Payung Mendung

Reza Fahlevi
5 min readMay 31, 2023

--

Photo oleh kili wei dari Unsplash

Tidak mudah…

Betapa tidak mudah menjalani lika-liku kehidupan ini. Seakan rasanya hati semakin redup hari demi hari; ada banyak kejadian, ada banyak pemgalaman, dan ada banyak tragedi… semua itu berhasil membuatku tak berdaya bahkan untuk sekedar menghirup udara segar.

Yang namanya terluka dari dalam… yang namanya tertusuk dari dalam… rasa sakit menyerang bertubi-tubi seolah-olah tidak membiarkan hatiku untuk berharap… mengharapkan kebaikan dan cinta. Rasanya, ada yang mati perlahan dan itulah jiwaku.

Dulu, ku pikir menjadi dewasa itu cukup menyenangkan.

Dulu, ku pikir jatuh cinta itu sungguh membahagiakan.

Dulu, aku berpikir bahwa semua hambatan dapat ku lalui dengan lancar seperti air mengalir di sungai.

Nyatanya… realita kehidupan selalu tidak berjalan seperti impian masa kecil.

Jika sejak dulu aku tahu, menjadi dewasa itu sangat melelahkan, aku pasti akan memilih untuk tetap menjadi anak kecil.

Jika dulu aku menyadari bahwa akan banyak rintangan hidup yang membebaniku, aku pasti tak pernah ingin tumbuh dewasa.

Dan seandainya aku paham bahwa dunia ini penuh dengan segala permasalahan, pasti aku akan tetap memilih menjadi balita.

Tapi, menatap diriku yang sekarang, sungguh aku tak ingat bagaimana dulu saat kecil aku begitu ria dan mudah untuk tersenyum serta tertawa. Luka dari permasalahan hidup seakan melenyapkan kebahagiaan masa kecil.

Padahal, aku adalah sosok yang bersemangat untuk bermain bersama kerabat setiap petang; menunggangi sepeda sekencang mungkin untuk menjadi pemenang. Dan jika aku gagal menang pasti aku bersedih, akan tetapi besoknya aku kembali bersemangat untuk mengulang balapan hingga kemenangan pun tiba.

Tapi sekarang… aku malah tak tahu lagi caranya bangkit setelah menemui kegagalan demi kegagalan… seperti salah satunya gagal dalam urusan cinta.

“Sosok dewasa adalah dia yang memiliki prinsip”, begitu kata ayahku. Dan ku rasa, sampai sejauh ini aku masih belum megerti prinsip itu.

“Dewasa itu adalah mengerti tanggung jawab”, begitu ibuku pernah berujar. Dan sepertinya, aku masih belum menyadari tanggung jawabku sebagai seorang pribadi dan sebagai lelaki.

“Dewasa adalah orang yang hidup bersama luka…” begitulah kata teman sepermainan masa kecilku. Dan sepertinya aku masih belum siap untuk terus terluka.

“Dewasa adalah merelakan — mengikhlaskan”. Begitulah perkataan dari perempuan saat aku merasa pupus oleh sebab orang yang ku cintai tak pernah tahu bahwa aku pernah sangat mencintai dan mengaguminya… bahkan ketika dia sudah menikah.

Dan sepertinya, aku masih belum mengerti makna di balik merelakan — mengikhlaskan.

Kerumitan dalam urusan cinta… sepertinya aku memang sudah ditakdirkan untuk mengalami pengalaman jenis seperti ini. Tapi, setiap saat aku mesti menerima kenyataan bahwa untuk kesekian kalinya aku gagal dalam urusan cinta, aku merasa tak pernah sanggup melaluinya.

Sejak dulu yang mampu ku lakukan hanya memendam perasaan setiap saat jatuh hati terhadap seorang wanita. Aku; tak pernah menemukan cara, tak bisa menemukan celah, tak berani untuk mengungkapkan, takut terhadap penolakan, dan ragu terhadap diri sendiri… ketika waktu dan kesempatan untuk menyatakan cinta terpampang jelas di hadapanku, yang ku lakukan hanya berdiam diri.

Aku juga hanya bisa berpuisi senyap — bukan untuk menyatakan perasaan melainkan untuk menghibur diri yang tak mampu melakukan tindakan.

Lalu, ketika waktu berlalu, yang tertinggal di hatinya hanya tumpukan penyesalan — aku menyesal tak pernah mengutarakan cinta kepada wanita yang ku maksud. Dan penyesalan ini terus meninggalkan luka sebab sosok yang ku kagumi sudah berlabub ke hati lain; dia bahagia di sana.

Sedangkan aku hanya meratapi nasib sambil merasakan perlahan ada yang redup di hati ini.

Semua itu membuatku putus semangat dan ingin menyerah saja.

Semua pengalaman itu membuatku mati rasa dan tak ingin peduli lagi.

Kegagalan dalam urusan cinta membuatku trauma untuk mencintai wanita lain.

Aku takut untuk jatuh cinta… takut cintaku tak pernah sampai kepadanya.

Dan rasa takut itu kemudian seakan memenjarakanku; aku terjebak di balik jeruji penyesalan… penyesalan yang timbul oleh diriku sendiri.

Pada akhirnya, aku menjadi dewasa untuk menderita. Aku membuat diriku sendiri menderita.

Entahlah…

Sejauh lika-liku ini ku lewati, aku terlalu lemah untuk urusan cinta. Seperti, aku tidak menjadi diri sendiri setiap saat jatuh cinta. Dan hal ini membuatku tersiksa.

Berulang kali ku cari cara agar setidaknya aku belajar dari kesalahan masa lalu. Tapi, aku tak pernah bergerak untuk melakukannya bahkan hanya mengulangi kesalahan yang sama.

Sekarang… entah bagaimana diriku ini setelah wanita yang sudah kucintai selama 8 tahun lamanya, ia sudah menikah dan bahagia bersama orang lain. Adapu aku, semakin tertinggal jauh untuk meraih impian… impian tentang kebahagiaan di balik cinta.

Aku merasa tak pernah bisa mencari sosok pengganti untuk mengganti wanita itu. Jika pun ada, kemudian aku sadar bahwa sosok lain itu bukanlah perempuan yang pernah ku cintai.

Aku hanya ingin wanita itu tapi sungguh sangat tak mungkin.

Mencintainya dan dicintai olehnya… ini adalah bentuk pengandaian dari ketidakberdayaanku menerima realita cinta.

Jadi, setelah semua itu terjadi, aku berhasil memalsukan kebahagiaan untuk kemudian menunjukkan sikap yang sebenarnya; sikap itu adalah aku yang terpuruk.

Kegagalan untuk mencintai wanita itu membuatku merasa seperti semakin jauh dari Tuhan. Aku terus mengabaikannya Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang.

Kegagalan mencintai wanita yang ku pendam rasanya selama 8 tahun; hal ini benar-benar membuatku tak berdaya. Aku ingin berhenti jatuh cinta, aku ingin menyerah saja, dan aku hanya ingin sendirian saja… karena menyadari bahwa wanita itu sudah tak mungkin lagi ku cintai, di sini aku sudah terlanjur mati rasa untuk mencintai perempuan lainnya.

Sekarang semuanya serba salah tapi aku tak tahu harus menyalahkan siapa.

Dan apakah aku berhak menyalahkan?

Ada kitab suci yang berdebu

Ada lantunan yang tidak lagi terucap

Ada irama yang tidak lagi terdengar indah

Ada hati yang kacau balau

Ada jiwa yang redup untuk berharap

Aku terlalu banyak menghabiskan waktu sembari mengabaikan kewajiban. Aku terlalu lama menyesali masa lalu, hingga mengabaikan Tuhan. Aku terlalu merasa diri tak berguna sampai lupa bahwa aku punya keluarga.

Aku yang mulai mati rasa dan menyerah untuk jatuh cinta sampai rela berbohong pada diri sendiri bahwa saat ini… saat ini sebenarnya aku sedang mengagumi sosok wanita lain.

Kekosongan hati seolah-olah merabunkan rasa yang hendak merasakan denyut cinta. Dan kehampaan batin seakan menolak adanya suatu kebenaran… kebenaran bahwa sekarang aku mulai jatuh cinta lagi terhadap wanita lain.

Ya… sebenarnya aku sedang mengagumi perempuan itu. Tapi karena ego dan trauma di masa lalu, semua ini rasanya seperti buram — tak terlihat dan tak terasa di hati.

Meski begitu, aku akan berkata jujur bahwa wanita itu seakan-akan bercahaya… ia membiaskan cahaya mentari pagi tepat di bawah payung mendung milikku.

Aku merasa bahwa tatapan matanya seolah-olah membasuh batinku dari keterpurukan cinta di masa lalu.

Di sini, aku merasakan bahwa harapan untuk kembali jatuh cinta itu masih ada. Ku harap, kali ini aku jatuh hati kepada wanita yang tepat.

— Breaking Reza —

--

--

Reza Fahlevi
Reza Fahlevi

No responses yet