Puisiku, Di Bibirmu
Mengundur waktu dua tahun yang lalu. Ada lembaran yang masih tetap utuh seperti sedia kala. Ku baca satu persatu. Dan terlihat jelas wajahmu di dalam ceritanya.
Sungguh kenangan yang dalam. Bermakna. Dan terlalu indah untuk ku lupakan begitu saja.
Seolah langit malam bersinar terang, dan teriknya sinar matahari terasa begitu sejuk. Apa kau benar-benar saat itu?
Maka saat pukul tiga sore, ku perhatikan tatapan matamu. Dengan segera kau balas menatapku. Dan aku tak peduli saat itu. Tak peduli apa yang ingin kau sampaikan. Dan tak peduli apa yang ‘kan kau pinta padaku nantinya.
Hingga ku tak kuasa menahan godaan yang datang. Kita jatuh dalam pertanyaan diri masing-masing, mungkin di kala itu.
Dan yang kau pinta pun ada di luar nalarku. Tak ku sangka kau memang ingin merasakan irama sajaknya. Tak ku sangka kau ingin berlarut dalam permainan kata-kataku. Hingga kau pun bertanya padaku,
“hey, apa yang kau tulis itu?”
Ku tatapi bibirmu, saat ku lihat kini ada puisi yang sedang berdansa di sana. Beriringan dengan kau memainkannya, begitulah keindahan yang ku perhatikan.
Dara, kau membuatku bertanya, kenapa kau hendak membacanya? Dan kau benar-benar membawaku melayang menembus awan. Duhai Dara, jika saja saat itu aku mendengar sedikit lagi saja ungkapan hatimu.
Hingga kau menatapku lagi, hingga kau tersenyum padaku. Maka ada satu ungkapan yang kau sampaikan saat itu, saat kau menjelaskannya hanya dengan ukiran senyumanmu yang syahdu.
Ada kisah dalam bab tertentu di kehidupanku. Ku simpan persis saat pertama kali ku rasakan. Kau adalah salah satunya, saat puisiku berdansa di bibir manismu itu.
Biarkan ku simpan ini hingga waktu yang tak ku ketahui. Hingga tiba bagiku tuk membakar segala kenangan indah bersamamu.
Dara, kau yang selalu ku gambarkan sebagai mawar merah jelita. Adakah ukiran kenangan tentang warna warni kata-kataku di dalam hatimu?
Tapi semua telah usai, bukan? Bahkan sejak dua tahun yang lalu, saat kita memutuskan menutup lembaran kisah puisi hati.
Kisah tentangmu dimulai saat aku menatapmu di ujung sana. Sedang serius mendengar aba-aba dari para senior. Dan sejak saat itu, entah mengapa ada satu pertanyaan yang terus menerus mewarnai hari senjaku, bahwa kau adalah orangnya. Dan aku berlalu dalam irama kata, bersama dirimu dalam tiap lembarnya. Tapi aku paham, kau mawar yang tercipta tuk memerahkan seseorang yang lebih butuh pancaranmu. Maka, sudah saatnya kita menutup lembaran lama tanpa harus memaksa. Tapi pancaran pesonamu masih membekas hingga kini, terutama sinar matamu. Aku tak perlu berbohong, kan?
-Breaking Reza