Ramadan Menulis 14

Reza Fahlevi
7 min readApr 25, 2021

--

Saya Ini Islam Protestan

Breaking Reza

Ada banyak cara yang dilakukan oleh setiap orang untuk bercanda dengan kerabat. Semua dilakukan agar suasana menjadi lebih ceria dengan tawa-tawa yang sampai menggelikan perut. Bercanda pun juga membuat hubungan antar satu individu dengan yang lainnya dapat semakin erat. Juga dengan bercanda, dapat kita ketahui sedekat apa pertemanan atau persahabatan mereka itu.

Yang namanya bercanda maka kita pasti mencari satu objek untuk dijadikan bahan tertawaan. Dengan kata lain, akan ada korban yang yang dijadikan tujuan sebagai bahannya seperti binatang, benda-benda yang terlihat unik, dan juga manusia. Bahkan yang lebih memprihatinkan lagi, ada orang yang membawa agama untuk dijadikan sebagai bahan bercandaan.

Dalam sebuah grup Line yang dominan berisikan anak-anak remaja, banyak dari jenis percakapan terutarakan di dalam. Sebab, pembahasan yang dibahas tidak ada mengarah kepada satu topik yang menjadi acuan. Maka, para muda-mudi itu saling bertukar chat di dalam grup tersebut. Mulai dari berkenalan, bertanya tentang akun sosial media, saling berganti untuk membuat baper yang lainnya, hingga pada candaan-candaan mulai dari yang ringan hingga menjurus pada hal yang besar. Maksudnya menjurus pada hal yang besar adalah, objek candaan yang digunakannya.

Benar, entah karena muda-mudi di dalam grup tersebut terlalu bebas, terlalu ria, atau mungkin karena sudah over, maka muncullah satu ungkapan dari salah seorang yang menyatakan “saya ini Islam Protestan”, yang kemudian di balas oleh beberapa member lainnya dengan candaan juga. Ada yang membalas pesan tersebut dengan kata-kata yang menunjukkan bahwa ia tak habis pikir bahwa ada orang yang menganut Islam Potestan, sebagian ada yang membalas dengan ketikan “ha ha ha” sebagai tertawaan, juga ada yang merespon dengan hanya mengirim emoji menangis tertawa, yang menunjukkan bahwa si pengirim ini memang tertawa terbahak-bahak terhadap candaan tentang Islam Protestan itu tadi.

Sebenarnya, tidak ada yang salah dari gerak gerik muda-mudi itu dalam berinteraksi dengan sesama melalui grup Line. Hanya saja, sungguh sangat disayangkan ketika agama sudah dijadikan alat sebagai bahan tertawaan. Islam Protestan? Ini merupakan sebuah kesalahan besar. Beruntungnya, ini terjadi dalam ruang tertutup, maksudnya ruang lingkupnya hanya di sekitar grup Line itu. Tapi bagaimana jika ini terjadi di depan khlayak orang lain? Betapa banyak orang yang kemudian merasa tersakiti khususnya yang beragama Islam. Dengan demikian, kejadian ini akan panjang sampai ke ranah hukum. Lalu si remaja yang melontarkan candaan tersebut diproses secara hukum yang mana itu semua dapat mempengaruhi mental dia sebagai seorang anak yang masih belia.

Yang patut kita perhatikan adalah, Islam tidak ada aliran apapun, tidak seperti Kristen yang ada Katolik serta Protestan. Islam tetap sama sejak diutusnya Nabi Muhammad menjadi rasul, sejak saat itu ajaran yang diajarkan oleh beliau tetap bertahan sampai sekarang. Kitab suci yang digunakan tetap sama isi serta kandungannya. Rukun Islam dan rukun Iman tidak ada yang merevisinya menjadi bagian ini atau bagian itu. Bahkan shalat lima waktu pun tidak ada yang dikurangi ataupun ditambah jumlah rakaatnya. Atau puasa ramadan akan tetap dijalankan dalam satu bulan penuh, tidak ada yang menjalankannya hanya sampai seminggu. Dari sinilah mengapa Islam itu tidak beraliran ini dan itu. Islam tetap sama dan tidak akan pernah berubah, sebab Allah yang menjaganya. Maka balik lagi kepada Islam Protestan tadi, apakah etis untuk diutarakan demikian?

Yang perlu diingat adalah, jangan pernah agama dijadikan alat sebagai lelucon, candaan, atau bahan tertawaan dan sejenisnya, jangan pernah sama sekali. Ingat, kita beragama ini bukan untuk kepentingan lain, kita beragama sebab itu sudah perintah dari Allah. Allah menyuruh kita untuk beribadah, maka itu saja yang dilakukan. Untuk yang lainnya itu nomor sekian atau bahkan sama sekali tidak boleh dicantumkan seperti dijadikan bahan candaan ini.

Berbicara tentang etika, penulis sendiri sudah sangat sering mendengar keluhan dari kerabat-kerabat terdekat terkait sikap, etika dan adab dari para muda-mudi sekarang ini. Tak sedikit mereka yang menyayangkan etika para remaja yang sudah semakin mengarah kepada negatif. Sering ketika sedang ngopi bareng bersama kerabat atau para tetua, mereka tak bisa menutup kenyataan bahwa dewasa ini sikap remaja-remaja sudah meresahkan.

Di Banda Aceh saja, etika para remaja sudah sangat berkurang. Untuk setingkat berinteraksi dengan orang yang lebih tua, mereka sudah kurang untuk saling menghormati, termasuk ketika bercanda. Belum lagi anak-anak di sekolah, berapa banyak keluhan para guru yang mengeluh terhadap sikap murid-murid yang sudah melebihi batas. Pernyataan ini bukan hanya sebatas opini belaka, namun juga berdasarkan observasi pribadi penulis selama bergelut di dunia pendidikan, lebih tepatnya sebagai pengajar. Selain itu juga diperkuat dengan keluhan-keluhan dari guru-guru lainnya.

Namun yang perlu diingat adalah, tidak semua remaja bersikap demikian. Ada juga para muda-mudi yang tetap bersikap santun di mana pun mereka berada. Bercanda masih dalam sewajarnya. Tapi, yang namanya sisi negatif dan keburukan, itulah yang paling menonjol dan dijadikan sebagai tolok ukur dari suatu objek.

Meskipun demikian, tetap etika negatif itu sangatlah tidak baik. Sebab, hal ini akan berpengaruh terhadap pertumbuhan mereka, apalagi mereka yang dituju adalah para remaja. Sebagaimana yang kita ketahui, usia remaja itu adalah di mana saat kita menentukan arah, akan ke jalur yang benar atau ke arah yang salah.

Lalu jika sudah begini siapa yang bertanggung jawab? Tentu saja kita ini orang-orang dewasa serta para tetua. Sebab, karakter dari para remaja itu akan sejalan dengan apa yang mereka dapatkan dari kita orang-orang yang sudah menganggap diri dewasa ini. Seperti kasus candaan Islam Protestan ini, dari mana seorang remaja itu terpikir untuk mengatakan hal demikian jika bukan ada orang lain yang lebih dulu memulainya? Sesuatu itu akan ada, sebab orang lain pernah menerapkannya.

Bercanda bukan sebuah masalah, namun jika sudah berlebihan, maka itu sudah tidak wajar. Jangankan agama, jika kita bercanda dengan mengait-ngaitkan fisik, kecerdasan, atau hal-hal privasi lainnya yang sangat sensitif, bukankah orang yang dituju itu akan keberatan? Agama begitu juga, merupakan sebuah hal yang sensitif untuk dimasukkan ke dalam ranah candaan. Lihat saja kejadian-kejadian yang sudah pernah terjadi di Indonesia ini yang berkaitan dengan agama. Kilas balik kepada kasus Pak Ahok terkait surat Al-Maidah, pelawak Andre Taulany yang pernah dikecam sebab merendahkan Nabi Muhammad SAW dalam lawakannya, atau juga aksi Abu Janda yang kerap memberi pernyataan-pernyataan nyeleneh terhadap Islam. Dari sini dapat kita simpulkan, bukan hanya di sisi lawakan saja, tapi di mana pun itu, agama jika sudah menjurus ke arah sensitivitas, itu akan membangkitkan amarah penganutnya. Bukan hanya Islam saja, pengaut Kristen, Hindu serta Buddha, apabila agama mereka dijadikan alat untuk lawakan atau hal sensitif lainnya, itu akan menyebabkan para penganut geram.

Sebagai pribadi, kita harus tahu, entah saat bercanda atau melakukan hal lainnya, patut kita sadari kapan kita harus membatasi diri apabila perkataan kita atau perbuatan kita sudah mengarah kepada sebuah sensitivitas. Jangan pernah menganggap sebelah mata hal ini. Karena, konflik itu terjadi sebab ada penyebabnya.

Oleh karena itu, bercanda cukup sewajarnya. Siapapun, baik para remaja atau kita yang sudah menganggap diri sebagai orang dewasa, ingat setiap hal yang kita utarakan ada batasannya. Islam Protestan, sebenarnya sudah masuk kepada ranah pelecehan agama. Sadar ataupun tidak, orang yang telah mengatakan hal tersebut, sudah merusak nama baik Islam. Apalagi jika yang bercanda atas nama “Islam Protestan” itu adalah seorang muslim. Betapa beraninya ia mengotori agama Allah. Betapa beraninya ia mengolok-olok Allah.

Maka, jadilah pribadi bijak. Jika tak mampu menjadi manfaat bagi orang lain, setidaknya kita tidak mengganggu kenyamanan orang lain dengan tingkah laku kita ini. Bercanda seperti itu juga, adalah hak setiap orang untuk melucu, menghibur, memberi tawa kepada sesama. Namun ingat, adalah hak setiap orang untuk marah apabila candaan yang kita lakukan telah menyakiti orang lain. Langkah yang kita ambil haruslah hati-hati.

Islam Protestan dan segala macam bentuk lainnya yang pernah dibawa untuk bahan candaan, semoga menjadi pelajaran untuk kita semua. Ingat, bercanda dengan membawa-bawa agama itu resikonya sungguh besar. Sebab, kita bukan lagi berurusan dengan manusia, tapi juga sudah berurusan dengan Allah, Sang Maha Pencipta. Bijaklah dalam bercanda, pilihlah objek yang sesuai untuk bahan lucu-lucuan. Ingat juga, terlalu banyak tertawa itu akan mematikan hati. Ketika hati mulai mati, maka hidup yang kita jalani tak ada gunanya. Sebab, kita sudah tak bisa lagi membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Selain itu, kita juga tidak lagi peka terhadap lingkungan sekitar.

Bagaimanapun juga, kesalahan itu ada agar kita belajar untuk tidak mengulanginya lagi. Dengan sadar diri terhadap kesalahan, berani untuk memperbaiki diri, dan mencoba untuk tidak lagi mengulanginya di hari lain, itu lebih baik ketimbang orang yang tak pernah mau tahu bahwa ia sudah berbuat kesalahan agar terlihat benar di mata orang lain.

Semoga kita dijauhi dari perbuatan-perbuatan buruk. Kepada Allah kita memohon ampun.

.

__________________________________

.

Kasus candaan Islam Protestan ini penulis dapatkan dari sebuah grup Line yang mana anggota di dalamnya didominasi oleh para remaja. Kebanyakan mereka masih bersekolah. Walaupun terlihat sepele, namun candaan seperti ini tetap tidak etis untuk dilakukan. Dengan tidak bermaksud menyudutkan pelaku, penulis berharap agar kita sama-sama bijak ketika hendak bercanda. Batasan-batasan terhadap candaan perlu diketahui. Selain itu, resiko dari melencengnya sebuah candaan harus disadari. Di sini penulis mencoba berada di pihak tengah dengan melihat dua kemungkinan yang akan terjadi. Pertama, dengan adanya candaan Islam Protestan tersebut maka memungkinkan masyarakat sekitar marah. Kedua, adalah pelakunya, ia akan menerima berbagai kecaman negatif dari pihak-pihak yang tak mau berpikir panjang dalam berkomentar sehingga menjatuhkan mentalnya. Dengan demikian, titik terang yang diharapkan muncul tidak akan pernah didapat. Oleh sebab itu, ini adalah masalah bersama. Meskipun yang memulai merupakan seorang individu dari kalangan remaja, namun ada baiknya cara untuk memberi pelajaran adalah dengan memaafkan serta menasehati dengan cara yang baik-baik pula. Sebab yang kita harapkan adalah sama, ketentraman dalam berinteraksi dengan yang lainnya.

Tulisan ini sebagai refleksi diri penulis serta para pembaca sekalian. Semoga ada manfaatnya.

--

--

Reza Fahlevi
Reza Fahlevi

No responses yet