Pentingnya Melestarikan Bahasa Daerah

Bahasa Adalah Identitas, Bagian Dari Budaya

Reza Fahlevi
8 min readDec 29, 2020

Cover by: Reza Fahlevi

Indonesia merupakan negara yang memiliki beragam bahasa daerah. Terlepas dari Bahasa Indonesia adalah sebuah bahasa nasional yang mana setiap warga negara harus dapat menguasainya, apalagi jika berinteraksi di tempat-tempat formal seperti perkantoran ataupun sekolah. Namun begitu, bahasa daerah tak dapat dipungkiri merupakan bahasa ibu bagi kebanyakan orang.

Di Aceh misalnya, banyak orang Aceh tumbuh dengan memahami Bahasa Aceh sebagai yang pertama kali mereka ketahui. Hal ini terjadi sebab, dalam ruang lingkup keluarga, kerap sekali orang-orang tua di Aceh berbicara dengan anak-anak mereka menggunakan Bahasa Aceh. Sedangkan Bahasa Indonseia kebanyakan mereka ketahui ketika berinteraksi dengan orang selain dari keluarga seperti di sekolah, yang sering berkomunikasi dengan guru atau teman.

Namun seiring pergerakan waktu dan zaman yang semakin menuju ke arah modern, penggunaan Bahasa Aceh perlahan mulai terkikis terutama yang bertempat tinggal di daerah perkotaan. Ada beberapa faktor kenapa hal ini terjadi. Salah satunya adalah masuknya para pendatang ke Aceh yang mana mereka sama sekali tidak bisa berbicara dalam Bahasa Aceh. Contoh, ada orang Medan yang bekerja di Aceh. Otomatis dia juga akan tinggal di Aceh dan berbaur dengan orang Aceh pula. Sebab orang Medan ini tidak bisa berbahasa Aceh, maka mau tak mau, orang Aceh harus berbicara dengan dia menggunakan Bahasa Indonesia. Hal ini bagus selain untuk menjaga hubungan interaksi tetap berjalan antar sesama, juga ada rasa saling menghargai terhadap orang yang tidak mengerti Bahasa Aceh. Inilah adap dalam berkomunikasi dengan sesama.

Namun, karena semakin banyaknya para pendatang yang masuk, secara perlahan malah membuat orang Aceh sendiri malah terikut menggunakan Bahasa Indonesia ketika berbicara dengan sesama orang Aceh, yang mana mereka saling tahu-menahu terhadap bahasa mereka sendiri, yaitu Bahasa Aceh. Tapi karena sudah terlalu sering menggunakan Bahasa Indonesia, maka secara spontan pun orang-orang Aceh terbawa akan situasi tersebut.

Sebenarnya tidak masalah jika kita ingin berkomunikasi menggunakan bahasa apa saja. Itu adalah hak pribadi masing-masing. Tapi adalah sebuah kelucuan ketika orang sesama Aceh, mereka saling mengerti Bahasa Aceh, dapat menggunakannya dengan baik, tapi malah berbicara menggunakan Bahasa Indonesia.

  • Pergeseran Bahasa

Dalam Sosiolunguistik, kejadian yang penulis jelaskan diistilahkan dengan Language Shift atau pergeseran bahasa. Faktornya seperti yang sudah disebutkan di penjelasan sebelumnya yaitu, ketika ada pendatang yang datang ke daerah lain, dalam hal ini adalah Aceh, maka ada dua kemungkinan yang akan terjadi ketika para pendatang menapakkan kaki mereka di daerah baru. Kemungkinan pertama adalah, para pendatang itu yang akan kehilangan bahasa ibunya. Hal ini terjadi sebab mereka telah menetap di tempat yang sama sekali masyarakatnya tidak menggunakan bahasa ibu mereka. Maka mereka terpaksa untuk berbicara menggunakan bahasa lain hingga lama kelamaan bahasa baru itu kian melekat dalam diri mereka, dan bahasa ibu mereka terus terkikis perlahan. Tapi apabila para pendatang baru itu tetap menjaga bahasa ibu mereka dengan mencoba untuk terus berbicara menggunakan bahasa tersebut dengan sesama mereka. Jadi, ketika mereka sedang berkumpul dengan kelompok mereka yang berasal dari daerah yang sama, mereka akan tetap menggunakan bahasa daerah mereka. Maka hal ini kecil kemungkinan bahasa daerah tersebut hilang dari dalam ingatan mereka.

Kemungkinan kedua yang akan terjadi ketika pendatang masuk, orang-orang yang asli dari daerah tersebutlah yang akan terkena imbasnya, jika mereka malah terbawa dengan situasi para pendatang tersebut. Penjelasan mudahnya seperti ini, orang Aceh akan mengalamai pergesaran terhadap bahasa mereka sendiri ketika berinteraksi dengan kelompok sendiri yang sesama Aceh menggunakan bahasa selain Bahasa Aceh, seperti Indonesia.

Pergeseran bahasa ini akan berimbas kepada kalangan anak-anak. Mungkin awalnya bisa saja terjadi secara spontan ketika sedang berbicara dengan teman yang juga sesama Aceh, tanpa disengaja malah terucap satu atau dua kata dalam bahasa lain.

Contohnya seperti ini,

“Rumoh lon pah di simpang nyan, enteuk neu belok u wie.”

(“Rumah saya tepat persis di simpang itu, nanti kamu belok kiri”)

Satu kata yang penulis hitamkan yaitu “belok”. Dalam Bahasa Aceh belok berarti “wet”. Ketika belok terucap walaupun hanya satu kata, maka pergeseran bahasa sudah terjadi. Walaupun seperti penulis jelaskan di atas, terucap secara spontan. Adapun contoh lainnya yaitu,

“Rumoh lon dari simpang nyan enteuk neu belok u wie, enteuk na rumoh pageu warna merah, nomor tujoh. Nyan rumoh lon.”

Ada tiga kata yang penulis hitamkan. Seperti yang sudah dijelaskan, “belok” dalam Bahasa Acehnya adalah “wet”. Sedangkan “merah” walaupun tidak jauh perbedaannya, namun pelafalan yang tepat dalam Bahasa Aceh adalah “mirah”. Dan “nomor” seharusnya diucapkan “lumboi”.

Itu adalah contoh yang sudah sering sekali penulis dapatkan ketika sedang berkumpul dengan kerabat atau keluarga yang asal mereka dari Aceh, paham Bahasa Aceh, mampu menggunakannya dalam berinteraksi sehari-hari, tapi pencomotan kata-perkata ke dalam bahasa Aceh dalam bahasa lain sudah tidak terelakkan lagi. Sebagai pendengar, penulis paham bahwa lawan bicara bukan tidak tahu melainkan secara tidak sengaja terucapkan. Sebab, ketika dia mengulangi lagi kalimat yang sama, ada perbedaan dari pemilihan kata-kata yang telah kembali sempurna menggunakan Bahasa Aceh tanpa campuran bahasa lain.

Pergeseran bahasa, dalam kasus ini antar kata perkata, jika terus menerus terjadi, walaupun awalnya hanya sebatas tidak sengaja, hal ini dapat menyebabkan penuturnya akan mengubah bahasa mereka sendiri menjadi bahasa lainnya. Mengapa demikian? Sebab keterbiasaan. Sesuatu yang awalnya dimulai dengan ketidaksengajaan, dan itu terus menerus terjadi, lama-kelamaan akan menjadi sebuah kebiasaan. Lebih lanjut, menurut pandangan penulis, pergeseran bahasa dapat terjadi dari pergeseran kata perkata, hingga lama kelamaan menjadi dalam satu bentuk kalimat utuh. Hal ini merujuk pada penelitian skripsi penulis tentang kata-kata sifat dalam Bahasa Aceh yang sudah jarang dipakai oleh generasi muda di daerah Banda Aceh dan sekitarnya. Dari berbagai sumber yang telah penulis dapatkan ketika mengumpulkan data, dapat disimpulkan bahwa semakin banyak kata-kata sifat itu yang tidak lagi diketahui oleh generasi muda, maka semakin besar pula pengaruhnya terhadap bahasa yang mana akan mengalami kepunahan. Sebab, hal besar akan terealisasi apabila hal-hal kecil sudah terjadi secara terus-menerus. Oleh karena itu, pergeseran kata ini lama kelamaan jika terus berkelanjutan, akan mengakibatkan kepada pergeseran bahasa dan ujung-ujungnya juga nanti akan menuju kepada kepunahan suatu bahasa akibat dari pengabaian menggunakan bahasa sendiri dan lebih memilih menggunakan bahasa lainnya.

  • Pergeseran Bahasa Dan Imbasnya Terhadap Anak-Anak

Sebuah bahasa itu ada dan akan terus eksis ketika penutur tetap menggunakannya walaupun telah berganti-ganti generasi. Adapun generasi yang dimaksud adalah anak-anak. Banyak para Linguist (ahli bahasa) sepakat bahwa anak-anak merupakan warisan yang nyata untuk dapat membuat sebuah bahasa tetap hidup dan digunakan. Maka jika dari kalangan anak-anak sudah tidak tahu lagi bahasa daerahnya, bagaimana nanti nasib generasi selanjutnya?

Oleh sebab itu, sebenarnya penting untuk menurunkan bahasa daerah kita kepada anak-anak agar tetap terjaga dari waktu ke waktu. Apalagi di Aceh, sebagian besar masyarakat Aceh menganggap bahwa Bahasa Aceh itu sebagai identitas. Jika sudah demikian, maka adalah sebuah aib jika orang asli Aceh tidak bisa berbahasa Aceh. Akan menjadi sebuah omongan di kalangan lainnya walaupun kita tahu bahwa hal demikian tidaklah baik.

Tapi, untuk mengetahui bahasa itu penting, apalagi bahasa daerah sendiri, dalam hal ini Bahasa Aceh. Sebab, bahasa merupakan bagian dari budaya. Mengapa demikian? Karena setiap daerah memiliki cara masing-masing dalam berkomunikasi. Contohnya adalah dalam memanggil diri sendiri. Dalam Bahasa Indonesia kita dapatkan seperti, “saya atau aku”. Dalam Bahasa Aceh, istilah tersebut dikenal seperti “lon, ulon, ulon tuan”.

Dalam Bahasa Indonesia, penggunaan saya lebih sopan dibandingkan dengan aku. Setidaknya seseorang akan lebih memilih menggunakan saya ketika sedang berbicara dengan atasan di tempat bekerja ataupun dengan orang tua. Di Bahasa Aceh, penggunaan ulon tuan lebih sopan dan memiliki kasta yang lebih tinggi serta terkesan lebih elegan. Diikuti kemudian dengan ulon dan lon. Sebenarnya ada lagi penggunaan saya dalam Bahasa Aceh selain tiga ungkapan tersebut, yaitu ke (pelafalan huruf e yaitu be-cek, e yang digunakan saat menyebut suku kata “cek”-nya). Ke, lebih kasar dan sangatlah tidak pantas jika digunakan saat sedang berkomunikasi dengan orang tua, kerabat kerja atau pun dengan orang yang baru kita kenal. Ke lebih digunakan dalam ruang lingkup teman yang memang sudah sangat dekat jalinannya.

Lebih lanjut, kaitannya antara bahasa dan budaya memang tidak bisa dipisahkan. Setiap bahasa memiliki peristilahan yang lembut juga yang kasar sekalipun. Maka ketika sebuah bahasa itu sudah mulai tergeserkan dengan bahasa yang lain, otomatis budaya pun juga akan mengalami pergeseran. Bukanlah sebuah masalah jika pergeseran bahasa masih tetap dalam ruang lingkup yang mana sisi kesopanan dan tata kramanya masih terjaga. Namun bagaimana jika pergeseran bahasa itu diikuti dengan sesuatu yang dapat mengubah cara orang bersikap menjadi lebih kasar? Inilah yang akan sangat disayangkan apabila tejadi dan menjadi hidup dalam masyarakat. Hal ini pernah tercatat dalam sebuah data skripsi milik penulis ketika mewawancarai pendapat dari kalangan remaja terhadap Bahasa Aceh dan Bahasa Indonesia. Umumnya mereka lebih memilih untuk menggunakan Bahasa Indonesia ketimbang bahasa daerah mereka. Alasannya sederhana namun tetap tak disangka, yaitu mereka beranggapan bahwa Bahasa Aceh lebih kasar dibandingkan Bahasa Indonesia. Hal ini berbanding terbalik dengan penjelasan penulis tentang istilah untuk mengatakan saya dalam Bahasa Aceh di mana ada ulon tuan, ulon, lon, bahkan yang kasar sekalipun yaitu ke. Anggapan para remaja tersebut terpikirkan sebab sejak kecil mereka sudah sering menggunakan Bahasa Indonesia baik dalam keluarga, di sekolah, atau ketika sedang berkumpul di warung kopi. Selain itu, oleh karena terlalu seringnya mereka mendengar ungkapan-ungkapan kasar dalam Bahasa Aceh, maka disimpulkanlah bahwa Bahasa Aceh itu kasar. Data ini penulis kumpulkan di daerah Banda Aceh, yang merupakan ibukota Aceh. Banyak pendatang yang masuk, dan banyak juga pergeseran bahasa yang telah terjadi.

Oleh sebab itu, penting bagi setiap orang-orang tua untuk menurunkan bahasa daerah, dalam hal ini Bahasa Aceh, kepada para penerus. Tidak hanya bahasanya, tapi juga tata kramanya, etikanya, sikapnya yang mana itu semua tercantum dalam setiap bahasa yang ada. Itulah bahasa, itulah budaya. Bahasa itu hidup di dalam budaya yang mana jika satunya hilang, maka sudah dipastikan budaya pun akan hilang. Intinya adalah, setiap bahasa itu terdapat dua sisi yaitu sisi lembutnya dan sisi kasarnya. Maka tanamkanlah sisi lembut itu agar pola pikir kalangan muda tahu mana yang harus dipertahankan dan mana yang harus diabaikan. Sebab semakin bahasa itu dianggap kasar, semakin penuturnya juga dianggap demikian. Dari sinilah rasis kemudian terjadi hingga konflik antar suku pun tak dapat terelakkan lagi.

  • Bahasa Indonesia Dan Bahasa Daerah

Penulis akan menjabarkan poin diatas menjadi lebih spesifik yaitu Bahasa Indonesia dan Bahasa Aceh. Sebagaimana yang kita ketahui Bahasa Indonesia sangatlah penting untuk dikuasa sebab itu menunjukkan sebuah identitas negara. Di samping itu, Bahasa Aceh juga tidak bisa diabaikan begitu saja. Sebagai penutur, kita harus bisa memahami dan menanamkan dalam diri bahwa penggunaan keduanya itu sangatlah penting. Kita berbicara Bahasa Indonesia karena itu merupakan bahasa persatuan. Dan kita menggunakan Bahasa Aceh sebab itulah bahasa ibu kita bagi masyarakat Aceh. Dengan menggunakan kedua bahasa tersebut, kita sudah mempertahankan dua identitas sekaligus yaitu, identitas negara dan identitas daerah kita.

Mari kita imbangkan penggunaannya dengan berinteraksi di tempat formal menggunakan Bahasa Indonesia dan senantiasa berbicara dalam Bahasa Aceh di tempat informal. Dengan catatan, tetap mempertahankan tata kramanya atau sisi lembut dari kedua bahasa tersebut. Dengan begitu, kita telah melestarikan apa yang sudah menjadi ciri khas dalam kita bermasyarakat.

Pergeseran bahasa memang tak dapat dipungkiri akan tetap terus berkelanjutan apalagi di kota-kota besar seperti Banda Aceh yang merupakan ibukota Aceh. Tapi tak ada salahnya untuk tetap menggunakan Bahasa Aceh di tengah-tengah pergeseran bahasa tersebut. Senantiasa menggunakan bahasa ibu kita saat bersama dengan orang Aceh, dan menggunakan bahasa Indonseia ketika sedang bersama kelompok orang yang tak bisa berbahasa Aceh. Bahkan, adalah hal bagus lagi jika kelompok pendatang tersebut diajarkan bahasa kita seraya kita mempelajari bahasa mereka. Dengan hal demikian, kita telah mempelajari budaya mereka melalui bahasa tanpa harus pergi ke tempat mereka, begitupun sebaliknya.

Itulah bahasa, memiliki begitu banyak keragaman di dalamnya. Semua tergantung pribadi masing-masing. Sebagaimana yang kita ketahui, bahasa adalah alat untuk berinteraksi serta berkomunikasi. Semakin banyak bahasa yang kita ketahui, semakin banyak pula hal baru yang kita dapatkan. Yang terpenting adalah jangan mengabaikan bahasa kita sendiri yaitu Bahasa Aceh. Karena itulah identitas kita, itulah budaya kita, itulah yang membuat kita disegani dan dihormati oleh daerah serta suku lainnya. Maka, pergunakanlah bahasa itu sebaik mungkin dengan senantiasa menanam tata krama di baliknya. Sebab, generasi selanjutnya akan menggantikan kita untuk terus menuturkan Bahasa Aceh, bahasa kita bersama.

— Reza Fahlevi —

--

--

Reza Fahlevi
Reza Fahlevi

No responses yet