Kopi Ini Mulai Dingin
Oleh: Reza Fahlevi
Termenung seorang diri. Merasakan angin malam yang menusuk, satu persatu jalanan mulai teduh dari suara bisingnya kendaraan. Asap juga perlahan menghilang dari pandangan. Tidak pun ku sadari kopi ini semakin mendingin.
Ingin menulis kepastian, hendak menulis apa yang ku inginkan. Semakin bernafsu untuk mengukir kata-kata puitis. Mengisi lembaran kosong dengan puisi atau sajak pendek. Menuangkan ide untuk cerita yang akan diterbitkan. Sungguh aneh ketika ide tak lagi ingin bekerja sama di dalam kepalaku.
Beribu huruf terkumpul di hadapan. Seakan menyorotkan cahaya tak berujung. Tapi padamnya lentera putih mengaburkan semua bayangan dalam imajinasi. Aku buntu dalam waktu yang tak menentu.
Ada saja yang menghalangi. Saat sengaja ku bisukan lisan tajam, berpikir karna mungkin dapat memudahkan jalan pintasnya.
Semakin ku paksa, semakin tertekan.
Semakin ku satukan, kian terpisah.
Semakin ku tulis, malah terus terperangkap.
Dan ku tanya batin, tak berjawab.
Ku tanya pikiran, ia pun tak tau.
Ku tanya mereka, tak satu pun mengerti.
Ku menyendiri, hanya membangkitkan rasa gelisah di balik jeruji besi.
.
Terpaku di awal langkah.
Bingung dalam ilusi kata.
Ketika alur itu baru saja setengah jalan, di situlah aku terhenti tak bermakna.
Terhenti di belakang koma memang menyakitkan, tak ada kepastian nyata, tak menahu pun kebenaran pasti, hanya terjebak di dalam ilusi semu. Terus berada di sana bersama keraguan yang menyerang tiada henti.
Tapi, bukan penulis namanya jika menyerah karna tersangkut drama tulisannya.
Sebagaimana mahaguru berkata,
“Di saat kata sudah tak nyambung, hilang koneksinya dari pikiran, terputus jaringannya terhadap ide, lenyap alur cerita dari sudut pandang tertentu. Maka, tutuplah semua itu dan kembali lagi esoknya. Jika kamu menyerah hanya karna satu atau beberapa persoalan, lihatlah kembali ke belakang berapa banyak tulisan tercipta atas dirimu sendiri. Rasakan setiap proses kamu menulisnya, rasakan sensasinya ketika menulis dengan sebatang rokok dan secangkir kopi.”
“Bergeraklah melihat matahari terbenam. Atau awali hari dengan menatap sinar fajar di balik perkasanya gunung Seulawah. Atau mungkin mengosongkan waktu untuk termenung di hadapan suara ombak pagi. Matahari, langit dan bintang; dedaunan serta warna warni bunga; embusan angin ataupun pancaran mata syahdu. Bukankah itu sumber ide yang kau dapatkan selama ini? Mungkin kau terlalu banyak menghabiskannya di satu sisi, maka pergi dan carilah di tempat lainnya.”
“Jadikan sederhana ketika terlihat susah. Dan sandarkan dirimu di saat kumpulan coretan mengotori kertas kosong. Lihat dari sudut ke sudut, di situlah kau akan melanjutkan alurnya kembali. Karna menyerah adalah bukti kamu belum dewasa, maka tunjukkan pada dirimu sendiri cara berjuang menciptakan ilusi menjadi nyata.”
Aku tau ini masih di belakang koma.
Aku juga tau drama yang belum tuntas.
Ku sadari pun semua cerita hanya berakhir buntu.
Tapi buntu bukti kita melakukan sesuatu.
Bukti bahwa proses masih terus berjalan.
Menenangkan hati dan pikiran adalah solusi tepat.
Melenyapkan emosi tak penting adalah tujuan yang seharusnya.
“Bukalah tulisan mereka agar kau paham. Dan bacalah punyamu agar kau menghargai jasa. Begitulah permainan ini. Begitulah dunia yang kau sebut sebagai ungkapan dari ujung pena.”
Ku tunggu sebuah respon
Ku nantikan sebuah tanggapan
Jika kau melihatku masih tak berkutik tanpa ide,
itu mungkin karna tintaku sudah mengering…
Ku sediakan sebuah wadah untuk menampung cairan hitam kusam. Ku siapkan secarik kertas lainnya.
Tulisan ini hanya sebagai penghibur dan memotivasi diri di tengah tersangkutnya ide saat menulis cerita/kisah baru.
— Breaking Reza