LIMAKIRA
“Hai…” ujar seorang wanita.
Aku yang sedang duduk sambil membaca lantas spontan memalingkan kepala ke belakang dan melihat seorang perempuan sedang berdiri seraya tersenyum.
“Hai…” sahutku.
“Makasih ya untuk yang tadi…” balasnya.
Aku tertegun sejenak melihat dirinya, dan ku yakin satu alisku naik karena bertanya-tanya apa yang dimaksud dengan perkataannya tadi.
“Makasih untuk apa, ya…?” tanyaku.
“Tadi kan kamu udah bantuin dorong motor aku pas waktu mogok.”
Seketika aku ingat. “Ooo… yang barusan ya… maaf ya, aku gak tanda karna kan tadi kamu pake helm dan masker juga.”
“Ha ha ha…” ia tertawa. “Makasih ya…”
“Iya sama-sama. Ngopi…?”
“Mmm boleh-boleh aja. Tapi, ganggu gak nih?”
Aku lantas menggeleng. “Enggak, santai aja…”
Ia pun duduk tepat di hadapanku — posisi kami terpisah oleh sebuah meja. Di sini, kami mulai mengobrol santai; pertanyaan mulai dari asal daerah, tempat tinggal, serta kegemaran mengawali basa-basi. Dan kami saling berinteraksi dengan padu; sebagai lelaki, bukan hanya aku seorang yang mengajukan pertanyaan, wanita ini juga seperti tak ingin kalah untuk menanyakan banyak hal — sesuatu yang sangat jarang ku temui secara pribadi.
Padahal kami baru berjumpa hari ini, tapi rasanya keakraban sudah terasa pekat memyambung setiap kata dari obrolan kami. Ia memperhatikanku dengan seksama ketika diriku sedang berbicara, dan aku juga tak pernah mengalihkan pandangan dari menatapnya saat ia sedang menjelaskan. Ku lihat, tangan kanannya terus berayun-ayun, seperti mengikuti irama bicaranya.
Begitu pesanan wanita ini sampai — ia memesan kopi juga — dan setelah meneguk yang pertama, pembahasan kami menjadi sedikit jauh, tapi juga semakin mengasyikkan. Lalu, tiba-tiba ia menanyakan sesuatu.
“Hey, apa kamu masih single?” Tanya.
Aku spontan terdiam dalam senyuman. Pertanyaannya tiba-tiba membuatku bingung harus menjawab apa sebab ini kali pertama aku ditanyai perkara status hubungan oleh seorang wanita yang baru saja ku kenal.
“Single, sih… kamu sendiri?”
“Sama…” sahutnya. Ia lantas meneguk kopi lagi dengan perlahan-lahan sebab masih lumayan panas, setelah itu dirinya melanjutkan. “Dulu… sebetulnya aku punya pacar. Awalnya semua berjalan lancar dan baik-baik aja… semua terasa indah. Tapi semuanya berubah karna dia tega selingkuhin aku. Sikapnya itu buat aku benci dan muak — pokoknya aku gak pernah mau lagi ketemu sama dia.”
Wanita ini tiba-tiba curhat. Wajahnya yang tadi berseri-seri seketika berubah menjadi kesal dan muram. Dari situ dapat ku simpulkan bahwa ia benar-benar muak kepada mantan pacarnya.
“Aku gak nyangka kamu diselingkuhi n— maksudnya… cewek kayak kamu gini masih juga dibuat kayak gitu… aku rasa mantan kamu udah ngelakuin kesalahan fatal karena sekarang dia kehilangan sosok cewek kayak kamu. Tapi, abaikan dia — kamu ini pantas dapatin yang lebih baik dari dia. Dan karna kamu udah diperlakukan jelek begitu, pilihan kamu untuk lupain dia udah paling tepat.” Aku menjawab sambil menghiburnya.
“Ya… aku gak bakal pernah mau lagi jumpa sama dia. Aku juga gak mau ingat semua kenangan tentang dia. Dia itu cowok bajingan…”
“Mudah-mudahan kamu bisa dapat yang lebih baik, ya…”
“Makasih ya…” sahutnya. “Trus kalo kamu sendiri gimana? Kok bisa masih single?
Searaya tersenyum aku membalas, “ada banyak hal terjadi yang buat aku masih singgle sampe sekarang. Pokoknya… dulu ada cewek yang aku suka, tapi aku gak kunjung ungkapin sampe kemudian dia malah nikah sama orang lain. Dan yang buat aku masih single… mungkin karna sebenarnya aku masih suka sama dia…”
“Kamu gak ungkapin?” Tanyanya spontan dengan gelagat terkejut.
Sedangkan aku menjawab wanita ini seraya mengangguk.
“Kenapa…?”
“Ini rahasia kita, ya… sebenarnya karna aku gak percaya diri untuk ungkapin. Tiap kali aku pengen bilang, tapi ada aja yang ketahan. Jadi bisa dibilang ini salah satu kekurangan aku.” Jelasku.
Ia lantas tertawa. “Kok bisa gak percaya diri, gak masuk akal banget.”
“Yaaa tapi itu memang kenyataannya, kok…”
“Jadi kalo kamu suka sama cewek, trus kamu pendam aja gitu?”
“Iya…”
“Ya ampun…” gumamnya sambil geleng-geleng. “Rupanya ada ya cowok kayak kamu ini.”
“Asal kamu tau… aku bahkan belum pernah pacaran…”
Mendengar itu, ia seketika terkejut tak percaya. “Haah…? Serius? Jangan bohong deh, aku paling gak suka ada orang bohong…”
“Kedengarannya aneh, ya? Tapi ini serius…”
“Betulan gak pernah?”
“Enggak…”
“Fuck…” lontarnya yang tersenyum tak percaya. “Aku malah awalnya mikir kamu ini pasti pernah pacaran setidaknya sama satu atau dua cewek. Ya walopun tadi kamu bilang gak percaya diri mau ungkapin perasaan, tapi keliatannya kamu pasti pernah punya cewek. Dan ternyataaa…”
“Dan ternyata gak sesuai dengan apa yang kamu pikirin, kan…”
“Kamu betul-betul masih suci…” gumamnya sembari tertawa.
Obrolan ini membuat kami semakin intim. Aku tak tahu, tapi rasanya berbicara panjang lebar dengan orang yang baru ku kenal, sampai tak ragu untuk memgatakan bahwa aku punya pengalaman memilukan perihal cinta… aku merasa berbicara dengannya tak ada canggung-canggungnya. Biasanya untuk orang yang baru ku kenal, pasti ada hal yang menjadi pembatas — aku takkan menceritakan banyak perkara dan terbuka. Tapi beda untuk kali ini, aku merasa baik-baik saja padahal pembahasan kami sudah masuk ke ranah pribadi.
Mungkin karena semua berawal dari wanita ini — sejak awal dia memulainya kemudian berlanjut dengan curhatan tentang mantan pacarnya, barangkali karena itulah yang membuatku juga tidak ragu untuk buka-bukaan terkait urusan pribadi.
“Mudah-mudahan kamu cepat dapat cewek lain ya. Untuk dia… lupain aja. Toh, dia udah nikah jadi gak perlu abisin waktu untuk terus cintain dia. Kamu harus lupain dia apapun yang terjadi — semua demi kebaikan kamu juga supaya gak keterusan sakit hati. Karna cinta yang terpendam itu rasanya sakit banget, tau gak… aku bisa rasain gimana perasaan kamu. Pasti sakit…” ujarnya.
“Makasih ya… mudah-mudahan doa ini juga balik lagi ke kamu, karna kamu berhak dapat cowok yang lebih baik dari mantan kamu — cowok yang bisa menghargai kamu sebagai cewek.”
Setelah itu, suasana menjadi senyap — agak lama — barangkali ada sekitar 15 atau 20 menit. Di sini kami beruda sibuk masing-masing; aku kembali berusa dengan buku bacaan sedangkan ia sesekali ku lirik sedang asyik menatap ponsel.
Tak lama berselang, ia memecah keheningan.
“Oh ya… dari tadi kita asik ngobrol tapi aku masih belum tahu nama kamu.” Ujarnya.
“Ha ha ha betul juga, ya.” Balasku seraya menaruh buku di atas meja. “Panggil aja Fahri…”
“Fahri, ya…” sahutnya sambil tersenyum.
“Kamu sendiri?” Aku balik bertanya.
“Inayati… biasa dipanggil Inaya.”
“Cantik nama kamu… kayak orangnya.”
“Makasih…” jawabnya yang tersipu malu. “Kamu juga… nama kamu persis ganteng kayak orangnya…
Di momen ini, kami berdua tertawa lepas begitu saja.
Sepuluh menit berselang
Dan akhirnya percakapan ini berakhir sebab kami harus balik kerja.
“Ntar malam jangan lupa ya, Fahri. Gak sulit kok cari alamat rumah aku…” Ujar Inaya.
“Pasti… aku bakal datang jam 8, ya…”
“Oke, ditunggu.”