Kisah-Kisah Dalam Buku Harian Jimmy
Mereka Yang Ditargetkan Mati
Aku menelusuri Dokter Fahrul. Dari dalam mobil, ku lihat melalui monitor pelacak dia sedang menuju ke arah Jembatan Krueng Rayeuk. Entah apa keperluannya, yang jelas aku harus bergegas. Sebelumnya, aku berhasil menaruh sebuah alat pelacak di pakaian dokter itu. Beruntung ia masih memakainya… memudahkanku untuk melacak posisi orang itu.
Tiit… tiit… tiit…
Monitor pelacak ini membunyikan alarm.
“Dia berhenti di jembatan itu, kan?” Tanya Awsya.
“Hmm…”
“Apa tujuannya?”
“Itu yang kita cari tahu.” Sahutku.
Dengan kecepatan hampir 100 k/m per jam, hanya lima menit kemudian aku berhasil menemukannya. Ku hentikan laju mobil sekitar beberapa saat sebelum bersua dengannya — sekedar memastikan apa yang sedang ia lakukan bersama seorang lelaki di jembatan ini, tengah malam pula.
Alat pelacak yang melekat di pakaian Dokter Fahrul juga dapat menangkap suara, maka ku tekan sebuah tombol di monitor tadi dan mendengar apa yang sedang mereka bahas. Tapi sepertinya kehadiran kami dicurigai, mungkin karena mobil yang berhenti selain punya dokter itu hanyalah punyaku.
“Sudah waktunya, detektif…”
“Ya, kau benar. Ayo.” Ujarku.
Kami keluar dari mobil. Awsya menyimpan baik peralatan senjatanya karena akan sangat mencurigakan jika mereka melihat kami seperti itu. Di sisi lain, sejak tadi aku menguping pembicaraan Dokter Fahrul dan laki-laki asing yang bersamanya. Obrolan mereka tak bisa ku anggap biasa.
Dan kehadiran kami pun juga menjadi was-was bagi mereka berdua. Sontak, pria asing tadi berlari begitu melihat kami menghampiri.
“Hei Awsya… Tunggu!”
Aku mencoba mengejar polwan ini yang sudah lebih dulu mengejar orang itu. Sembari berlari, ku toleh ke arah Dokter Fahrul. Hanya dalam beberapa detik kemudian, terdengar suara tembakan.
Door door
Dua kali. Sasarannya adalah sang dokter yang seketika tergeletak tidak berdaya. Di saat bersamaan, Awsya berhenti mengejar pria tadi, aku pun langsung meraih lengan polwan ini. Sepersekian detik, sebuah peluru menyasari kakinya, namun beruntung aku bergerak cepat.
Setelah ku raih lengan Awsya, ku tarik ia ke sisi kananku, wanita ini pun terjatuh — terlepas begitu saja genggamanku tadi.
Door
Tembakan tadi mengenai aspal. Tapi timah panas ini kembali lagi dengan dua kali serangan beruntun. Di tengah sasaran amukan peluru, aku bergegas menghampiri Awsya.
“Detektif, di arah jam sepuluh…” ia bahkan masih dapat berbicara dalam situasi hidup mati seperti ini.
Sedangkan aku mesti bertindak cepat. Ku dekap saja tubuh polwan ini yang terbaring di aspal, lalu ku gulingkan diri kami berdua sambil memastikan aku melindungi kepala Awsya. Terhitung ada sebanyak lima kali kami berguling. Tujuanku tertuju pada mobilku yang berjarak sepuluh meter.
Begitu tubuh kami terhenti, “masih belum aman,” pikirku dalam hati.
Meskipun kami berhasil lolos dari sergapan peluru-peluru itu, namun jarakku dan wanita ini masih agak lumayan jauh dari mobil. Dalam posisi kami berdua yang masih terbaring, tanpa berpikir panjang, ku keluarkan pistol mini di balik jubah dan mengarahkan tembakan sebanyak tiga kali ke arah yang disebut oleh Awsya tadi.
Aku tak tahu apakah seranganku mengenai orang yang menembaki kami, tapi setelah itu ia tidak lagi menghamburkan peluru.
“Kau baik-baik saja?”
Awsya mengangguk, “terima kasih.”
“Tidak masalah. Tapi maaf karena sudah menarikmu hingga terjatuh tadi.”
“Tak apa. jika tidak kau lakukan, mungkin aku sudah terkena tembakan.”
Kami pun bangkit dan bergerak cepat menemui Dokter Fahrul. Ia tergeletak lemah bersimbah darah, ku harap dirinya masih hidup. Begitu sampai, ku lihat — bahu dan perutnya terluka parah. Lalu aku menyobek sebagian baju dokter ini.
“Awsya, tolong tahan pendarahannya.”
Ia mengangguk dan segera melakukan yang ku pinta.
“K… kau… ha-rus menang… kapnya.”
Dokter Fahrul berusaha berbicara tapi aku langsung menyanggah, “jangan mengoceh dulu…”
Sambil menututupi lukanya, ku tatapi tangannya sedang mengambil sesuatu dari dalam saku celana, temanku menerimanya.
“Se…cepat…nya… de..tek…” Perkataannya tiba-tiba tersangkut, terhenti begitu saja..
Sedangkan aku punya firasat buruk, “Awsya, coba periksa detak nadinya.”
Ia pun memastikan denyut sang dokter, tak lama kemudian wanita ini menoleh padaku dan menggelengkan kepala. Aku paham maksudnya, Dokter Fahrul telah meninggal dunia. Maka, ku tanggalkan saja semua baju dokter ini untuk menutupi wajahnya. Lalu aku menghubungi pihak rumah sakit terdekat.
Awsya berdiri begitupun diriku. Aku harus memastikan jika sekarang keadaan sudah lebih aman. Bukan apa-apa, ada seseorang yang lihai bersembunyi dan menembak di balik kegelapan. Bagiku itu sangat merepotkan terlebih aku tak tahu di mana dia sekarang dan dari sudut mana ia akan kembali membabi buta — apabila aku memungkinkan itu akan terjadi lagi.
“Ini bukan pengalaman pertama untukmu, kan?” Aku menghampiri wanita ini yang terlihat sedikit merenung. Ia menggeleng menyahutiku.
“Meski begitu, kita harus tetap waspada. Pengalaman tak ada artinya jika kita lengah sedikit saja.”
Ku katakan itu, lalu menggenggam tangan kanannya, “kita akan melalui ini bersama. Jangan khawatir.” Ujarku sambil tersenyum yang kemudian dibalas juga olehnya.
Ku akui, kehadiran Awsya sebenarnya lumayan membantuku. Walaupun ia seorang wanita di mana menurutku terlalu berbahaya melakukan misi jenis seperti ini. Meski begitu, analisanya sangatlah akurat. Itu terbukti saat kami sedang ditembaki, ia langsung tahu posisi si penembak hanya dalam hitungan detik dengan memberi tahuku ke arah jam sepuluh. Padahal aku yakin si penembak itu pasti berada jauh dari kami. Barangkali, ia juga memiliki firasat yang tajam dan menolak menganggap remeh hal-hal sepele.
Selang beberapa menit, tim medis tiba dan membawa jasad Dokter Fahrul.
“Tolong hubungi Kapten Tiyo agar dia datang. Katakan padanya, aku masih ada beberapa urusan dan akan menemuinya di markas.”
“Baik, detektif.”
Begitu mereka membawa jenazah Dokter Fahrul, Awsya mendatangiku, “Aku tetap ikut.”
“Ya, aku juga membutuhkanmu. Tapi…” aku membakar rokok, lalu melanjutkan, “ingat, jangan bergerak jika tidak ku beri aba-aba. Berjalanlah beriringan denganku. Kini, keselamatanmu menjadi tanggung jawabku.”
“Jika seperti itu, maka keselamatnamu juga tanggung jawabku, bukan begitu?” Ia mengumbar senyuman.
Satu sisi, aku sedikit was-was. Tapi di sisi lainnya, aku bersyukur Awsya baik-baik saja. Senyumannya kali ini membuatku agak tenang. Tapi, sebenarnya memang selalu begitu.
Pukul 02.00 dini hari
Aku masih penasaran dengan penembak tadi. Jika benar ia menembak dari arah jam sepuluh, maka berarti ia berada di Cot Jambee Mall yang memang tidak jauh letaknya dari jembatan Krueng Rayeuk. Dan apabila benar ia melancarkan aksi dari sana, maka barangkali ada tiga kemungkinan; pertama, ia berhasil menyusup tanpa sepengetahuan; kedua, ia berhasil menghabisi para Satpam yang berjaga; atau yang ketiga, ia berkomplotan dengan para penjaga Mall tersebut. Entahlah. Yang jelas, aku berkesimpulan, orang itu merupakan penembak jitu.
Lima menit kemudian
Aku menghentikan mobil tepat di seberang Mall ini. Dari sini, tak ada tanda-tanda yang mencurigakan. Kami pun keluar dan berjalan setapak demi setapak. Yang pertama ku lakukan adalah melihat keadaan di sekitaran depan gedung ini, kanan lalu ke kiri. Dan di sinilah aku menemukan dua orang Satpam tergeletak.
Awsya memastikan denyut nadi mereka, “tewas.” Ujarnya.
Ku kirim pesan kepada Kapten Tiyo, lalu — aku merasa sedikit kebingungan. Ada banyak pikiran berhamburan di dalam otak, membuatku spontan mengelu-elus dagu.
Beberapa saat kemudian, ku tatap ke setiap sisi Mall ini, ada beberapa CCTV terpasang. Ku ambil sebuah alat yang terlihat seperti pulpen mungil, aku mencoba meretas kamera tersebut. Tapi tidak bisa. Pertanda bahwa kamera-kamera itu sudah lebih dulu dibobol.
“Awsya, apa kau punya masukan?” tanyaku.
“Jika dia benar menembak dari sini, pasti dilakukan dari atas. Tapi…”
Aku mulai serius menyimak wanita ini.
“Aku sempat menghitung jeda peluru yang ia tembakkan ke kita — antara satu dan kedua bahkan yang ketiga, itu hanya berselang setengah detik.”
“Kau benar-benar menghitungnya?” aku menatap Awsya serius, sedangkan ia mengangguk.
“Oke baik, ini menarik. Lanjutannya?” Sembari membakar rokok, aku menyimak se-teliti mungkin.
“Arah jam sepuluh, berarti memang persis di gedung ini. Dari sini, pergerakan angin yang datang dari arah berlawanan membuat laju peluru agak melambat, juga membuatnya susah membidik. Apa kau tak sadar di saat tembakan yang mengenai Dokter Fahrul, sebenarnya ia menembak empat kali, bukan dua kali.”
“Oow, yang itu aku baru tahu…”
Awsya menghadap kepadaku, “dua tembakan pertama melesat. Dan yang ketiga…” sembari menunjukkan tiga jarinya, “mengenai bahu. Baru yang terakhir, peluru itu menembus perut dokter.”
Aku menarik rokok dan mengembuskannya perlahan, memastikan asapnya tidak menyentuh wajah polwan ini.
“Dengan kata lain…?”
“Dengan kata lain, sebenarnya sniper itu memang menargetkan Dokter Fahrul tewas. Tembakan yang terkena di bahunya itu, menurutku ia salah sasaran.”
Awsya lalu membalikkan posisi berdirinya menghadap lurus ke arah jembatan Krueng Rayeuk, “penembak itu terhalang dengan angin kencang tadi, dan laju peluru pun tidak menyasar ke sisi yang seharusnya.” Jelasnya sambil berjalan mendekati tiang lampu.
Memang, saat kami berada di jembatan tersebut, tiupan angin lumayan kasar.
“Dan kau detektif, menembakinya tiga kali. Satu pelurumu menyasar mengenai lampu ini.” Ia menoleh ke atas.
Aku berjalan dan berdiri di samping wanita ini, melihat tiang lampu ini.
“Sepertinya analisismu benar.”
“Sebenarnya aku hanya menduga-duga saja, tapi jika ku lihat, lubang di tiang ini pasti akibat peluru milikmu. Coba perhatikan…”
Awsya menunjuk lubang pada tiang lalu mengarahkannya ke lantai empat Mall ini yang dilapisi kaca.
“Kemungkinan, dia beraksi dari lantai empat.” Ia berujar.
Aku hanya menatapnya bingung karena kesimpulan yang diutarakannya hanya merujuk pada seranganku. Padahal, seharusnya ia merujuk pada sang sniper itu.
“Kenapa kau beranggapan demikian?”
“Tembakanmu berhasil menghentikan dirinya menyerang kita. Lagipula, Kaca di lantai empat sana juga berlubang, tuh…”
Awsya berhenti sejenak, memandangiku yang keheranan. Tapi kemudian aku tersenyum.
“Aku mengusiknya, ya…?” sahutku.
Kini, aku mulai paham penjelasan Awsya. Menurutnya, seranganku dari jembatan Krueng Rayeuk barangkali hampir mengenainya atau bahkan memang kena.
“Lagipula, saat kita menunggu tim medis datang, aku juga menemukan tiang lampu jalan di jembatan itu tertembus peluru. Jika ku lihat dan ku perhitungkan, peluru yang menembus di tiang sana sekitar tiga meter, maka mungkin ia menembak dari lantai empat atau tiga.”
Ternyata, di saat Awsya terdiam dan merenung di jembatan Krueng Rayeuk, sebenarnya ia sedang mempelajari sesuatu. Aku tak menyangka ia seorang yang sangat teliti. Dan Sambil terus mendengar, aku menarik rokok yang terakhir, lalu ku buang puntungnya dan langsung menarik sebatang yang lain.
“Aku yakin, dari suara tembakan orang itu, kau pasti tahu kan detektif jenis senjata apa yang ia gunakan…”
“Ya. Tapi…”
Fiuuhhh
Aku mengembuskan asap rokok.
“Bukannya dengan ia menggunkan jenis pistol otomatis dapat memudahkannya untuk menyasar target — maksudku kita. Ia bahkan mengenai Dokter Fahrul.”
“Barangkali…” Awsya melipat kedua tangan, “sniper itu bukan seorang penembak sepertimu. Ia bukanlah ahlinya.”
Aku memandangi Awsya dalam-dalam. Dapat ku pastikan tatapanku lebih serius kali ini.
“Seorang amatir…” ujarku.
“Ya, seorang amatir yang nekat.”
“Baiklah, izinkan aku berkesimpulan.” Ku tarik lagi rokok.
“Angin kencang, arah jam sepuluh, peluruku mengenai tiang lampu di sini dan miliknya mengenai tiang lampu di jembatan… menembak dari lantai empat, menggunakan pistol otomatis, dan menghentikan serangan setelah beberapa kali aku menembak ke arah sini…”
Fiuuhhh
“Awsya… mungkin orang itu masih di sekitaran Mall ini.”
Sekarang, malah dirinya yang merasa bingung.
“Dua satpam yang tewas…” ujarku menoleh kepada jasad mereka.
“Sampai detik ini tak ada polisi yang datang untuk setidaknya mendapat kabar darurat. Bukankah hanya kita berdua yang tiba?” kataku lagi.
“Benar juga. Sepertinya aku memikirkan hal yang sama denganmu, detektif.”
“Sniper itu adalah orang yang mengenali Mall ini lebih dari siapapun.”
Awsya mengangguk. Tiba-tiba…
Psssttt…
“Detektif, ini Kapten Tiyo. Kami akan segera menyusul dalam sepuluh menit.”
“Dimengerti.”
Pesan yang ku kirim ke bos sudah selesai. Kini, sambil menanti mereka tiba, aku harus menerobos sedikit lebih jauh. Firasatku berkata demikian dan aku hanya perlu memastikan.
Tidak!
Aku dan Awsya akan memastikannya karena kami berdua memang sedang menjalani misi bersama.
“Ingat yang ku katakan tadi, kan?”
“Ya. Aku akan berjalan beriringan denganmu, dan ku pastikan tak akan gegabah.” Sahutnya.
“Yosh…” Aku memadamkan listrik menggunakan alat khusus.
Awsya malah bertanya-tanya mengapa listriknya tiba-tiba padam.
“Mencari dalam kegelapan juga salah satu keahlianku. Ini hanya pengecoh.” Jelasku.
Ku ambil grapple gun mini, menekan pelatuknya yang sudah ku sasar ke lantai empat. Talinya menembus kaca — pecah — dan kemudian terlilit sempurna di sebuah besi penyanggah.
“Kau sering menggunakan mainan ini ya…” ujar Awsya.
“Jika aku butuh cara yang lebih praktis…”
Setelah itu, ku pinta Awsya mendekatiku. Tanpa banyak basa-basi, ia berjalan, memposisikan dirinya agar kami saling berdiri berhadapan, lalu mendekap tubuhku. Sedangkan tangan kanan ku masukkan ke sela-sela lengan wanita ini, menempelnya se-erat mungkin di punggung untuk menopang tubuhnya. Satu tangan lagi ku pegangi pistol.
“Siap?”
“Emm” ia mengangguk.
Ctekk…
Ku tekan pelatuknya dan kami langsung terbang ke lantai empat. Tepat sebelum tali ini tertarik habis, ku tolak tubuh kami berdua menjauhi kaca yang pecah tadi. Ketika kami akan tertarik masuk ke dalam,
“Angkat kakimu…!” ujarku.
Awsya bergerak cepat begitupun diriku yang dengan sigap menarik diri sedikit ke atas, seperti meloncat menendang udara. Dan begitu kami terdorong masuk, ku turunkan kedua kaki sebelum wanita ini melakukannya. Sembari mengimbangi tubuhku dan tubuhnya, kakiku langsung menyentuh lantai. Kami mendarat dengan baik.
Ctekkk…
Ku tekan pelatuk pistolnya lebih dalam, dengan otomatis benda pengerat yang tersangkut di besi penyanggah ini terlepas sendiri. Wanita ini lalu melepas dekapannya.
“Jangan ceritakan pada Kapten atau Benny.” Celotehku.
Awsya mengangguk sambil tersenyum.
Pukul 02.30 dini hari
Dalam posisi gelap-gelapan, kami berjalan perlahan sambil memeriksa ruangan di lantai empat Cot Jambe Mall. Sepertinya, yang kami masuki ini adalah gudang penyimpanan. Dengan bantuan senter yang cahayanya dapat ku lebarkan dank u luruskan, memudahkan kami melihat ke sekitar.
Tapi, di dalam sini aku mendapatkan beberapa alat kebersihan. Aku sudah salah beropini. Awsya berjalan mendekati tumpukan kursi, ada dua sapu juga di dekat situ.
“Detektif…” gumam wanita ini.
Aku berjalan menghampirinya dan mendapati seorang lelaki — sepertinya ia sudah tewas. Temanku memeriksa denyut nadi laki-laki itu, terus dilanjutkan dengan melihat-lihat ke sekujur tubuh jasad tersebut.
“Ada luka tembak di kaki…” ujarnya lagi.
Aku menekuk di sebelah Awsya, memang benar terdapat luka tembusan peluru. Kemudian ku arahkan senter ke sisi kanan, aku menemukan sebuah pistol otomatis.
“Apa dia orangnya?”
“Bisa jadi,” sahutku.
“Jika begitu, berarti tembakanmu menewaskannya.”
Aku sedikit tidak sependapat dengan Awsya. Sebab, jika peluru senapanku hanya mengenai kaki orang ini, masih kecil kemungkinan dirinya tewas. Terlebih lagi, mengapa jasadnya malah agak jauh dari posisi dirinya menembak?
Masuk akal jika lelaki ini meninggal karena kehabisan darah. Tapi…
“Perhatikan kepalanya Awsya. Darah ini…”
Ku ambil sehelai kain mungil dan menghapus darah yang ada di dahi pria itu. Begitu mulai agak bersih, aku menemukan ada lubang kecil tepat di tengah kepalanya.
“Dia mati karena tertembak di sini.” Aku menunjuk kepala jasad lelaki tersebut.
“Berarti, dua pelurumu mengenainya…”
“Hmm, sepertinya tidak juga, Awsya.”
Aku pun berdiri dan berjalan ke setiap sisi — setiap sudut ruangan ini. aku melirik, menatap, memperhatikan sedetil mungkin dari kanan, kiri, atas, bawah. Dari semua pergerakan yang ku lakukan, aku menemukan dua butir anak peluru. Awsya mendatangiku.
“Dua peluru dari dua jenis senjata yang berbeda. Yang satu ini jelas punyaku. Dan ini… milik orang yang memakai senapan laras panjang.” Kataku.
Awsya mulai mengelus-elus dagu, sesekali ku lihat ia juga membelai kepala yang terbalut rapi dengan jilbab berwarna biru tua. Sedangkan aku sedang mencoba memberi kesimpulan terhadap temuan yang kami dapat. Lalu, bagaimana aku berasumsi?
“Hei, tidak bisakah kau melacak seluruh gedung ini seperti yang biasa kau lakukan?” tanyanya.
“Aku bisa melakukannya jika kita datang ke sini sebelum kejadian. Untuk sekarang, terlalu bahaya ku lakukan, karna aku harus meletakkan beberapa alat mainanku ke setiap sudut gedung ini. Sedangkan, kita belum tahu apakaah orang itu pelakunya atau ada orang lain.”
Polwan ini kemudian berjalan ke sisi Mall tempat kami memasuki gedung ini. ia menatap lurus kea rah jembata Krueng Rayeuk.
“Bagaimana… jika sebenarnya ada dua tersangka?”
Aku mengambil sebatang rokok dan membakarnya, lalu menjawab, “itu lumayan masuk akal.”
Awsya membalikkan badannya, matanya memandangiku.
“Kini, agar masuk akal, anggap saja pelakunya adalah security Mall ini. maka, yang harus kita telusuri adalah tempat-tempat yang sering mereka datangi untuk memeriksa keadaan.”
Bagus juga pendapat wanita ini, pikirku.
“Oke, pos satpam di depan sudah. Sisi luar juga sudah, sekarang kita berada di dalam…”
“Mall pasti memiliki tempat penyimpanan — gudang — seperti tempat ini.”
“Kita mesti memeriksa tempat yang sama di tempat yang berbeda.”
“Ya…” sahutnya, ia mengambil hape dan melakukan sesuatu. “Aku punya daftar tempat penyimpanan Mall ini di setiap lantainya.”
“Yosh… kita akan memulai dari sini.”
Awsya mengangguk menyahuti perkataanku.
Dan kami pun bergegas mencari gudang lainnya.
“Awsya, persiapkan senjata. Mulai sekarang, aku punya firasat lain.”
“Aku mengerti. Lagipula, sepertinya firasatmu itu sama denganku.”
Awsya dan aku memulai pergerakan. Awalnya kami berjalan perlahan beriringan, tapi kemudian ia malah pindah membelakangiku dan menyandarkan punggunya ke punggungku. Kami berjalan sambil saling melindungi. Ia sudah memegangi sebuah pistol, aku hanya menggenggam bilah kecil dengan tangan kanan ku arahkan sinar senter ke kanan, kiri dan depan. Wanita ini pun juga sama.
Dengan suara tapak sepatu yang senyap-sunyi, kami menyusuri setiap gudang yang ada. Berdasarkan informasi dari Awsya, di setiap lantai terdapat dua gudang, walaupun detilnya tidak kami ketahui, setidaknya itu sudah cukup.
Lima menit waktu yang kami habiskan memeriksa satu gudang di lantai empat, kini kami sudah berada di tempat kedua. Namun, tak ada tanda-tanda yang mencurigakan. Tiba-tiba,
“detektif, lihat.”
Ia menampakkan layar hape-nya. Itu adalah daftar satpam yang bertugas pada malam ini. Awsya mendapatkan ini dari seorang kenalannya yang merupakan manajer di Cot Jambee Mall.
“Seharusnya ada empat orang yang bertugas. Tiga kita temukan tewas, satu orang lagi…” ujarnya.
Psstt
Radio penghubungku berbunyi.
“Ini Fuad. Detektif, apa kau berada di dalam Cot Jambee Mall?”
“Ya… katakan posisimu.”
“Aku berada di belakang gedung. Sekarang sedang mengamati seseorang yang mencurigakan.”
“Apa yang orang itu lakukan?”
“Tidak jelas. Saat ini aku tidak memegang satu pun senjata, tapi aku sudah menghubungi bala bantuan dan mereka…”
Tiba-tiba terdengar suara tembakan.
“Fuad… Fuad, jawab!!!”
Sialan, apakah terputus?
“Hei Awsya, kau memakai baju anti peluru, kan?”
Ia mengangguk.
Kemudian ku ambil beberapa peralatan dari dalam jubah dan memberikannya kepada wanita ini.
“Apa ini?” tanyanya.
“Alat setrum, kalau yang ini untuk melumpuhkan senjata. Kau ahli dalam urusan membidik, sasarkan tepat ke senapan lawan — ada sinar laser berwarna biru untuk melumpuhkan, dan sinar merah untuk mengaliri listrik. Pilih salah satu yang menurutmu terbaik untuk memusnahkan senapan musuh.”
Aku juga memberinya sepasang sarung tangan, “pakai ini.”
“Yang ini…?” ia bermaksud menanyakan sarung tangan itu.
“Pakai saja, aku tak punya waktu untuk menjelaskan.” Ujarku sambil mengenakannya juga.
Kemudian, aku mengambil alat yang ku gunakan untuk memadamkan listrik, ku tekan tombolnya, seketika listriknya kembali menyala.
“Bukankah kau bilang memburu di dalam kegelapan adalah cara terbaik?”
“Kali ini untuk mengalihkan musuh.”
Sepertinya Awsya masih agak kebingungan. Tapi aku tak menggubris sikapnya dan langsung bergegas bergerak ke lantai tiga. Ia tertinggal di belakang sembari membuntutiku namun ku perlambat langkah agar kami kembali beriringan dan menuruni anak tangga tangga karena lift masih belum berfungsi.
Psstt…
“Di sini Kapten Tiyo, Jim… di mana posisimu?”
“Abaikan aku dan cepatlah ke sisi belakang Mall ini. Aku juga mengarah ke sana. Fuad dalam bahaya.”
“Dimengerti.”
Saat sudah berada di lantai dua, lagi-lagi terdengar tembekan. Kali ini suaranya berada dalam gedung. Aku spontan menarik Awsya berlindung di balik sofa. Sepertinya kami berada di tempat lapak penjualan sofa.
Tembakannya terdengar dari atas, sungguh aneh.
Door door door
Berkali-kali bajingan itu menyasarkan peluru. Sedangkan aku sontak memadamkan lagi listrik.
“Keparaatt…!”
Kini, bandit itu mulai bersuara.”
Aku mencoba memancingnya dengan melempar besi mungil yang sangat padat ke sebuah benda yang mudah pecah.
Praangg
Dan orang itu pun membalasnya dengan tembakan. Sepertinya ia mulai waspada.
Dalam situasi darurat, aku mencoba kritis untuk mempersiapkan strategi. Tiba-tiba Awsya malah menembak. Aku langsung menghentikannya.
“Apa yang kau lakukan?”
“Memancingnya…”
“Jangan sembarangan, kita butuh peluru untuk menyerang…”
“Tenang saja…” Awsya menjawab dan menunjukkan padaku bahwa ia sudah memisahkan tempat peluru dari pistolnya. Yang ia lakukan tadi hanya tembakan kosong.
“Pastikan kau sigap memasukkan itu lagi…” ujarku.
Sebuah bola kecil ku ambil dari dalam jubah, melemparnya jauh dari tempat kami sembari menyalakan listrik. Tepat setelah bola itu menyentuh lantai dan beriringan dengan hidupnya lampu…
Duaarrr
Benda tadi meledak dan menyebarkan asap yang lumayan banyak. Cukup untuk menahan jarak pandang selama tiga menit. Tujuanku adalah membutakan penglihatan lawan, dan bagiku,waktu selama itu mungkin cukup.
“Tunggu di sini,” pintaku pada Awsya lalu memakai kacamata hitam. Ini adalah kacamata yang berguna melacak posisi orang lain dari balik kabut asap yang ku sebabkan tadi.
Aku keluar dari tempat persembunyian, melacak — dapat — ada dua orang di lantai tiga. Dan di atas sana, mataku menangkap, ada seseorang yang berlari menyerang dari belakang.
“Habis kau!”
Aku mendengar teriakan yang ku yakini itu pasti suara Fuad. Apa dia di sana? Kini dua orang di lantai tiga malah saling bertarung. Sialan, asap ini pun sebentar lagi malah akan lenyap. Sekarang pun bahkan sudah sedikit menghilang.
“Kau…”
Spontan aku menoleh ke arah Awsya, seseorang lelaki lain menyerangnya. Kepalan tinju pertama orang itu berhasil ditangkis oleh wanita ini. Tapi setelahnya, pria tersebut mulai menyerang membabi buta. Ia mencekik leher sang polwan hingga kedua kakinya terangkat, lalu dibantingnya wanita itu ke lantai. Hantamannya keras hingga membuat temanku tergeletak lemah begitu saja.
Aku berlari menghampiri di tengah firasat menyuruhku untuk menjauh. Bersamaan dengan itu, entah kenapa aku malah menggerakkan kaki ke sisi kiri, menekukkan tubuh dan berguling tanpa ku pinta. Dalam sepersekian detik, beriringan dengan pergerakanku, pria tadi menyadari kehadiranku dan mencoba menembak.
Aku tepat waktu mengindar. Tapi dia tidak berhenti menembak dan meluapkan amarah, membuatku seolah menjadi bulan-bulanannya. Aku pun terpaksa bersembunyi sambil memastikan situasi yang tepat. Ku harap Awsya baik-baik saja.
“Keluar kau keparat. Apa kau takut?” Ia mulai bermulut besar.
Kali ini, aku besrsembunyi di balik mobil — ini adalah lapak penjualan mobil. Aku harus menyembunyikan seluruh tubuh di balik body dan ban yang menurutku, di sini, orang itu tak dapat menyasarku.
Sesekali ku intip dirinya dari sela-sela kaca jendela mobil. Memang sedikit gelap, tapi aku masih dapat melihat pergerakan musuh.
“Ku tunggu satu menit, jika kau tak keluar… akan ku lakukan sesuatu kepada wanita ini. aku suka membuat wanita menjerit.”
Sialan, apa dia sedang menguji kesabaranku?
Di saat-saat aku melirik pergerakan pria bersenjata itu, ku lihat ia mulai mendekati Awsya. Dalam hati, aku terus memohon, “Awsya, cepat lakukan sesuatu, kau pasti bisa.”
Ketika dirinya membungkukkan badan mendekati temanku yang masih terbaring, tiba-tiba lelaki itu menjerit tak karuan. Seketika ia terangkat lalu terpental.
“Ini kesempatan yang bagus.”
Aku keluar berlari, melihat orang itu terjatuh dengan tubuh kejang-kejang. Namun sebelum diriku tiba, ia berhasil bangkit — masih dalam keadaan belum seimbang. Dan dia tak menyadari jarakku hanya selangkah saja darinya. Langsung, dari belakang, ku lilitkan tanganku ke lehernya. Ia mencoba melawan.
Ternyata, ia adalah orang yang bersama dokter Fahrul di jembatan Krueng Rayeuk.
“K kau… berani-beraninya…” ia mencoba mengoceh padahal napasnya semakin sempit akibat ulahku.
Aku menatap Awsya, ia masih sadar hanya sedikit lemas. Mungkin karena tadi. Lalu,
“Fuaad, jawab aku jika kau ada di atas sana…” aku berteriak.
“Ku serahkan yang di bawah padamu. Aku sedang sibuk di sini.”
Mendengar jawabannya, itu merupakan sinyal bagus.
Yosh, baiklah. Tanpa basa-basi, aku menguatkan lenganku yang sudah mengapit leher pria ini. Ku angkat tubuhnya ke atas lalu membalas dorongan dengan membantingkannya ke lantai.
Dukk
Ia mengerang kesakitan sambil memegangi punggung.
“Itu sebagai balasan karena sudah melakukan hal yang sama pada Awsya.” Gumamku.
Amukanku tadi sudah lebih dari cukup untuk menghentikannya. Padahal aku hanya menyerangnya sekali. Tapi mungkin wajar, sebab dari yang ku lihat, pria ini sudah agak berumur, barangkali sekitar lima puluh-an ke atas.
Meski begitu, aku tidak membiarkannya tergeletak lemah begitu saja. Sebagai antisipasi, ku tanggalkan pakaiannya dan mengikat kedua kaki. Sedangkan tangannya ku borgol saja.
Lalu aku menghampiri Awsya, “kau baik-baik saja?”
Ia membalasku dengan senyuman yang mana ku yakini sebenarnya ia sedang memaksa menjawab baik-baik saja. Padahal mimik wajahnya terlihat sebaliknya. Wanita ini pun bangkit, masih terduduk.
Dari lantai dua, aku terus menunggu kesempatan untuk datang membantu Fuad. Sesaat ku lirik Awsya, ia masih berusaha berbaikan dengan rasa sakit. Pasti, punggungnya sangat menderita.
Psstt…
“Detektif, Kapten Tiyo di sini. Apa kau bersama Fuad?”
“Ya, kami sedang melumpuhkan musuk. Butuh bantuan segera.”
“Lima polisi sudah masuk ke dalam…”
Belum selesai Kapten menyelesaikan perkataannya, Awsya menjerit — sedangkan aku terkejut tak percaya. Fuad dan lelaki yang bertarung dengannya — mereka berdua terjatuh dari lantai tiga, langsung terjun ke lantai satu dan…
Dubraakk
Keduanya menghantam meja. Mereka terjatuh di tempat masakan cepat saji. “Ini bukan saatnya untuk beratraksi…” ujarku membatin.
“Awsya, gunakan pistol jika orang itu kembali berulah, atau jika ada musuh lain yang datang. Kita akan baik-baik saja.”
Ia mengangguk dan aku bergerak cepat yang dalam sekejap, mataku menangkap ada beberapa tempat tidur terletak di lantai satu. Tanpa berpikir panjang, ku abaikan tangga dan melompat ke bawah. Sebelum mendarat, ku pastikan kedua kaki memijak tempat tidur ini dengan baik.
Dan langsung saja, tepat setelah kakiku menyentuh permukaan tempat tidur, ku beratkan massa tubuh kemudian menolak diri ke atas sembari melakukan gerakan akrobat. Seketika diriku mendarat lagi di lantai.
Dari jarak sekitar sepuluh meter, Fuad dan bandit itu masih mencoba saling bangkit. Namun si bajingan itu malah lebih dulu berhasil. Ia mengambil bongkahan kayu dan menghantam keras rekan polisiku.
Aku pun berlari sekencang mungkin. Saat pria itu merasakan kehadiranku, ia berbalik dan bersiap memukuliku juga. Namun, serangannya mudah saja ku patahkan. Bahkan kayu yang ia gunakan untuk memukulku patah sebab aku membalasnya dengan kepalan tinju.
Bersamaan dengan itu, ku daratkan tendangan ke dadanya di mana ia berhasil mundur dua langkah sebelum tapak kakiku mengenainya. Tapi setidaknya dapat memberiku ruang untuk mengatur serangan selanjutnya.
“Kau tangguh juga detektif. Usaha kami membunuhmu di jembatan itu sia-sia.” Ucapnya. Ia mengumbar senyuman meremeh.
“jadi, kau yang menembak kami berdua bersama rekanmu, ya…”
“Dia tidak berguna, itulah mengapa aku membunuhnya.”
Ia mengambil kayu lainnya — lebih tepatnya balok. Dan benda itu sepertinya dua kali lebih padat dari kayu yang ia gunakan tadi.
“Sekarang, ayo kita buktikan siapa yang mampu bertahan…”
“Bukannya menolak, tapi kau sudah dikepung. Maka menyerahlah.”
“Bajingan…!” Ia menyerang.
Pria tersebut akan tiba melayangkan pukulan di antara langkah kakinya yang ke lima atau ke enam. Aku punya waktu sekitar lima detik untuk melihat gerakan pertama yang ia lakukan. Kemungkinan ia menyerang dengan balok adalah sembilan puluh persen. Sedangkan selebihnya, ku perkirakan menggunakan kaki.
Maka, lima detik kemudian, ia menghantam dari sisi kanan. Balok itu berjarak sangat dekat dan aku, dalam kurun waktu sedetik, langsung menekuk, melangkah ke sisi yang sama, meraih tangan kirinya dan ku coba hempaskan ia jauh dariku.
Tapi ternyata dia lumayan sigap. Pria ini sengaja mengantukkan kepalanya ke kepalaku. Akibatnya, genggamanku terlepas dan aku malah membuka pertahanan, membuatnya leluasa melayangkan balok lagi.
Duakk
Aku tak sempat mengelak, ia menghantamku di pipi. Seketika diriku terpental dan menyemburkan darah. Sepertinya pun aku kehilangan keseimbangan. Dan ini seakan menjadi momen terbaik baginya untuk menghabisiku seperti anjing liar.
Bertubi-tubi ia mengayunkan balok. Satu… dua… tiga… aku masih beruntung dapat menghindar. Begitu ayunan ke empat, balok sialan ini menghujani rasa sakit tepat di dadaku.
Seperti dipaksa menekuk, aku menahan kesakitan. Tapi sebisa mungkin ku coba untuk tenang. Karena, selang dua detik, ia menghampiriku lagi dan bersiap dengan satu hadiah pukulan.
“Rasakan…!”
Tassh
Aku menahan balok itu dengan tangan kanan yang berhasil terlepas dari genggaman orang gila tersebut. Di momen sempit ini, tak ku biarkan dirinya mengambil lagi benda itu. Aku langsung memberi sepakan ke pinggulnya. Memang tak seberapa, tapi cukup bagiku untuk mengatur napas.
Ku lihat ia juga menahan rasa sakit. Kami berdua saling tak diuntungkan jika salah satu mampu menyerang di titik lemah. Aku mencoba memperhatikan tubuhnya dengan seksama, bagian dada adalah tempat di mana ia merasa kesakitan. Mungkin karena sepakan pertamaku yang tadi. Sedangkan aku, wajah dan dada adalah kelemahan tersendiri.
Kini, ku lirik matanya yang dengan cepat ku alihkan ke arah kaki. Aku sengaja tidak menyerang lebih dulu dan membiarkan dirinya yang maju. Dan begitu langkah kakinya bergerak, “satu, dua, tiga…”
Aku pun mengalihkan pandangan, tertuju lurus ke arah matanya. Ketika ia hampir mendekatiku, aku berlari, melayangkan tangan kanan sebagai serangan pengecoh. Ia lantas mencoba menangkis dan segera ku belokkan ke bawah menyasari paha kanannya.
“Akkkhhh”
Begitu ia sedikit menekuk, dalam posisi itu, ku hempaskan lagi sebuah tinju ke dagu menggunakan tangan kiri. Tubuh lelaki itu terdorong ke atas. Kini, dalam satu detik, pertahanannya terbuka lebar, langsung saja dua serangan berikutnya, ku daratkan beruntun ke dadanya. Ia pun tersungkur.
Ketika aku hendak menghabisinya dalam posisi terbaring, tiba-tiba ia menendang kemaluanku.
“Oouukhh…”
Memang aku berhasil mundur beberapa senti, tapi tetap saja tak dapat ku elak. Itu merupakan serangan yang tak pernah ku sangka-sangka, membuatku berlutut tak karuan.
Sepertinya aku akan kalah sebab dari biasan penglihatanku, ia mulai berdiri dan berjalan mendekati. Di tangan sudah ada balok yang tadi.
“Kau sungguh naif, detektif. Terlalu meremehkanku.”
Bajingan ini sudah merasa di atas angin, tapi tiba-tiba ia terkena tembakan.
Door
Peluru itu menyasar ke paha belakang. Ia lalu menoleh ke belakang, aku pun juga mencoba mencari tahu siapa yang menembak.
“Menyerahlah…” Ujar Awsya.
Ternyata wanita ini yang menembak. Aku tak menyadari bahwa ia sudah berada di lantai satu.
“Keparat…”celoteh bandit itu.
Ia berusaha kabur padahal kakinya sudah terluka. Seketika, tubuhnya malah kesetrum,
“aaaakkkkkkhhhh…”
Bruukk
“Dasar keras kepala.” Gumam Awsya.
Ia menyetrum bandit tersebut dengan alat pemberianku tadi. Dan Awsya melakukannya tepat waktu meskipun agak sedikit berlebihan. Ada tiga tombol pada alat itu di mana kekuatan daya listriknya berbeda-beda. Barangkali, rekan wanitaku ini menekan tombol di level tertinggi. Aku mengetahuinya karena tubuh bajingan itu mengeluarkan asap. Ia juga tergeletak kaku tidak bergerak sama sekali.
“Kau baik-baik saja detektif?”
“Apa aku terlihat baik-baik saja, hah…?”
Awsya tersenyum mendengar diriku mengoceh dalam posisi berlutut seperti ini.
“Sepertinya lebih sakit dari dugaanku,” ia menjulurkan tangan untuk membantuku berdiri.
Aku pun bangkit tapi masih tertekuk. Rasa sakitnya seakan hampir meremukkan tulang-tulang. Dasar.
“Aku berharap senjatamu aman-aman saja di dalam sana…”
“Entahlah… semoga saja aku masih sanggup menerbangkannya — jika aku butuh.”
Aku menatap Awsya sembari tersenyum yang dengan langsung dirinya menarik kupingku. Di sisi lain, Fuad terlihat terduduk pasrah di sekitaran tumpukan patahan meja.
“Yoo, bagaimana keadaanmu?” Aku bertanya. Ia hanya mengacungkan jempol, pertanda semua masih terkendali.
Selang satu menit kemudian, Kapten dan pasukannya tiba.
“Sepertinya, kami telat.”
“Lebih baik telat daripada tidak sama sekali.” Sahutku.
“Kau terlihat kacau, detektif…”
“Aku terbiasa mengalaminya.”
Pukul 04.15 subuh
Dari Cot Jambee Mall, aku, Awsya dan para polisi lainnya menuju ke Rumah Sakit Umum Cot Jambee. Dalam dua puluh menit perjalanan, kami tiba, memarkirkan mobil dan bergegas ke kamar jenazah di mana Dokter Fahrul masih ditempatkan. Begitu tiba, kami berdua masuk ditemani oleh Fuad dan Kapten Tiyo. Sedangkan lima polisi lainnya menunggu di luar.
Ternyata, pihak rumah sakit sudah membersihkan jasad Dokter Fahrul dan diselimuti dengan sehelai kain kafan, menutupi ke sekujur tubuhnya. Lalu seorang dokter pria dan tiga perawat; dua laki-laki dan satu perempuan, datang menghampiri kami.
“Abdul…” ujar dokter itu sambil menjulurkan tangannya kepada Kapten.
“Tiyo…” jawabnya sambil membalas uluran tangan dokter.
“Ini Awsya, Fuad, dan ini Detektif Jimmy.” Sambungnya lagi.
Dokter Abdul segera mendekatiku, “senang bertemu, detektif.”
Aku hanya mengangguk di tengah kami yang saling bersalaman.
“Lalu, bagaiaman kelanjutan ini…? apa kau mendapatkan sesuatu dari tibanya Dokter Fahrul sampai sekarang?” Bos bertanya.
Abdul membuka kain kafan itu sampai ke pinggang, “dua luka akibat tembakan, di bahu dan perut. Selebihnya tak ada.”
“Kau sudah mengautopsi-nya? Barangkali ada hal lain selain luka itu.”
“Sudah, pak. Kami tidak menemukan keanehan lain yang menyebabkan Dokter Fahrul meninggal.” Kata Abdul kepada Kapten.
“Pagi nanti pukul enam, jenazah dokter akan dikebumikan oleh pihak keluarga. Dan untuk sementara ini, mereka sedang berada di luar. Jika anda ingin menjumpai salah satu dari keluarga dokter, aku akan mengantarkanmu.” Sambungnya lagi.
“Tak apa, ini bukan waktu yang tepat untuk bertemu keluarga. Masih dalam situasi berduka. Tapi… kami butuh beberapa informasi darimu, dan ini mungkin ada kaitannya dengan kematian Dokter Fahrul.”
“Aku siap memberikan apapun yang ku ketahui.”
“Dokter jamal, apa kau tahu pergerakannya selama ini?”
Sontak Abdul terkejut mendengar perkataan Kapten Tiyo. Ia terdiam sejenak sebelum memutuskan untuk berbicara.
“Sebenarnya, dia adalah orang yang tak boleh kami sebut sembarangan.”
“Dan kami bukan orang sembarangan…”
“Aku mengerti. Tapi lebih baik kita membahasnya berdua saja, di tempat yang lebih aman.”
“Aku butuh detektif Jimmy juga bersamaku…”
“Dan aku butuh mereka berdua…” sahutku dengan maksud mengajak Awsya dan Fuad.
“Baiklah, ikut aku.” Tutur Dokter Abdul.
Di ruangan pribadi Dokter Abdul
Sudah hampir pukul lima subuh. Tak ku sangka kasus kematian Dokter Fahrul berlarut selama ini.
“Apa boleh aku merokok di sini?” tanyaku.
“Sebenarnya tidak, tapi jika kau bersikeras, sebaiknya buka jendela dan merokoklah di dekat sana. Pastikan asapnya tidak terlalu banyak tertinggal di sini.”
Memang ruangan Dokter Abdul sangat steril. Dia pasti orang yang peka terhadap kebersihan. Sebab, sejak awal tiba, kami semua diminta untuk membuka sepatu.
Di sini, kami duduk di sofa — ada empat — satu dapat di tempati oleh tiga orang, dua lainnya hanya untuk seorang di mana Abdul dan Awsya masing-masing duduk di situ. dengan seduhan kopi panas, kami membahas panjang lebar tentang Dokter Jamal. Abdul, adalah salah satu orang yang mengenal baik orang itu.
“Aku masih belum paham kenapa kematian Dokter Fahrul ada kaitannya dengan Dokter Jamal.” Kata Abdul.
“Masih ingat bencana erupsi Gunung Cut. Bukankah kau juga salah satu dokter yang menangani para korban?” ujarku.
“Ya, saat itu korban yang meninggal ternyata bukan dikarenakan bencana itu, melainkan ditemukan zat beracun dalam tubuh mereka. Penyebabnya karena salah obat tapi kemudian menjadi panjang dengan dugaan sengaja memberikan zat beracun itu.”
“Kau tahu kejadian yang sebenarnya, kan?”
Dokter Abdul mengangguk, “Jamal adalah otak di balik itu semua. Dia bertanggung jawab atas semua korban yang tewas.”
“Aku sudah tahu itu. Namun, kenapa kasus itu tiba-tiba terhenti dan tak ada kelanjutannya?”
“Dia merupakan orang besar. Terbebasnya ia karena memiliki beberapa orang penting di belakangnya. Begini…” Abdul menyeduh kopi.
“Bukti untuk menjebloskan Jamal ke penjara, semuanya sudah tersusun rapi. Tapi karena ia menyuap hakim saat di persidangan, semua terhapus tanpa jejak. Dan berita kematian para korban akibat keracunan, lenyap seketika. Mereka mengubahnya dengan pernyataan, korban-korban itu tewas karena udara tak sehat yang disebabkan oleh erupsi gunung Cut.”
“Bukankah ada hasil pemeriksaan terhadap para korban? Tiga dari mereka diautopsi, kan…?”
“Hasilnya tersimpan rapi dalam genggaman Jamal. Mungkin pun sudah tak ada lagi.” Sahut sang dokter.
Aku lalu berjalan ke dekat jendela, membukanya dan mulai membakar rokok.
“Dokter…” ia menoleh padaku yang mulai memasuki tahap seirus.
“Aku tahu, ada beberapa dari kalian yang mengecam Dokter Jamal dan berusaha membawanya ke penjara. Kau dan Dokter Fahrul adalah sosok yang pernah berusaha, kan.”
“Memang…”
“Lantas, kau pasti juga punya bukti jejak Dokter Jamal saat itu.” Sambungku.
Abdul terdiam sejenak, ia terlihat ragu-ragu menyahutiku.
“Asal kau tahu, kasus kematian Dokter Fahrul sudah berjalan jauh sebelum dirinya tertembak. Dia tewas bukan karena orang amatir yang membunuhnya. Jauh sebelum itu, ia sudah ditargetkan mati. Dan ini, juga berlaku untukmu.”
Semua terlihat kebingungan kecuali Abdul yang hanya serius menatap ke bawah sambil sesekali meneguk kopi.
“Kau sadar kan bahwa selama ini kau itu menjadi sasaran pembunuhan? Ada beberapa orang yang membuntutimu dari balik kegelapan. Bukan begitu? Ini adalah perencanaan yang sudah terstruktur rapi… dan jangan katakan jika kau tidak menyadarinya. Kau hanya sedang menutupi sesuatu karena mungkin kau takut.”
Abdul sepertinya mulai menyerah mendengar ocehanku. Ia lalu berdiri dan berjalan ke sebuah lemari. Ada satu buku tebal yang diambilnya. Barangkali itu sekumpulan catatan penting.
“Aku menyimpan buktinya di sini…” ia berjalan lagi membawa buku itu dan meletakkannya di atas meja yang dikelilingi sofa.
Tapi kemudian ia pergi ke meja kerjanya di mana ada sebuah laptop dan tumpukan buku yang tertata rapi. Abdul membuka laci kecil, mengambil flashdisk lalu menyerahkannya padaku.
“Jika kau ingin mencari tahu lebih jauh sedetil mungkin, dengarlah percakapan Jamal dan beberapa dokter lainnya di flashdisk ini. Tidak hanya itu, ada rekaman video juga.” Ujarnya.
Ia kembali lagi ke sofa dan duduk sambil meneguk kopi, “dan jika kalian ingin mendalami jenis racun apa yang mereka gunakan kepada para korban erupsi, buku itu adalah jawabannya.”
Awsya membuka buku tersebut dari halaman pertama. Sedangkan Abdul yang menolehkan pandangannya ke arah polwan ini melanjutkan, “racun itu menyerang organ dalam seperti ginjal dan jantung. Banyak efek buruknya. Kau bisa membacanya di halaman 109.”
Wanita itu menuruti perkataan Abdul dan langsung membuka halaman yang dimaksud.
“Kau punya bukti seperti ini, kenapa tidak melaporkannya pada kepolisian?” Kapten Tiyo menyanggah.
“Sejak kasus ini ditutup, Jamal menjumpai ku dan Fahrul, ia mengancam kami berdua. Lagipula…” ia menatap Kapten.
“Sudah beberapa kali aku mencoba ikut campur, tapi ancaman Jamal bukan sekedar gertakan. Sejak itu, aku bingung dan memilih bungkam karena bukan hanya aku, keluargaku juga dilibatkan.” Ia mengambil tisu dan membersihkan mulut.
“Tapi bertahun-tahun kemudian, Fahrul datang dan bersikeras ingin mengusutnya. Ia memaksaku dan para dokter lainnya untuk bekerja sama. Namun, aku tetap tak bisa menuruti itu. Masuk ke dalam ranah ini merupakan bahaya yang sangat ku khawatirkan.” Tuturnya.
“Jika kau menolak ikut campur, lantas kenapa Detektif Jimmy malah berkata kau adalah target pembunuhan?” Kapten bertanya.
“Fahrula sudah memulai mencampuri masalah Jamal. Secara diam-diam tentunya. Dalam kurun waktu itu, ada beberapa orang yang mengetahui pergerakan Fahrul. Seperti yang ku katakan, Jamal bukan orang sembarangan. Jika kau ikut campur dan melibatkan diri, nyawa adalah taruhannya.”
Abdul meneguk kopi sejenak, lalu, “karena pergerakan Fahrul dicurigai, otomatis orang-orang yang dekat dengannya juga akan terseret. Dan Jamal tahu betul siapa orang-orang yang sepemikiran dengan Fahrul. Itulah kenapa aku… bahkan keluargaku, sekarang terancam. Padahal, diam dan menganggap semuanya tuntas akan jauh lebih baik. Kini bukan hanya Fahrul atau aku, beberapa dokter lain bahkan dari kepolisian pun menjadi target Jamal.”
“Aku… aku tak tahu harus melakukan apa. Fahrul keparat,” Abdul memukul meja, membuat kopinya tumpah berserakan. “Karena dirinya kami sekeluarga terancam.”
Semua orang terdiam; Awsya berhenti membaca buku tadi, Fuad hanya menatap Abdul yang semakin tertekan, sedangkan Kapten terlihat duduk tenang sambil menyilangkan kedua tangnnya di dada.
Fiiuuhh…
Ku embuskan asap rokok keluar jendela. Ini adalah tarikan terkahir. Ku matikan, puting rokoknya ku letakkan di engsel jendela, lalu mengambil sebatang lain dan mulai merokok lagi. Aku butuh menjernihkan kepala sejenak sambil membawa mata memandangi jauh pemandangan gelap bercahayakan lampu di kejauhan.
Beberapa detik kemudian Kapten bertanya, “sekarang, apa yang akan kau lakukan? Apa kau punya cara untuk mengakhiri ini…? atau sekedar solusi untuk — ”
“Apa aku terlihat seperti memiliki solusi, hah?” Belum sempat bos menghabisi pertanyaannya, Abdul langsung menyanggah dengan suara yang lumayan besar.
Aku menoleh ke Abdul, “dokter, anggap saja pertanyaanku ini merupakan satu-satunya solusi yang harus kau lakukan…”
Ku tarik rokok dan mengeluarkan asapnya dari hidung, “langkah pertama, berdiam diri di sini dan membiarkan dirimu terus berada dalam tekanan hingga nanti kau terbunuh… atau, salah satu dari keluargamu yang terbunuh.
Ia menatapku dan mendengar serius yang ku katakan tadi.
“Atau langkah kedua, keluar dari tempat persembunyianmu, bergabung bersama kami untuk mengusut tuntas kasus ini.” Sambungku.
Fiuuhhh
“Apabila kau ada pendapat lain, utarakan sekarang. Jika tidak, yang ku katakan tadi adalah satu-satunya cara. Hidup dalam bahaya, atau… melenyapkan bahaya itu.”
“Apa kau dapat menjamin keselamatanku jika aku memilih cara yang kedua? Coba katakan,” ia berdiri, “berapa persen keselamatanku jika harus kita bandingkan dari dua opsi yang kau beri tadi?”
“Aku menemuimu bukan untuk menghitung-hitung persenan kehidupanmu. Aku datang untuk mengakhiri kasus ini yang sudah terlanjur tertulis alurnya.”
“Kau terlalu banyak berbicara seolah-olah kau dapat menuntaskannya…” Abdul mulai meluapkan emosinya. Ia membentakku
Di sisi lain, Kapten mencoba menehan amarah dokter dan memihak padaku, “kau terlalu berlebihan menilai Detektif Jimmy.”
“Aku berbicara sesuai apa yang ku lihat. Fahrul sudah mencoba ikut campur dan dia tewas. Lantas, pilihan bodoh macam apa yang diberikan oleh detektif ini?”
Kemudian aku berkata, “aku mendengar semua yang kau katakan tadi. Orang-orang yang sepihak dengan Dokter Fahrul berada dalam bahaya, bahkan termasuk kepolisian. Bukankah kau mengatakan itu tadi? Jika yang kau maksud adalah keselamatan nyawa, maka semua kita yang ada di sini… tak ada yang dapat menjamin untuk selamat.”
Fiuuhhh…
Aku kembali mengembuskan asap.
“Aku sudah tahu siapa saja di antara kalian yang menjadi sasaran Dokter Jamal. Aku pun tahu para polisi yang ditargetkan untuk mati, dan — aku — berada dalam salah satu daftar yang akan dibunuh.”
Abdul terkejut. Tidak hanya dirinya, Awsya, Fuad, bahkan kapten pun berlagak sama. Memang, sejak awal aku sudah menjadi incaran… mungkin terhitung sejak diriku menghadapi Sharva, wanita sang pembunuh berantai. Atau barangkali jauh sebelum itu.
Sharva memang menjadi senjata andalan Dokter Jamal untuk menghabisi siapapun yang mencoba mengusut kembali kasus kematian korban erupsi gunung Cut. Setelah kritis di rumah sakit akibat wanita pembunuh itu, aku sudah mempelajari beberapa hal tentang kasus Dokter Jamal. Memang tak banyak, tapi untuk saat ini, aku sudah cukup persiapan untuk menghadapi segala kemungkinan yang tak terduga yang bisa saja terjadi.
“Aku tak pernah mendengar wanita itu…” kata Abdul. Maksudnya adalah Sharva.
“Dia adalah pembunuh senyap yang sudah menewaskan beberapa polisi.”
“Sharva mati bunuh diri setelah kami berhasil menyergapnya. Dan kematiannya meninggalkan banyak catatan pertanyaan. Yang jelas, dia adalah sosok yang berkaitan langsung dengan Dokter Jamal.” Ujar Kapten.
Sedangkan aku melanjutkan lagi, “racun yang kau katakan tadi, aku juga sudah pernah merasakannya saat berhadapan dengan Sharva. Akibatnya, aku kritis dan mesti dirawat selama seminggu di rumah sakit.”
“Kau beruntung dapat selamat, karena sebenarnya racun itu sangat mematikan dan kau tak sadar sudah diracun. Dalam tempo menit bahkan detik, kau bisa langsung mati.”
“Ku pikir,” aku berhenit dan menarik rokok, “Dokter jamal memang memformulakan racun itu dalam berbagai tingkatan. Bukan begitu…?”
“Kau bahkan sudah lebih dulu tahu sebelum membaca buku itu…” sahut Abdul merujuk pada buku yang diambilnya dari dalam lemari.
“Yang ingin ku katakan bukanlah racunnya, tapi coba pahami… Dokter Jamal memang sedang berusaha menghapus catatan hitamnya di balik kematian para korban erupsi gunung Cut. Sharva tadi, adalah salah satu bukti, dokter itu sedang bergerak dalam kegelapan. Dan jangan berpirik hanya perempuan itu saja. Dia hanya salah satu alat yang digunakan oleh sang dokter. Alat-alat lainnya bisa ku katakan orang yang menyebabkan Dokter Fahrul tewas. Ketahuilah, Dokter Jamal takkan berhenti sebelum semua yang mengusiknya mati.” Jelasku panjang lebar.
Awsya menatapku, ia seperti mengkawatirkanku yang sudah terbawa dan terjerumus ke dalam kasus ini.
“Itu inti dari pilihan yang ku berikan, dokter.” Kataku.
Abdul lalu berdiri, ia melangkah mendekatiku dan mengambil rokok dari dalam bungkus yang ku letakkan di engsel jendela.
Ctekk
Ia malah membakar racun ini juga, matanya menghadap keluar jendela seakan sedang berusaha menenangkan pikiran.
“Sebelum Fahrul tewas tadi malam, ia menemui seseorang bernama Harun, dokter juga. Mereka membuat janji untuk saling berjumpa di jembatan Krueng Rayeuk. Aku juga diajak tapi menolak. Dan aku, tak pernah berpikir mereka akan ditembaki di sana. Sepertinya, orang-orang yang kau katakan sebagai alat Jamal membunuh, itu benar adanya.”
Dokter,” gumamku, “Harun yang kau sebut tadi, dia tidak lagi berada di pihakmu. Aku berhasil menghentikannya bersama seorang satpam yang bekerja di Cot Jambee Mall.”
“Yang benar saja…” ia seolah tak percaya.
Aku mengangguk, “saat ini, kita tak tahu siapa musuh dan siapa rekan. Apalagi kau, yang masih bingung bersama tekanan.”
“Tujuanku menjumpaimu, aku butuh informasi. Dan mengetahui situasimu sekarang ini, kami semua berniat mengajakmu untuk bergabung dan menuntaskan kekacauan yang sudah amburadul. Maka, coba tenangkan dirimu dan pilihlah dua solusi yang ku berikan tadi.”
“Detektif, sejauh mana kau tahu tentangku?” Abdul bertanya beriringan dengan asap keluar dari hidungnya.
“Aku tahu detil-detil yang tidak diketahui oleh orang lain. Bukan hanya dirimu, para dokter yang menjadi target pembunuhan Dokter Jamal, aku tahu semua latar belakang mereka.”
“Bahkan Jamal…?”
Aku mengangguk menjawabnya. Kini, Abdul menatapku serius. “Entahlah, detektif. Aku masih tak tahu harus melakukan apa.”
Ia mematikan rokok, padahal aku lebih dulu membakarnya. Abdul menarik racun ini dengan tergesa-gesa, menandakan bahwa ia sedang diselimuti oleh rasa takut yang besar.
“Begini saja, aku akan membantu kalian memberikan informasi sejauh yang ku ketahui, tapi jangan sampai Jamal dan orang-orangnya menyadari ini. Lagipula, aku juga mengenalmu, detektif. Kau bukan sembarangan orang, keahlianmu menangkap para kriminal tak perlu ku ragukan lagi.” Kata dokter ini.
“Kau memilih itu karena keluargamu, kan…” Kapten berujar.
“Tentu saja. Mereka adalah segalanya untukku.” Sahutnya sembari mengambil sebatang rokokku lagi.
“Baiklah, kau sudah memutuskan. Maka, langkah pertama, di mana Dokter Jamal dan para dokter lainnya berada?” Tanyaku.
“Ia sedang di Jerman dan tak tahu kapan akan kembali. Mungkin takkan pernah. Dan nama-nama yang lainnya…”
Abdul memberikan catatan penting terkait orang-orang yang punya hubungan khusus terhadap Dokter Jamal, dan mereka yang terlibat langsung terhadap tewsanya korban-korban erupsi Gunung Cut. Ada tiga dokter yang disebut, dua polisi yang kini menjabat sebagai Kapolsek di desa Ateuh dan Sagoe Utara. Dan satu orang pengusaha, Amrizal, orang terkaya kedua di Cot Jambee.
“Itu tidak termasuk dari pihak dokter yang berkhianat seperti kasus Harun.” Abdul bergumam.
“Sejauh ini, informasimu lebih dari cukup. Sekarang aku akan mencari cara untuk membawa pulang Dokter Jamal.”
“Itu sepertinya mustahil,” ujar Abdul kepadaku. “Kedekatannya dengan Amrizal membuat dirinya di sana sangat aman.”
“Maka, tugas utama kita adalah membuat Amrizal berbicara dan menuruti kita, kan.” Sahut Kapten.
“Beriringan.” Jawabku. “Kita akan membagi tim.”
Memang kelihatannya sulit untuk menyeret Dokter Jamal kembali ke Cot Jambee. Campur tangan Ameizal membuat ini semakin rumit. Pengusaha itu punya banyak kenalan di Jerman, beberapa dari kalangan pejabat, ada juga dari pihak militer dan sesama penguasaha negara itu.
Selain itu, kedekatannya dengan beberapa pejabat nakal Cot Jambee juga menyulitkanku. Amrizal ini bisa ku katakan orang yang berjalan dengan hamburan uang. Apapun yang diinginkannya harus terwujud. Dia tahu, jika ada orang yang menghalanginya untuk mewujudkan keinginannya, ia akan menyuap orang itu dengan uang dan membuatnya harus menuruti semua perintah.
Dengan kata lain, uang adalah kekuatan Amrizal, dan mereka yang lemah terhadap godaan itu, akan menjadi budak rendahan untuk menuruti perintahnya. Oleh karena itu ia bisa membawa pergi Dokter Jamal ke Jerman untuk melenyapkan bukti kejahatan dokter itu di masa lalu.
Sampai di sini, aku tak tahu persis apakah Amrizal memang terlibat langsung terhadap kasus kematian korban erupsi gunung Cut, atau ia hanyalah pemeran bantu untuk memuluskan rencana Dokter Jamal sebagai actor antagonis utama.
Bisa saja ada kesepakatan lain di antara mereka berdua. Karena, jika aku melogikakan ini, Amrizal yang berlimpah uang tidak akan serta-merta membantu Dokter Jamal melarikan diri dari Cot Jambee. Pasti ada kepentingan di balik membawa kabur dokter itu.
Meski begitu, mencari Amziral pun bukan pekerjaan mudah. Keberadaannya tak menentu karena dia orang yang sering berpergian ke luar negeri juga. Dan untuk menjumpai pengusaha itu, aku mesti berhadapan dengan bawahannya yang menurutku mereka adalah orang-orang terlatih yang menjadi bodyguard-nya.
Aku harus menentukan langkah dan memperhitungkan segala kemungkinan yang dapat terjadi. Ada banyak keterlibatan pada kasus Dokkter Jamal ini. Salah mengatur strategi, maka nyawa akan melayang. Dan di satu sisi aku beropini, diriku sudah terlanjur masuk maka aku harus mengakhirinya dengan caraku.
Aku punya beberapa persiapan; beberapa akan ku bahas bersama Kapten Tiyo, Awsya, Benny dan Fuad; beberapa lainnya, aku tak boleh mengungkapkannya kepada orang lain.
“Dokter…” ujarku, “sekitar pukul delapan, rekanku Benny akan menemuimu dan membawa serta keluargamu ke suatu tempat. Di sana kita akan kembali berjumpa untuk membahas strategi pergerakan. Kali ini, kita akan menerobos dengan cara senyap.”
“Apa Benny yang kau sebut itu bisa dipercaya?”
Aku tersenyum dan menjawab, “dia sahabatku.”
“Oh, aku mengerti.”
Dalam waktu setengah jam lagi, adzan subuh akan berkumandang. Percakapan tadi berakhir untuk kemudian ku lanjutkan di tempat yang lebih strategis. Dan setelah panjang lebar ini, kami pun keluar dari raungan Dokter Abdul.
“Kau punya rencana, detektif?” Tanya Awsya.
“Ada, sedikit. Apa kau bersedia membantuku lagi?”
Ia tersenyum, “sepertinya kau mulai menghargai jasaku setelah beberapa proposalku kau tolak.”
Aku tertawa. Ia bermaksud menyinggungku karena sebelumnya, Awsya sudah berulang kali meminta untuk ikut andil bersamaku saat sedang menjalani misi. Namun selalu ku tolak karena aku tak terbiasa bekerja sama dengan seorang wanita. Terlebih aku juga mengkhawatirkan keselamatannya.
Tapi, untuk kali ini, aku sadar kehadiran Awsya begitu penting. Dengan analisa yang akurat, tenang dan memiliki insting yang tajam, polwan ini benar-benar menjadi jawaban untuk memungkinkan segala sesuatu yang terlihat mustahil menjadi masuk akal. Seperti yang ku katakan, ia punya firasat yang sama sepertiku. Perhitungannya dalam menganalisis kejadian-kejadian, dapat ku gambarkan bahwa dia adalah ahlinya.
“Lalu, ke mana kau akan membawa Dokter Abdul?” Awsya bertanya.
“Akan ku katakan saat kita di mobil nanti.”
Aku lalu membakar rokok setelah yang sebelumnya ku matikan.
“Tidak hanya dia, beberapa dokter lainnya juga akan ke tempat yang ku maksud.” Sambungku.
“Jangan-jangan aku tahu tempat itu.”
“Mungkin saja…” aku tersenyum
“Lalu kita ke mana?”
“Balik ke markas. Ada dua berandal yang harus ku tangani lagi.”
“Tapi, bukankah Benny dan yang lainnya mengurus dua orang itu?”
“Ada hal yang ingin ku dalami…”
Fiiuuhhh…
Aku mengembuskan asap ke sisi kiri agar tidak mengenai wajah Awsya.
“Kenapa, apa kau mengantuk?” Tanyaku.
“Aku memang wanita, tapi tidak selemah yang kau kira.”
“Aku tidak berpikiran begitu. Karna aku mengenal baik siapa dirimu.”
Sambil berjalan, aku dan Awsya terus berbicara dari hal yang penting sampai yang tak ada manfaatnya sama sekali. Sedangkan Kapten Tiyo dan Fuad, kami berpisah setelah keluar dari ruangan Dokter Abdul. Mereka tetap di sini untuk memastikan situasinya aman, sekaligus memata-matai jika ada kecurigaan.
“Mengenai dirimu sendiri, detektif. Kenapa kau bisa sampai menjadi target Dokter jamal? Aku tak menyangka bahwa Sharva diutus untuk membunuhmu.” Polwan ini masih penasaran.
“Aku juga tak tahu. Untuk itu aku juga harus mencari jejak Sharva agar ku temukan jawabannya.”
“Kenapa? Apa kau mengkhawatirkanku?” tanyaku bercanda.
Ia tersenyum, “bagaimana jika jawabannya tidak?”
“Dan bagaimana jika aku meragukan jawabanmu itu…?”
Lantas Awsya pun tertawa kecil sambil menutupi mulut.
Bersambung…