Pengorbanan dan Kebencian
Catatan yang tertulis di tahun 2014
Awsya, tahukah kau?
Ku relakan sosok tercinta berlabuh ke hati yang lain. Tanpa ingin terjadinya konflik, tanpa ingin kenangan yang pernah ada menjadi warna menghitam, tanpa ingin memperburuk hubungan yang terjalin indah… aku mengorbankan hati untuk melepaskannya meski ada kebencian yang menyala.
Dari jalan Hamzah, menuju ke persimpangan…
Di sudut persimpangan, ku temukan kisah realita.
Aku…
mengorbankan dirimu demi kehidupanmu yang lebih baik, tapi kehidupanku malah menjadi semakin amburadul.
Merelakan engkau tercinta agar hari-harimu menjadi lebih indah, tapi hari-hariku malah menjafi semakin suram.
Ku korbankan rasa cinta ini agar kau pergi menuju kepada sosok yang kau cintai. Semua agar engkau dapat hidup tenteram dan bahagia, tapi aku malah hidup sengsara tak berpengharapan.
Ku bilang aku rela… aku hanya pasrah.
Ku bilang aku baik -baik saja — aku hanya sedang menjadi orang munafik.
Ku bilang aku telah melakukan pengorbanan demi kebaikan bersama… aku hanya tak ingin kau merasakan kebencianku.
Aku hancur berkeping-keping, dan kepingan kehancuran diriku telah berserakan tak bertujuan.
Terkadang, pengorbanan melahirkan kebencian… dan aku hidup di dalamnya.
Memang pengorbanan akan beralih menjadi benci, dan aku sedang berkelahi dengan situasi ini.
Di sini, aku berlagak sok kuat dengan mengorbankan segalanya… kini, aku benar-benar tak berdaya.
Karena aku melakukannya demimu, kebencian yang terlahir dari pengorbanan ini sebenarnya bukan tertuju untukmu… tapi untuk semua penyesalan yang ada.
Karena penyesalan merupakan realita terkejam yang pernah ku rasakan, aku harus menyalakan api untuk memvakar semuanya hingga tak bersisa.
Jika kau bertanya bagaimana kehidupanku selama ini… bacalah setiap tulisan yang tergores dengan tinta hitam — warna tintanya serta ukiran setuap hurufnya menjelaskan bagaimana aku mencoba berdamai dengan kebencian akibat dari pengorbanan yang membuatku menatap penyesalan.
Dan jika kau bertanya apakah aku ingin memutar waktu untuk kembali ke masa lalu… jawabannya tidak. Karena jika ku lakukan, hasil akhirnya tetaplah sama — kau memilih jalan bersama sosok yang kau cintai dan aku juga akan kembali melakukan pemgorbanan demi kebaikan bersama.
Apabila kau memberi dua pilihan di antara mencintaimu atau mencintai wanita lain… yang perlu kau tahu adalah kini aku sedang dilanda trauma mendalam. Rasa trauma yang hadir dari segenap pengorbanan yang ku lakukan hingga kebencian bermain peran mengacak-acak hatiku.
Tapi… teruslah hidup dengan semestinya. Kau telah memilih tempat pelabuahan hatimu meski bukan bertempat di dasar kalbuku. Dan aku juga telah memilih untuk bersikap — bersikap menghadapi realita ini meski sampai sekarang bayanganmu masih terasa di relung nadi yang berdetak.
Perkara cinta… aku hanyalah satu-satunya yang mencintaimu tanpa kau ketahui.
Perkara pengorbanan… aku adalah sosok yang telah melakukan segalanya tanpa kau sadari.
Dan perkara kebencian… akulah satu-satunya yang merasakan kobaran api ini di saat kau sedang memberi kehangatan cinta di dalam selimut.
Sampai nanti ku akhiri semua paceklik ini, pada akhirnya kau hanya akan menjadi wanita yang terpajang berdebu di sepanjang hamparan jalan Hamzah.
Aku sudah melepaskanmu tepat di saat melihat bingkai fotomu yang mesra menggandeng sosok tercinta.
Dan aku… sudah melupakanmu dengan cara terindah tepat sebelum kehangatan perawanmu memberi kebahagiaan untuknya.
Sekali lagi… selamat tinggal, Awsya.
Maaf aku masih menulis tentangmu sampai detik ini. Ku pikir melupakanmu akan mudah, tapi aku lupa ternyata ada banyak kenangan di antara kita dulu. Dan itulah yang membuatku sulit menghitamkan bayanganmu yang terkadang datang membawa kerinduan semu — rindu yang seharusnya tidak lagi ku raih dengan hati.
Aku tidak membencimu, aku hanya benci kepada diriku sendiri yang tak pernah bisa mengungkapkan cinta padamu, hingga kau akhirnya berlabuh ke hati yang lain… hingga perasaan ini terpendam untuk selama-lamanya.
— BREAKING REZA —