Pengejar Mimpi

Reza Fahlevi
15 min readDec 28, 2019

--

“Aku punya banyak pilihan dalam hidup ini. Dan aku dapat mewarnainya dengan segala hal yang ku punya. Setidaknya, keterpurukan telah mengajarkanku banyak hal. Aku tidak akan menyerah sebagaimana ibuku terus berjuang dalam melawan rasa sakitnya. Dengan tubuhnya yang terbaring lemah saat itu, doa tetap ia sertakan dalam hatinya, untukku menjalani hidup dalam air mata.”

Vido, pria yang selalu tampil sederhana ini memiliki mimpi yang luar biasa. Ia berusaha keras setiap harinya, apapun yang terjadi. Ia hidup berdua bersama ibunya yang sedang sakit-sakitan. Terkadang ia begitu sedih melihat kondisi sang ibu yang semakin hari semakin lemah fisiknya.

Di sekolahnya, Vido bukanlah murid yang sangat pintar. Ia harus benar-benar meninggalkan satu hal jika ia ingin menjadi murid yang disegani di sekolah. Ya, itu adalah pekerjaanya. Ia harus bekerja untuk dapat makan sesuap nasi bersama ibunya, untuk bertahan hidup di dunia yang keras ini. Jika teman-temanya berkumpul dan membahas lelucon yang tidak ada gunanya, ia lebih memilih bekerja sepulangnya dari sekolah. Ia sudah memikul beban yang hebat di usianya yang masih sangat muda.

Vido juga dikenal sebagai siswa yang malas karena saat pelajaran sedang berlangsung ia sering tertidur pulas di kelasnya. Ia sungguh tidak ingin melakukannya, tetapi ia tidak sanggup menahan rasa lelah dimana mungkin teman-temannya akan pingsan jika menjadi dirinya.

Vido bekerja sebagai tukang bangunan, itulah yang membuatnya sangat kelelahan. Pekerjaan itu adalah yang terbaik untuknya dan ia tidak tahu harus berbuat apalagi dengan kondisi seperti ini. Namun bukan berarti ia tidak memiliki teman di sekolahnya itu. Mereka dengan senang menerimanya sebagai teman walaupun sebagian tidak seperti itu. Tapi setidaknya di sekolahnya itu ia mengenal sahabat-sahabatnya yang dapat mendukungnya ketika ia terjatuh dan yang mengingatkannya dari kelalaian saat ia dalam kondisi senang.

Dengan usahanya yang pantang menyerah itu Vido dapat terus memakai seragam sekolah sampai ia duduk di kelas terakhir. Hari itu, ia duduk di sebuah bangku panjang di depan kelasnya ditemani dengan pohon-pohon cemara yang membisikkan kata-kata lembut. Di sana, ia menutup matanya dan membayangkan dirinya setelah ia lulus. Air matanya mengalir dan membasahi pipinya, ia tidak sanggup membayangkan semuanya. Ia hanya seorang pekerja bangunan yang sedang menuntut ilmu di sebuah sekolah negeri. Ibunya terbaring lemah di rumah, bahkan untuk bangkit dari tempat tidur pun sulit. Ia bukanlah orang kaya yang dapat menyulap uang menjadi benda-benda yang di inginkannya. Ia ingin melanjutkan pendidikannya di perguruan tinggi namun sulit untuk meraihnya.

Saat bel berbunyi pertanda para siswa sudah saatnya menutup buku dan beranjak pulang ke rumah, Vido melihat teman-temannya yang begitu ceria. Ia yakin mereka akan melanjutkan pendidikannya saat lulus nanti. Ia berjalan dengan kepala tertunduk dan air mata yang masih membasahi sebagian wajahnya.

Seorang guru datang menghampirinya. Ia tahu persis bagaimana perasaan Vido, “ikut dengan saya, Vido? Kita makan bersama.” Namun guru tersebut terkejut melihat wajah Vido, ia baru menyadari lelaki itu menangis.

“Ceritakan pada saya, nak. Apa yang sebenarnya terjadi.” Anak itu menundukkan kepalanya sambil mengusap air matanya, lalu ia menggelengkan kepalanya. Guru tersebut kemudian membawa lelaki itu ke ruangannya.

“Mungkin kamu terlalu malu untuk mengatakannya atau mungkin saya tidak pernah bertanya padamu? Tentang yang terjadi padamu.”

“Ini hanya masalah sepele, pak. Saya baik-baik saja.”

“Jangan menyiksa diri sendiri, ayo ceritakan.” Desak guru tersebut.

“Saya tahu kamu anak yang baik. Teruslah berusaha, mungkin mereka melihatmu sebagai anak yang biasa saja. Tapi bapak melihatmu sebagai seorang anak yang hebat.”

Vido begitu terharu mendengarnya, seorang guru yang sangat percaya dengannya. “Raihlah mimpimu, banggakan kami.” Setidaknya perkataan guru tersebut dapat memotivasinya walau hanya sesaat. Tapi itu sangat berguna baginya, ia butuh itu. Ia butuh perhatian seperti teman-temannya.

Saat malam tiba, ia duduk di sebuah kursi kecil. Di depan rumahnya itu ia memandang langit di mana bulan bersinar menerangi gelapnya dunia. Inginnya ia mengatakan bahwa ia lelah dengan semua beban yang ada pada dirinya. Inginnya ia menjerit sekuat mungkin agar semua orang mengerti apa yang ia rasakan. Bahkan jika ia melakukannya, tidak ada orang yang akan peduli karena semua hanya sibuk memikirkan permasalahan mereka kecuali teman-teman baiknya yang tahu persis apa yang ia pikirkan.

Ia kembali menitikkan air mata saat mendengar ibunya terbatuk-batuk melawan rasa sakit. Ia lalu bangkit dan menemui ibunya dengan tatapan sedih serta mengusap kepala sang ibu dengan lembut. Bagaimana ia bisa meraih cita-citanya sedangkan ia harus duduk menemani ibunya di rumah, bagaimana cara ia melanjutkan keinginannya menuju ke perguruan tinggi sedangkan ia tidak cukup untuk membiayai itu semua.

Hidup di dunia ini memang harus memiliki uang, bahkan sebagian orang menganggap uang adalah segalanya untuk hidup tenang di dunia ini. Saat itulah ia mulai putus asa dengan kehidupannya, ia berpikir bahwa tidak seharusnya ia hidup seperti ini.

Hari-hari terus berlalu dengan cepat, tanpa mereka sadari kinilah saatnya mereka akan berjuang untuk yang terakhir kalinya. Ya, ujian akhir sudah di depan mata, mau tidak mau mereka harus siap menjalaninya. Tidak ada alasan bagi mereka untuk berkata tidak.

Vido menatap dirinya di sebuah cermin, ia sudah siap dengan seragam lengkap. Sebelum berangkat, ia berpamitan terlebih dahulu kepada ibunya seraya meminta ibunya untuk mendoakannya agar ia sukses melaksanakan ujian tersebut. “Jangan pikirkan hal yang lain, fokuslah pada ujianmu, ibu pasti mendoakanmu, nak.” Ucap sang ibu dengan sembari tersenyum.

Vido pun berangkat ke sekolah dengan semangat membara. Seolah-olah senyuman sang ibu menerobos masuk ke dalam jiwanya hingga tanpa ragu ia pasti bisa melaluinya dengan baik. Sedangkan sang ibu, dengan kondisi yang terus memburuk tetap mendoakan yang terbaik kepada anaknya. Memang bibirnya tak bergerak sedikitpun untuk melantunkan doa. Namun hatinya terus-menerus memohon kepada Tuhan.

Sebulan sudah waktu berlalu. Kini ujian sudah ia lalui hanya sekarang ini menunggu hasilnya saja. Dan seperti biasa, setelah beribadah ia beriap-siap untuk bekerja. Kali ini ia dapat bekerja lebih lama karena masa sekolah sudah berakhir dan hanya menunggu hasil ujian saja.

“Bu, aku pamit. Mungkin aku akan telat pulang.” Kata Vido kepada ibunya.

“Iya, jaga dirimu di luar sana.” Sahut sang ibu.

Vido pun mempersiapkan bekal yang akan dibawa ke tempatnya bekerja. Sang ibu hanya memperhatikannya.

“Esok sekolah akan memberi pengumuman hasil ujian kami.” Kata lelaki ini sambil memakai jaketnya. Ia melihat sang ibu tersenyum padanya.

“Semoga esok adalah awal dari segalanya, nak. Kau telah berjuang sekeras mungkin bahkan sampai saat ini.” Sahut sang ibu.

Vido tersenyum dan setelah itu ia pamit dan mulai melangkahkan kakinya ke tempat ia bekerja. Di sana ia mendengar suara bising orang-orang dan kendaraan, seperti biasanya. “Vid, sehat pagi ini?” Seorang pemuda menegurnya.

“Syukur bang, aku sehat pagi ini.” Jawab Vido singkat. Dan mereka pun mulai melakukan tugasnya bersama-sama. Hingga petang tiba, pertanda waktunya beristirahat untuk kemudian melanjutkan lagi di esok hari.

Tiba di rumah ia melihat sang ibu yang sudah terlelap. “Esok, aku hanya ingin melihat kau benar-benar tersenyum dengan hasil ujianku. Terima kasih telah selalu mendoakan aku dalam situasi apapun. Seandainya ayah masih ada, ia akan sangat bangga padamu, ibu.”

Pagi pun tiba. Ini adalah hari pengumuman ujian dan Vido telah siap dengan segalanya. Setelah berpamitan seperti biasa, ia pun langsung menuju ke sekolah. Di sana ia bertemu teman-temannya. Tak lama setelah itu, kepala sekolah beserta guru lainnya bergegas menuju ke halaman sekolah yang sudah dihadiri oleh para siswa tingkat terakhir.

Setelah memberikan sedikit kata-kata sambutan, tanpa berlama-lama kepala sekolah langsung menyatakan jika semua siswa yang ada dinyatakan lulus. Kabar tersebut langsung membuat semua siswa senang tak terkecuali Vido. Semua dalam balutan bahagia, bahkan beberapa siswa langsung berlari menaiki motor mereka dan berkonvoi di jalanan. Ada juga yang sudah menyiapkan cat semprot untuk kemudian mereka semprotkan ke seragam sekolahnya. Sedangkan Vido menitikkan air mata dan membatin, “ibu, akhirnya aku lulus.”

Langsung setelah itu ia berlari untuk menemui ibunya di rumah sambil mengusapkan air mata yang meluap begitu saja dari bola matanya. Sesampainya di rumah ia melihat sang ibu tertidur. Namun kali ini ia ingin sekali membangunkan ibunya karena ada sebuah kabar gembira yang harus didengar oleh sang ibu.

Namun perlahan senyumnya mereda, melihat sedikit keanehan pada ibunya. Sang ibu tak juga membuka matanya setelah berkali-kali ia bangunkan. Kemudian ia tersadar bahwa sang ibu sudah tak bernapas lagi. Lagi, ia menitikkan air mata, air mata kesedihan saat ia menyadari sang ibu telah meninggal dunia. Tak kuasa, Vido menangis sejadi-jadinya.

Seminggu sudah sejak sang ibu meninggalkan Vido untuk selamanya. Namun lelaki ini memiliki kebiasaan rutin yang ia lakukan, selalu setelah kembali dari bekerja, ia menyempatkan diri menuju ke pemakaman sang ibu. Di sana ia terduduk seolah tanpa ada semangat lagi yang ada pada dirinya. Masih ia tangisi kepergian sang ibu seolah-olah ia tak percaya jika wanita tersebut sudah tak lagi bersamanya.

Kepergian sang ibu berdampak buruk bagi Vido. Perlahan tapi pasti, semangat hidupnya pudar. Sulit baginya mengontrol tangisan itu, sungguh sangat sulit baginya mengontro segala hal. Ia merasa begitu kesepian di tengah keramaian. Seperti kebahagian itu telah lenyap dari kehidupannya.

Suatu hari seorang teman menghampiri Vido yang sedang menghabiskan waktu di taman seorang diri. “Vido, sendirian saja?”

“Begitulah, sedang apa kau di sini Budi?” Vido balas bertanya.

“Biasa, aku sering bermain ke sini dan tak sengaja melihatmu sendiri.”

Mereka pun berbincang-bincang sambil menikmati pemandangan sore. “Jadi, apa yang kau lakukan saat ini, Bud?” Tanya Vido.

“Aku sedang mempersiapkan diri untuk melalui tes di sebuah perguruan tinggi.” Jawabnya.

“Bagaimana denganmu?” Budi balas bertanya.

“Entahlah, apa yang saat ini sedang ku lakukan maka aku hanya akan fokus kepada hal itu.”

“Hal apa yang kau maksud?”

“Bekerja, kau tahu kan jika selama ini aku seorang pekerja bangunan.”

“Aku mengerti, Vid. Ngomong-ngomong, aku turut berduka atas kepergian ibumu, Vid.”

“Terima kasih, saat ini memang terasa begitu sulit bagiku.”

“Aku mengerti, Vid. Tapi kau harus semangat apapun yang terjadi. Aku selalu bersamamu.”

“Terima kasih.”

Sejenak setelah itu suasana menjadi hening. Vido menulis-nulis seperti biasa di sebuah buku kecil yang sudah menjadi hobinya. Sedangkan Budi mengotak-atik handphone-nya. “Kenapa kau tak coba saja mendaftar di sebuah perguruan tinggi? Ya, sebagai sampingan dari pekerjaanmu.” Budi melanjutkan obrolan.

Vido hanya tersenyum mendengar pertanyaan itu, namun ia tetap menjawab seadanya. “Aku sangat berkecupuan, Budi. Sulit sekali bagiku untuk melanjutkan pendidikanku. Saat ini yang sangat mungkin bagiku adalah bekerja. Selain dari itu, mungkin aku pasrah saja dengan kondisiku yang seperti ini.” Jelas Vido kepada temannya.

“Tapi Vid, apa sebenarnya kau ingin melanjutkan pendidikanmu?”

Vido menundukkan kepalanya sejenak, tapi kemudian ia menganggukkan kepalanya. Budi melihatnya dengan tatapan yang berkaca-kaca. Dari dalam lubuk hatinya, ia ingin sekali membantu Vido. Tapi ia tak tahu harus melakukan apa. Sejenak Budi menutup matanya dan berpikir apa yang harus ia lakukan.

Keesokan harinya, saat Vido sedang sibuk bekerja tiba-tiba seorang guru menghampirinya. Vido pun terkejut ketika mengetahuinya. “Pak Rizal.” Sapa lelaki itu. Kemudian mereka duduk bersama dan membahas sesuatu yang dikira perlu.

“Jadi sudah lama kau bekerja ini, Vido?” Tanya pak Rizal.

“Sejak SMA, pak. Ya, sebagai sampingan saja.” Sahut lelaki itu. Panjang lebar mereka berdua melakukan basa-basi karena keduanya sudah lama tak berjumpa.

“Lalu apa rencanamu Vido setelah lulus?” Tanya lagi pak Rizal.

“Rencana? Entahlah pak, untuk saat ini bekerja di sini satu-satunya yang bisa saya lakukan dan bahkan yang harus ku lakukan.”

“Tidak tertarik untuk kuliah, hmm?” Tanya pak Rizal lagi sembari tersenyum.

“Apa yang saya punya saat ini mungkin hanya cukup untuk melakukan pekerjaan ini, pak.”

“Vido, saya mendengar banyak hal tentang dirimu dari teman-temanmu. Semuanya ingin melihatmu melanjutkan pendidikanmu, termasuk saya. Maka coba, daftarkan saja.” Saran pak Rizal sembari memberikan uang untuk Dido.

“Tapi pak…”

“Vido, dari kedua mata saya ini cukup melihat dirimu sebagai pejuang sejati. Maka lanjutkanlah apa yang kamu cita-citakan.” Lanjut pak Rizal lagi.

“Bukan atas alasan itu pak, tapi saya hargai ini. Tapi nanti bagaimana caranya saya bisa membayar biaya kuliah itu? Uang dari hasil kerja ini hanya cukup untuk kebutuhan saya saja.”

“Vido, ada banyak cara yang bisa kau lakukan untuk membiayai kuliahmu. Karena sejak SMA saya tahu kau adalah murid yang hebat. Ada sebuah prestasi yang ada pada dirimu yang kau sendiri belum mampu melihatnya. Maka inilah saatnya kau tunjukkan dirimu yang sebenarnya. Gunakan prestasimu itu. Ada begitu banyak beasiswa menantimu.”

Pak Rizal meyakinkan lelaki itu. Ia tahu apa yang sedang dialami oleh Vido saat ini. oleh karena itu satu-satunya cara yang harus dilakukan mungkin adalah sebuah dorongan, dorongan yang mampu membawa Vido kembali menemui semangatnya.

“Terima kasih, pak. Saya akan mencobanya.” Kata Vido yang sudah mulai kembali optimis.

“Jangan bertemia kasih padaku, Budi yang sudah memberi tahu segalanya padaku tentang dirimu. Semoga kalian tetap bersahabat.” Setelah itu pak Rizal meninggalkan Vido yang akan melanjutkan pekerjaannya.

Setelah hari itu, pertemuannya dengan pak Rizal, Vido pun melakukan apa yang telah disarankan oleh gurunya tersebut. Bersama dengan Budi, mereka melalui hari-hari yang melelahkan itu bersama. Namun tak patah semangat karena awal mimpi mereka akan dimulai dari bangku kuliah itu.

“Apa yang kau impikan Vido jika melihat dirimu ke depan nantinya?” Tanya Budi.

“Aku berharap bisa menjadi seorang guru seperti pak Rizal.” Jawab lelaki ini sambil tersenyum.

“Hebat, aku memimpikan diriku menjadi seorang pengusaha sukses hingga aku kaya raya.” Kata Budi sambil tertawa.

Dua tahun sudah waktu berjalan. Perjalanan kedua sahabat ini pun berlanjut di bangku kuliah walaupun mereka berbeda tempatnya. Vido masih dengan kebiasaannya, selalu menyempatkan diri ke makam sang ibu di sore hari. Ia masih sangat merindukan sosok wanita tersebut. Sang malaikat yang tak bersayap yang selalu mencoba tersenyum dalam deritanya. Kini pun ia mulai merasakan, setiap harinya kian berat ia lalui. Walaupun ia sudah berusaha untuk mengejar prestasi, namun sepertinya masih belum cukup.

Vido masih seperti dulu, ia kesulitan membagi waktu kuliahnya dan kerjanya hingga membuat nilainya jeblok. Lagi, rasa frustasi kembali menghampirinya. Tekanan yang ia rasakan saat ini lebih berat dari sebelumnya. Apalagi ia melihat Budi terus melaju ke depan tanpa ada hambatan apapun.

Vido mulai berburuk sangka pada dirinya sendiri. Ia menjadi lebih pesimis dari sebelumnya. Semua rencana yang telah ia rancang untuk kuliahnya mulai diabaikan. Dengan sebatang rokok, ia habiskan malam di sebuah taman seorang diri. Ia memikirkan nasibnya yang malah tak sejalan dengan apa yang telah ia harapkan. Kini ia dipusingkan dengan bagaimana caranya ia melunasi uang kuliahnya sedangkan beasiswa tak kunjung ia dapatkan. Ia benar-benar telah putus asa. Kini pun terbesit dalam benaknya untuk kembali fokus bekerja. Dan ia mulai pasrah jika memang harus berhenti kuliah.

Keesokan harinya ia mulai bekerja dari pagi walaupun sebenarnya ia memiliki jadwal kuliah. Ada hal yang tidak ia lakukan sebelumnya, ia menyempatkan diri untuk singgah di makam ibunya. Hal yang biasanya hanya dilakukan pada sore hari. Di sana ia meluapkan segalanya tentang harapannya yang dulu ada, juga tentang janji-janjinya hingga kepada permintaan maafnya karena kini ia telah menyerah untuk menggapai cita-citanya.

“Ibu, kini yang hanya ingin ku lakukan adalah untuk terus hidup. Hal apa saja yang sepertinya tak sanggup lagi ku lakukan akan kutinggalkan, termasuk kuliahku dan mimpiku. Ku harap kau bisa mengerti ini, bu. Maafkan aku.”

Lalu Vido bergegas menuju ke tempat ia bekerja sebagai buruh bangunan. Kini, mungkin ia telah benar-benar melepaskan mimpi yang dulu pernah ia harapkan. Walaupun semangat hidupnya masih ada, namun rasanya tak lagi sama seperti waktu itu. Ia masih ada tapi merasa seperti tak ada. Ia memiliki teman, namun terus merasa sepi.

Suatu hari Vido berjumpa dengan Budi setelah begitu lama berpisah. Mereka masih akrab layaknya saudara. Hanya nasib saat ini yang membedakan diantara mereka. “Selamat. Kau akhirnya menyelesaikan pendidikan S1-mu.” Ucap Vido kepada Budi. Namun budi hanya merendah. Lagipula lelaki ini tahu persis apa yang telah terjadi pada Vido.

“Aku berharap kau ada di sisiku dengan semangat yang dulu kita punya.” Kata Budi yang dibalas senyuman oleh Vido.

“Apa keputusanmu itu telah mutlak? Maksudku, kenapa kau harus mengorbankan mimpimu itu?” Budi seolah-olah tak percaya apa yang telah Vido tetapkan sebagai pilihannya.

“Jelas. Lagipula aku sudah memikirkan ini jauh-jauh hari. Semua kulakukan untuk bertahan hidup. Dan kukira dalam memilih sesuatu, memang harus ada yang dikorbankan. Namun begitu, aku telah siap dengan apa yang ku korbankan ini. karena aku juga harus memikirkan nasibku ke depan. Harus ku pastikan bahwa aku tetap hidup dalam usahaku sendiri.”

Budi pun menundukkan kepalanya. Ia juga merasakan apa yang sedang dirasakan oleh Vido. “Maaf, Vido. Sebagai seorang teman aku gagal membawamu meraih mimipimu. Aku tak bersamamu saat kau sedang butuh sesuatu. Aku telah mengingkari janjiku.”

“Yang ku tahu adalah, kau sudah lebih dari membantu. Karna berkat dirimu aku bisa merasakan apa itu dunia perkuliahan. Tapi memang begini jalan kehidupanku.”

Vido membela temannya. Namun yang pasti adalah ia sedang menguatkan dirinya sendiri dengan meyakinkan kepada Budi bahwa ia masih baik-baik saja.

“Kembalilah, Vido. Mulai lagi dari sekarang. Masih belum usai, pasti belum. Atur lagi rencanamu itu. Bukakan lagi pintu mimpimu itu.” Lanjut Budi.

“Sepertinya tidak lagi. Sungguh sangat mustahil sekali. Uang adalah kendala bagiku, Budi. Berbagai cara telah ku lakukan, tapi aku tidak bisa.”

“Carilah pekerjaan yang layak bagimu.”

“Pekerjaanku ini sudah sangat layak kupikir.”

“Bukan itu maksudku. Carilah pekerjaan yang dapat membuatmu membagi waktu. Maka kau pasti ada waktu untuk kuliah juga.”

“Bisa saja, tapi bagaimana dengan uangnya? Jika upahnya tak cukup untuk membiayai kuliahku, bagaimana? Sedangkan upahnya hanya cukup untuk diriku saja.” Kata Vido.

Budi melihat tas yang dibawa oleh Vido. Ia baru tersadar sesuatu tentang salah satu kebiasaan Vido saat ia sedang duduk sendirian. “Boleh ku tahu apa saja isi di dalam tas kecilmu itu?” Tanya Budi.

“Hanya sebuah buku dan pulpen, seperti biasa.” Kata Vido sembari memperlihatkan keduanya. Budi lalu membuka lembaran buku catatan itu dan melihat apa saja isinya. Ia pun menebar senyuman kepada Vido.

“Kenapa?” Tanya Vido heran.

“Baru kali ini aku melihat tulisanmu ini. sangat bagus” jawab lelaki itu yang dibalas senyuman juga oleh Budi. “Tapi…” lanjut Budi, “aku baru memikirkan satu hal. Kenapa tulisan ini tidak kau tujukan kepada lembaga percetakan?”

“Aku bahkan tak yakin mereka akan suka. Lagian itu hanya coretan biasa kan.”

“Bukan begitu Vido. Kau hanya belum mencobanya. Tulisanmu ini akan sangat mahal jika dijual.”

“Tapi aku tak berniat demikian.”

“Begini saja, aku akan membantumu kembali ke dunia perkuliahan, ini akan menjadi yang terakhir kalinya, jika memang gagal kau boleh melakukan apa saja yang kau mau. Bagaimana menurutmu?” Kata Budi.

“Oke baik, apa rencananya?”

“Aku akan membantumu untuk mengirimkan tulisanmu ini kepada lembaga percetakan atau di sebuah media. Tugasmu adalah perbanyak tulisanmu itu. Dan kiranya nanti kau sudah mendapatkan lebih dari yang kau harapkan, kau harus kembali kuliah. Tapi jika usaha yang kita lakukan ini tidak berhasil, kau boleh melupakan kuliahmu. Bagaimana?” Jelas Budi.

“Baik, aku setuju.”

“Tapi jangan berharap usaha ini akan mudah. Semua butuh proses, dan kuharap kau bisa bersabar, Vido.”

“Aku akan mencobanya.” Jawab Vido. Kemudian mereka saling bersalaman. Apa yang dilakukan oleh budi adalah salah satu bentuk untuk saling membantu teman. Dan ia mengira memang pantas untuk membantu Vido karena mereka sahabat.

Hari-hari terus berlalu. Vido saat ini hanya fokus menulis saja dan ia melakukannya dengan sangat baik. Budi pun mengakui bahwa menulis adalah salah satu kemampuan tersembunyi yang dimiliki oleh Vido. Dalam sehari Vido dapat menyelesaikan dua karya tulisan dan itu juga sudah sangat melelahkan baginya. Kini, semakin hari, Tulisan Vido semakin bertambah.

Namun usaha mereka untuk mempublikasikan tulisan tersebut menemui hambatan. Harus diakui bahwa itu adalah bagian tersulitnya. Setelah beberapa kali mencoba akhirnya satu tulisan Vido terbit. Alangkah senangnya mereka walaupun dari sekian banyak tulisan yang telah diberikan sebelumnya.

Tepat sehari setelah tulisan tersebut terbit, Budi menerima sebuah surat yang ditujukan kepada Vido. Lantas ia memberikannya kepada Vido yang langsung dibaca olehnya.

“Mereka memintaku menjadi penulis di sana.” Kata Vido

“Mereka siapa?”

“Media yang pernah kita kirimkan tulisanku itu.” Jawab Vido. Budi pun seolah tak percaya tapi ia sangat senang mendengarnya.

“Terima saja Vido. Dari situ kau bisa melanjutkan kuliahmu dan menggapai mimpimu menjadi seorang guru.” Budi menyarankan temannya yang secara otomatis menyetuji hal tersebut.

Keesokan harinya, dengan segala persiapannya, Vido bergegas menuju kantor media tersebut bersama Budi. “Selamat bekerja, teman.” Kata Budi. Vido pun langsung melakukan tugasnya itu.

Lima bulan lamanya Vido telah menerbitkan begitu banyak tulisan. Dari sekian banyak tulisan itu ada satu karya yang menjadi favorit kebanyakan orang. Sebuah kisah tentang hari-harinya bersama sang ibu. Ya, terdapat kesan tersendiri bagi siapa saja yang membacanya.

Vido pun merasa semangatnya kembali lagi. Ia tak menyangka begitu banyak orang yang menyukai tulisannya itu. Semua berkat Budi yang tanpa lelah menyemangatinya. Namun bagi Budi perjalanan Vido belumlah usai. Sudah seharusnya Vido kembali melanjutkan kuliahnya itu.

Maka suatu malam, Budi menemui Vido yang sedang berada di taman, seperti biasa, hanya seorang diri. Di sana mereka berbincang panjang lebar.

“Ya, aku akan melanjutkannya lagi.” Kata Vido kepada Budi.

“Aku senang mendengarnya, kawan.”

“Terima kasih kau terus meyakinkanku, Budi. Kau sahabat terhebat yang pernah ku kenal.”

“Dan kau seorang pejuang terhebat yang pernah ku kenal.” Kata Budi. Kemudian mereka saling bersalaman.

“Dulu, ibuku sering bertanya padaku apa yang akan aku lakukan setelah lulus dari SMA. Ia sangat berharap aku dapat melanjutkan pendidikanku. Kini aku punya kesempatan lagi untuk melanjutkannya. Dari hasil karya ini, aku berjanji akan menyelesaikan kuliahku agar ia terus bahagia di sana.”

Walaupun sebelumnya sempat putus asa, tapi dari dalam lubuk hatinya, Vido masih sangat ingin melanjutkan kuliahnya dan menyelesaikannya.

Dua tahun berlalu, waktu yang dinanti-nanti pun akhirnya tiba. Vido akhirnya dapat menyelesaikan kuliahnya. Dan ia juga telah menuntaskan janjinya tersebut. Budi sangat bangga dengan usaha temannya itu. Baginya, Vido adalah semangat dan pejuang yang nyata.

Sore itu, seperti biasa Vido menuju ke tempat peristirahatan sang ibu. Ia membersihkan kuburan itu, mencabuti rumput yang mulai tumbuh di sana dan mengusap batu nisan itu. Betapa rindunya ia kepada sang ibu. Tanpa disadari ia menitikkan air matanya. Tak kuasa ia menyembunyikan tangisannya itu. Sejenak ia menutup matanya dan merasakan hembusan angin senja.

“Ibu, kau takkan pernah pudar dari ingatanku. Caramu berjuang melawan rasa sakit, caramu memaksakan tersenyum untuk menenangkanku saat itu, akan terus menjadi semangat bagiku. Terima kasih telah mengajariku cara berjuang untuk melewati hari-hari. Kau akan terus ada di hatiku. Dan doaku akan terus menyertaimu.”

Lalu ia berdoa sejenak dan bangkit dari duduknya. Matanya menatap ke atas, melihat lukisan senja yang begitu indah. Dalam benaknya berkata bahwa semuanya belumlah usai, tidak sebelum Tuhan memanggilnya.

Vido pun melangkahkan kakinya menuju taman. Tempat favoritnya untuk menghabiskan waktu senja. Di sana ia bertemu dengan Budi yang telah menantinya. Vido memberikan isyarat kepada Budi dengan menunjuk ke arah motornya. Pertanda ia baru saja kembali dari makam sang ibu.

“Lalu bagaimana rencanamu selanjutnya? Dari mana kau akan memulai dirimu sebagai seorang guru?” Tanya Budi.

“Ya, semua memang butuh perencanaan. Tapi… sepertinya aku lebih tertarik menjadi seorang penulis.” Jawab Vido sembari tersenyum.

“Saat aku terjatuh dalam menghadapi lika-liku kehidupan, pasti aku akan mengingat senyuman ibuku. Karna itulah sumber kekuatanku dalam menghadapi segala rasa keterpurukanku saat aku menemui jalan buntu.”

Karakter ibu Vido ditulis berdasarkan almarhumah nenek penulis, yang kala itu melawan rasa sakit di penghujung hidupnya. Namun beliau tetap tersenyum di tengah rasa sakit yang beliau derita saat itu. Menunjukkan bahwa beliau tetap bersyukur kepada Allah. Semoga amal ibadah beliau diterima oleh Allah di sisi terbaik-Nya.

~Breaking Reza

--

--

Reza Fahlevi
Reza Fahlevi

No responses yet