Kisah-Kisah Dalam Buku Harian Jimmy: Teror di Rumah 05
Tentara Bayaran
Foto oleh Monstera dari Pexels
“Jim, di sini Fuad. Benny tertembak. Ku ulangi, Benny tertembak.”
Aku terkejut, apa Benny mengabaikan instruksiku untuk tidak gegabah? Aku terus bergumam dalam hati.
Tak lama berselang, Anji melewati mobilku dan berhenti tepat di depan kami, hanya berjarak beberapa meter saja. Ku lihat gerak-geriknya mulai mencurigakan.
Spontan ku tarik lengan kiri Kapten Tiyo tepat saat ia membuka pintu mobil.
“Kapten, tutup pintunya.” teriakku.
Dua detik setelah pintu tertutup, seketika itu juga…
Doorr doorr doorr
Anji menembaki kaca depan mobilku tiga kali, dan sekali ia sasarkan di kaca spion tepat di sebelah Kapten duduk.
Setelah itu, ia langsung memacu motornya.
Ku tatap Kapten Tiyo yang terlihat panik. Matanya masih melirik-lirik kaca mobilku yang ternyata berbahan anti peluru. Sesaat kemudian ia menoleh padaku — sepertinya ia bingung. Sedangkan aku bergegas menyetir untuk mengejar Anji walaupun sulit untuk mengemudi dengan kondisi kaca mobil yang sudah retak-retak.
Ku nyalakan sebuah monitor kecil untuk membuntuti Anji menggunakan alat pendeteksi yang sudah ku taruh di motornya. Lalu aku menepi sejenak — ku toleh ke arah Kapten di mana ia sedang duduk rapi sambil melipat kedua tangannya — masih terdiam dengan pandangan lurus ke depan, mungkin karena tembakan bandit tadi atau barangkali ia sedang memikirkan sesuatu.
Tup tup tup
Ku hancurkan kaca mobil depan yang sudah retak akibat serangan peluru dari senapan lelaki liar itu. Mengemudi dengan kondisi kaca seperti ini membuatku sangat tidak nyaman.
“Kau… selalu saja suka membuat orang lain jantungan…” Kapten mulai berbicara.
Aku tak menghiraukannya dan terus sibuk membongkar kaca mobil.
Trakkk…
Setelah lima kali ku hantam, kaca ini terhempas ke depan. Aku pun keluar, menaruh benda itu di belakang mobil lalu ku tatapi monitor yang sedang melacak keberadaan Anji.
“Kau tak pernah bilang jika kaca mobilmu ternyata anti peluru…”
“mobil ini anti peluru…” sahutku.
“Ya… baguslah” Kapten mengangguk.
“Baru?” sambungnya menatapku.
“Sebenarnya kau yang baru menaiki mobil ini.”
“Ohh begitu — ” ia mulai mengoceh, “tapi keren juga punya mainan seperti ini untuk mengejar tersangka. Aku harus punya satu. Kau beli di mana…?”
“Mobil seperti ini hanya ada satu di Cöt Jambee. Percayalah.”
“Hhmm… kau bisa sombong juga, ya.”
Seperti yang ku ketahui, para tersangka pengeboman di rumah Wildan itu semuanya tentara bayaran. Mereka terlatih bukan hanya dari segi kemampuan, tapi juga mental baja yang mereka miliki.
Ku gunakan mobil anti peluru ini sebab dari awal aku punya firasat untuk jangan meremehkannya. Aku tahu, bandit-bandit itu tak punya belas kasih sedikitpun, siap untuk membunuh kami saat kesempatan itu ada. Dan memang, mereka diajarkan demikian.
Tiit tiit tiit
Suara monitor
Posisi Anji terlacak, ia sedang berhenti di suatu tempat, barangkali itu hanya sementara. Saatnya bergerak. Aku mesti cepat.
19.15 WIB, di Masjid Maghfirah
Ctekk
Kami berdua membakar rokok sejenak sambil ku nanti posisi Anji yang sebenarnya. Maksudnya, kini ku lihat dari monitor di dalam mobil, ia masih menunggangi motor — di jalan Hamzah menunu ke suatu tempat.
“Aku terkesan, meskipun sedang menjalani misi, kau tetap melaksanakan shalat tepat waktu.” Tutur Kapten.
“Kau sering menunda-nya?”
“Tidak juga. Hanya jika pekerjaanku sedikit rumit —tergantung pekerjaan apa yang sedang ku lakukan. Jika tidak terlalu penting, aku selalu shalat tepat waktu.”
Tiit tiit tiit
Ku lihat, Anji sedang menepi di sebuah tempat. Ku pastikan tempatnya melalui hape, ternyata ia berada di gudang penyimpanan senjata. Untuk apa tujuannya aku tak tahu. Dan apakah ia punya izin masuk ke sana, aku pun tak yakin. Sejauh yang ku tahu, hanya orang yang punya lisensi resmi saja yang diperbolehkan masuk ke gudang itu. Entahlah.
“Sesekali, coba kau prioritaskan shalat meskipun ada pekerjaan penting. Kau pasti akan merasakan hal yang berbeda nantinya — ” aku mulai meng-cang panah*.
Ku tarik rokok lalu melanjutkan, “hanya memberi saran.”
Kapten tertawa kecil mendengar ocehanku.
Begitu rokok kami habis, langsung saja kami menancap gas menuju ke tempat Anji berada. Semoga ia singgah di gudang itu dalam waktu lama.
Dan enam menit berselang, kami tiba.
“Dia masih di dalam sana.”
“Punya strategi?” tanya Kapten.
Aku membuka box kecil di sebelahku dan mengambil beberapa peralatan sebagai antisipasi. Sebenarnya peralatan-peralatan ini adalah senjata kecil — memang tidak terlalu berbahaya namun cukup untuk memberi waktu jika nanti Anji bertindak di luar dugaanku.
“Bawa ini…” ku berikan kepada Kapten.
“Bukan apa-apa, tapi aku tak tau harus meletakkannya di mana…”
Lalu ku ambil sebuah jubah yang sama persis seperti yang ku kenakan — hanya saja warnanya biru tua .
“Pakai ini — alat-alat itu bisa kau simpan di sini. Ada tempat khusus — banyak.” ujarku.
Ia lalu mengenakannya, “ngomong-ngomong, alat-alat ini fungsinya untuk apa?”
“Bius — alat setrum — alat kejut listrik, jika kau mulai terpojok dan butuh waktu untuk bertahan — satu lagi, senjata kebas… sasarkan di kaki orang itu supaya dia tak dapat kabur… bisa juga dijadikan stik untuk menyerang.”
Aku menjelaskannya sembari memperlihatkan satu persatu alat ini. Tak lupa ku berikan sebuah mainan lainnya untuk melacak posisi Anji, berguna juga agar tidak tersesat saat berada di dalam gedung nantinya. Walaupun ku tahu Kapten sudah lebih jauh mengenal gedung ini dibandingkan aku .
Dimulai dari titik ini, kami akan berpencar mencari bandit itu.
“Tetap siaga. Hubungi aku jika kau butuh bantuan atau mulai terdesak. Aku juga akan melakukan hal yang sama.” kataku.
Dan kami pun bergerak.
Kapten masuk dari depan dan akan berbaur dengan para penjaga di sana. Sedangkan aku akan menyusup lewat belakang secara diam-diam. Posisi Anji berada di tengah-tengah gedung ini. Aku masih mencari sisi sebelah mana lelaki itu.
Saat berjalan, aku melihat ada pintu masuk. Mungkin dari sini. Ku buka,
Tup
Ternyata tidak terkunci. Aku pun mulai sedikit curiga, belum lagi tak ku lihat satu orang pun yang menjaga-jaga sisi belakang gedung ini.
Kini, aku sudah mulai berada di dalam. Aku terus melangkah maju ke arah pintu lainnya, barangkali itu yang menghubungkan sisi belakang dengan ruangan inti gedung penyimpanan senjata ini.
Tekk tekk
Terkunci!
Sesaat kemudian,
Door door door
Suara tembakan, tapi aku yakin itu bukan Kapten. Bunyi senjatanya bukan seperti itu. Anji-kah?
“Kapten…” aku mencoba berkomunikasi dengannya melalui radio penghubung.
Ku ulangi dua kali dan tak ada jawaban sama sekali dari bos.
Ada apa ini, kataku dalam hati.
Gerak cepat, ku congkel pintu ini — terbuka — aku langsung siaga. Sembari berjalan dan tetap waspada, tangan kananku bergerak mengambil pistol dari dalam jubah.
Satu langkah, dua langkah, tiga langkah…
Aku berlari kecil ke sebuah rak senjata, berjongkok, melihat ponsel — Kapten dan Anji masih berjalan — berjalan saling mendekat.
Langsung saja aku berlari menghampiri mereka berdua. Namun tiba-tiba listriknya mati dan jejak bandit itu hilang begitu saja hanya terlacak Kapten.
Tak lama kemudian terdengar lagi suara tembakan sebanyak dua kali. Ada yang tak beres, pikirku.
Apa yang harus ku lakukan sekarang? Terus berjalan dan menemui Kapten? Tapi bagaimana jika ini jebakan?
Sialan, aku buntu.
Tiba-tiba ku dengar suara tapak sepatu, dari arah jam sembilan. Suasana gelap, sulit bagiku untuk bergerak.
Ku coba hubungi Kapten lagi, “Kapten, jawab.”
Sepertinya radio penghubung ini putus. Dan bersamaan dengan itu, tiba-tiba lampunya kembali menyala. Dalam sekejap mataku menatap sosok Kapten sudah ada di hadapanku sekaligus menangkap sebuah adegan, membuat diriku spontan berteriak,
“Kaptenn awas di belakangmu…!”
Belum sempat dirinya mengelak, dengan cepat seseorang menghantam bosku dari belakang menggunakan senapan. Ya, siapa lagi kalau bukan Anji.
Rentang satu detik saja, lelaki itu membidikku dan siap menghempaskan timah panas ke dadaku.
Spontan tangan kiriku melemparinya pistol yang ku genggam tadi. Terpaksa ku lakukan agar ia gagal menembak, dan memberiku sedikit waktu untuk menyerang balik meskipun aku hanya memiliki sepersekian detik saja.
Duaarr…
Aku merunduk, berguling menghindar ke sisi kanan sebelum peluru itu mengenaiku. Begitu posisiku hendak berdiri, tanpa ku pinta tangan kananku menarik bilah kecil dari dalam jubah — ku sasar balik Anji tapi… melesat.
Seakan detik-detik berjalan beriringan dengan aksi kami tadi. Lelaki itu sudah bersiap menembakiku untuk kedua kalinya. Dan seketika, Kapten yang tadinya tersungkur di hadapan Anji, menggerakkan kaki— kedua tangan bos bertumpu di lantai, lalu menopang sembari mendongkrak tubuhnya ke atas untuk menyerang bandit tersebut.
Tuaaappp
Ia menyasar tepat ke wajah Anji, membuat tubuhnya terangkat dan terpental ke belakang. Tapi orang itu bangkit dalam sekejap. Sungguh tangguh, pikirku. Padahal, tendangan Kapten tadi begitu keras.
Wajar, Anji adalah tentara bayaran. Mudah baginya untuk mengontrol diri setelah terkena pukulan. Beda cerita jika orang biasa yang kena pukulan itu.
“Bergerak satu langkah saja, akan ku tembak…” Kapten mengancam.
“Bagaimana jika dalam kondisi gelap, apa kau bisa menembak…?
Lagi-lagi lampu di gedung ini mati tak lama setelah ia berceloteh. Namun, dua detik kemudian kembali menyala dan dia sudah memegang senapan yang tadi terhempas akibat tendangan maut Kapten.
Kini ku sadari, ternyata Anji yang memadamkan listrik. Aku mulai mengerti alur permainan ini. Jika sudah begini, dapat ku simpulkan bahwa hilangnya sinyal radio dan eror-nya alat pendeteksi jejak milikku, itu semua ulahnya.
Sepertinya memang harus ku gunakan cara halus untuk berhadapan dengan orang ini. Dia tidak hanya mapan menggunakan senjata saja, tapi juga berkapasitas memanipulasi teknologi.
“Letakkan pistol itu atau akan ku tembak dia.” paksanya kepada bos. Ia menyasarku yang tidak memegang pistol.
Terpaksa Kapten menjatuhkan senjata.
Ternyata Anji memang berniat membunuh kami berdua. Dalam sekejap ia menembakku—
Ctek ctek
Anji bingung, sesaat melirik senapannya, benda itu tidak berfungsi.
Adalah aku yang sudah bergerak lebih cepat dengan membuat senjata miliknya menjadi tidak bekerja.
Bagaimana caranya? Apa lagi jika bukan dengan alat-alat mainan yang ku ambil di dalam box mobil tadi.
Saat senjata Anji terhempas dari tangannya akibat ulah Kapten Tiyo yang menendang wajahnya, saat itu aku melumpuhkan benda tersebut dengan alat yang mengeluarkan sinar laser. Ku lakukan itu ketika ia sedang fokus berhadapan dengan Kapten.
Dan kini… tahu dirinya sudah terpojok, Anji pun berlari.
“Hei berhenti…!” teriak Kapten. Ia mengambil pistol dan menembakinya tapi tak kena.
Aku langsung mengejar, Kapten mengikutiku dari belakang. Sepertinya bos mencoba melumpuhkan orang itu menggunakan alat senjata kebas tadi. Terdengar di telingaku suara mainan tersebut. Sayangnya, tak ada yang mengenai Anji. Kapten masih belum terbiasa memakai benda-bendaku.
Ia berlari ke arah depan dan berniat kabur dengan motornya lagi. Kali ini, takkan ku biarkan lolos untuk kedua kalinya.
“Kapten, lempar ke sini.” maksudku alat senjata kebas tadi.
Ia melempar dan ku tangkap sempurna — membidik kaki Anji lalu ku tekan tombolnya — aku melesat tapi mengenai tangan kanannya, cukup untuk menghambat dirinya kabur.
Tapi kemudian ku lihat, Anji mengambil sesuatu… aku tak yakin itu apa. Dan seketika…
Duaaammmm…
Ledakan dari sisi kiri yang langsung terikuti ke sisi tengah, membuatku terhenti. Aku berpaling ke belakang.
“Jim, ini bom — ”
Aku menanti Kapten sejenak agar dapat ku rangkul dirinya dan keluar bersama. Di antara Anji yang sudah berada di pintu keluar gedung dan posisi Kapten Tiyo di belakang,
“cepat ke siniii…” aku berteriak.
Mataku spontan membalas ke depan melirik Anji yang sudah berhasil keluar lebih dulu. Di waktu itu juga, sisi depan gedung ini meledak — kami pun terjebak dalam kobaran api liar.
Aku balik berlari ke arah Kapten, “tutupi tubuhmu dengan jubah ituu!!!”
Aku juga menutupi diriku dengan jubah dari kepala hingga hampir sampai ke ujung kaki. Jubah ini memang sudah ku rancang anti api, dan jika terkena panas, akan memuai sendiri. Masih ada waktu untuk melindungi diri walau tak dapat ku pastikan di detik ke berapa ledakan lain akan kembali mengaum.
Saat berpas-pasan dengannya, ku pegang tangan Kapten dan berlari di mana api belum menyambar. Tapi, terlambat. Makhluk merah ini cepat sekali melahap apapun yang ada di sekitar. Ku rasakan sepertinya tanganku terbakar. Entah kapan api menjilatinya.
Dari celah-celah jubah ini, aku mencoba melihat ke sekitar — di arah jam sepuluh, ada jendela yang lumayan besar. Sepertinya tak apa jika ku coba keluar melalui sana. Lagipula tak ada waktu untuk berpikir. Kami berdua berada dalam kobaran api. Atap-atapnya pun mulai roboh. Ini benar-benar tak bagus.
Ku tarik Kapten, berlari dan berusaha melompati jendela yang sudah rapuh akibat ledakan. Kami tertahan sejenak sebab ada bongkahan kayu-kayu besar.
Yang ku pikirkan saat ini hanya mencoba keluar dari jilatan api. Dan entah bagaimana,
“Bos, maafkan aku…” ku rangkul Kapten Tiyo di atas punggungku, lalu berlari melompati jendela itu.
Setelah melakukan berbagai usaha, akhirnya kami berhasil lolos dalam dua menit tepat ketika bomnya meledak…
“Singkirkan jubahnya, bos.”
Aku khawatir seandainya Kapten terluka — dan memang iya — lengan kanannya berdarah, lumayan deras. Aku pun demikian, luka bakar. Tidak seberapa, sih, tapi perihnya cukup membuatku menderita.
“Bajingan, apa-apaan orang itu. Dia gila.” Kapten mengoceh. Gedung ini masih saja meledak.
“Hei, katakan padaku jika kau masih baik-baik saja.”
Ia mengangguk menjawab perkataanku.
“Yosh…”
Ku tarik napas panjang tiga kali sembari melirik gedung penyimpanan senjata ini yang telah terbakar setengah mulai dari depan — dan kemudian aku langsung berlari menyusul Anji.
Kapten bergumam, “aku akan menyusulmu nanti.”
Tak ku hiraukan perkataannya, selama ia masih mampu menghentikan laju darah itu sendirian, maka semua masih terkontrol.
Aku terus melaju,
“semoga masih sempat…” ucapku dalam hati.
Bergegas memburu ke bagian depan gedung, di sana ku dapati si keparat itu sedang menyalakan motornya. Ia sadar dengan kehadiranku, seketika berbalik dan menantangku.
Serangan pertama — tangannya berhasil ku tepis, selanjutnya… ia berusaha menendangku. Tapi gerakanku lebih cepat membaca pergerakan Anji— ku antukkan kepalanya dengan kepalaku yang memaksanya termundur tiga langkah.
Kini, ada jarak beberapa senti di antara kami.
“Kau tangguh juga, detektif. Tak ku sangka kau bisa lolos dari ledakan — ”
Belum selesai dirinya mengoceh, ku putar posisiku, menaikkan kaki kanan dan melayangkan tamparan keras ke wajahnya. Anji tersungkur namun langsung bangkit.
Ia berusaha menyerang balik — dari berdiri, kini menekuk, kakinya mencoba meraih kakiku.
Tap
Hampir saja kuda-kudaku roboh. Namun kesempatan ini tak disia-siakan olehnya. Anji datang dan menyerangku membabi buta.
Satu, dua, tiga kepalan tinju-nya berhasil ku hindari. Yang ke empat aku malah hilang fokus — mengenai rahang kananku.
Keras!!!
Seketika aku terpental, hilang kendali.
Namun tak sampai di situ, kakinya pun begitu cepat dan sigap menghantam lagi dada kiriku hingga posisiku yang tadinya hampir roboh ke sisi kiri, kini terpental sakit ke arah berlawanan.
Aku berlutut. Ada darah merembes dari mulut.
Anji datang lagi, menjambak rambutku dari belakang, ia memaksaku menatapnya.
“Kau tangguh, tapi belum kenal siapa diriku.” ujarnya.
“Aku bahkan tak tertarik sama sekali.” sahutku dengan nada provokasi.
Langsung saja dalam posisi ini, aku melanxarkan serangan balik. Pertama, ku raih kepalanya dengan dua tangan… memaksanya mendekat ke arahku. Kedua, beriringan dengan itu ku dorong kepalanya sedikit menekuk dan — ketiga, ku hantam keras tepat di hidungnya menggunakan lutut.
Tuaapp
Seketika jambakannya terlepas. Anji terbanting ke belakang, pun demikian diriku. Kami saling menahan rasa sakit sesaat sebelum kembali bangkit dan menyerang lagi.
Tapi kali ini gerakanku satu detik lebih cepat darinya. Aku mencekik kuat lehernya sampai-sampai tubuhnya terangkat. Anji berusaha melawan, namun semakin dilakukan semakin keras cengkramanku… membuat si bajingan ini kesulitan bernapas.
Ku tahan posisi ini sejenak. Begitu aku meyakini ia sudah mencapai batas, ku seret dirinya dan menghantamkannya ke motor. Anji mulai lemah.
Tapi aku tahu dia bukan tipe orang yang mudah menyerah begitu saja. Langsung saja saat sedang lengah, aku memaksanya berdiri lalu ku daratkan kepalan tinju ke dadanya — tiga kali — sekali ku sasar rahang kirinya, sebagai balasan karena melukaiku di tempat yang sama.
Bhuaakk…
Anji memuntahkan darah.
“Masih belum…!” suaraku mulai membesar sembari mengantukkan kepalanya ke setang motor dua kali. Dan sampai di situ, ku pikir ini sudah cukup sebagai serangan terakhir.
Ia terkapar tak berkutik. Kepalanya mengeluarkan darah.
Aku pun sepertinya hampir mencapai batasan. Pukulan orang ini di rahang dan dadaku — rasanya begitu sakit. Tak ku sangka akan se-sakit ini.
Tak lama berselang, Kapten tiba, membawa dua orang yang mungkin sudah lebih dulu pingsan. Tak ku ketahui siapa mereka.
“Sialan. Ternyata — berurusan dengan bajingan ini — lebih sulit dari dugaanku…” celotehku dengan napas memburu.
Aku menekuk, terduduk dan perlahan mulai ku baringkan tubuh. Lelah, badanku sakit-sakitan… aku benar-benar jera. Demi apa ini, gumam diriku dalam hati.
Kapten lalu duduk di sampingku.
“Apa tak mengapa membiarkannya tergeletak bebas begitu?”
“Jika dia… menyerang lagi… ku serahkan sisanya padamu.” Sahutku dengan terputus-putus.
Polda Cöt Jambee
Untuk sementara Anji dibawa ke puskesmas akibat luka di kepalanya setelah bertarung denganku. Sepertinya lumayan parah saat aku mengantukkan kepalanya ke setang motor. Ya apa boleh buat, tak ada pilihan lain untuk melumpuhkan orang itu.
Akibat ledakan bom tadi, aku dan Kapten Tiyo juga mengalami luka ringan di lengan masing-masing. Lenganku sepertinya terluka karena tersambar api, sedangkan tangan Kapten barangkali terkena sesuatu saat kami berusaha keluar dari gedung penyimpanan senjata itu.
Di sisi lain, Benny dan Fuad juga berhasil menangkap satu tersangka lainnya walaupun awalnya sempat mendapat perlawanan apik. Entah bagaimana mereka melakukannya, tapi aku bersyukur keduanya selamat.
“Ngomong-ngomong, dua orang yang kau tahan tadi siapa?” tiba-tiba aku mulai teringat hal ini.
“Hmm… mereka juga terlibat.”
Aku mencoba memahami perkataan Kapten Tiyo, kemudian ia melanjutkan, “aku menghabisi mereka sebelum memasuki gedung penyimpanan senjata itu.”
Ya, setidaknya ucapan bos sedikit dapat ku ambil poin-nya.
“Kapten, detektif… Wildan sudah kami bawa ke ruangan interograsi.” ujar seorang polwan bernama Awsya.
“Oohh, kerja bagus. Aku sangat berterima kasih atas kerja samanya. Kami akan segera ke sana.” jawabku.
Kapten menoleh kepadaku, “kenapa Wildan tiba-tiba di sini? Bukannya dia sedang berada di luar negeri?”
Aku tersenyum, “nanti ku beri tahu.”
Kejadian sebenarnya adalah, aku sudah bekerja sama dengan polisi —salah satunya Awsya, polwan tadi — khusus untuk menangkapnya. Dua minggu sebelum rumah Wildan dibom, aku meminta kepada beberapa polisi — berjumlah lima orang — untuk melacak pergerakannya, termasuk mengikuti si anggota DPR itu ke luar negeri.
Ancaman yang ditujukan oleh Anji dan kawan-kawannya ke rumah Wildan pun sudah ku telusuri jauh-jauh hari, hanya saja aku tak tahu ancaman seperti apa yang mereka rencanakan.
Tapi aku punya firasat buruk. Maka, aku bergerak cepat untuk mengantisipasi korban jiwa termasuk membawa istri dan anak perempuan Wildan ke tempat aman.
Ya, sebenarnya anak Wildan tidak tewas terkena bom, dan istrinya pun tidak koma di rumah sakit. Aku sudah membuat strategi sedemikian rupa agar tak ada korban jiwa. Dengan kata lain, ada dua polisi lainnya yang menyamar menjadi istri dan anak perempuan Wildan, ditambah — aku menyamar sebagai Tri — supir pribadi orang itu.
Kami memakai topeng yang sama persis dengan wajah Ayuni — istri Wildan, Putri — anaknya, dan Tri — sang supir pribadi. Topeng itu dirancang sebaik mungkin oleh Jack, teman dekatku.
Singkat cerita, tak ada yang tahu bahwa Ayuni dan Putri selamat, mereka ku bawa ke tempat aman yang tak boleh ku sebutkan kepada siapapun.
Yang lebih pentingnya lagi adalah, aku membuat pergerakan seperti ini bukan tanpa alasan, ada tujuan khusus —. Sengaja ku palsukan kematian anak perempuan Wildan agar dirinya yang kabur ke luar negeri dapat kembali dengan sendirinya tanpa susah-susah aku mengejarnya ke sana. Dengan begitu, aku dapat fokus menangkap tersangka yang melancarkan bom ke rumahnya.
Dan ya, strategiku berjalan sesuai rencana. Ada peran penting beberapa polisi di balik tertangkapnya Wildan. Mereka itu memang sering menjalankan misi bersamaku, aku sudah mengenal mereka lebih baik dibanding Kapten Tiyo.
Di dalam ruangan interograsi
Tekk
Kapten membuka pintu, ada dua polisi di sini — Hariyadi dan Awsya.
“Hoyy Tiyo, kau seharusnya memberi bukti bahwa aku memang melakukan korupsi. Anak buahmu sudah melanggar prosedur penangkapanku tanpa satu bukti yang mereka pegang. Ingat, statusku masih seorang saksi. Sebenarnya, kalian paham peraturannya…? Atau mungkin kalian hanya polisi yang suka membuat peraturan sendiri? Sungguh memalukan.”
Wildan malah mengoceh tak jelas.
Sedangkan Kapten Tiyo menanggapinya santai. Ia duduk di lantai — menyilang kaki dan mempersilahkanku untuk berhadapan dengan Wildan.
Aku lalu berjalan dan duduk berhadapan dengan lelaki ini. Ada meja putih berukuran sedang memisahkan kami. Ku ambil ponsel, Awsya bergegas membawa laptop dan menaruhnya di sebelahku.
Ku hubungkan hape ini ke laptop, beberapa detik kemudian ku perdengarkan rekaman pembicaraan antara Wildan, Friska — sekretaris walikota, dan Tarmizi — Kapolsek Lam Mamèh. Percakapan ini berisi tentang pembahasan proyek pembangunan jalan tol di daerah Lam Mamèh. Aku juga memperlihatkan Wildan video pertemuan mereka bertiga di sebuah cafe kelas A di Cöt Jambee.
“Sampai di sini, apa ada hal yang ingin kau bantah?” tanyaku. Dia hanya terdiam.
“Oh, satu lagi, aku juga punya bukti pesan WA kalian semua. Tersimpan rapi di sini,” sembari ku tunjuk hape-ku.
Wildan seakan tak percaya bahwa bukti yang ku berikan terlalu akurat untuk dibantah.
“Bagaimana caramu menemukan semua itu?”
“Sederhana, aku hanya tidak meremehkanmu. Selebihnya, kau tak perlu tau banyak.”
Ku bakar rokok dan menoleh ke Kapten, satu alisku naik memberi kode menawarkannya rokok. Ia mengangguk dan ku lempar racun ini kepadanya.
“Apa kau juga memalsukan kematian Putri?” tanya Wildan yang ku sahuti dengan anggukan.
“Walaupun awalnya sedikit kesusahan mengajak mereka bekerja sama. Tapi aku tau bahwa istrimu sebenarnya tak sependapat dengan aksi korupsimu. Aku mengambil kesempatan di situ. Lagipula…”
Aku beranjak dari duduk sembari mengembuskan asap yang keluar dari hidung beriringan dengan napasku,
“secara tak langsung, aku sudah menyelamatkan anak dan istrimu dari bom. Kau mestinya peka bahwa mereka yang menyerangmu sudah tau akan pekerjaan kotormu itu. Jika tidak, ancaman ke rumahmu takkan pernah ada — atau bisa ku katakan, tidak se-bahaya dari ancaman bom itu.”
Ku cabut kabel yang menghubungkan hape ke laptop ini. Awsya berjalan menghampiriku, kemudian ku tatapi Wildan, dia juga melakukan hal yang sama kepadaku.
“Besok akan ada banyak wartawan yang datang, memang sengaja ku atur. Dan kau — seharusnya mengatakan yang sebenarnya meskipun aku tau harga dirimu adalah segala-galanya. Tapi, seandainya kau mengada-ngada, aku sendiri yang akan membeberkan data ini semua.”
Ku tarik lagi rokok kemudian melanjutkan, “jika kau ingin harga dirimu masih tetap terjaga, berikan informasi sesuai apa yang kau lakukan. Kau pasti tau caranya.”
Aku menoleh ke Awsya dan menganggukkan kepala, memberi isyarat kasus Wildan selesai dengan dirinya sebagai tersangka utama. Nama kedua ada Friska yang membantu lelaki ini segala proses aksi korupsi. Sedangkan Tarmizi adalah saksi. Bagiku, dia adalah kunci di balik terpecahnya permasalahan ini.
Wildan sudah salah menaruh kepercayaan terhadap Kaplosek Lam Mamèh itu. Ia mengira Tarmizi dapat dengan mudah disuap. Nyatanya, kepala polisi ini sebenarnya juga bekerja sama denganku.
“Mobil anti peluru, jubah anti api, mainan-mainan senjatamu, menyamar sebagai supir Wildan. Lagi lagi, kau seperti pemeran film saja.” Kapten mengoceh padaku.
Kami berjalan keluar dari ruangan interograsi menuju lobi.
“Aku tak menyangka kau melakukan semuanya seorang diri.”
“Dia ini Detektif Jimmy,” Awsya tiba-tiba menyahuti Kapten.
“Tidak perlu berlebihan. Semua pekerjaan ini sukses sebab kerjasama bagus yang kita lakukan.” kataku.
Sembari berjalan, aku mematikan rokok di tempat sampah khusus untuk racun ini.
“Wildan, Friska, Anji serta kerabat-kerabatnya, dan dua orang penjaga gedung penyimpanan senjata. Ku pikir kita menangkap mereka di waktu yang singkat.” Ujar Awsya.
“Ada satu lagi — ”
Tiba-tiba Kapten dan wanita ini menatapku. Mereka menanti perkataanku selanjutnya.
“Namanya Alissa, perempuan yang bekerja di cafe saat kita membuntuti Anji — ” aku menarik sebatang rokok lagi.
“Dia adalah otak di balik rakitan bom di rumah Wildan.” aku mengembuskan asap, kemudian…
“Besok… tamu kita ini juga akan bergabung dengan komplotannya.” tutupku.
Kapten memasukkan dua tangannya ke dalam saku celana, lalu berjalan mendahuluiku.
“Biarkan aku beristirahat di kantor sambil menanti kabar selanjutnya darimu, detektif… sepertinya ada lagi hal lain yang belum ku ketahui.” celoteh pria itu.
Sedangkan Awsya masih menatapku bingung, tapi sesaat kemudian dia malah tersenyum padaku.
“Sialan, senyuman itu lagi.” gumamku dalam hati yang terpesona begitu saja terhadap tingkah Polwan ini.
*cang panah (Bahasa Aceh): memotong buah nangka. Dalam bahasa Aceh dapat dimaknai sebagai perkataan-perkataan yang diumbar oleh seseorang atau lebih yang tak ada kepentingannya sama sekali. Juga, bisa dimaknai sebagai ungkapan bebas di mana tidak ada sangkut pautnya dengan pembahasan inti. Kebiasaan ini sering terjadi di sebagian kalangan besar masyarakat Aceh saat sedang berada di warung kopi.
— Breaking Reza