Menjadi Lebih Kreatif Dengan Bersepeda

Reza Fahlevi
6 min readJan 26, 2023

--

Kembali rutin bersepeda sejak bulan Agustus lalu membuat rutinitas setiap akhir pekan terasa lebih hidup. Jika sebelumnya saya sering bermalas-malasan di awal minggu pagi — sibuk menyia-nyiakan waktu hanya untuk memantau ponsel yang padahal hanya ku buka feed Instagram — selama ini sejak rutin bersepeda, saya membuat minggu pagi lebih bermakna. Ya, bisa dikatakan seperti itu.

Sudah lama saya mulai bersepeda… terhitung sejak 2014 tepatnya ketika masih SMA, saya sudah sering lalu lalang dengan sepeda. Tapi karena hampir setiap kesempatan selalu sendirian, lama kelamaan saya mulai bosan dan pelan tapi pasti sepeda terbengkalai tak terurus.

Tahun 2020 sebenarnya menjadi momen saya rutin lagi bersepeda. Pandemi membuat aktivitas saya terhenti total dan tak tahu harus melakukan apa. Saat itu saya yang mengajar di salah satu pesantren di Banda Aceh harus rela diliburkan karena virus Corona itu. Jadi sejak terpaksa libur, saya hanya berada di rumah dengan kekosongan.

Segala cara saya cari supaya setidaknya saya bisa melakukan hal baru, minimal pikiran saya tidak beku karena hampir tidak pernah melakukan aktivitas selain hanya duduk dan rebahan di kasur. Sampai suatu hari, sepupu saya mengajak bersepeda. Katanya saat itu, dia punya rute lain yang tak biasa, yaitu daerah perbukitan. Sebelumnya kami sudah terlalu sering gowes ke arah kota dan rutenya hanya itu-itu saja — bosan. Jadi, ketika dia mengajak saya ke daerah Cot Keueung di Aceh Besar, saya langsung tertarik.

Kami pun mulai gowes di hari sabtu paginya —kalau tak salah. Begitu sampai di daerah Cot Keueung, saya langsung terkesima dengan pemandangan hijau yang memanjakan mata. Dan ketika tiba di tujuan, saya masih belum berhenti takjub.

Sebenarnya tidak ada yang spesial, tapi baru kali ini saya gowes ke daerah yang bukan aspal — offroad. Apalagi jalanannya daki-turun… rasanya sangat berbeda, seperti melakukan penjelajahan dengan sepeda. Kebetulan juga cuacanya cerah-teduh, sangat mendukung.

Di minggu selanjutnya, sepupu saya lagi-lagi mengajak bersepeda, tapi kali ini ke rute yang berbeda, waduk Blang Karam di Lambaroangan, masih sekitaran Aceh Besar. Di kesempatan ini, kami mengajak serta sepupu lainnya.

Lantas pergilah kami bertiga ke sana dan wow… ternyata tak kalah menakjubkan. Kami melintasi perkampungan lalu melewati rute jalan tol yang saat itu belum rampung, banyak alat-alat berat sibuk bekerja.

Melewati jalan tol, kami kembali masuk perkampungan hingga jalan yang tadinya masih lembut dengan sentuhan aspal sampai kemudian melewati hadangan bebatuan yang lumayan besar-besar dan juga tidak serata dari daerah bukit Cot Keueung. Meski begitu, sepeda kami semua sangat cocok dengan track ini karena memang jenis sepeda gunung. Dan setelah ban terantuk-antuk dengan batu, akhirnya kami tiba di waduk Blang Karam.

Waduk itu sudah lama tidak dipakai lagi, tapi airnya masih memenuhi di sekitaran walaupun tidak terlalu penuh. Selain itu, suasana di situ sangat teduh; penuh kehijauan, tidak bising, bahkan udaranya pun terasa sejuk. Adapun kami berhenti sejenak samnil beristirahat, setelah itu kembali melanjutkan perjalanan… kali ini menaiki bukit.

Ini kali kedua saya bersepeda di daerah bukit yang jalanannya penuh dengan batu. Jangan pikir batunya hanya berupa kerikil… tidak, bukan. Kebanyakan batu gunung dan terhampar liar begitu saja di jalan, terasa seperti menjelajah. Seru.

Sekitar beberapa menit kemudian, tanpa terasa kami sudah jauh berada di atas… jauh meninggalkan pemandangan kota di bawah. Dari sini terlihat jelas hampir seluruh permukaan kota Banda Aceh dan ternyata kotaku ini tidak terlalu luas, hanya secuil saja. Sisanya laut yang terlihat mengelilingi Banda Aceh. Jadi wajar jika dulu saat Tsunami menghantam Aceh, sebagian besar provinsiku ini luluh lantak.

Kembali lagi ke bersepeda.

Tahun 2020 akhirnya menjadi sangat berkelas untuk saya. Seperti titik balik. Di tengah pandemi yang tak tahu kapan berakhirnya dan juga kegiatan mengajar harus dihentikan, berkat adanya gowes saya merasa diri saya kembali hidup. Bukan apa-apa, berdiam diri di rumah dengan hanya duduk dan rebahan itu sungguh membosankan ternyata — kalau dilakukan keseringan. Dan bersepeda membuat saya jadi lebih aktif dari segi fisik dan kreativitas.

Yang jelas, di tahun itu saya menemukan momentum yang sempat hilang dengan cara bersepeda. Tapi bukan itu saja sebenarnya, 2020 ini bagaikan kesan positif dari sekian banyak sisi negatif yang saya dapat. Di tahun itu, di tengah pandemi, saya akhirnya dapat menulis rutin sampai detik ini. Banyak ide bermunculan dan saya bersyukur sampai saat ini, saya masih dapat meneruskan untuk tetap menulis, sesuatu yang dulunya sangat sulit saya jadikan rutinitas walaupun sudah sejak lama saya suka menulis, terhitung dari 2009 saat masih SMP.

Kembali lagi ke sepeda.

Dari 2020 menuju 2021, saya masih juga rutin bersepeda, seringnya berdua dengan sepupu. Tapi kemudian, tahun ini menjadi tahap kemunduran. Entah karena bosan atau karena aktivitas yang mulai agak sedikit normal dari sebelumnya… kami sudah mulai jarang gowes.

Perlahan sampai akhirnya di sisa tahun 2021, akhirnya saya kembali meletakkan sepeda di garasi dengan kondisi tak terurus; ban yang kekurangan angin, body-nya kotor karena jarang saya cuci, serta bannya berlumuran lumpur yang sudah mengeras. Begitulah gambaran sepeda saya sejak rutinitas gowes terhenti di pertengahan 2021.

Menuju 2022. Awal tahun tidak dimulai dengan gemilang karena saya masih mengabaikan sepeda. Faktor utama yang membuat saya seperti ini mungkin karena sepupu saya yang jarang ada waktu di akhir pekan untuk gowes. Dan karena saya sudah terbiasa bersepeda dengannya, ketika pergi sendirian rasanya seperti hambar, cepat bosan. Karena itulah saya pun memilih mencari kesibukan lain walaupun tidak se-seru gowes.

Sampai kemudian di bulan Agustus 2022, sepupu saya lagi-lagi mengajak gowes. Ini yang pertama setelah di tahun 2020. Kali ini, dia mengajak saya ke Indrapuri, daerah Aceh besar. Ada event sepeda bareng yang diadakan di daerah bukit, sangat menarik. Dan kami tidak hanya berdua, kalau tak salah ada sekitar 5 atau 6.

Maka goweslah kami bersama dengan ratusan goweser lainnya. Mulai dari aspal lalu masuk ke rute bebatuan, mendaki, masuk hutan, lalu naik lagi untuk kemudian turun — turun — samlai garis finish. Jika dihitung, ada sekitar 3 sampai 4 jam kami bersepeda. Cuacanya terik tapi itu tidak menyiutkan semangat kami untuk terus melaju memacu sepeda.

Setelah Indrapuri, event lainnya menyusul, diselenggarakan di gunung Mata Ie, juga sekitaran Aceh Besar. Masih sama, kami mendaki di tengah track tanah yang bebatuan, melweati pohon-pohon besar dan tinggi yang bagi saya terlihat kecil karena kami berada di atas gunung, sedangkan pohonnya di bawah.

Untuk event ini, kami semua menghabiskan waktu selama tiga jam mengelilingi gunung Mata Ie, ditambah 1 jam x 2 karena kami sudah mulai gowes dari rumah dan juga saat pulang. Jadi totalnya ada 7 jam. Lelah? Sangat. Menyesal? Oh, sama sekali tidak. Yang ada hanya keseruan.

Dari dua agenda gowes itu kemudian saya dan sepupu saya mulai aktif lagi bersepeda. Kali ini tidak lagi berdua, sudah ada beberapa orang lain yang juga ikut serta. Bahkan, sekarang kami punya klub namanya Free-Ride Mountain Bike.

Yang jelas, 2022 adalah momen saya kembali menemukan ritme dari sisi hobi, ya karena bersepeda memang hobi saya sejak dulu… tepatnya salah satu. Tahun lalu banyak kesan positifnya dan banyak juga kesenangan yang datang dari bersepeda meskipun sebenarnya ada juga sisi keterpurukannya saat saya harus menerima kenyataan perempuan yang sudah sejak SMA saya kagumi akhirnya menikah dengan laki-laki lain di penghujung Desember 2022. Adapin perasaan saya terpaksa harus terpendam untuk selama-lamanya.

Tapi bukan itu yang mau saya rincikan, melainkan sepedanya.

Saya menemukan bentuk terbaik saya dari bersepeda. Selain itu, tempat-tempat yang dulu belum pernah saya datangi, dengan bersepeda akhirnya cita-cita itu terwujud. Yang jelas, saya merasa lebih hidup sejak aktif bersepeda. Ini penting karena di usia yang banyak orang bilang merupakan masa-masa produktif, saya tidak mau menyia-nyiakan waktu hanya untuk duduk, rebahan, dan ngopi tak jelas.

Dengan bersepeda, tubuh saya terasa lebih bugar meski sebenarnya saya perokok. Tapi tidak hanya tubuh yang bugar, mata juga dimanjakan dengan pemandangan elok yaa walaupun keelokan perempuan masih tidak terkalahkan. Selain itu, saya bisa datang ke tempat-tempat baru sebagai pengalaman.

Akan tetapi, ada satu hal yang sangat saya sukai dari gowes, itu adalah meningkatnya daya kreativitas. Ya, saya yang suka menulis sudah pasti butuh menjernihkan pikiran agar ide datang. Ada berbagai cara untuk menjernihkan pikiran dan biasanya saya ngopi sambil membaca tulisan orang lain, atau bermain game drum dari aplikasi ponsel. Dan cara yang tak kalah hebat adalah bersepeda.

Bagi saya, bersepeda ini termasuk salah satu memulihkan kondisi batin, tidak hanya fisik. Dan saya sebagai penulis butuh situasi batin yang kondusif, oleh karena itu bersepeda adalah cara terbaik untuk memulihkan keadaan sebelum menulis.

Sebagaimana penulis butuh ketenangan untuk meracik kata-kata… ketenangan saya salah satunya ada ketika bersepeda.

__Breaking Reza __

--

--

Reza Fahlevi
Reza Fahlevi

No responses yet