Kisah-Kisah Dalam Buku Harian Jimmy
Bercak Darah Calon Pengantin baru
- Bagian III
— —
“Jika aku berkesimpulan…” ujarku. Semua orang di dalam ruangan ini menatapku serius. “Saidil berencana membunuh kalian dan juga… anaknya sendiri.”
“Apa katamu?” Kapten terkejut.
“Yang benar saja detektif…?” Novia pun ikut-ikutan tidak percaya.
“Kenapa kau sampai berpikir seperti itu?” Tanya Weri padaku.
“Ini hanya asumsi pribadi.” Ujarku. “Setelah Saidil tahu bahwa aku diam-diam masuk ke gudang di rumahnya dan merusak segala peralatan senjata yang ia gunakan untuk membunuh kalian, ia sama sekali marah kepada bocah itu.”
“Peralatan senjata?” Novia tidak mengerti dengan penjelasanku. Sepertinya ia benar-benar tidak tahu bahwa Saidil menyimpan senjata rahasia di dalam sebuah ruangan yang ada di gudang rumahnya.
“Jadi, sejak aku tiba di kediaman Saidil, aku menelusuri seluruh sisi rumah luar dan dalam. Begitu aku tiba di gudang, aku menemukan sebuah ruangan kecil… sempit sekali, hanya bisa dimasuki oleh satu orang saja. Ruangan itu benar-benar di buat seperti dinding utuh. Jika kau hanya sekedar melihat, kau takkan menyadari jika itu adalah ruangan rahasia.”
“Lalu apa yang kau dapat di sana?” detektif wanita ini semakin penasaran.
“Ada beberapa monitor yang menghubungkan seluruh sisi rumah… mulai dari dalam dan juga luar. Benada-benada itu digunakan untuk mendeteksi pergerakan kalian…”
Tiba-tiba semua terdiam seakan-akan sedang memikirkan asumsi yang ku utarakan.
“Hhmmm… ini menarik. Tolong diteruskan.” Pinta kapten.
“Yang ingin ku sampaikan adalah, Saidil sudah mempersiapkan banyak senjata hampir di setiap sektor rumahnya. Mungkin ia sadar, membuat manipulasi dengan menunjukkan anaknya tewas takkan berjalan mulus sebab ada Detektif Novia di sana. Oleh sebab itu ia mempersiapkan berbagai macam strategi cadangan.”
Aku berhenti dan berjalan mendekati jendela untuk membakar rokok.
Cteekk…
“Fiuuhh… singkatnya,” gumpalan asap mengerubungi wajah. “Aku masuk ke dalam ruangan itu, mengutak-atik monitornya dengan tujuan sambungannya terputus. Namun ternyata begitu benada-benda itu berhasil ku rusak, secara otomatis juga merusak seluruh senjata yang hendak ia gunakan untuk membunuh kalian.”
“Jika kau tahu monitor itu juga tersambung dengan semua senjata yang Saidil siapkan, lantas kenapa kau tidak segera memberi tahu Dzaki? Dengan begitu pasti tak ada yang terluka, kan?” Kapten menyanggah.
“Aku sendiri baru menyadari itu setelah Saidil sendiri yang mengatakannya.” Aku membela diri. Memang saat itu aku sama sekali tidak tahu.
“Pantas Saidil menyusulmu ke atap. Ia pasti sudah melacakmu dari kamera CCTV, bukan begitu detektif?” Novia menambahkan dan aku mengangguk.
Sedangkan Kapten Tiyo mengelus-elus dagunya sembari menatap ke bawah. “Hmmm… jadi begitu ceritanya. Sayang sekali kau tidak mengajakku ke sana detektif.” Ia melirik kepadaku.
Untuk membuat semuanya jelas, aku pun menceritakan semua kejadian yang ku alami tadi malam. Sambil menjelaskan, tangan kiriku berulang kali membuang abu rokok ke luar jendela hingga tanpa ku sadari batangnya sudah termakan setengah.
“Aku masih penasaran, senjata seperti apa yang dipersiapkan oleh Saidil unutk membunuh kami. Apa kau mengetahuinya?” Istri Weri bertanya padaku.
Aku menggelengkan kepala. “Entahlah, aku tak sempat mengeceknya sebab kejadian yang menimpa Kapten Dzaki dan seorang bawhannya membuatku lupa seketika.”
“Tapi…” aku mematikan rokok, “kau dan pasukan Kapten Dzaki bisa memeriksanya nanti. Kejadian itu ada di wilayah kalian jadi aku tak ingin mendahuluimu.”
Novia tidak setuju denganku. Ia tetap bersikukuh mengajakku bersamanya untuk melakukan pemeriksaan lanjut di rumah Saidil. Sedangkan aku menoleh ke Kapten, ia mengangguk.
“Kita akan mengirim surat resmi kepada Dzaki. Ku yakin dia pasti dengan senang hati menerima kita.” Ujar Tiyo.
Bagaimanapun, kasus ini sudah lebih dulu ditangani oleh Kapten Dzaki yang merupakan Kapolsek Lam Angan. Dia punya wewenang untuk mendindaklanjuti atau menghentikan pengoperasian.
Pukul 09.50
Tak terasa sudah hampir satu jam kami membahas tentang kasus percobaan yang dilancarkan oleh Saidil dan keluarganya. Sampai saat ini, penjelasan demi penjelasan terus saja terungkap secara bergantian baik melalui diriku dan Detektif Novia. Awsya, Fuad dan Benny hanya menyimak saja. Adapaun Kapten Tiyo sesekali mrngajukan pertanyaan.
Aku kembail menjabarkan penjelasan sebab Detektif Novia lagi-lagi bertanya kenapa aku bisa bertemu dengan calon mempelai pria yang sebelumnya ditemukan tewas. Ia juga penasaran kenapa Saidil berniat membunuh anaknya juga.
Dengan rokok yang ke sekian, aku mengambil kursi dan memilih duduk di sisi jendela agar asapnya tidak terjebak di dalam ruangan Fuad. Omonganku terdengar santai tapi suara yang keluar dapat ku pastikan sangat serius. Tak ada satupun dari mereka yang mengalihkan mata ketika diriku sedang berbicara.
“Seperti yang ku katakan tadi…” asap menyembul keluar dari hidung. “Saidil menugaskan anaknya di ruangan rahasia itu. Tapi sepertinya ia kabur ketakutan saat tahu aku datang ke sana.”
Ya, anak laki-laki Saidil tidak bisa seni bela diri, ia merasa mungkin akan kalah telah jika bertarung denganku jika tanpa senjata. Maka dugaanku, bocah itu kabur untuk mengambil pedang dan mencoba menyerangku di kamranya.
Namun aku yang malah menjumpainya di atap rumah. Kepanikan pun tak bisa ia sembunyikan lagi, terpaksa bocah berumur 25 tahun itu meladeni perlawananku. Aku sendiri langsung menyadari bahwa ia sama sekali tidak bisa menggunakan pedang ketika bertarung.
“Aku menghindar semua serangannya dengan mudah…” kataku kepada mereka semua.
Akan tetapi, Saidil muak terhadap anaknya bukan karena ia tidak mampu membunuhku. “Saidil murka sebab anaknya lalai hingga aku dapat dengan mudah merusak seluruh monitor di dalam ruangan rahasia tersebut.” Ujarku lagi.
“Hanya itu…?” Novia benar-benar tidak menyangkanya.
“Asumsi ini ku pererat dengan ocehan Saidil. Ia seakan-akan membiarkanku menghabisi anaknya saat itu sambil berkata aku sudah membantu pekerjaannya. Padahal, aku melukai bocah itu agar Saidil panik, tapi malah sebaliknya.”
Setelah penjelasanku ini, kami semua terdiam selama satu menit. Ruangan Fuad seketika menjadi hening sunyi. Aku sibuk menarik rokok, Kapten Tiyo dan Benny terlihat mengelus-elus dagu. Sementara Awsya serta Detektif Novia sekeluarga hanya duduk manis.
Adapun Fuad kemudian berjalan menuju meja kerjanya dan mengambil telepon genggam. Ia menghubungi seorang pekerja kantin untuk memesan kopi. Sepertinya pembahasan ini membuatnya semakin bersemangat.
“Saidil… Saidil… Saidil…” celoteh Fuad. Ia meletakkan ponsel di atas meja. “Orang ini mengingatkanku terhadap Fernando. Bedanya, ia tidak segila bandit itu. Tapi mengingat skenario yang ia persiapkan, Saidil ini benar-benar berbahaya. Benarkan, Kapten?” Polisi ini menatap Tiyo.
“Ya. Dia sangat terstruktur. Pasti rencananya itu sudah jauh-jauh hari ia persiapkan.” Lanjut kapten. Ia berjalan ke arahku dan membakar rokok… punyaku.
Dan tak lama kemudian, ada orang yang mengetuk pintu. Awsya bangkit dari duduk untuk membukanya. Ternyata yang datang adalah pekerja kantin. Ia membawa kopi yang sudah diseduh ke dalam gelas-gelas bening kecil. Rekan wanitaku menyambutnya, menutup pintu kembali lalu menaruh kopi tersebut di atas meja tamu di mana Detektif Novia serta keluarganya duduk.
“Pembahasan ini sedikit melelahkan. Ada baiknya kita menyeduh kopi dulu.” Kata Fuad. Ia juga membawakan minuman itu kepadaku dan Kapten Tiyo.
“Siapa sangka kau dapat berasumsi sejauh itu…” sahut Weri yang mengambil gelas.
Sedangkan Novia sedikit tertawa kecil, membuat beberapa gigi depannya terlihat jelas dari balik bibir. Ia kemudian melirikku, “aku sudah mengenal Detektif Jimmy dan juga pernah melakukan misi bersama meski hanya sekali. Tapi…”
Wanita ini berdiri dan melangkah mendekatiku, hanya berjarak lima tapak saja. “Caramu mengetahui bahwa jasad anak Saidil itu palsu, bagiku itu sangat mengagumkan. Kau hanya perlu waktu beberapa menit saja untuk mengetahui semua itu.”
“Oohh… benar juga. Bukankah kau yang pertama menyadari keanehan di mayat laki-laki it? Aaaa, maksudku… mayat palsu.” Fuad menerebos pembicaraan.
“Detektif,” Novia memandangiku, “bagaimana caramu mengetahui bahwa mayat di kamar itu palsu? Aku penasaran…”
“Ya…” Tiyo tiba-tiba menyeropot pembicaraan. “Kau belum membahas bagian ini.” Sambungnya bersamaan dengan gumpalan asap terbang melayang di wajah kami berdua.
Aku tersenyum dan menahan diri sejenak untuk menjawab pertanyaan ini, hanya sibuk menikmati rokok yang baru saja ku bakar lagi. Di sela-sela ini, mataku malah menoleh ke Awsya dan ia menyadari tingkah lakuku. Dengan segera pula polwan ini membalas tatapanku sembari mengumbar senyuman.
Sepertinya, Awsya paham kenapa aku tiba-tiba memutuskan telepon saat dirinya sedang curhat setelah mendengar penjelasanku tadi. Hanya saja, barangkali ia tetap ingin aku memberi penjelasan langsung padanya… bisa ku rasakan dengan jelas sikap dari bahasa tubuh serta raut wajah wanita itu.