulu.”
Kataku sambil membantu ibu melakukannya. Sebagian gigi beliau telah berubah menjadi merah.
Ibu menuruti yang ku pinta. Kondisi beliau memang tidak baik-baik saja. Bahkan, untuk mengobok-obok air di dalam mulutnya pun terasa begitu susah. Sebanyak tiga kali usaha yang ibu lakukan, setelah itu beliau menyerah dan tubuhnya dengan seketika terbaring begitu saja. Tapi aku sigap menahannya.
“Dek, angkat kaki ibu. Pelan-pelan ya…”
Setelah membaringkan ibu ke tempat tidurnya, aku meminta Iwan untuk mengambil segelas air putih hangat. Sambil menunggu adikku kembali, ku sempatkan diri untuk membelai rambut beliau yang sudah beruban. Ibu tak sanggup membuka mata. Napasnya masih memburu. Tanganku yang satu lagi menggenggam erat telapak tangan ibu. Beliau tidak membalasnya. Tidak ada kesanggupan lagi.
Iwan kembali membawa segelas air putih hangat. Dengan cepat dan juga perlahan ku angkat sedikit kepala ibuku. Sedangkan adikku membantu ibu untuk meneguk air tersebut menggunakan pipet. Hanya sedikit yang beliau teguk.
“Lagi buk, minum… setengah lagi…”
Tapi ibu memberi isyarat bahwa ia tak ingin lagi minum. Aku tak dapat memaksa dan ku baringkan ibu kembali. Aku mulai memijati kedua kaki beliau. Kini, napas ibu sudah kembali normal walaupun masih sangat sangat lemah.
Sudah setahun sejak ibu menderita sesak dan batuk. Sejak meninggalnya ayah tiga tahun yang lalu, gerak-gerik ibu semakin layu. Terasa begitu berat merelakan pria tercinta yang telah meminangnya di masa lajang lalu. Bersama-sama menghidupi dan mendidikku serta adik laki-lakiku, Iwan. Semua kebahagian dan kesedihan telah mereka lalui bersama. Segala bentuk ujian dan rintangan mereka hadapi dengan tabah, itu semua agar kami dapat merasa kasih sayang orang tua. Dan sebisa mungkin menghidarkan kami dari kesulitan.
Ayah meninggal karena kanker otak yang dideritanya selama dua tahun. Dalam waktu tersebut, perlahan kesehatan beliau lenyap begitu saja. Hingga puncaknya ayah koma. Walaupun sudah berjuang melawan penyakit ganas tersebut, namun akhirnya Allah berkehendak. Ibu yang terus senantiasa bersama ayah selama beliau dirawat di rumah sakit, seakan sulit melepas kekasih abadinya. Dan setelah itu, ibu lebih sering murung meskipun tetap memaksa diri untuk menyembunyikannya dariku dan Iwan.
Tapi, kehampaan yang dirasakan ibu membuatnya malah terjatuh sakit juga. Bahkan dalam hampir setahun penuh ini, ibu hanya menghabiskan waktunya di kamar dengan kondisi lemah. Beliau selalu menolak untuk dibawa ke rumah sakit. Keras kepala, mungkin itu yang ada di benakku. Tapi, aku juga tak bisa memaksa ibu begitu saja. Ya walaupun beliau terus-menerus menolak, aku tak pernah bosan menyarankan ibu untuk ke rumah sakit.
Dengan keadaan beliau seperti itu, aku harus menyisihkan waktu untuk menemani ibu di rumah. Untungnya tahun lalu aku sudah lulus kuliah, jadi aku tak perlu risau untuk terus menjaga ibu. Memang seharusnya aku sudah menjejal dunia baru yaitu bekerja. Setidaknya diriku tidaklah terlalu kosong setelah kuliah sebab aku punya sebuah bisnis online, menjual segala macam perlengkapan dapur. Itu sudah cukup untuk mendapatkan hasil walaupun tak banyak.
Sedangkan Iwan baru saja lulus SMA, dan sekarang sedang melalui hari-hari di kampus dengan setumpuk tugas bersamanya. Kini malah adikku yang terlihat lebih sibuk. Tapi aku sudah berpesan kepadanya agar sebisa mungkin untuk berada di rumah untuk membantuku menjaga ibu. Jika ada tenaga laki-laki, akan terasa lebih ringan.
“Nabila… Nabila…”
Ibu memaggilku dengan suaranya yang terbata-bata. Aku bergegas menemuinya di kamar. Ku lihat ia sedang duduk di tempat tidur, menyandarkan dirinya di sebuah penghalang kasur tersebut sambil membaca buku. Ibu suka membaca, itu hobinya sejak dulu. Dan orang tuaku memang ditakdirkan untuk saling mengisi kelebihan serta menutup kekurangan masing-masing. Ayah suka menulis walaupun itu bukan prioritasnya, tapi tetap rutin ia lakukan ketika hari minggu pagi. Pasti setelah sarapan, dengan secangkir kopi, beliau duduk di teras depan dengan sebuah buku dan pulpen di tangannya. Terkadang ayah melakukannya di laptop. Dan romantisnya adalah, ibu selalu menjadi orang pertama yang membaca tulisan ayah. Dan beliau selalu memuji karya ayah walaupun ada beberapa tulisan yang tak ia mengerti maksud dan tujuannya.
Dan sekarang yang sedang dibaca oleh ibu adalah puisi milik ayah yang ditulis tepat di hari ulang tahun ibu. Itu adalah kado tulisan untuk kesekian kalinya dari ayah di usia ibu yang ke-55. Kini ibu sudah berumur lima puluh delapan.
Aku masuk dan duduk di sebelah ibu. Ku tatap senyuman di bibirnya, seperti sedang masuk ke dalam dunia imajinasi ketika ia membaca kata per kata di buku tersebut. Mataku melihat bahwa kondisi ibu sudah membaik sejak tiga hari lalu ketika batuk keras merampas wajah syahdunya.
Aku tak berkata apa-apa, tetap melihat ibu seperti itu. Tanpa bisa ku halangi, tanganku mulai menaruh diri di atas lengan ibu. Ku belai lembut kulit itu, ku sadari bahwa ibu sudah semakin renta.
“Nabila, bagaimana menurutmu buku ini?” Ibu memulai percakapan.
Aku tersenyum dan ku sempatkan diri membaca isinya sedikit.
“Kau menguatkanku saat melemah. Kau meredam aura merah saat ada yang membara di dalam hatiku. Kau menuntunku di saat ada kebuntuan. Bahkan, kau bangkitkan semangat jiwa ketika aku terlihat menyerah menghadapi kenyataan yang berlawanan. Dan itulah kenapa kau ditakdirkan menjadi istriku. Kau mengerti ku dari segala sisi. Kau menerima ku dengan cahaya hati. Sebagaimana aku pasti juga demikian.”
Ibu menatapku sambil tersenyum, aku tak kuasa untuk tidak membalas senyuman itu. Tanpa ku sadari dan tidak pun ku perintahkan, air mataku menitik di kedua pipiku. Ibu langsung mengusapnya dengan jempol.
“Puisi itu indah, seindah senyuman ibu. Dan kata-katanya begitu teduh, seteduh sorot mata ibu. Kakak tau, ayah udah memilih istri yang luar biasa dari sosok ibu.”
Ibu tertawa mendengar ucapanku. Matanya kembali membaca sisa bait-bait puisi tersebut. Begitu selesai, beliau menutup buku itu dan diletakkan di atas pahanya.
“Bagaimana proses lamaran kerja kamu Nabila?”
“Alhamdulillah lancar bu…”
“Jadi apa selanjutnya? Kapan pengumuman?”
Ibu mengajukan itu sambil tersenyum. Sepertinya beliau senang dengan usahaku melamar pekerjaan ke sana kemari.
“Sebetulnya ada satu tempat bu… kakak lulus di sebuah apotek…”
“oh ya? Alhamdulillah. Selamat ya sayang.”
Ibu menjulurkan tangannya kepadaku. Awalnya aku ragu tapi tidak mungkin juga aku menolaknya. Ku raih dan ku ciumi tangan kanan ibu. Setelah itu, ibu membawa pandanganku untuk menatap wajahnya. Sepertinya beliau tahu aku sedang dilema.
“Itu kesempatan kamu kak. Jangan ragu. Kamu udah sampai di tahap ini. Kenapa? Apa yang buat kamu jadi kayak bingung gitu?” Tanya Ibu.
Aku menunduk, tak ku jawab pertanyaan itu. Sedangkan ibu seakan tak menyerah untuk mendengar jawaban dariku. Beliau membelai lembut rambut hitamku yang panjangnya sebahu. Dan aku paham, ibu ingin aku untuk memberikan setidaknya satu alasan pasti.
“Kakak lulus di apotek, tapi kakak gak bisa ambil dan kerja di situ bu.”
Ibu menatap dalam mataku. Beriringan dengan helaan napas panjangku, lalu ku ceritakan dilemaku.
“Kakak gak mungkin harus ke Batam dan ambil pekerjaan itu. Sangat gak mungkin dan gak akan bisa. Kondisi ibu ini… kondisi ibu udah membulatkan tekad kakak untuk terus bersama ibu kapan pun itu. Kakak gak sanggup ninggalin ibu, gak sanggup…”
Aku kini mulai lepas kendali, menangis terisak di hadapan ibu. Tak lagi sanggup ku tahan karena seharusnya air mata ini sudah meledak jauh-jauh hari ketika kondisi ibu memburuk saat itu. Dan sangking tak tahannya, aku menangis sejadi-jadinya di pangkuan ibu. Kain coklat yang menyelimuti paha beliau pun basah. Tapi aku memang tidak bisa berhenti.
Sedangkan ibu juga tidak berhenti membelai rambutku, terasa begitu sejuk ketika beliau melakukannya.
“Ibu ngerti. Tapi yang ibu mau, kamu pikir-pikir dulu pilihanmu itu. Apalagi ini menyangkut masa depanmu, terlebih lagi kamu udah lulus di sana. Artinya mereka udah percaya sama kamu, percaya dengan kinerja dan keseriusan kamu. Jadi, coba kau pertimbangkan ini baik-baik…”
Ibu berhenti sejenak, seperti merasakan sesuatu dalam diriku yang sudah di atas pangkuannya.
“Memang ibu sekarang begini, udah gak kayak dulu lagi. Ada masanya semua yang kita dapat di masa lalu berakhir di masa sekarang. Dan inilah yang memang harus ibu jalani. Maksudnya, jangan khawatirkan ibu, Insya Allah semua bakal baik-baik aja. Kan ada Iwan yang sigap.”
Aku lalu bangkit dan menghapus air mataku. Merenung sejenak apa yang dikatakan oleh ibu tadi. Walau bagaimanapun, ini memang berat. Pilihan yang akan menentukan arah jalan hidupku. Mungkin aku harus lebih berani mengambil keputusan dan mulai agak tegas terhadap pendirianku. Lagi pula, sekarang aku sudah dewasa, bukan lagi anak-anak.
“Nabila udah melalui jalan panjang, udah rasain masa-masa sibuk ketika masih kuliah di Farmasi. Di sela-sela buat tugas, banyak waktu yang buat kakak jarang pulang ke rumah, jarang jumpa ibu dan ayah, bahkan kadang-kadang kakak gak tau gimana kondisi ibu dan ayah, apakah sehat atau gak, apakah bahagia atau sedih. Kakak gak peka. Tapi waktu itu ayah masih ada, ibu masih ada yang kawanin. Sekarang, semuanya gak lagi sama menurut kakak. Apalagi Iwan udah mulai sibuk juga, maka udah jadi tugas kakak untuk tetap di sini, di dekat ibu.”
Ibu tersenyum, tapi ku sadari bahwa beliau sebetulnya sedih. Sebenarnya aku memang begitu ingin mengambil bagian dari apotek tersebut. Tapi, ini keputusanku, aku merasa tak ada yang perlu untuk diubah lagi.
“Sekarang, kakak mohon ibu ngerti terhadap pilihan ini. Dan ibu bisa terima ini dengan lapang dada. Pilihan ini bukan berarti masa depan kakak akan selesai tanpa ada tujuan apapun. Gak bu. Jika ada pekerjaan layak yang tempatnya gak jauh-jauh dari ibu, pasti kakak akan ambil kesempatan itu. Jadi ibu jangan khawatir. Kakak cuma gak bisa jauh dari ibu, sekarang gak lagi. Ini keputusan dari hati kakak dan semua udah kakak pertimbangkan sejak hari pertama kakak dapat info diterima di situ. Pilihan kakak udah bulat, semoga ibu mengerti.”
Ibu lalu memelukku erat dan ku balas tanpa ragu. Beliau menangis, dapat ku sadari itu dari suara desahan napasnya. Aku berusaha menenangkan ibu sambil berbisik di telinganya bahwa semua akan baik-baik saja selama kami tetap hidup bersama dalam kedekatan yang nyata. Ibu lalu melepas pelukannya, memegangi wajahku, kemudian mengecup keningku. Terasa begitu hangat.
“Ya, mau gimana lagi. Ibu juga gak bisa terlalu maksa kakak kan. Sama juga waktu kamu coba saranin ibu untuk ke rumah sakit waktu ibu sakit keras, ibu selalu nolak dan kamu gak ada kesempatan untuk paksa ibu, iya kan…” Ujar ibu.
Kami lalu tertawa dalam balutan air mata yang masih menitik di pipi kami berdua. Baru kali ini ibu kembali merasa seakan lepas dari segala beban di dalam dirinya. Persis, sejak ayah meninggal, ibu tidak pernah seperti ini. Dan apabila pilihanku ini dapat mengembalikan suasana hati ibu seperti sedia kala, aku akan sangat bersyukur. Meskipun tetap tak akan sama seperti di masa lalu.
Bagaimanapun itu, tak ada alasan untuk meninggalkan ibu sendirian. Di saat ia harus melawan rasa sakit seorang diri, tanpa ayah, kekasih abadinya, ku kira inilah waktuku untuk terus bersamanya, duduk sambil bercerita kisah masa lalu atau masa depan, saling bertukar kenangan tentang dunia perkuliahan kami waktu itu, atau mengaji bersama sambil berdoa untuk ayah.
Kini, masa-masa bersantai bersama teman-teman di pantai atau di manapun itu sudah usai. Kewajibanku adalah terus bersama malaikat yang telah menuntunku berjalan dengan kakiku sendiri, ibuku. Rambutnya semakin memutih, fisiknya terus melemah, bahkan sayapnya pun sudah sangat rapuh untuk membawa kami terbang bersama di langit yang berlukiskan cahaya bintang.
Meskipun begitu, hatinya masih terlalu tangguh untuk menghadapi semua penyakit yang dideritanya. Tak pernah menyerah untuk berjuang, tak pernah berhenti untuk menghidupkan semangat di dalam batinnya. Ibu adalah malaikat yang akan terus bercahaya menuntun kami ke arah semestinya. Tapi sekarang ini, biarkan sayapku yang membawa ibu terbang jauh meninggalkan kehampaan dari sosok ayah, hingga nanti beliau merasakan kembali kebahagiaan yang dulu pernah singgah lama di balik hatinya.
“Ibu, aku selalu menyayangimu, dan akan terus begitu. Sebagaimana engkau pun juga demikian.”
— Breaking Reza