“The pain, sorrow, tears, and screaming. Tell me anyway, will the birds sing a song along us again to wash away this chaos? It’s not an opera. Not at all.”
Kenapa? Kenapa harus terjadi? Kenapa banyak hal berlalu sia-sia? Kenapa berhamburan berlari? Kenapa menangis? Kenapa berdoa?
Kenapa? Kenapa semua hancur? Kenapa ada ledakan? Kenapa semua memerah? Kenapa tak pernah usai?
Kenapa?
Bukalah jendela rumahmu lebar-lebar, lihatlah nyawa yang melayang, terlihat nyata dari dua bola mata. Terbang menuju surga. Berjumpa Sang Ilahi. Penuh kedamaian. Teriring senyuman. Para perindu surga kini telah kembali dengan tenang, sesuai janji-Nya.
Tapi, kenapa harus dihancurkan? Kenapa harus dibunuh? Kenapa harus dipenggal? Lihatlah dunia, kau pasti tau itu. Engkau tau ada sebuah penjajahan hina sedang terjadi di negeri Palestina. Tapi kenapa kau masih diam membisu?
Di mana suaramu saat kau bersungguh-sungguh ingin menumpaskan kejahatan? Di mana dirimu saat ada yang menjerit meminta pertolongan? Di manakah engkau berada saat ada ribuan nyawa tertindas? Di mana suara lantangmu itu?
Tidak cukupkah air mata yang telah mengalir di wajah mereka itu? Tidak cukup kuatkah jeritan mereka selama ini untuk sampai padamu? Apakah tidak cukup bukti nyata yang terlihat oleh matamu selama ini? Apa semua masih belum cukup menggerakkanmu menyadari aksi kekejian ini?
Atau kau berpura, mengelak, berlalu dengan sengaja. Karna jeritan mereka adalah alunan nada yang kau sukai. Karna tangisan mereka adalah drama yang kau nanti-nanti. Karna… tubuh-tubuh tanpa nyawa itu hanya boneka mainan. Begitukah?
Lalu untuk apa semua ucapanmu itu? Jika untuk menghentikan penjajahan ini tidak sama sekali kau lakukan, apa gunanya omonganmu itu?
Orang-orang itu kejam, pembunuh, penyiksa, pembenci. Para kriminal yang seharusnya kau hapus dari muka bumi. Tapi???
Biarkan negeri itu beribadah, merayakan hari-hari besar, bermain bersama keluarga, atau menyeduh secangkir kopi bersama kerabat seperti di Banda Aceh saat ini. Mereka adalah manusia bernyawa, sama seperti dirimu juga.
Apalagi yang harus ku lakukan saat ini? Apalagi yang harus ku buktikan sekarang? Saat anak-anak dibantai, para suami disiksa, para wanita diperkosa, rumah ibadah dimusnahkan. Sungguh hanya Tuhan satu-satunya yang dapat berkehendak, tentu jika waktunya telah tiba.
Ada banyak potret tersimpan dalam ingatanku. Biarkan ku jadikan dendam untuk para pembunuh itu. Dan jika sewaktu-waktu Tuhan telah memberi izin… mencabik, menikam, menembak, akan menjadi pembalasan yang nyata untuk melawan ketidakadilan.
Doaku untuk nyawa di Palestina, dan negeri lainnya yang tertindas. Atas nama kemanusiaan, izinkan ku lampiaskan kemurkaanku di hadapan Tuhan, agar alam bergerak menyadari mereka yang berlagak sombong dan saling menghancurkan. Agar perdamaian yang dirindukan dapat berdiri tegak. Tapi, sama sekali belum terlihat hingga kini.
Banda Aceh, 28 Mei 2020
Breaking Reza
Judul puisi ini terinspirasi dari tulisan Zury Muliandari yang berjudul “Mendefinisikan Tujuh Puluh Aku”