Ramadan Menulis 7

Menyentuh Wajah Bidadari

Reza Fahlevi
3 min readApr 19, 2021

Puisi

“Ibu, ramadan ini begitu rindu akan suara merdumu ketika melantunkan ayat-ayat suci Al-Quran…”

Ku lihat burung sedang bercerita

Mereka mengawali pagi dengan tertawa

Lalu ku tatap diri di depan cermin

Ada air mata yang tak pernah,

Tak lagi pernah ingin berhenti menitik

.

Aku mencoba untuk tidak berbohong

Di dalam bulan yang suci ini mencoba diri berada di bawah sinar bulan

Tanpa penghalang

Merenungi kisah masa lalu bersamamu

.

Tak ada yang dapat terulang lagi

Kasih dan sikap pedulimu

Memberi rasa seperti seorang bidadari

Hingga di detik hembusan napas terakhir

.

Ungkapan rindu yang ku batinkan

Di bawah langit hitam berlukiskan warna-warni cahaya bintang

Ku coba utarakan perasaan hampa ini

Tak pernah lagi sama sejak engkau pergi tuk selamanya

.

Ibu,

Seorang cinta

Seorang pemberi harapan

Seorang yang tangguh

Yang kini telah tiada

.

Ibu…

Bidadari penyejuk emosi

Bidadari yang memiliki senyuman indah

Biddadari berwajah syahdu

Kini telah pergi selamanya

.

Lalu bagaimana ku coba berbohong di bulan suci ini?

Tak pernah ku lihat diriku ini berhenti menangisimu dari dalam hati

Bagaimana ku berlagak kuat?

Tidak ada satu pun yang dapat ku lakukan untuk menutup sebuah lubang yang terbuka begitu saja

Aku, mungkin semakin merapuh

.

Yang ku dengar saat itu hanya hembusan napasmu

Terasa sesak menyait paru-parumu

Yang ku lihat engkau hanya ingin berjuang

Melawan kanker… musuh bebuyutanmu

Terus mengambil alih fungsi tubuhmu

Yang ku lihat ibu hanya mencoba bertahan

Dalam rasa sakit yang terpendam itu

.

Ada lubang kecil yang semakin membesar

Ada hati yang semakin luluh

Juga ada rindu yang takkan pernah tersampaikan

Aku hanya rindu ibu, yang senantiasa mengaji dengan suara merdu itu

Kini tak lagi terdengar lantunannya

.

Hanya air mata ini yang tak henti

Membasahi seluruh permukaan wajahmu

Hanya air mata ini,

Aku melihat tubuhmu dalam balutan ketenangan, tanpa sedikitpun membuka mata

.

Ingin ku berkabar untukmu yang jauh di sana,

Aku sudah kembali berada di bulan suci

Ingin ku ceritakan padamu,

Kini hanya ada sepi di balik cahaya ramadan

Ingin ku beri tahu ibu

Aku menjadi putrimu yang layu

.

Kepergianmu terlalu membekas rasanya

Ketiadaanmu meninggalkan hampa di sini

“Tak pernah ku sangka, tahun lalu adalah ramadan terakhirmu.”

.

Tapi ku lihat dari jendela kamarku,

Bunga ibu semakin mekar dan indah

Yang di pagi hari ku sirami mereka

Di ujung senja ku ajak mereka bercerita

Semuanya

Persis,

Sebagaimana ibu memperlakukan mereka saat itu

.

Walaupun kini tak ada lagi pelukan sebagai penghangat jiwa

Tak ada lagi ukiran senyuman sebagai pelipur lara

Tidak lagi ada sama sekali dirimu di sisi,

Aku hanya ingin bangkit dan menjadi bidadari seperti ibu

.

Tapi ibu,

Maaf,

Karna aku tak tau sampai kapan lubang hampa ini akan tertambal

Aku tak tau kapan air mata ini mengering

Aku juga tak menahu kapan diriku kembali seperti sedia kala

Hanya rindu dan sedih yang tertanam dalam di hati

Sulit untukku membenamkan keduanya

.

Tapi di bulan yang suci ini

Biarlah putrimu yang melantunkan ayat-ayat suci

Sebagai bentuk kerinduan mendalam

Bentuk tangisan ingin memelukmu

Mendekapmu agar terus hidup dalam serpihan jiwaku, yang kini semakin tak menentu

.

Mulut akan terus berlisan untuk menghibur yang terluka,

Telinga akan berusaha mendengar hati yang menjerit sepi

Tangan selalu mencoba menarik jiwa yang terkubur

Kaki akan terus melangkah di bawah payung langit kelabu

Dan hatiku, akan terus melantunkan namamu,

Sebagai wujud dari kekuatan

Persis saat ibu melawan rasa sakit

Di dalam deritanya senyuman air matamu

.

Biarkan doa ini berlalu dariku

Biarkan ia terbang jauh ke langit sana

Hingga sampai padamu

Yang telah berada di surga

Aku akan terus mendekap ibu sambil mencoba menyentuh wajah bidadarimu di dalam hati ini,

“bahwa bulan suci ini, begitu rindu mendengar engkau mengaji, duhai ibu…”

— Breaking Reza

--

--

Reza Fahlevi
Reza Fahlevi

No responses yet