Ramadan Menulis 1

Ramadan di Angka ke-24

Reza Fahlevi
8 min readApr 12, 2021

1442 Hijriah, saya dan keluarga inti Alhamdulillah masih diberi kesempatan oleh Allah untuk berjumpa lagi dengan ramadhan tahun ini. Banyak yang telah terlalui atau bahkan yang telah terjadi di tahun-tahun sebelumnya. Dan, nikmat Allah tak akan pernah sanggup untuk dihitung, termasuk dengan kesempatan saya bersama keluarga untuk kembali merasakan nuansa ramadhan ini.

Beberapa telah kembali kepadanya, bahkan para ulama sekalipun telah mendahului kita, seperti salah satunya Syekh Ali Jaber. Beberapa orang di luar sana pun juga ada yang merasa kehilangan, baik dari sanak keluarga, teman, kerabat, mereka semua telah dipanggil oleh Allah. Adapun ramadhan tahun lalu adalah yang terakhir kalinya untuk mereka.

Saya pribadi juga merasa kehilangan sosok-sosok yang bagi saya sendiri, mereka adalah orang terdekat. Pertama adalah teman lama saya yang dulunya pernah satu SMP dengan saya. Namanya pun hampir mirip dengan saya yaitu, Rizki Fahlevi. Sejak lulus dari SMP, baik beliau ataupun saya sudah tidak pernah jumpa lagi. Terhitung sekitar sembilan tahun kami tak pernah saling mendapat kabar. Namun tahun lalu, atas izin Allah, kami kembali dipertemukan di sebuah masjid ketika hendak melaksanakan shalat maghrib.

Sungguh luar biasa, seseorang yang sudah tak pernah lagi bertemu, bahkan saya mengira teman saya ini sudah pindah ke kota lain, tapi tepat di bulan November 2020 lalu, tanpa ada angin, tanpa saling mengabari, kami berjumpa. Namun, itu adalah pertemuan kami yang pertama kalinya sejak lulus dari SMP, sekaligus juga pertemuan terakhir. Ya, sebulan setelah kami bersua kembali, Rizki meninggalkan saya untuk selamanya. Begitu cepat kejadiannya, tapi kuasa Allah siapa yang dapat melawannya? Tidak ada.

Padahal, saat kami bertemu di sebuah masjid, kami sempat berencana untuk reuni dengan teman-teman SMP lainnya. Dan belum pun sempat rencana tersebut terealisasi, Rizki harus lebih dulu kembali kepada Allah. Tak pernah sekalipun saya menyadari bahwa pertemuan kami di masjid itu adalah yang terakhir kalinya.

Lalu, beberapa waktu kemudian, tepatnya di awal tahun 2021, kabar duka kembali menyelimuti saya. Dosen saya, Pak Bukhari Daud, meninggal dunia. Beliau sudah saya anggap sebagai ayah kedua saya. Dan selama di kampus, beliau banyak menginspirasi saya baik saat sedang kuliah ataupun saat sedang di luar. Adalah sikap beliau yang begitu melekat dalam diri saya. Cara beliau mengajar di kelas, berinteraksi dengan mahasiswa dan juga dosen, menjadi imam shalat, atau ketika sedang berkhutbah di hari jumat; Pak Bukhari adalah teladan saya.

Beliau juga menjadi alasan saya dapat menyelasikan tugas akhri skripsi saya di kampus. Adalah judul serta ide dari penelitian skripsi saya, awal mulanya berasal dari Pak Bukhari. Beruntungnya lagi beliaulah yang menjadi penguji saya dalam seminar proposal dan juga saat ujian sidang. Meskipun saya inginnya beliaulah yang menjadi pembimbing saya, tapi menjadi penguji pun tidak masalah.

Yang membuat saya bahagia adalah, kepedulian Pak Bukhari terhadap saya. Sering ketika sedang dalam pengerjaan skripsi, jika berjumpa di kampus beliau pasti bertanya sudah sampai bab berapa. Walaupun sebenarnya ada beberapa kendala saat pengerjaan skripsi itu, tapi beliau tak pernah lupa untuk mendukung saya menyelesaikannya. Dan ketika hari ujian sidang dilaksanakan, beliau satu-satunya dosen yang senang melihat saya akhirnya sudah berada di ujung perkuliahan dengan mengungkapkan kebahagiaan beliau di depan dosen-dosen lain. Padahal beliau hanya penguji saya, tapi cara beliau bersikap seolah-olah beliaulah pembimbing saya.

Memang, tak banyak waktu yang pernah saya habiskan bersama beliau. Tercatat hanya sekali saja saya pernah menghabiskan waktu tanpa membicarakan masalah kuliah, yaitu saat beliau meminta saya ke rumah untuk satu hal. Di situlah waktu di mana kami berbincang santai layaknya seorang anak dan ayah.

Saya selalu terinspirasi dari Pak Bukhari, terutama dari cara beliau mengajar. Sekarang saya sudah mengajar di sebuah pesantren, dan attitude beliaulah yang seakan terbawa oleh saya untuk melaksanakan tugas saya ini.

Terkait masalah janji, Pak Bukhari benar-benar memegangnya dengan penuh tanggung jawab. Ketika hendak mengajar di kelas misalnya, beliau begitu menghargai waktu dengan hadir selalu tepat waktu. Apabila ada sesuatu yang membuat beliau telat, pasti satu jam atau tiga puluh menit sebelum kuliah dimulai, beliau mengabarkan mahasiswanya. Jika di kelas ada saya, maka beliau pasti menghubungi saya, padahal saya bukanlah komting.

Dari sisi seorang anak lelaki, saya selalu melihat Pak Bukhari ini sebagai cerminan ayah saya. Apalagi jika ditelusuri lebih jauh, ayah saya dan Pak Bukhari adalah teman lama. Mereka berdua pernah belajar mengaji bersama. Namun kesibukan masing- masing setelah nikah, memaksa keduanya harus jarang bersua. Oleh sebab itu Pak Bukhari saya anggap sebagai ayah kedua saya. Walaupun beliau tak pernah tahu bahwa saya anaknya Pak Marwan, teman lama beliau. Tapi, tak mengapa juga.

Satu hal yang masih terekam jelas di ingatan saya adalah, ketika beliau menjabat sebagai Bupati Aceh Besar. Itu terjadi sekitar tahun 2008. Jadi, di tengah-tengah masa jabatan, beliau pernah didemo oleh masyarakat. Yang menariknya adalah, masyarakat mendemo beliau bukan untuk menyuruh beliau turun atau ada beberapa dari tugas beliau yang tidak berjalan seperti seharusnya. Mereka mendemo Pak Bukhari agar beliau tidak turun dari jabatan dan terus memimpin rakyatnya setidaknya hingga masa jabatan beliau habis. Ini sungguh kejadian yang sangat langka. Saya sendiri baru mendengar berita seperti ini seumur hidup, dan itu terjadi di kampung halaman saya sendiri, Aceh Besar.

Usut punya usut, Pak Bukhari pada saat itu hendak turun dari jabatannya sebab ada beberapa orang yang memiliki perbedaan pendapat dari beliau. Bukan lagi rahasia bahwa politik di masa itu bahkan sampai sekarang pun, memakai sistem curang atau lebih mementingkan hal pribadi di atas kepentingan rakyat. Adapun Pak Bukhari adalah orang yang tidak ingin melakukan pekerjaan kotor. Maka saat itu beliau memilih untuk turun saja daripada harus menanggung dosa di akhirat.

Tapi, masyarakat yang tahu berita tersebut langsung turun dan berdemo agar Pak Bukhari jangan turun dan tetap menjalankan tugasnya sebagai bupati. Singkat cerita, beliau akhirnya tetap menjabat hingga masa jabatan berakhir. Setelah itu, Pak Bukhari kembali mengajar di kampus dan tidak pernah sekalipun lagi terjun ke dunia politik.

Sungguh pribadi yang sangat berpendidikan. Tidak sia-sia gelar S3 tersemat jelas di depan juga di belakang nama beliau. Ya, Pak Bukhari sebenarnya adalah contoh bagaimana orang terdidik itu bersikap di tengah masyarakat biasa. Dan bagi saya, beliau adalah contoh nyata dari hal tersebut.

Meninggalnya Pak Bukhari di bulan Januari lalu benar-benar mengejutkan saya. Tiba-tiba saja di pagi itu hp saya berbunyi masuk notifikasi WA. Begitu saya buka pesannya, saya terpaku sejenak. Bertanya-tanya apa ini benar? Secepat itukah Pak Bukhari kembali kepada Allah? Tapi memang umur menjadi rahasia Allah.

Ramadhan tahun 2019, adalah kali terakhir saya melihat beliau berada di atas mimbar memberikan sedikit tausyiah kepada jamaah shalat Isya, Tarawih, serta Witir. Dan di bulan Agustus 2019, adalah kali terakhirnya saya berjumpa dengan beliau di kampus saat beliau menjadi penguji skripsi saya. Dan setelah itu, saya tak pernah lagi berjumpa apalagi di saat Covid 19 mulai merajalela menjadi momok yang begitu ditakuti oleh banyak masyarakat bahkan hampir seluruh dunia di tahun 2020 lalu.

Kabar duka lain datang yaitu ketika bibi saya meninggal dunia akibat kanker yang sudah beliau derita sejak dua tahun lalu. Tak lama setelah meninggalnya Pak Bukhari, bibi saya juga menghembuskan napas terakhirnya.

Di akhir hayat beliau, entah mengapa saat itu saya tiba-tiba teringat dengan almarhumah nenek. Saat itu nenek menderita sesak dan batuk berat, tapi beliau seakan tak pernah menyerah melawan penyakit tersebut bahkan di usia renta sekali pun. Yang begitu terasa adalah, beliau selalu mencoba tersenyum di tengah rasa sakit yang sulit untuk dijelaskan itu.

Bibi saya juga demikian, penyakit kanker yang telah mengubah serta merampas segalanya, tapi seakan beliau tak ingin kalah untuk melawan penyakit mematikan itu. Bahkan tepat satu malam sebelum kepergian bibi, beliau sudah mulai hilang kesadaran. Napas yang sesak bagitu menyait paru-paru beliau. Semua dari suami, anak-anak beliau, bahkan keluarga besar pun sudah berdatangan ke rumah. Kami mengaji di depan beliau.

Dan atas izin Allah, akhirnya bibi membaik walupun ketika mencoba berbicara, sudah tidak begitu jelas lagi. Tapi, beliau bahagia melihat semuanya berkumpul untuk beliau. Bahkan bibi sudah bisa mengumbar senyuman saat itu. Sungguh kekuatan yang luar biasa dari bibi. Seakan ingin memberi tahu kami semua bahwa beliau masih belum menyerah melawan rasa sakit, dan beliau masih kuat menghadapinya seorang diri.

Namun lusanya, Allah berkehendak lain. Bibi akhirnya menghembuskan napas terakhirnya tepat setelah adzan Dzuhur berkumandang. Setelah melawan rasa sakit dari dalam selama dua tahun, bibi akhirnya terbebas dari semua sakit-sakitan.

Kepergian beliau menyesakkan hati. Betapa tidak, sejak kecil saya sering bermain ke rumah beliau, diajak jalan-jalan di malam minggunya jika saya menginap di rumah beliau, mendidik saya sebagaimana ibu saya sendiri. Kini saya harus kehilangan sosok yang berharga untuk selamanya. Dengan segala perjuangan yang bibi lakukan untuk melawan rasa sakit, bagi saya beliau adalah simbol kekuatan bagi wanita untuk meruntuhkan pernyataan-pernyataan yang mengatakan bahwa wanita itu lemah.

Tidak!

Wanita itulah simbol kekuatan, terlebih lagi jika sudah menjadi ibu. Saya melihat sendiri dari bola mata ini bagaimana kekuatan serta kasih sayang wanita terhadap orang-orang terdekatnya. Sosok ibu lebih hebat lagi saat ia mendidik serta membesarkan anak-anaknya hingga sukses. Bertahun-tahun menanamkan benih kepada anak-anak agar kelak dapat menggapai mimpi mereka.

Bibi adalah salah satu dari simbol kekuatan tersebut, sebagaimana yang diperlihatkan oleh nenek saya di kala itu. Ibu saya juga demikian, simbol cinta, kasih sayang juga kekuatan yang pertama kali saya kenal sejak kecil. Wanita ataupun ibu, memiliki keistimewaan untuk menghadapi hampir semuanya seorang diri.

Kembali lagi kepada ramadhan. Di usia saya kini yang sudah memasuki 24 tahun, ada banyak yang terlewati di belakang sana. Drama, tekanan, ujian, tangisan pernah mengubur harapan saya untuk tumbuh. Tapi canda tawa, kebahagiaan, serta pertemuan dengan sosok-sosok baik dan bijaksana, seolah-olah menyelamatkan saya dari sebuah jurang besar untuk jatuh ke dasarnya.

Juga, di ramadhan ini saya harus menerima kabar tiga sosok hebat nan luar biasa, telah meninggalkan saya untuk selamanya. Tak pernah menyangka bahwa ramadhan tahun lalu adalah yang terakhir kalinya bagi mereka. Sungguh rahasia Allah akan selalu tetap menjadi milik-Nya.

Tapi saya sangat bersyukur, di ramadhan ini, di angka ke-24 ini, saya masih bersama keluarga inti saya, saudara-saudara, serta kerabat dan teman lainnya. Semoga kebersamaan ini terus berlanjut dalam waktu lama hingga nanti saya menikah, memiliki anak, ataupun beruban. Sungguh, sebenarnya saya tak pernah sanggup jika harus melihat salah satu dari orang tersayang saya pergi selama-lamanya dari tatapan mata ini. Jika harus jujur, saya hanya ingin menjadi orang pertama yang pergi dari mereka agar saya tidak lagi merasakan apa itu namanya perpisahan.

Sulit… begitu sulit memang untuk merelakan kepergian orang yang kita cintai ini. Terpisah di antara dua alam yang berbeda, menjalani hari-hari dengan kehampaan oleh sebab mereka sudah tidak lagi di sisi. Sungguh itu semua akan terasa sangat berbeda.

Semoga yang telah kembali kepada Allah, ditempatkan di sisi terbaik-Nya. Serta keluarga dan kerabat yang ditinggalkan diberi ketabahan untuk menjalani semua ujian ini.

Untuk Rizki Fahlevi teman saya, Pak Bukhari Daud selaku dosen saya, dan almarhumah bibi yang biasanya sayang memanggil beliau ibunda; semoga Allah memberikan sebuah tempat terbaik. Tak ada lagi yang dapat saya lakukan untuk menutup ruang kerinduan ini kecuali hanya menitip doa kepada Allah.

Dan terima kasih telah menjadi contoh untuk saya pribadi, menjadi teladan, menyadarkan saya untuk terus belajar tanpa henti. Saya akan terus meletakkan Rizki, Pak Bukhari serta ibunda di dalam ingatan dan hati saya. Sikap yang terlihat, serta senyuman saat melawan penyakit, semoga dapat menjadi kekuatan untuk saya menghadapi lika-liku kehidupan ini.

Sikap untuk rendah hati, menghargai janji, ataupun sikap dari ketangguhan hati akan terus menjadi pedoman saya. Meskipun saya tahu belum semua dari hal tersebut mampu saya terapkan dalam hidup ini, tapi saya selalu berkata dalam hati,

“tidak ada waktu sedetikpun untuk menyerah, Reza.”

Saya ingin kuat, saya ingin tersenyum, saya ingin bersama orang-orang yang saya cintai. Itulah sedikit gambaran dari cita-cita saya selama ini.

Semoga ramadhan tahun ini dapat menjadi berkah serta titik balik untuk kembali kepada kebaikan, terutama untuk saya sendiri dan kita semua.

Setelah melalui ramadhan yang begitu berat di tahun 2020 lalu, semoga di tahun ini, kabar gembira kembali terlintas di setiap telinga, menjadi pelipur lara kita dalam hidup ini.

Day one ramadhan writing

— Breaking Reza

--

--