Mengetuk Pintu Langit

Reza Fahlevi
22 min readOct 22, 2020

--

Part II

Perjuangan di Kampus Unsyiah

Picture by: Breaking Reza

Sudah hampir setahun Awsya kuliah di Pendidikan Bahasa Inggris. Sejauh ini perjalanannya di kampus itu masih aman-aman saja. Bahkan ia banyak mendapatkan nilai bagus dari beberapa mata kuliah yang diambilnya semasa semester pertama. Walaupun memang jurusan Bahasa Inggris ini masih agak membingungkan baginya, tapi setidaknya sejauh ini ia masih betah di sana. Memang sejak awal Awsya sudah menetapkan bahwa kuliah di kampus keguruan tersebut hanya persinggahannya saja. Di sela-sela waktu kosongnya, ia masih sering melihat-lihat informasi berkaitan dengan pembukaan pendaftaran di Unsyiah. Tapi ia tetap profesional.

Bahkan kali ini Awsya ingin berjuang lebih keras dan berusaha lebih tekun lagi. Itu ditunjukkan dengan dirinya yang kembali membeli beberapa buku panduan soal tentang SBMPTN. Ia juga menyempatkan diri mengikuti les private di sebuah bimbel pada hari-hari kosongnya. Hanya hari minggu saja yang tidak diisi dengan kegiatan apapun karena Awsya juga tau ia butuh waktu istirahat juga.

Di malam harinya, jika tidak ada tugas kampus yang menumpuk, pasti setelah shalat Isya, Awsya selalu belajar dan belajar. Ia benar-benar tidak ingin menyia-nyiakan waktu. Sampai-sampai saking kurangnya istirahat, Awsya pernah demam dan pusing. Namun sakitpun tidak menggoyahkan dirinya. Jika keadaan sudah lebih membaik, pasti Awsya kembali belajar dan belajar.

Rutinitasnya terus berlanjut hingga pada pertengahan bulan April, Awsya dan teman-teman kampusnya akan menghadapi minggu final. Kini ia sudah berada di akhir semester dua dan hanya satu langkah lagi menuju semester tiga. Agar nilai di kampusnya juga bagus, ia pun membagikan fokus belajarnya. Terasa begitu pusing dan melelahkan. Tapi itulah Awsya, di satu sisi ia begitu ingin mendaftar lagi dan memulai kuliah di Unsyiah. Namun di satu sisi lainnya, walaupun niatnya hanya sebagai persinggahan saja, Awsya juga tidak mau nilainya di kampus Pendidikan Bahasa Inggris (STKIP) itu berakhir jelek.

Memasuki bulan Juni, Unsyiah kembali membuka pendaftaran mahasiswa baru. Sudah saatnya kini Awsya kembali 'berperang' dan mencoba peruntungannya lagi di Kampus tersebut. Dengan segala persiapan sebelumnya, kali ini ia memaksa dirinya untuk tidak terlalu berharap. Karena belajar dari pengalaman-pengalaman sebelumnya, Awsya paham betul bagaimana rasanya gagal itu.

Saat mendaftar, Awsya jelas dengan pilihannya, kedokteran. Tapi sang mama malah menyarankan anaknya untuk memilih dua fakultas, tentu saja pertama itu kedokteran. Jadi saat mendaftar, para calon mahasiswa diberikan sebanyak tiga fakultas pilihan, dan itu sudah maksimal. Maka, apabila pilihan pertama ataupun kedua tidak lewat, masih ada kemungkinan pilihan ketiga untuk lulus.

Tapi Awsya hanya memilih dua, yang pertama Fakultas kedokteran dan satunya lagi ia memilih Fakultas Ekonomi. Setelah melengkapi berbagai macam administrasi dan berbagai persyaratan lainnya, dengan lantunan bismillah, Awsya pun sudah kembali resmi mendaftar di Universitas Syiah Kuala(Usnyiah) saat ia mengklik tombol "daftar". Kini dirinya hanya menunggu pengumuman saja perihal jadwal tesnya nanti.

"Sya, jangan lupa banyak-banyak berdoa. Semoga kali ini kamu lulus." Kata mama Awsya.

"Iya Maa, pasti." Jawabnya.

Tiga minggu setelahnya, jadwal ujian pun keluar. Dan di senin paginya Awsya sudah bersiap-siap dengan seragam hitam putih, memakai rok serta jilbab hitam. Perlengkapan ujian lainnya juga sudah disiapkan. Ia selalu ingat pesan mama dan ayahnya untuk tetap tenang dan fokus selama ujian. Jangan banyak memikirkan hal lain yang dapat mengganggu konsentrasi. Setidaknya begitulah pesan kedua orang tuanya.

Sesampainya di ruangan ujian, sambil menunggu aba-aba dari pengawas, Awsya mengeluarkan semua perlengkapan yang diperlukan dari dalam tas ransel hitamnya seperti, pensil, penghapus, serta rautan. Saat sudah duduk manis di tempat ujiannya, pengawas datang dan meminta gadis ini untuk menaruk tasnya di luar ruangan. Dan memang peraturannya seperti itu, ketika ujian, selain perlengkapan tes, yang lain tidak diizinkan untuk dibawa masuk, termasuk hape. Maka Awsya pun membawa tasnya keluar untuk ia taruk di tempat penitipan tas.

“Sialan, kenapa sih aku ga baca aturannya tadi. Jadi malu kan ditegur pengawas”. Awsya bergumam dalam hati.

Satu jam kemudian, waktu ujian sudah habis. Gadis ini pun melalui proses ujiannya dengan lancar. Ia langsung menuju parkiran, menyalakan motornya dan bergegas pulang.

Ya sejauh ini bagitu lancar baginya. Tapi setelah itu, hatinya menjadi gelisah. Ia khawatir jika nanti hasilnya akan kembali sama seperti sebelumnya. Ini terlihat jelas saat ia sedang sendirian di kamar dan menatap dirinya di hadapan cermin. Tatapan mata wanita ini tak dapat menipunya, jauh di dalam sana ia merasakan gelisah yang perlahan malah semakin menjadi-jadi. Tapi ia tahu apa yang harus ia lakukan. Berdoa dan mengaji akan melindunginya dari perasaan buruk tersebut. Apalagi kini ia hampir tak pernah meninggalkan shalat Tahajud ataupun shalat Istikarah. Awsya sering melakukannya apalagi ketika ia ingin menentukan fakultas pilihannya pada saat itu. Ia benar-benar memohon dari hatinya kepada Allah agar diberi petunjuk dari apapun pilihannya saat itu. Tentu saja ketika pengumuman tiba nantinya, ia berharap bahwa itulah yang terbaik baginya.

Sebulan waktu berlalu, Awsya sudah kembali berjumpa dengan hari pengumuman. Ia paham betul bahwa tak seharusnya lagi ia berekspektasi tinggi. Dan tak berlama-lama, Awsya langsung mengambil laptop. Begitu menyala, ia langsung menghubungkannya dengan internet. Wajahnya sudah tak sabaran, jantungnya berdegup kencang. Sesekali tangan kirinya ia kepalkan. Gadis ini terlihat cemas.

Kali ini, koneksi internet benar-benar lancar. Begitu ia masuk ke laman tersebut, ia baca pengumuman itu dengan perlahan, bibirnya mulai menebar senyuman. Namun beberapa detik kemudian, ia memegangi kepalanya sambil mengelus dahinya. Awsya dinyatakan lulus di Unsyiah namun bukan di kedokteran melainkan di Fakultas Ekonomi.

Wanita ini pun hanya tersenyum sambil bersyukur kepada Allah. Ia berujar dalam hati bahwa ia benar-benar berterima kasih pada Tuhan karna untuk kesempatan yang ketiga ini, ia bisa memulai kuliah di kampus impiannya. Dan walaupun bukan di tempat favoritnya, ia tetap berusaha bersyukur. Memang sebelumnya sudah ia tetapkan dalam hati, di manapun ia lulus nantinya, Awsya akan menerima dengan lapang dada.

"Bagaimana hasilnya, Awsya?" Tanya mama.

"Adek lulus di Ekonomi, ma." Sahutnya.

"Alhamdulillah, itu rezeki kamu Sya." Lanjut mama sambil tersenyum.

Awsya mengangguk. Mama dan kak Wirda pun memeluk hangat Awsya. Mereka paham bagaimana usaha kerasnya selama persiapan ujian sebelumnya. Hasil ini adalah yang terbaik untuk Awsya. Sang ayah juga menghampiri anak perempuan kecilnya. Awsya langsung datang dan mencium tangan ayahnya.

"Selamat Sya. Ayah bangga dengan usaha kamu".

"Makasih, yah." Ujar Awsya.

"Jadi, kamu sudah membulatkan tekad untuk kuliah di situ?"

"Insya Allah siap, yah”.

Wanita ini sudah berjuang. Dan walaupun keinginannya itu adalah menuntut ilmu di dunia kedokteran. Tapi Allah lebih tahu Awsya harus melanjutkan pendidikan ke mana.

Semester baru dimulai. Awsya kini sudah beralih ke Fakultas Ekonomi Unsyiah. Sebelumnya ia juga sudah berpamitan dengan teman-temannya di STKIP, tempatnya memulai dunia perkuliahan di jurusan Bahasa Inggris. Walau bagaimanapun, bagi Awsya kampus itu juga pernah mewarnai hari-harinya. Meskipun ada beberapa matakuliah yang sangat membingungkannya, tapi teman-teman serta para dosen memiliki ikatan yang akrab dengan gadis ini. Maka salam perpisahan adalah cara terbaik untuknya melangkah menuju ke Unsyiah.

Di Fakultas Ekonomi, Awsya berjumpa dengan hal baru. Teman, dosen, matakuliah hingga suasana baru. Semuanya serba baru. Tapi ada satu hal yang masih membebani hati serta pikirannya. Ia masih bingung dengan dunia ekonomi. Sejak SMA dirinya sama sekali tidak pernah mengenal pelajaran ekonomi. Wajar saja, ketika itu, Awsya memilih jurusan IPA, maka semua pelajaran yang berkaitan dengan IPS, itu adalah sebuah pengalaman baru. Terlintas sepintas dalam hatinya,

"apa yang harus aku lakukan di kampus ini?".

Hari-hari berlalu dengan penuh kesulitan. Awsya sulit mengimbangi antara kemampuannya juga pemahamannya terhadap matakuliah di Ekonomi. Apalagi di kampus ini ia masuk ke jurusan Ekonomi Pembangunan yang mana ia sama sekali belum mengetahui ke mana arah jurusan tersebut.

Awal-awal semester benar-benar bencana bagi Awsya. Ia merasa asing dengan segalanya di kampus. Bahkan setelah ujian final, nilainya begitu anjlok hingga IP serta IPK-nya sangat rendah. Awsya tak habis pikir, kenapa dirinya bisa begini. Ia benar-benar kehilangan motivasi. Lain halnya dengan teman-temannya, mereka terlihat lancar-lancar saja sejauh ini. Seperti tak ada hambatan sama sekali kuliah di Fakultas Ekonomi ini.

Belum lagi selama ini di rumah, Awsya sudah mulai dibanding-bandingkan dengan kak Wirda. Kakaknya juga sedang menggelucuti dunia perkuliahan, tepatnya di FKIP Fisika Unsyiah. Dan nasib mereka benar-benar berkebalikan. Kak Wirda terlihat menikmati setiap proses perkuliahan. Ia juga memiliki IP dan IPK yang bagus. Sedangkan Awsya harus berjuang mati-matian menghadapi matakuliah yang asing bagi dirinya. Jangankan untuk menikmati proses, mencoba untuk memahami setiap matakuliah saja ia harus jatuh bangun.

"Awsya kenapa nilai kamu seperti ini? Kan mama sudah bilang, kalau kuliah itu harus serius belajar. Jangan asyik dengan hape. Lihat tuh kakak kamu, dia serius belajar. Jangan buat malu orang tua dengan ini." Mama menasehati Awsya dengan suara lantang.

Awsya tak tahu harus berkata apa. Ia pun semakin pusing dengan keadaan sekarang. Ternyata kuliah di Ekonomi itu tak seperti yang dibayangkan. Ia mulai meragukan dirinya akan sukses di kampus ini. Sebab tekanan yang datang bukan hanya dari matakuliah saja, tapi juga dari sisi batinnya. Susah baginya ketika ia terus menerus dibanding-bandingkan dengan kakaknya. Juga, ia merasa seperti tak berguna ketika melihat teman-temannya memiliki IP yang bagus.

Awsya mulai malas-malasan. Ia seperti masa bodoh dengan kuliah. Bahkan hampir setiap malam seusai shalat Isya, ia menyalakan laptop dan menonton drama korea. Dan walaupun mama sudah menasehatinya agar tidak menggunakan hape berlebihan, tapi sepertinya nasehat itu lewat begitu saja dari telinganya. Sambil nonton, jemari Awsya sibuk menari-nari di keyboard text untuk membalas pesan Whatssapp yang masuk. Dan ia terlihat mahir melakukannya.

Awsya mulai lalai seperti ini mungkin juga sebagai pelampiasannya yang telah merasa kelelahan. Lelah batinnya itu sudah cukup membuat segala semangat dan juga motivasinya terbenam tak bercahaya. Di satu sisi, ia jengkel karena orang tuanya sudah sering membandingkan dirinya dengan kak Wirda. Di sisi lain, ia juga benci terhadap dirinya sendiri karena tak mampu melalui berbagai proses perkuliahan dengan baik.

Di saat banyak hal negatif mulai merasuki pikirannya, namun ada satu kebiasaan yang tetap tak hilang darinya seiring waktu berjalan. Itu adalah rutinitasnya mengaji sehabis maghrib. Juga, kebiasaannya melaksanakan shalat Tahajjud, masih ia lakukan walaupun tak sesering sebelumnya. Kedua hal tersebut masih membuatnya dapat berpikir jernih di tengah kondisi serta situasi buruknya.

Awsya percaya, seberat apapun hari-hari yang ia lalui, berdoa pada Allah adalah cara terampuh untuk mengharap jalan keluar sembari berusaha untuk mencari solusi dari situasi buruk ini. Itulah kekuatannya. Apalagi, kedua orang tua serta kakaknya juga tak jarang mendoakan yang terbaik untuknya. Walaupun kini kedua orang tuanya sudah sering membanding-bandingkannya, tetap untuk anak perempuan kecil mereka, hanya harapan terbaik yang selalu ada di dalam hati.

Sedangkan kak Wirda, ia tetap membumi meskipun kini ayah dan mama lebih memihak kepadanya. Pasti setelah shalat fardhu, sang kakak menyisipkan doa untuk adik satu-satunya. Ia selalu berharap yang terbaik kepada Awsya. Itu karena kak Wirda memang begitu menyayangi adik satu-satunya ini melebihi apapun, meskipun pertengkaran serta perselisihankerap terjadi.

Awsya kini sudah memasuki tahun ketiga di Fakultas Ekonomi. Masih juga sama, jengkel karena bagi kedua orang tuanya, kak Wirda tetap satu langkah lebih baik dari dirinya. Kini Awsya mencoba untuk tidak menghiraukan itu. Ada pikiran positif yang terbesit dalam dirinya bahwa ia harus berusaha lebih keras lagi untuk dapat melampaui kakaknya. Persis seperti yang dilakukannya saat ia berjuang keras agar dapat lulus di Unsyiah.

Tapi, kejengkelannya itu sudah mulai bermain peran dalam pikirannya. Selalu saja ia berselisih dengan kakaknya. Memang sejak dulu perselisihan sudah sering terjadi. Tapi belakangan ini, bertengkar dan saling merajuk malah semakin menjadi-jadi. Apalagi jika Awsya sedang dalam keadaan unmood, pasti ada saja hal-hal yang berakhir dengan perselisihan.

Perbandingan memang membuat Awsya ingin menjadi lebih baik dari kak Wirda. Tapi iri terhadap sang kakak yang menurutnya lebih diistimewakan oleh ayah dan mamanya, membuatnya kian merasa seperti dianaktirikan. Namun demikian, semua situasi ini masih dalam kontrol. Mungkin, kebiasaan melakukan ibadah sunnah adalah kuncinya. Allah seperti tak ingin membiarkan Awsya kian terbawa dalam situasi buruk. Lika-liku kehidupan yang sekarang dialami oleh gadis ini semata-mata agar ia dapat mengambil sebuah pelajaran penting dalam hidupnya. Bagaimanapun situasi yang ia rasakan saat ini, keluarga adalah tempat pertama ia kembali untuk mencurahkan segala permasalahan di kampus dan juga di tempat lainnya.

Maka ada satu mimpi yang sudah sejak lama dicita-citakan oleh Awsya saat ia memutuskan untuk kuliah di Fakultas Ekonomi Unsyiah. Itu adalah, lulus tepat waktu atau sering disebut dengan istilah Cumlaude. Ya, itulah yang ia tetapkan dalam dirinya saat pertama kali menjejakkan kaki di kampus itu. Tapi gadis ini paham, untuk dapat mencapai cita-citanya itu, ia harus berusaha sungguh-sungguh. Apalagi, Awsya begitu ingin membuktikan kepada kedua orang tuanya bahwa ia bisa menjadi sebaik atau bahkan melampaui kak Wirda.

Kini, dengan janji suci terhadap dirinya sendiri, Awsya mengatakan pada dirinya untuk berjuang habis-habisan. Proses lulusnya di Unsyiah pada waktu itu, adalah motivasi nyata yang kini ia coba raih kembali. Di dalam kamarnya, Awsya menatap dirinya di hadapan cermin. Ia tatapi lama dan dalam.

"Awsya... sudah sejauh ini kamu berjalan. Ingatlah bahwa dulu kamu berjuang keras untuk dapat kuliah di Unsyiah. Sekarang Allah sudah memberi kepercayaan padamu. Maka bayarlah kepercayaan-Nya dengan usaha. Juga, bapak dan mama sudah memberi jalan kepadamu untuk kuliah di sini. Maka, banggakanlah mereka dengan caramu. Dan caramu itu adalah kuliah, perbaiki IPK, dan lulus Cumlaude. Masih ada waktu untuk menuntaskan itu. Masih ada waktu untuk memperbaiki segalanya. Lakukan Awsya... lakukan dengan caramu." Kata Awsya membatin di depan cermin.

Sejak saat itu, Awsya pun perlahan mulai menancap gas. Kini adalah waktu yang tepat untuk masa bodoh; masa bodoh dengan perbandingan; masa bodoh terhadap laju kencang teman-temannya. Fokusnya sekarang jelas; kuliah, meningkatkan IPK, serta membanggakan kedua orang tuanya dengan kelulusan Cumlaude.

Kini Awsya sudah berada di penghujung perkuliahannya. Ada satu tugas wajib yang harus ia selesaikan, yaitu skripsi. Gadis ini sudah melalui berbagai rintangan di semester-semester sebelumnya. Tekanan yang ia hadapi memang terasa berat baginya. Tapi keinginan untuk membuktikan dirinya pantas kuliah di Ekonomi, benar-benar menjadikan motivasi untuknya. Awsya juga untuk menunjukkan kepada kedua orang tuanya, bahwa ia tidak lebih buruk dari kak Wirda.

Ya walaupun memang belum ada yang berubah sampai seratus persen. Sebab, tahun lalu, kak Wirda sukses menyelesaikan studinya di FKIP Fisika. Maka Awsya sadar, ia masih harus terus berusaha untuk membuktikan dirinya memang pantas mendapat pengakuan.

Kini, Awsya sedang menggelucuti skripsi. Namun sebelumnya ia harus membuat sebuah proposal terlebih dahulu. Isi proposal tersebut tentu saja gambaran secara umu ke arah mana penelitian skripsi Awsya nantinya.

Dan dengan kesibukannya membuat proposal, Awsya kini lebih sering mampir ke perpustakaan untuk meminjam beberapa buku serta jurnal-jurnal sebagai referensi penelitiannya. Terkadang ia menghabiskan setengah hari waktunya di perpustakaan untuk membuat tugasnya itu. Maklum, suasana di pustaka memang adem ayem. Nyaman untuk membuat tugas-tugas kuliah bagi orang yang tidak suka keributan. Walaupun terkadang ada saja orang-orang yang membuat keributan di sana hingga ditegur oleh pengawas pustaka.

Selama membuat proposal, Awsya sudah empat kali menemui dosen pembimbingnya untuk konsultasi. Pasti setiap usai bimbingan, ada saja yang harus diperbaiki oleh gadis ini. Padahal, ia sudah berusaha membuat sebaik mungkin. Tapi tetap saja ada kesalahan atau ketidakcocokan dari pembimbingnya. Hal ini pun sempat membuat Awsya kembali jengkel. Tapi setiap kali ia ingin malas-malasan, pasti ia mencaci dirinya dari dalam hati.

Dasar bodoh. Kalo terus malas kapan mau buktiin ke teman-teman kalo kita ini juga hebat? Semangat dong Syaa…

Selama tiga minggu Awsya bimbingan dengan dosennya, dan setelah memperbaiki segala kesalahan di proposalnya, kini dirinya sudah diperbolehkan untuk mendaftar seminar proposal. Tercatat, hanya tiga mahasiswa saja yang sedang berusaha naik seminar. Dan salah satu dari mahasiswa tersebut adalah Awsya. Tak ada yang menyangka sebelumnya ia akan secepat ini. Maka, Awsya sadar, ini waktunya untuk terus menancapkan pedal gas. Tak ada lagi waktu bermalas-malasan. Tak ada lagi waktu untuk abai-mengabaikan.

Tepat seminggu setelah Awsya mendaftar, Awsya berhasil naik seminar untuk ia utarakan kepada para dosen penguji tujuan dari penelitian skripsinya. Tanpa ada hambatan apapun, Awsya sukses menyudahi seminar proposalnya itu dengan baik. Sebagian teman-temannya iri akan pencapaiannya itu. Karna, ia tak ingin menunggu mereka untuk setidaknya dapat seminar bersama-sama. Namun Awsya tak menghiraukan itu sebab apa-apa yang telah ia lalui jauh sebelumnya, benar-benar sebuah ujian untuknya. Dan kini, ia tau bahwa inilah titik baliknya.

Setelah seminar proposal, nasib Awsya di rumah perlahan sudah membaik. Perbandingan antara dirinya dan kak Wirda mulai menyusut. Apalagi kini kedua orang tuanya melihat sendiri bagaimana keseriusan Awsya sekarang. Kak Wirda pun juga senang melihat sang adik kini sudah kembali bersemangat. Ia hanya berharap prosesnya terus berjalan baik untuk Awsya.

Seminar proposal selesai, kini Awsya langsung melanjutkan penelitian skripsinya yang sudah mencapai bab tiga. Kedua dosen bimbingannya pun senang sebab Awsya termasuk tipe mahasiswa yang bergerak cepat. Setidaknya, ada hubungan timbal balik antara gadis ini dengan kedua pembimbingnya.

Hari-hari ia habiskan waktunya di depan layar laptop. Entah itu saat di rumah, perpustakaan, ataupun saat nongkrong bersama teman di cafe, selalu saja laptop bersamanya. Dan saat teman-teman lainnya sibuk menggosipi orang lain, Awsya memilih menyibukkan dirinya dengan merangkai kata per kata untuk skripsinya.

Namun di tengah-tengah proses penelitiannya, Awsya malah jatuh sakit. Awalnya ia demam selama tiga hari berturut-turut. Kepalanya juga pusing yang terkadang membuatnya oyong saat berjalan. Ia pun harus istirahat sejenak.

Seminggu kemudian, saat ia merasa sudah lebih baik, penyakit lain datang menghampirinya. Kini perutnya sakit tak karuan. Sulit dijelaskan, bahkan bagi Awsya sendiri sakit ini terasa sangat berbeda. Seperti ada yang salah dalam tubuhnya itu.

Awsya memang sering mengalami sakit perut sejak SMA, namun kali ini benar-benar menyiksanya. Ia bahkan tak mampu bangkit dari tempat tidur. Dua hari ia harus rela berbaring di atas ranjang sambil menahan rasa sakit di perutnya. Terkadang sakitnya hilang, namun kembali kambuh saat tengah malam tiba.

Mama khawatir dengan kondisi Awsya. Ia ingin segera anaknya dibawa ke dokter. Tapi bujukan sang mama tak berhasil meluluhkan Awsya. Gadis ini berdalih bahwa ia masih baik-baik saja dan bersikeras menolak untuk ke dokter.

Dua hari selanjutnya, kondisi Awsya membaik. Ia sudah bisa berjalan seperti biasa. Tapi kedua orang tuanya melarang Awsya untuk ke kampus. Mereka khawatir jika sewaktu-waktu sakitnya kembali kambuh. Maka, dua hari berselang, tepatnya di hari kamis, Awsya kembali melanjutkan rutinitasnya.

Selang empat hari berikutnya, segala urusannya berjalan lancar. Hingga tepat sebelum Dzuhur saat dirinya sedang bersama teman-temannya di cafe Cocomix, sakit perutnya kembali kambuh. Dengan cepat wajah gadis ini menjadi pucat, kedua tangannya terus memegangi perut.

"Sya, kenapa?" Tanya Humaira saat melihat temannya ini sudah bertingkah aneh.

Awsya tak menyahut apa-apa. Ia tak sanggup berbicara karena saking sakitnya. Matanya mulai berkedip cepat. Tak lama setelah itu, pandangannya kabur dan dengan sekejap menghitam. Gadis ini pun langsung tak sadarkan diri. Kepalanya terbentur meja.

Bruukk!!!

Keras!!!

Hingga teman-temannya dan bahkan beberapa pengunjung lainnya terkejut mendengar suara benturan itu.

Beruntung, Humaira yang duduk tepat di sebelah Awsya langsung meraih tubuhnya agar tidak tersungkur ke lantai. Dengan panik, ia meminta tolong beberapa teman lainnya untuk menggotong Awsya ke dalam mobil. Kebetulan mereka semua ke Cocomix menggunakan mobil Jenny. Tanpa berlama-lama mereka langsung membawa Awsya ke klinik terdekat.

Pukul empat sore, Awsya mulai siuman. Dengan perlahan ia membuka matanya dan melihat ke sekitar. Ia melihat di sebelahnya sudah ada mama dan kak Wirda. Wajahnya masih pucat, hembusan napasnya juga masih terlihat lemah. Tak lama setelah itu seorang perawat wanita datang dan menghampiri Awsya. Ia memegangi dahi gadis itu, entah untuk apa tujuannya. Dan tak lama setelahnya, ayah Awsya juga masuk ke ruangan di mana anak gadisnya dirawat.

Terlihat setelah beberapa menit Awsya sadarkan diri, perutnya kembali sakit, namun tak separah sebelumnya. Tapi dengan kondisi lemas seperti ini, benar-benar membuatnya menderita.

Malamnya, setelah dokter datang melihat kondisi Awsya, gadis ini pun sudah diperbolehkan pulang. Namun dokter memberi saran kepada ayah Awsya agar ia segera dibawa ke rumah sakit untuk dilihat keadaan dalam tubuhnya.

Keesokannya, sang Ayah mengurus segala perlengkapan di rumah sakit karena Awsya akan segera di-rontgen atas saran dokter kemarin, dan sore harinya hasil rontgen-nya sudah siap. Ayah Awsya segera menjumpai Hadi, dokter yang menangani anaknya.

"Pak Akbar, ini hasilnya." Kata dokter Hadi.

"Ada dua bulatan yang mengganjal di perut anak bapak. Itu yang menyebabkan perutnya sakit." Lanjut dokter Hadi.

"Apa ada cara untuk menghilangkan dua bulatan itu, dokter?" Tanya ayah awsya.

"Sulit pak. Saya sudah mendalami penyakit ini bersama asisten saya, bulatan itu lama kelamaan akan terus membesar. Maka sebaiknya dilakukan operasi saja." Jelas dokter Hadi.

"Begitu ya..."

"Jika memang anak bapak menolak, maka saya sarankan untuk sering-sering minum jamu. Atau air jeruk nipis juga bisa. Sekalian saya kasih obat anti nyerinya. Tapi saya menyarankan untuk dioperasi... dua bulatan itu."

"Saya akan jelaskan ini kepada anak saya. Semoga dia mengerti." Kata ayah Awsya.

Sang ayah pun langsung bergegas menuju rumah. Kini kepalanya dipenuhi beban. Awsya sakit dan harus dioperasi jika ingin sembuh total. Dan biayanya juga tentu tidak sedikit.

Sesampainya di rumah, ayah Awsya berdiskusi dengan mama. Serius dan butuh banyak pertimbangan untuk mengambil tindakan ini.

"Jadi bagaimana menurut mama?"

"Jika memang sudah disarankan ya apa boleh buat, yah. Yang penting bagi mama sekarang adalah Awsya. Uang... mama yakin pasti cukup. Tapi kita bisa sedikit berhemat setelah itu." Jelas mama.

Setelah diskusi panjang lebar, akhirnya keduanya sepakat agar Awsya dioperasi. Mereka lalu menjelaskan semuanya kepada Awsya. Dan ternyata gadis ini menolak mentah-mentah. Bagi wanita ini, pasti akan butuh waktu yang lumayan lama untuk pulih pasca operasi. Dan ini tentunya menghambat segala aktivitasnya termasuk proses skripsinya.

"Lebih baik jangan, ma. Pokoknya Awsya ga mau." Kata gadis ini.

"Sya, kalau kamu tidak dioperasi, sakit perutmu itu akan kembali kambuh."

"Tapi kan tadi ayah bilang, kalau ga dioperasi, gantinya ya dengan minum jamu atau air jeruk nipis. Insya Allah Sya baik-baik aja, kok..."

"Tolong ngertiin Awsya, ma, yah. Ini sedikit lagi lho... skripsinya. Kalo nanti Sya operasi, pasti akan tertunda lama. Karna, sulit sebenarnya untuk mengulang semua dari awal lagi. Sekarang Awsya sedang dalam motivasi tinggi. Jadi menurut Sya... ini sedikit lagi dan pasti akan Sya siapkan tepat waktu."

Berbagai penjelasan diutarakan oleh Awsya untuk meyakinkan kedua orang tuanya. Dan setelah saling beradu argumen, akhirnya ibu dan ayahnya mengalah. Lagipula mereka percaya, pilihan Awsya Insya Allah tepat.

"Boleh kalau kamu tidak mau operasi, tapi rutin minum obat dan jamu atau air jeruk nipis. Besok pagi kita kembali ke dokter Hadi untuk diperiksa lagi keadaan kamu." Kata ayah Awsya.

"Baik, yah..." Sahut Awsya.

Seminggu setelahnya, Awsya kembali ke kampus untuk menjumpai dosen pembimbingnya. Sebelumnya ia dilarang untuk ke kampus oleh ayah dikarenakan ia pingsan beberapa waktu lalu. Semua untuk berjaga-jaga saja agar kondisi Awsya benar-benar fit setelah sempat drop.

Kini dirinya rutin meminum air jeruk nipis, sesuai dengan yang disarankan oleh dokter Hadi. Sehari, Awsya harus minum air tersebut dua kali. Terkadang jika ia merasa ada tanda-tanda untuk kambuh, ia mengonsumsinya sebanyak tiga kali sehari.

Pukul sembilan, Awsya sudah berada di prodi untuk menemui pak Didy, dosen pembimbing satu Awsya. Lima belas menit ia menunggu dosennya itu di prodi, hingga tak lama kemudian beliau pun tiba.

"Maaf agak telat ya. Ada sedikit keperluan tadi. Bagaimana keadaanmu, Sya?"

"Sudah baik pak, Alhamdulilah." Sahut Awsya.

"Dengar Awsya, sejauh ini kamu sudah melakukan sebuah pekerjaan hebat. Saya tidak pernah memaksa kamu untuk mengejar target. Maka, jangan paksakan diri sendiri. Lagipula, ayah kamu sudah menjelaskannya pada saya. Jadi, saya paham dengan kondisi kamu sekarang." Kata pak Didy.

"Iya pak, sekarang saya kerja semampunya aja." Jawab Awsya.

Pak Didy mempersilahkan Awsya masuk ke ruangannya. Di sana mereka membahas serius skripsi gadis ini. Terlihat, pembimbingnya ini banyak menuliskan sesuatu di skripsi Awsya menggunakan pulpen merah.

“Yang di bagian ini, kamu harus mempertegas pernyataan kamu. Tambahkan saja tiga atau lima sumber lagi. Search saja di Google, atau kamu bisa pinjam buku di pustaka.” Ujar Pak Didy.

Awsya mengangguk dan tidak menyanggah satu kata pun. Dosen tersebut melanjutkan tugasnya.

“Oke Sya. Jadi tugas kamu sekarang, perbaiki lagi ini. Tambah references. Dan dua hari ke depan temui saya lagi. Setelah itu, kamu langsung penelitian. Bisa ya?”

“Bagaimana kalo tiga hari pak? Awsya tersenyum sekaligus agak takut saat ia bertanya.

“Mmm… bolehlah. Karna lumayan banyak juga yang harus kamu perbaiki. Oke kalo begitu. Good luck ya. Ingat jaga kesehatan.” Tutup Pak Didy.

Tugas selanjutnya adalah melakukan penelitian. Ini adalah bagian yang sangat menguras tenaga dan juga pikiran di dalam skripsi. Apalagi Awsya harus menemui beberapa orang sebagai narasumber untuk diwawancarai.

Walaupun kedua orang tua Awsya dan bahkan dosen pembimbingnya sudah meminta dirinya untuk tidak memaksakan diri setelah sakit yang dideritanya, tapi gadis ini tetap tak menghiraukannya. Keras kepala yang ada dalam dirinya benar-benar sulit untuk dijinakkan. Seolah-olah kejadian dirinya pingsan beberapa waktu lalu benar-benar tidak terjadi.

Hal ini seperti mengulang kembali cerita lama Awsya ketika ia menghabiskan banyak waktu untuk belajar hanya agar dirinya bisa lulus di kampus impiannya. Kini, ia juga melakukan hal yang sama lagi. Malam disisihkan hanya untuk membuat skripsinya. Hampir setiap malam dirinya begadang. Awsya begitu terobsesi untuk menyelesaikan skripsinya ini.

Terkadang di waktu-waktu tertentu sakit perutnya kambuh, seringnya saat tengah malam ketika dirinya sibuk dengan skripsi. Tapi, saran dokter Hadi tak pernah ia abaikan. Awsya yakin, sesuatu yang sakit harus dilawan dengan keyakinan untuk sembuh pula.

Setiap pagi Awsya menemui narasumber. Sebelumnya antara gadis ini dan narasumber sudah membuat perjanjian untuk bersedia menjadi pemberi informasi sebagai data skripsi dirinya. Berbagai persiapan wawancara ia persiapkan dengan matang. Mulai dari list pertanyaan, buku kosong untuk mencatat hal-hal penting, juga hapenya untuk merekam agar informasi yang ia terima lebih akurat.

Setiap hari Awsya mewawancarai dua dari sepuluh orang narasumber. Dengan mewawancari dua orang saja sudah menghabiskan waktu setengah hari. Dan setelah shalat Dzuhur, Awsya langsung mengolah data-data yang ia dapatkan dari para narasumber. Hari Jumatnya, Awsya memutuskan untuk tetap rutin berkonsultasi dengan pak Didy serta bu Riska, pembimbing keduanya, agar data yang telah ia tuliskan tidak amburadul. Jika pun ada kesalahan, langsung terlihat dan akan segera diperbaiki. Jadi tidak berbelit-belit dan juga rumit. Namun, perlahan tapi pasti Awsya sudah memenuhi bab empat dengan kumpulan paragraf.

Sangat melelahkan bagi Awsya memang. Jika biasanya setelah shalat Isya ia menyempatkan diri menonton drama Korea, kini waktu menontonnya harus diabaikan dulu. Ada skripsi yang lebih penting untuk dikerjakan.

Tiga bulan waktu berlalu. Di hari senin Awsya sibuk bolak-balik ke kampus, seorang diri. Tepat jam sepuluh pagi, ia menemui kedua dosen bimbingannya di kampus, namun di tempat terpisah.

"Awsya, semoga beruntung..." Kata Bu Riska selaku dosen pembimbing keduanya.

"Terima kasih, bu Riska." Sahut gadis ini dengan senyuman ceria.

Tak lama setelah itu, Awsya langsung bergegas menuju ruangan pak Didy. Di sana, beliau sudah lebih dulu menanti wanita ini.

"Maaf pak, saya sedikit telat. Tadi baru saja jumpa dengan bu Riska." Kata Awsya.

"Santai saja Sya. Sini, coba saya cek..." Sahut pak Didy.

"Oke, semua sudah clear. Mulai hari ini kamu langsung urus semua berkas untuk sidang. Jangan ditunda lagi." Lanjut pak Didy.

Awsya pun sangat bahagia mendengar kabar ini.

"Terima kasih pak..." Sahut Awsya.

"Oh iya, satu hal yang penting, Awsya. Jaga kesehatan sebelum sidang tiba."

"Pasti pak." Lanjut Awsya.

Butuh waktu lebih dari seminggu bagi Awsya untuk menunggu jadwal sidangnya. Ya, gadis ini sudah tiba di ujung perjalanan kampusnya. Tapi, mengenai sidangnya, ia belum mengabari teman-teman lainnya. Sepertinya Awsya sengaja diam-diam agar terkesan surprise.

Dua hari setelahnya, barulah jadwal ujiannya keluar. Seketika jantungnya berdebar tak karuan. Betapa tidak. Sidang adalah ujian akhir, lulus ataupun tidaknya seorang mahasiswa ditentukan dari sidang ini.

Awsya mencoba melawan rasa takutnya,

"Sya... tenang. Jangan panik, jangan panik, jangan panik. Syaaa jangan paniiikk!!!". Batinnya berteriak dari dalam.

Keesokan harinya, Awsya langsung menghubungi teman-temannya bahwa pada hari kamis, ia akan mengikuti sidang. Sontak mereka semua tak percaya. Secepat inikah Awsya membuat skripsi? Sedangkan dua teman lainnya, Jenny dan Giovanny, masih saja berbelit-belit di bab empat.

Tapi Awsya tak menghiraukan rasa tidak percaya teman-temannya. Ia tetap mengundang mereka untuk hadir di sidang skripsinya. Ujian akan dimulai hari kamis, tentu masih ada waktu sekitar dua hari bagi Awsya untuk mempersiapkan semuanya termasuk membuat Power Point.

Tepat di hari kamis pukul 10.00, Awsya melaksanakan sidang skripsinya. Terlihat dari dalam ruangan ujian tersebut, hadir lima orang dosen. Dua sebagai pembimbingnya sisanya sebagai penguji. Sidang dilakukan secara tertutup, dengan begitu teman-temannya tidak diperbolehkan masuk. Maka mereka hanya menunggu di luar ruangan saja.

Awsya mempresentasikan hasil penelitiannya dengan baik walaupun sempat mendapat kesulitan terhadap dua pertanyaan yang diajukanoleh salah satu penguji. Tapi bu Yuni, yang juga penelaah skripsi Awsya, terkesima dengan cara gadis ini menjelaskan setiap datanya. Di ujung sidang, beliau memuji gadis ini.

"Saya jujur, senang melihatmu menjelaskan isi skripsimu dengan baik. Tenang, tidak lari dari topik, dan yang pasti singkat serta akurat. Jarang ada mahasiswa mempresentasikan skripsinya sebaik ini. Kamu... hampir sempurna." Puji Bu Yuni.

Pak Daud selaku penguji kedua juga mengungkapkan hal yang sama.

"Awsya... Power Point dan penjelasan kamu sejalan." Kata pak Daud.

Sedangkan satu penguji lagi, pak Ikhsan, tidak terlalu ingin menyanjung Awsya berlebihan. Ia malah memberikan saran untuk gadis ini bahwa kehidupan di luar perkuliahan lebih berat.

"Yang saya ingin sampaikan adalah, ini bukanlah akhir. Kalau saya boleh menyarankan, lanjutlah terus ke jenjang S2. S1 ini, sekarang bukan apa-apa lagi. Maka selagi ada waktu, selagi kamu masih muda, saya harap kamu tidak berhenti sampai di sini saja." Ujar pak Ikhsan.

"Baiklah, mengingat waktu juga sudah habis. Sebelum sidang ini ditutup, kami selaku dosen Fakultas Ekonomi, Bu Yuni, pak Daud serta pak Ikhsan selaku penguji. Saya dan bu Riska sebagai pembimbing skripsi, mengucapkan selamat kepada Fitri Awsya yang sudah melaksanakan sidang skripsi dengan lancar. Kita semua tahu, selama proses pembuatan skripsi ini, Awsya sempat jatuh sakit dalam waktu yang lumayan lama, bahkan sempat harus diminta untuk dioperasi. Tapi semangat juangnya Awsya patut kita acungi jempol bapak-bapak dan ibu-ibu sekalian. Awsya adalah mahasiswi pertama dari leting 2015 yang meyelesaikan studinya tepat waktu. Sekali lagi, Awsya selamat atas pencapaian ini. Kerja bagus." Kata pak Didy sekaligus memuji Awsya.

Di dalam ruangan sidang itu, tanpa disadari Awsya menitikkan air mata. Ia seolah tak percaya jika dirinya sudah lulus. Satu per satu ia menyalami dosen yang berhadir di ruangan sidang sambil jari telunjuk serta jempol kanannya bergantian menghapus air mata yang sudah banjir di pipinya.

Tak lama setelah itu, para dosen meninggalkan ruangan sidang. Dan teman-teman Awsya langsung menghampirinya yang masih berada di dalam. Rasa bangga jelas terlihat dari wajah mereka walaupun juga ada beberapa yang merasa iri dengan capaian Awsya ini. Tapi siapa yang peduli, euforia ini seakan meluap begitu saja.

Seperti atlet yang berhasil meraih medali emas, mereka merayakannya dengan suka cita. Perayaan yang tidak boleh tertinggal tentu saja berfoto di halaman depan kampus Fakultas Ekonomi. Memang sudah menjadi tradisi bagi sebagian besar mahasiswa Ekonomi, yang setelah sidang dilaksanakan, mengabadikan foto di halaman depan adalah wajib.

Satu bulan berselang, tepatnya di bulan Agustus, Awsya bersama para lulusan lainnya melaksanakan upacara wisuda yang diselenggarakan di gedung AAC Dayan Dawood. Para lulusan terbaik, mendapatkan perlakuan istimewa dari rektor Unsyiah dengan mengundang kedua orang tua untuk melihat langsung penganugerahan ijazah oleh rektor kepada anak-anak mereka.

Lulusan terbaik biasanya juga akan dipanggil dengan cara istemewa pula, yaitu ditambah dengan penyebutan 'cumlaude’, atau lulus dengan pujian. Dan setiap mahasiswa yang dipanggil namanya dengan sebutan itu, pasti akan disambut dengan bersorak sorai ceria. Ya... itulah yang membuat suasana wisuda semakin bermakna bagi setiap orang, apalagi bagi lulusan cumlaude.

Kedua orang tua Awsya duduk di kursi paling depan. Wajah mereka menunjukkan betapa tidak bisa bahagianya lagi mereka. Melihat Awsya wisuda merupakan salah satu kebahagiaan yang luar biasa bagi keduanya.

Sedangkan Kak Wirda senantiasa menanti Awsya di luar. Sebab undangan hanya diberikan untuk kedua orang tua saja.

Semua telinga kini mendengar seorang moderator memanggail Awsya untuk menerima ijazah dari rektor.

"Selanjutnya, Fitri Awsya, Mahasiswi Fakultas Ekonomi, Putri dari bapak Akbar Ilham dan ibu Ika Syarbani, menyelesaikan masa studi selama tiga tahun delapan bulan serta meraih IPK akhir 3.60. Lulus dengan predikat cumlaude!!!"

Semua yang berhadir di dalam gedung AAC bertepuk tangan untuk Awsya.

Beriringan dengan dipanggilnya Awsya, ia berjalan melalui keramaian, menaiki panggung, selangkah demi selangkah dirinya pun tiba tepat di hadapan pak rektor. Pak Rizal selaku rektor Unsiah langsung memberikan ijazah serta sebingkis cendra mata untuk Awsya yang telah lulus dengan pujian.

Awsya pun kembali ke tempat duduknya. Di sana ia melihat isi ijazahnya, betapa bahagianya gadis ini melihat fotonya terpampang jelas di sana. Dan lagi tanpa ia sadari, ia kembali menitikkan air matanya.

Setelah acara wisuda tersebut, Awsya bersama keluarganya langsung mengabadikan momen langka ini di halaman depan gedung AAC. Betapa bahagianya keluarga kecil ini, terutama tentu saja ayah dan mamanya. Mereka melihat sendiri bagaimana perjuangan putrinya ini melalui segala rintangan. Tapi yang jelas, doa mereka telah menjadi sebuah dorongan bagi Awsya untuk terus termotivasi menaklukkan hari-hari yang terlihat sulit baginya.

Dimulai dari mimpinya menjadi seorang dokter, berbagai usaha telah ia lalui untuk dapat mewujudkan cita-cita masa kecilnya. Tapi ia harus menerima kenyataan bahwa memang tidak ada sedikitpun celah baginya untuk menitik karir di dunia kedokteran.

Dan di saat Awsya harus melihat teman-temannya sudah mulai menjejakkan kaki di kampus, seolah tak ingin tertinggal dari mereka, memantapkan lagi usahanya demi meraih cita-cita walaupun harus berakhir di sebuah fakultas Ekonomi.

Tapi Awsya memang terlahir kuat — kuat batinnya untuk menghadapi segala rintangan — kuat dirinya untuk menerima sesuatu yang sama sekali tak diharapkannya. Dan atas dasar itu pula, Awsya senantiasa memanjatkan doa kepada Tuhan hingga mewarnai gelap malamnya, menerangi batinnya dari kegelapan, menghidupkan lagi cahaya harapannya untuk terus berjuang.

Hanya ada satu rahasia Awsya untuk dapat melalui semuanya ini. Ya, ia selalu menyisihkan waktu malam dan melawan rasa kantuknya untuk mengetuk pintu langit. Hingga Awsya berhasil melawan segala keraguan di dalam dirinya, termasuk melawan rasa sakit perutnya yang telah ia derita sejak masih duduk di SMA.

Awsya memulai dunia perkuliahannya sebagai seorang yang kalah. Tapi kemudian menyelesaikannya sebagai pemenang dengan mengukir sebuah tinta “emas” di ijazahnya sebagai lulusan dengan predikat cumlaude.

"Yang tercinta, mama dan ayah. Inilah ujung cerita perkuliahan Awsya. Berakhir tepat di angka 7 Agustus 2019."

TAMAT!

Baca juga: Mengetuk Pintu Langit: Part I. Universitas Impian Awsya

--

--

Reza Fahlevi
Reza Fahlevi

No responses yet