“Ibu, ramadan ini begitu rindu akan suara merdumu ketika melantunkan ayat-ayat suci Al-Quran…”
Ku lihat burung sedang bercerita
Mereka mengawali pagi dengan tertawa
Lalu ku tatap diri di depan cermin
Ada air mata yang tak pernah,
Tak lagi pernah ingin berhenti menitik
.
Aku mencoba untuk tidak berbohong
Di dalam bulan yang suci ini mencoba diri berada di bawah sinar bulan
Tanpa penghalang
Merenungi kisah masa lalu bersamamu
.
Tak ada yang dapat terulang lagi
Kasih dan sikap pedulimu
Memberi rasa seperti seorang bidadari
Hingga di detik hembusan napas terakhir
.
Ungkapan rindu yang ku batinkan
Di bawah langit hitam berlukiskan warna-warni cahaya bintang
Ku coba utarakan perasaan hampa ini
Tak pernah lagi sama sejak engkau pergi tuk selamanya
.
Ibu,
Seorang cinta
Seorang pemberi harapan
Seorang yang tangguh
Yang kini telah tiada
.
Ibu…
Bidadari penyejuk emosi
Bidadari yang memiliki senyuman indah
Biddadari berwajah syahdu
Kini telah pergi selamanya
.
Lalu bagaimana ku coba berbohong di bulan suci ini?
Tak pernah ku lihat diriku ini berhenti menangisimu dari dalam hati
Bagaimana ku berlagak kuat?
Tidak ada satu pun yang dapat ku lakukan untuk menutup sebuah lubang yang terbuka begitu saja
Aku, mungkin semakin merapuh
.
Yang ku dengar saat itu hanya hembusan napasmu
Terasa sesak menyait paru-parumu
Yang ku lihat engkau hanya ingin berjuang
Melawan kanker… musuh bebuyutanmu
Terus mengambil alih fungsi tubuhmu
Yang ku lihat ibu hanya mencoba bertahan
Dalam rasa sakit yang terpendam itu
.
Ada lubang kecil yang semakin membesar
Ada hati yang semakin luluh
Juga ada rindu yang takkan pernah tersampaikan
Aku hanya rindu ibu, yang senantiasa mengaji dengan suara merdu itu
Kini tak lagi terdengar lantunannya
.
Hanya air mata ini yang tak henti
Membasahi seluruh permukaan wajahmu
Hanya air mata ini,
Aku melihat tubuhmu dalam balutan ketenangan, tanpa sedikitpun membuka mata
.
Ingin ku berkabar untukmu yang jauh di sana,
Aku sudah kembali berada di bulan suci
Ingin ku ceritakan padamu,
Kini hanya ada sepi di balik cahaya ramadan
Ingin ku beri tahu ibu
Aku menjadi putrimu yang layu
.
Kepergianmu terlalu membekas rasanya
Ketiadaanmu meninggalkan hampa di sini
“Tak pernah ku sangka, tahun lalu adalah ramadan terakhirmu.”
.
Tapi ku lihat dari jendela kamarku,
Bunga ibu semakin mekar dan indah
Yang di pagi hari ku sirami mereka
Di ujung senja ku ajak mereka bercerita
Semuanya
Persis,
Sebagaimana ibu memperlakukan mereka saat itu
.
Walaupun kini tak ada lagi pelukan sebagai penghangat jiwa
Tak ada lagi ukiran senyuman sebagai pelipur lara
Tidak lagi ada sama sekali dirimu di sisi,
Aku hanya ingin bangkit dan menjadi bidadari seperti ibu
.
Tapi ibu,
Maaf,
Karna aku tak tau sampai kapan lubang hampa ini akan tertambal
Aku tak tau kapan air mata ini mengering
Aku juga tak menahu kapan diriku kembali seperti sedia kala
Hanya rindu dan sedih yang tertanam dalam di hati
Sulit untukku membenamkan keduanya
.
Tapi di bulan yang suci ini
Biarlah putrimu yang melantunkan ayat-ayat suci
Sebagai bentuk kerinduan mendalam
Bentuk tangisan ingin memelukmu
Mendekapmu agar terus hidup dalam serpihan jiwaku, yang kini semakin tak menentu
.
Mulut akan terus berlisan untuk menghibur yang terluka,
Telinga akan berusaha mendengar hati yang menjerit sepi
Tangan selalu mencoba menarik jiwa yang terkubur
Kaki akan terus melangkah di bawah payung langit kelabu
Dan hatiku, akan terus melantunkan namamu,
Sebagai wujud dari kekuatan
Persis saat ibu melawan rasa sakit
Di dalam deritanya senyuman air matamu
.
Biarkan doa ini berlalu dariku
Biarkan ia terbang jauh ke langit sana
Hingga sampai padamu
Yang telah berada di surga
Aku akan terus mendekap ibu sambil mencoba menyentuh wajah bidadarimu di dalam hati ini,
“bahwa bulan suci ini, begitu rindu mendengar engkau mengaji, duhai ibu…”
— Breaking Reza