Mala-Ka
— —
Kita berjalan, melewati hadangan di depan
mendaki ke atas bukit yang tiada ber-puncak
menerobos, berlalu pergi dari masa lalu kelam
Dan, kita terhenti untuk saling menatap
.
Bagaikan menulis novel
Tinta hitam merekam jejak-jejak langkah kita,
membawa tubuh untuk saling berhadapan
Melampiaskan rindu
Kita melirik dan tersenyum dalam
.
Seperti Tuhan menyusun sebuah tempat untuk kita bersua
Alamnya sejuk beriringan percikan air yang mengalir bebas
Terasa sederhana
Namun begitu istimewa saat aku bersamamu
.
Kita terdiam dan mengabaikan kata-kata puitis
termenung dan terus terpana oleh hamparan gunung
Kita berbisik —
saling mengirimkan ungkapan telepati
.
Kau adalah sosok yang ku sembunyikan jauh di dasar sanubari
Seakan aku kalah untuk berdamai dengan ego ini
Aku mengabaikanmu yang terlihat sedang menanti…
Menanti sebuah ungkapan suci
.
Dan kau barangkali bertanya-tanya
Tentang seutas surat yang pernah ku terbangkan melayang di langit malam
Mungkin pun terlalu lelah berharap
Hingga kau hanya menelusuri sebuah ruang kegelapan
Sembari menanti cahaya
.
Tapi aku tak pernah berbohong
Bahwa matamu sebenarnya membiaskan lentera harapan
Membuatku ingin menjadikannya sebagai simbol kehidupan di tengah kesejukan yang menusuk tajam
Dan senyuman yang terukir di bibir itu, kau telah lama…
telah lama ku jadikan sebagai melati yang mekar di hatiku
.
Tanpa pernah mengumbar janji
Aku masih terlalu gugup untuk memulai segalanya
Kau pun terlihat tidak memberikan tanda-tanda
Kita, mungkin saling berasumsi di balik batin masing-masing
.
Seandainya besok merpati putihmu bersua dengan merpati hitamku
Apakah mungkin perasaan kita juga akan mengalir?
.
Seandainya di bawah rintikan awan kelabu ini kita berada di payung yang sama
Apakah mungkin obrolan kita berubah menjadi ungkapan-ungkapan cinta?
.
Ada banyak lembaran puisi yang melukis kata — kata berupa namamu
Walau aku tak mengerti ke arah mana laju perasaan tersembunyi mikikmu
.
Hingga nanti kita melihat air terjun mengikis batu bertahun-tahun
Sepertinya cintaku juga akan terkikis
Sebab diriku yang tak pernah datang menjemput kesucianmu
.
Ketika aku memahami dirimu yang memilih duduk tepat di sebelahku
Dan aku yang mulai mendengar semua ocehan lisanmu
Kau tak ingin berhenti berbicara
Dan aku pun tak pernah bisa memalingkan bola mata dari wajahmu
.
Barangkali,
Ada dua perasaan yang ingin bebas terbang menghiasi dunia realita
Sayangnya perasaan kita masih saling terjebak di balik ruang lingkup fiksi
.
Barangkali ada dua hati yang ingin berpelukan bersama
Sayangnya, kita masih enggan untuk sekedar peka
.
Dan barangkali, kita ingin hidup di sebuah alur novel cinta yang sama
Namun sayangnya, detak nadi kita belum menyatu
.
Yang ku simpan sebaik mungkin,
Adalah caramu tersenyum padaku
Adalah matamu yang membiaskan cahaya
Adalah dirimu yang ku titipkan doa
.
Yang kau simpan sebaik mungkin,
Aku bahkan tak bisa merasakannya
Hanya meraba-raba dari ilusi yang ku ciptakan
Sebagai penghibur kalbu yang lelah melantunkan nama anggun milikmu
.
Lantas, apakah itu tandanya?
Apakah ini sinyal-nya?
.
Seperti hasrat sukma tertahan setiap kali ia ingin berekspresi
Coba katakan dan beri penjelasan semudah mungkin,
Apakah kita akan menuruni bukit ini dan berbelok ke dua haluan yang berbeda?
.
Dalam satu bingkai foto,
kita pernah saling tersenyum mesra
Dan sekarang kita saling tersenyum untuk menyembunyikan luka
.
Kau pernah menitipkan cahaya matahari terbit
Kini kau hanya sebatas cahaya matahari senja
Yang datang memberi keindahan,
Lalu lenyap bersama kegelapan
.
Akan tetapi, kenapa sampai detik ini kita masih juga saling merindu?
Apakah kita saling memiliki cinta yang sama?
Atau hanya sebagai tempat pemberhentian sementara?
.
Kita — adalah kursi kosong yang menyimpan kesunyian agar terlihat kuat di balik ketidakberdayaan ini.
“Entah kenapa aku tak pernah bisa jujur padamu”
25–06–2022
Kuta Malaka