Mengetuk Pintu Langit

Reza Fahlevi
10 min readSep 26, 2020

--

Part I

Universitas Impian Awsya

Foto oleh: breaking reza

“Siswa -siswi yang kami banggakan, sebagaimana kalian ketahui hari ini adalah hari penentuan kalian sebagai siswa kelas tiga. Hari ini akan menjadi awal langkah baru kalian. Saya selaku kepala sekolah SMA Negeri 5 Banda Aceh, memahami betul perjuangan kalian selama tiga tahun di sini. Dan hari ini saya sangat bangga terhadap kalian semua karena telah mencapai hasil yang sangat memuaskan. Alhamdulillah, puji syukur kepada Allah, semua kalian dinyatakan lulus seratus persen. Selamat atas capainnya.” Ujar Kepala Sekolah SMA negeri 5 Banda Aceh tersebut.

Sontak semua siswa larut dalam kesenangan. Ada yang saling memeluk, menangis, bersorak sorai hingga sujud syukur kepada Tuhan. Beberapa datang dan menyalami guru-guru mereka sebagai bentuk terima kasih kepada para guru yang telah dengan sabar menghadapi segala tingkah laku mereka selama tiga tahun.

Beberapa dari tenaga pengajar tak sanggup menyembunyikan haru, terlepas begitu saja luapan tangisan mereka.

“Selamat ya nak. Lanjutkan cita-citamu. Jangan berhenti sampai di sini saja.” Kata seorang guru kepada salah satu siswa.

Di balik larutan bahagia itu, Awsya sibuk dengan ponselnya. Jemarinya terus menerus mencari kontak mamanya. Tak sabar ingin segera mengabarkan kepada orang tuanya bahwa kini ia sudah resmi lulus sebagai siswa.

Assalamu’alaikum, maa… Awsya lulus. Awsya lulus maa…” Ujarnya.

Alhamdulillah ya Allah. Selamat ya, nak.” Jawab mama Awsya melalui handphone.

Setelah berbincang sejenak dengan mamanya melalui hp, Awsya buru-buru menyalami gurunya satu persatu. Tak lupa pula ia memeluk hangat sahabat-sahabatnya.

“Awsyaa… kita lulus…” Ujar Rani.

“Iya… selamat untuk kita ya.” Balas Awsya.

Tak lama setelah itu, Awsya pun kembali ke rumah dan langsung menemui keluarganya. Ini adalah kebahagiaan yang mungkin sulit untuk dijelaskan dengan kata-kata. Mungkin, hanya mampu digambarkan dari senyuman saja.

Beberapa bulan setelah pengumuman kelulusan, Furqan masih saja sibuk kembali ke sekolah. Tentu setelah kelulusan, ada banyak yang harus diselesaikan lagi terutama bagi mereka yang hendak melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi.

Furqan baru saja dinyatakan lulus di Universitas Syiah Kuala, salah satu universitas tertua di Aceh dan juga kampus terfavorit bersama dengan UIN Ar-Raniry.

“Hei Furqan, sedang apa di sini?” Tanya Awsya yang tiba-tiba hadir di hadapannya.

“SKHU, biasa, kan perlu untuk pengurusan di kampus.” Sahut Furqan.

“Oh iya, kamu tes di mana?” Tanya lagi Awsya.

“Aku Alhamdulillah sudah lulus di FKIP, Sya.” Jawab lelaki itu.

“Oh ya? Cepat ya. Kapan ujiannya?”

“Aku tidak ujian. Aku ikut jalur undangan, mungkin kebetulan aja aku lulus, ha ha ha.”

“Oh begitu ya.”

“Kamu sendiri Sya?” Tanya Furqan balik.

“Aku masih menunggu jadwal ujian. Semoga saja lulus.”

“Iya semoga. Kamu lanjut di mana?”

“Kedokteran…” Jawab Awsya tertawa.

“Wow, hebat. Semoga sukses ya.”

“Terima kasih.”

Seperti kebanyakan teman-teman lainnya. Awsya bermimpi untuk dapat kuliah di Universitas Syiah Kuala. Memang dari segi kualitas, kampus yang biasa disingkat Unsyiah ini adalah yang terbaik di Aceh. Lagipula, kini Unsyiah baru saja dilabeli sebagai kampus dengan akreditasi A.

Dan di Aceh, baru kampus ini saja yang sudah mendapat akreditasi tertinggi. Mungkin yang terdekat saat ini hanya UIN Ar-Raniry. Maka tak jarang saat para siswa yang baru saja lulus sekolah, mereka pasti lebih memprioritaskan kuliah di Unsyiah.

Untuk kuliah di Unsyiah, ada beberapa jalur yang dapat ditempuh seperti jalur undangan serta jalur tes yaitu SBMPTN ataupun UMB.

Awsya sejak dulu begitu ingin kuliah di Unsyiah. Entah apa yang membuatnya begitu tertarik dengan kampus itu. Ia bercita-cita menjadi dokter, dan ingin sekali baginya untuk dapat menimba ilmu di kampus kedokteran.

Dengan keseriusannya, ia berusaha giat untuk lulus dengan belajar sungguh-sungguh. Dalam pikirannya jelas bahwa dia pasti dapat meraih cita-citanya tersebut. Terlebih lagi, tak ada yang meragukan kerja keras Awsya selama ini. Ia belajar dan belajar.

Beberapa minggu kemudian, hari pengumuman tiba. Banyak pesan singkat dari teman-teman Awsya masuk ke ponselnya, bertujuan menanyakan hasil ujian wanita ini. Walaupun tak jarang pula sebagian dari teman-temannya hanya memberikan kabar bahwa mereka lulus agar semua orang tahu.

Awsya tidak terlalu menghiraukan ponselnya. Ia dengan sabar menanti di depan layar laptop. Maklum, pagi ini koneksi internet sedikit lambat. Hal inilah yang menjadi penyebab Awsya tidak bisa membuka hasil pengumuman melalui laman web.

Tapi ia sabar menanti. Sedikit optimis namun juga harap-harap cemas. Sepuluh menit kemudian, Awsya berhasil masuk ke beranda web. Dengan segera ia meng-klik bagian pengumuman. Ia pun membaca dengan seksama isi pengumuman tersebut.

“Dengan tanpa mengurangi rasa hormat, saudari Fitri Awsya dinyatakan tidak lulus seleksi tahap awal.”

Awsya pun menggenggam kedua tangannya. Ia menatap mamanya yang sepertinya memiliki harapan besar terhadap anaknya ini. Itu tampak jelas dengan senyuman tipis dari bibir mama Awsya.

“Gimana hasilnya, nak?” Tanya mamanya.

Dengan menarik napas dalam Awsya pun menjawab,

“tidak lulus, ma.” Jawabnya yang kini matanya menatap ke arah laptop.

Raut wajah kecewa jelas menggambarkan suasana hati Awsya saat ini. Betapa tidak, ia sudah berusaha keras untuk dapat mewujudkan cita-citanya. Siang malam matanya sibuk menatap sebuah buku tebal yang isinya adalah kisi-kisi soal tes di perguruan tinggi.

“Sudahlah Awsya, ini hasil yang harus kamu terima. Jika masih ada kesempatan di lain waktu, mama kira kamu boleh ikut tes lagi.” Ujar mamanya.

“Iya ma…” Sahut Awsya.

Tiga minggu sejak hari pengumuman itu, Awsya masih rajin menanti informasi lanjutan terkait jalur lainnya yang mungkin akan kembali dibuka oleh Unsyiah.

Saat sedang memantau web Unsyiah, Awsya mendapat kabar bahwa kampus tersebut akan kembali membuka tes, kali ini melalui jalur UMB.

Ia pun membaca dengan seksama segala persyaratan hingga besaran SPP yang harus dilunasi jika nantinya Awsya lulus. Wanita ini memang awalnya lega karena masih ada satu jalur tersisa untuk dapat mengikuti tes di Unsyiah. Namun ia juga sedih lantaran biaya SPP yang begitu tinggi. Bayangkan saja, jika lulus, maka biaya kuliah yang harus dilunasi dimulai dari lima juta ke atas.

Maka dapat diperkirakan berapa banyak yang harus Awsya keluarkan jika ia lulus di kedokteran. Kuliah di jurusan tersebut bukanlah asal-asalan. Setidaknya, setiap mahasiswa yang kuliah di sana harus siap merogoh kocek besar-besaran bahkan sampai mental juga harus kuat.

Padahal, di lain sisi, ia juga bisa saja melihat peluang dari kampus UIN yang kebetulan banyak menerima mahasiswa baru. Baru-baru ini, kampus tersebut banyak mendirikan fakultas baru yang mana sebagian besarnya masih belum memiliki alumni. Dan kiranya Awsya ingin mengambil peluang tersebut, bisa saja ia lulus dan melanjutkan studinya di perguruan tinggi.

Namun, di UIN, belum ada kampus kedokteran yang dibuka. Oleh karena keinginan besar Awsya adalah kuliah di kedokteran, mungkin itu menjadi alasan bagi dirinya untuk hanya fokus di Unsyiah saja.

Maka, dengan adanya info jalur UMB itu, Awsya harus menanyakan telebih dahulu kepada orang tuanya perihal jalur tes tersebut. Dalam hatinya, jelas ia sangat ingin mengikutinya.

“Jika kamu memang serius mau ikut, maka coba saja. Mana tau nanti rejekinya kamu.” Kata ayah Awsya.

“Tapi yah, SPP-nya besar. Jangankan SPP, biaya pendaftarannya pun juga besar.” Sahut Awsya.

“Sudahlah, kalo uang nanti bisa ayah carikan. Sekarang semua hanya di kamu. Kalau kamu ada keinginan besar, maka dukungan ayah lebih besar dari itu.” Ujar sang ayah.

Mungkin ayah Awsya tau bahwa anaknya ini memang sangat ingin kuliah seperti teman-temannya. Apa-apa yang dikatakan oleh ayahnya juga itu sebagai bentuk dukungan kepada Awsya.

Dan oleh karena itu pula, Awsya menuruti perkataan sang ayah. Bulan depan ia akan kembali bertempur dengan soal-soal. Dan kali ini ia pastikan, kerja kerasnya harus lebih besar lagi.

Sebulan sebelum tes benar-benar diisi dengan kerja keras. Awsya rela membeli beberapa buku panduan untuk membantunya dalam segala persiapan. Ia jadikan teman-teman yang sudah lebih dulu lulus, sebagai motivasinya.

Bahkan kini waktu malamnya lebih dihiasi dengan lantunan-lantunan doa kepada Sang Kuasa. Pasti saat tengah malam tiba, dengan mata yang masih terkantuk-kantuk, ia paksakan dirinya untuk melaksanakan shalat Istikarah. Bibirnya senantiasa khusyuk memohon kepada Allah.

Kakak Awsya yang juga sering terjaga di malam hari untuk melaksanakan shalat Tahajud, seolah-olah menjadi saksi bagaimana perjuangan sang adik dalam berusaha mewujudkan mimpinya.

Rutinitas ini terus menerus dilakukan oleh Awsya bahkan saat ia sudah selesai mengikuti tes. Awsya tak ingin melewatkan satu waktu pun dengan sia-sia tanpa berdoa pada Sang Khalik.

Hingga waktu kian berjalan dan kini tiba saatnya hari pengumuman. Awsya menjadi sangat gugup, jantungnya berdegup kencang, bahkan telapak tangannya terlihat pucat. Tapi ia mencoba setenang mungkin walaupun ia tau itu tak ada gunanya.

Matanya senantiasa melirik layar laptop sambil menunggu jaringan yang kali ini lebih lambat dari sebelumnya. Bahkan Awsya harus beberapa kali me-refresh situs pengumuman tersebut karena saking seringnya eror.

‘Tiik tiiik tiiik’

Sebanyak tujuh kali mungkin jemarinya berulang kali bermain di tombol enter, me-reload situs tersebut hingga untuk yang ke delapan kali akhirnya ia berhasil masuk ke laman pengumuman. Seraya melantunkan bismillah, Awsya mulai men-scroll ke bawah dan ia baca dengan seksama isi pengumuman tersebut.

Tak lama setelah itu, ia memejamkan kedua matanya. Terlihat air mengalir dari sudut-sudut bola matanya. Awsya harus menerima kenyataan untuk kedua kalinya ia gagal lulus seleksi.

Ia pun mencoba menarik napas dalam agar dirinya kembali tenang. Tapi percuma saja, Awsya sudah larut dalam kesedihan. Sang kakak pun datang dan memeluknya.

“Sudah, tak apa. Kamu hebat kok sudah berusaha sejauh ini.” Kata kakak Awsya yang mencoba menenangkan adiknya itu.

Tapi memang sulit bagi Awsya, sebisa mungkin ia mencoba mengontrol dirinya agar tidak berlarut-larut seperti itu. Mungkin satu-satunya yang dapat ia kendalikan adalah, Awsya tidak menangis terisak-isak di depan keluarganya. Sudah cukup keras ia usahakan agar tidak seperti itu.

“Jangan nangis dong. Katanya kuat.” Hibur sang kakak yang biasa dipanggil Wirda.

“Enggak kok, ini masih strong. Ya kan, ma…” sahut Awsya sambil tersenyum.

“Yang penting jangan putus semangat, oke…” kata kak Wirda.

“Sip kak.” Jawab Awsya sambil mengusap air matanya.

Bulan September adalah permulaan kuliah bagi mahasiswa baru Unsyiah. Awsya dengan lapang dada harus menerima kenyataan tidak bisa mengikuti jejak teman-temannya. Walaupun ia ikut bahagia karena banyak teman baiknya semasa di sekolah kini sudah menapakkan kaki di perguruan tinggi. Ada di Unsyiah, UIN bahkan di beberapa kampus swasta. Awsya hanya sedih melihat dirinya menganggur.

Terkadang ia merasa malu saat berkumpul duduk bersama teman-temannya di sebuah cafe, yang mana semua dari mereka kini sudah pada kuliah. Awsya pun seakan tak tau harus menjawab apa saat teman-temannya bertanya padanya perihal kuliah.

“Sya sekarang kuliah di mana?” Tanya Jinny.

“Ahh, ha ha ha, Sya sekarang lagi gak kuliah.” Jawab Awsya.

Loh, kenapa kok gak kuliah? Padahal banyak lho jalur tes yang dibuka.” Kata Jinny.

“Iya lho Sya. Kok kamu gak ikut tes sih? Kan kalo gak lulus masih ada jalur lainnya. Sekarang udah mudah kok.” Kata Ica yang ikut-ikutan menambah seperti Jinny.

Awsya hanya tersenyum saja sambil sesekali ia menjawab pertanyaan tidak penting itu sebisa mungkin.

“Sya ada kok ikut. Di kedokteran Unsyiah waktu itu. Tapi belum rejeki mungkin.” Jawab Awsya.

Yahh, kok ambil kedokteran sih. Itu berat Sya. Harusnya kamu ambil jurusan lainnya.” Kata Jinny lagi.

“Lagian, kamu sih sok-sokkan mau kuliah di kedokteran. Harusnya ambil yang sesuai kemampuan dong.” Lanjut teman lainnya yang bernama Vonna.

Dan lagi-lagi Awsya hanya tersenyum saja mendengar ocehan mereka. Terlihat dari tingkahnya, ia sudah tak nyaman untuk duduk berlama-lama di Cocomix itu.

“Tapi tak apalah. Awsya sudah berusaha kok. Ya kan Sya. Tahun depan pasti dibuka lagi tuh, Insya Allah jadi rejekinya Awsya.” Ujar Rani.

Sepertinya hanya Rani seorang yang memahami kondisi Awsya saat ini. Di saat situasi buruk yang sedang dialami oleh wanita ini, tentu sebenarnya hanya dukungan yang diperlukan oleh Awsya. Bukan malah makin menyalahkannya karena tidak lulus tes.

Sepulangnya dari Cocomix, Awsya langsung mandi dan bersiap-siap melaksanakan shalat Maghrib. Rutinitasnya setelah itu adalah mengaji. Dan syukurnya, walaupun kini batin Awsya sedang menurun drastis, tidak membuat dirinya meninggalkan rutinitas tersebut. Bagi wanita ini, mengaji dapat membuat suasana hatinya menjadi lebih tenang. Begitulah.

Dan setelah mengaji, ayah Awsya menemuinya di kamar. Ia menyarankan agar Awsya mau mengisi waktu kosong ini dengan kuliah di sebuah kampus swasta. Awalnya Awsya bimbang, tapi karena bujukan sang ayah dan juga mamanya, akhirnya ia pun membulatkan tekad.

Maka, selama bulan September ini, ia disibukkan dengan segala perlengkapan administrasi sebagai persyaratan pendaftaran kuliah. Bulan depannya, ia kembali mengikuti tes tulis.

Kali ini ia mencoba peruntungan di bidang pendidikan bahasa Inggris. Sebenarnya Awsya tidak menyukai bidang tersebut, apalagi dunia pendidikan yang ujung-ujungnya nanti malah menjadi guru. Jangankan mengajar, berbicara di depan kelas saja saat masih SMA Awsya sudah sangat gugup. Apalagi jika nantinya mengajar.

Tapi, di luar dugaan, Awsya malah lulus di situ. Dan mau tak mau, ia harus kuliah di sana. Dengan semua mata kuliah yang membingungkan dirinya, ia hanya berharap dapat melalui semua itu dengan baik.

Tapi beruntungnya, Awsya berjumpa dengan teman-teman yang langsung akrab dengannya. Itu bagus baginya yang masih mencari jati diri di kampus pendidikan Bahasa Inggris tersebut.

Sudah hampir setahun Awsya menjalani perkuliahan di Pendidikan Bahasa Inggris. Sejauh ini masih fifty-fifty antara matakuliah yang menurutnya menyenangkan dan yang tidak sama sekali.

Suatu hari ketika Awsya berada di pustaka wilayah, tanpa disengaja ia berjumpa dengan Furqan, teman SMA-nya. Layaknya teman lama yang sudah lama tak saling menyapa, banyak basa basi yang mereka habiskan di puswil tersebut.

Saat sedang asyik berbincang, Furqan malah terkejut mendengar Awsya kini sudah kuliah di Pendidikan Bahasa Inggris. Sebagaimana pengakuan wanita ini sebelumnya, cita-citanya adalah kuliah di kedokteran.

“Serius? Bahasa Inggris?” Tanya Furqan.

“Iya… memangnya kenapa? Gak boleh?” Tanya Awsya.

“Boleh sih. Berarti sama dong kita… ha ha ha.”

“Eh, iya ya. Kamu di Bahasa Inggris juga…”

Furqan sudah lebih dulu kuliah di jurusan yang sama seperti Awsya. Namun, lelaki ini beruntung sebab dapat kuliah di Unsyiah tanpa tes sama sekali. Hal itu bisa terjadi karena nilai Bahasa Inggris Furqan semasa SMA sudah mencukupi untuk melanjutkan pendidikan di jurusan tersebut. Apalagi kampus itu memang pilihannya sendiri.

“Iya dong. Tapi kok bisa beralih ke Bahasa Inggris?” Tanya Furqan.

“Jadi waktu itu aku sudah dua kali ikut di kedokteran, tapi ya mau bagaimana, masih belum rejeki.” Jelas Awsya.

“Oh, iya iya. Aku paham…” sahut Furqan.

“Jadi bagaimana sejauh ini di Bahasa Inggris? Lancarkan?” Tanya lelaki ini sambil tersenyum.

“Lancar sih, tapi banyak mata kuliah yang tidak kupahami.” Jawab Awsya tertawa.

“Oh, itu sih biasa. Nanti lama-lama juga paham sendiri.”

“Boleh dong sesekali aku tanya tugas ke kamu.”

“Boleh… asal ada traktirannya dijamin semua proses lancar kok.” Jawab Furqan sambil tertawa, gadis ini pun malah ikut-ikutan.

Awsya juga menjelaskan kepada Furqan bahwa tujuannya kuliah di Pendidikan Bahasa Inggris tak lain hanya sebagai persinggahan saja. Awsya masih sangat berkeinginan untuk kuliah di Unsyiah. Dan tahun depan saat ajaran baru tiba, Awsya akan kembali mengikuti tes dan mencoba peruntungannya lagi di kedokteran.

Bahkan Awsya juga sudah menceritakan hal ini kepada orang tuanya. Kuliah di jurusan Bahasa Inggris itu agar dirinya tidak terlalu kosong menjalani hari-hari. Setidaknya begitulah Awsya. Obsesinya terhadap Unsyiah masih belum pudar.

--

--

Reza Fahlevi
Reza Fahlevi

No responses yet