Kisah-Kisah Dalam Buku Harian Jimmy

Jebakan

Reza Fahlevi
4 min readDec 4, 2022

Foto oleh Monstera dari Pexels

Bagian III

— —

Sialan, dalam situasi genting seperti ini, ponsel Benny malah tidak aktif. Ke mana lelaki itu? Ya meskipun dirinya tipe orang yang berpikir kritis, tapi sebenarnya dia juga orang yang sedikit gegabah. Dan aku khawatir dia malah pergi seenaknya tanpa memperdulikan strategi yang sudah kami siapkan sebelumnya dalam perjalanan.

Apa boleh buat…

Tanpa pikir panjang aku pun masuk ke dalam lift agar lebih cepat sampai ke lantai tiga. Dan begitu pintunya tertutup, aku langsung dibawa ke atas. Tapi tiba-tiba saja lift ini berhenti dan lampu di dalamnya juga padam.

“Kenapa tiba-tiba menjadi seperti ini? Apakah rusak?” Aku bergumam dalam hati.

Tiiing…

Notifikasi Whatsapp kembali berbunyi… dari si peneror lagi.

“Selamat, kau sudah masuk ke dalam jebakanku.” Tulis orang itu. Ia bahkan mengakhiri pesannya dengan sebuah emoji tertawa sambil menangis.

"Sialan orang ini. Apa dia sudah mengutak-atik lift?"

Dari ponsel pelacak, ku lihat ia masih berada di tempat yang sama. Lalu ku pandangi sekitar lift… aku punya ide.

Ku ambil sebuah alat pemotong besi, bentuknya persegi empat dan kecil. Sembari memotong pintu lift, mataku terus memantau pergerakan si peneror. Begitu selesai, ku buka pintunya lalu memanjat ke atas untuk berada di atas lift.

Cara lain untuk naik ke lantai tiga hanya dengan grapple gun yang selalu ku bawa dan ku taruh di dalam jubah. Ku ambil senjata tali ini untuk kemudian membidik sasarannya ke atas jauh.

Tuupp
Taang

Aku tidak yakin, tapi seharusnya tali dari senjata ini bisa sampai ke lantai tiga sana. Maka, ku tekan lebih dalam pelatuknya, dengan otomatis membawa tubuhku terangkat terbang.

Saat aku melayang ke atas, ku lakukuan sesuatu agar ikatan tali yang mengapit di sebuah besi penyanggah terlepas. Di waktu yang sama sebelum talinya lepas, ku tolak beberapa meter tubuhku ke belakang yang kemudian seketika terdorong lagi ke depan dan aku masuk sempurna ke dalam gedung. Tempatku mendarat memang tempat pemberhentian lift.

Ternyata, bukan hanya lift-nya saja yang mati, seisi rumah sakit terlihat redup, lampu-lampu utama padam, hanya yang menyimpan arus yang masih menyala, itupun sudah sangat redup. Barangkali ini pasti ulahnya si peneror itu.

Sebelum bergerak, aku kembali mencoba menghubungi Benny, tapi ponselnya memang tidak aktif. Dan aku juga baru menyadari, ternyata radio penghubungku putus. Sial… si peneror itu bisa melakukan hal sejauh ini. Jika ku pikir-piki, dia hebat juga. Aku mesti waspada saat nanti bertemu dengannya.
Tak lagi ku hiraukan, aku pun berjalan sembari melihat si pengirim pesan teror ini dari ponsel pelacak. Ya, kamera CCTV yang tadi berhasil ku retas masih menyala. Jadi, meskipun listrik sudah padam total, aku masih dapat menggunakan kamera ini.

Selain itu, aku berfirasat… kemungkinan peneror tersebut juga mencoba meretas CCTV. Barangkali dia mencoba memadamkan kamera ini bersamaan dengan padamnya listrik. Hal ini mungkin agar aku tidak bisa melacaknya. Entahlah, aku hanya berpikir dia pasti juga ada melakukan sesuatu terhadap kamera CCTV.

Ku lihat titik keberadaan orang itu dari ponsel pelacak sembari berjalan ke ruang inap Keumala di lantai 3. Dapat ku pastikan dia di sana. Sebagai antisipasi, aku tidak perlu terburu-buru, hanya berjalan saja namun tetap dalam kewaspadaan.

Begitu diriku sampai di ruang inap Keumala… masuk dan menemukan ada seorang perawat wanita sedang berjaga.

“Maaf… jadwal kunjungan sudah habis. Anda bisa datang kembali besok pagi jam 8.” Ujar perawat wanita ini. Dia mengumbar senyuman yang ramah di hadapan wajahku.

Sejenak aku tertegun; bola matanya yang kecoklatan seakan memperlihatkan biasan cahaya yang lumayan indah. Cukup membuatku sedikit teringat akan sosok wanita lain… seorang polwan yang juga rekanku.

“Terima kasih, tapi aku hanya ingin ke kamar 7… sebentar saja.”

“Di kamar 7 tidak ada pasien…” sahutnya lagi. Kini wajah terlihat agak kebingungan.

“Karena itulah aku ingin melihat keadaannya.”

Di beberapa detik ia hanya terdiam dan tak tahu harus melakukan apa. Tapi aku paham kemudian berujar, “maaf datang tiba-tiba dan tidak memperkenalkan diri. Detektif Jimmy…”

Ku perlihatkan lencana yang membuat wanita ini langsung bangkit dari duduk.

“Maaf, aku tak menyadari kau Detektif Jimmy. Mari ku antar anda ke kamar 7.”

“Tidak… terlalu berbahaya,” sahutku. “Tetap di sini dan pastikan keadaannya aman. Aku yang akan ke sana. Beri waktu dua menit, aku tak akan mengganggu pasien yang lain.”

“Dimengerti…”

Aku terus memantau ponsel pelacak sebelum ke kamar 7. Dari sini, sinyal lacakan memberi tanda bahwa si peneror itu berada di kamar tersebut. Dan dia sama sekali tidak pindah, masih ditempat yang sama sejak diriku dan Benny tiba di rumah sakit ini. Barangkali orang itu tak menyadari bahwa aku sudah berhasil menemukannya.

Selang beberapa detik kemudian, sambil memakai kacamata tembus pandang, aku pun berjalan menuju kamar 7. Memang alat ini tidak sepenuhnya memberi gambar yang nyata, hanya berupa objek jika memang ada orang di balik dari tempatku berada. Dan juga, seluruh warna dari kacamata ini berwarna hijau tidak seperti kacamata pada umumnya.

Ku lewati satu persatu kamarnya dari awal, hingga kemudian diriku berada di depan kamar 7. Di sini, aku terkejut karena yang ku lihat dari luar tidak ada orang di dalam… tidak ada seorang pun.

Aku heran karena dari ponsel pelacak ku lihat ada sebuah titik yang merupakan objek penanda bahwa ada seseorang. Tapi, kenapa dari kacamata tembus pandang diriku malah mendapati sebaliknya…?

Penasaran, aku membuka pintu kamarnya tapi terkunci. Lalu ku pantau lagi layar ponsel pelacak, objek titik tadi tetap ada di dalam kamar. Padahal logikanya, jika si peneror itu ada di dalam dengan posisi dia meneror diriku, begitu ku coba buka pintunya meski terkunci, dia pasti akan bergerak kabur karena panik. Tapi ini malah tidak. Bahkan aku melihat dari ponsel, titik kecil di layar ini sama sekali tidak berpindah satu senti pun.

Aku semakin bertanya-tanya. Tanpa berpikir lagi, ku congkel saja pintu kamar 7 ini, bersamaan dengan pintunya terbuka, aku sigap bersembunyi di balik tembok luar… tangan sudah siap dengan sebuah pistol.

“Satu… dua… tiga…” aku berhitung dalam hati lalu mengintip ke dalam… tak ada siapapun.

Meski begitu aku memberanikan diri untuk berjalan masuk dan... kosong!

“Sialan, kenapa jadi begini…?”

Bersambung…

Bagian IV: Rahasia di Balik Angka 2–7 3 0 11 06

--

--

Reza Fahlevi
Reza Fahlevi

No responses yet