Mala-Ka

Reza Fahlevi
3 min readJun 27, 2022

--

— —

Kita berjalan, melewati hadangan di depan

mendaki ke atas bukit yang tiada ber-puncak

menerobos, berlalu pergi dari masa lalu kelam

Dan, kita terhenti untuk saling menatap

.

Bagaikan menulis novel

Tinta hitam merekam jejak-jejak langkah kita,

membawa tubuh untuk saling berhadapan

Melampiaskan rindu

Kita melirik dan tersenyum dalam

.

Seperti Tuhan menyusun sebuah tempat untuk kita bersua

Alamnya sejuk beriringan percikan air yang mengalir bebas

Terasa sederhana

Namun begitu istimewa saat aku bersamamu

.

Kita terdiam dan mengabaikan kata-kata puitis

termenung dan terus terpana oleh hamparan gunung

Kita berbisik —

saling mengirimkan ungkapan telepati

.

Kau adalah sosok yang ku sembunyikan jauh di dasar sanubari

Seakan aku kalah untuk berdamai dengan ego ini

Aku mengabaikanmu yang terlihat sedang menanti…

Menanti sebuah ungkapan suci

.

Dan kau barangkali bertanya-tanya

Tentang seutas surat yang pernah ku terbangkan melayang di langit malam

Mungkin pun terlalu lelah berharap

Hingga kau hanya menelusuri sebuah ruang kegelapan

Sembari menanti cahaya

.

Tapi aku tak pernah berbohong

Bahwa matamu sebenarnya membiaskan lentera harapan

Membuatku ingin menjadikannya sebagai simbol kehidupan di tengah kesejukan yang menusuk tajam

Dan senyuman yang terukir di bibir itu, kau telah lama…

telah lama ku jadikan sebagai melati yang mekar di hatiku

.

Tanpa pernah mengumbar janji

Aku masih terlalu gugup untuk memulai segalanya

Kau pun terlihat tidak memberikan tanda-tanda

Kita, mungkin saling berasumsi di balik batin masing-masing

.

Seandainya besok merpati putihmu bersua dengan merpati hitamku

Apakah mungkin perasaan kita juga akan mengalir?

.

Seandainya di bawah rintikan awan kelabu ini kita berada di payung yang sama

Apakah mungkin obrolan kita berubah menjadi ungkapan-ungkapan cinta?

.

Ada banyak lembaran puisi yang melukis kata — kata berupa namamu

Walau aku tak mengerti ke arah mana laju perasaan tersembunyi mikikmu

.

Hingga nanti kita melihat air terjun mengikis batu bertahun-tahun

Sepertinya cintaku juga akan terkikis

Sebab diriku yang tak pernah datang menjemput kesucianmu

.

Ketika aku memahami dirimu yang memilih duduk tepat di sebelahku

Dan aku yang mulai mendengar semua ocehan lisanmu

Kau tak ingin berhenti berbicara

Dan aku pun tak pernah bisa memalingkan bola mata dari wajahmu

.

Barangkali,

Ada dua perasaan yang ingin bebas terbang menghiasi dunia realita

Sayangnya perasaan kita masih saling terjebak di balik ruang lingkup fiksi

.

Barangkali ada dua hati yang ingin berpelukan bersama

Sayangnya, kita masih enggan untuk sekedar peka

.

Dan barangkali, kita ingin hidup di sebuah alur novel cinta yang sama

Namun sayangnya, detak nadi kita belum menyatu

.

Yang ku simpan sebaik mungkin,

Adalah caramu tersenyum padaku

Adalah matamu yang membiaskan cahaya

Adalah dirimu yang ku titipkan doa

.

Yang kau simpan sebaik mungkin,

Aku bahkan tak bisa merasakannya

Hanya meraba-raba dari ilusi yang ku ciptakan

Sebagai penghibur kalbu yang lelah melantunkan nama anggun milikmu

.

Lantas, apakah itu tandanya?

Apakah ini sinyal-nya?

.

Seperti hasrat sukma tertahan setiap kali ia ingin berekspresi

Coba katakan dan beri penjelasan semudah mungkin,

Apakah kita akan menuruni bukit ini dan berbelok ke dua haluan yang berbeda?

.

Dalam satu bingkai foto,

kita pernah saling tersenyum mesra

Dan sekarang kita saling tersenyum untuk menyembunyikan luka

.

Kau pernah menitipkan cahaya matahari terbit

Kini kau hanya sebatas cahaya matahari senja

Yang datang memberi keindahan,

Lalu lenyap bersama kegelapan

.

Akan tetapi, kenapa sampai detik ini kita masih juga saling merindu?

Apakah kita saling memiliki cinta yang sama?

Atau hanya sebagai tempat pemberhentian sementara?

.

Kita — adalah kursi kosong yang menyimpan kesunyian agar terlihat kuat di balik ketidakberdayaan ini.

“Entah kenapa aku tak pernah bisa jujur padamu”

25–06–2022

Kuta Malaka

--

--

Reza Fahlevi
Reza Fahlevi

No responses yet