Merangkai Kata
Breaking Reza
“aku masih mencari lembaran berdebu itu”
Saat ku tunjukkan padamu kata yang bercampur cinta. Tertumpah dan tertuang tintanya di secarik kertas putih, merangkainya menjadi perasaan yang ingin berlabuh.
Bukan saat aku berlisan, tapi coba sadari ketika aku berdiam diri di hadapan ombak senja, membayangimu yang sedang melemparkan senyuman padaku… di kala itu.
Aku seakan menjadi hebat, karna matamu membantuku untuk melihat sesuatu yang ku anggap dangkal. Aku tak pernah mengerti cara menerima realita yang bertolak belakang sebelum… sebelum akhirnya kau menjelma menjadi penyelamat.
Ada yang ku takuti, itu sebuah kekhawatiran batin. Ada yang ku sesali, itu berupa kekecewaanmu. Ada yang ku hancurkan, sebuah prinsip kehidupan. Seakan membenamkan nuansa hijau di sisi, ketika ku melihat kau pergi menjauh.
Dan ku coba kembali merangkai kata, kini kusam dan berdebu. Terasa begitu sunyi karna kau masih juga tak ingin membacanya.
Kau kubur keyakinanku ketika aku telah berdiri tangguh menghadapi segala lika-liku. Kau tenggelamkan bahtera penyebranganku hingga aku terjebak di dasar samudra. Tapi, hari seakan masih belum juga mencoba… mencoba menceritakan padamu bahwa bara cinta ini sulit untuk diterka.
Ku wujudkan dunia fiksi, untuk mengutarakan apa yang tersirat. Berlagak menjadi pria bijak di saat aku telah terluka tak berdarah. Batin semakin mengada-ngada untuk menegaskan keegoisan.
Aku rangkai kata ini sebagai wujud cahaya cinta. Mungkin mulutku tak mampu berlisan lebih jauh, aku hanya berharap setiap hurufnya mampu hadir dalam lamunanmu tepat sebelum matahari lenyap di ufuk barat.
Aku masih juga merangkai kata, untukmu yang telah melabuhkan kebencian di dalam kalbu. Aku hanya ingin membebaskan apa yang tersembunyi, tapi kekecewaanmu itu telah menghukumku untuk bermimpi indah setiap malam.
Aku belum juga berhenti merangkai kata, karna kini ku paksakan pena ini untuk menulis tentang luka air mata. Semua yang hancur, semua yang remuk, adalah karna cinta mendarat di hati yang salah. Namun aku belum juga menyesal pernah menjadikanmu sebagai tokoh wanita syahdu, meskipun hanya dalam bayangan ilusi.
Aku masih bersajak dalam rangkaian kata. Jika memang ada satu istilah untuk saling memaafkan, dapatkah aku kembali melihat sosokku di seberang benua sana? Karna ku yakini ia telah begitu lelah berjalan dalam mencari hari pengampunan dosa.
Aku berdetak padamu, hanya sementara untuk ku larutkan dalam kebencian murka.
Kau berdetak padaku karna ada luka, teriris menyait tajam hati yang teduh, menghapus segala senyuman di balik bibir.
Biarkan aku merangkai kata, agar aku menyadari, bahwa kau adalah wanita yang telah ku sakiti.
Biarkan aku merangkai kata agar ku rasakan, betapa besar kekecewaan dan amarahmu itu hingga hanya menyisakan butiran air mata, menitik tak berhenti di wajahmu.
Aku akan terus merangkai kata, hingga yang patah ini dapat terobati.
Kini, tak ada lagi yang tersisa. Hanya bait-bait doa yang masih ku harapkan untuk dapat mewarnai langit malammu… di negeri sana.
Judul puisi terinspirasi dari Peny Widi dalam tulisannya yang berjudul Rangkaian Kata.