Kisah-Kisah Dalam Buku Harian Jimmy
Gudang Penyimpanan Senjata
Psssttt…
Suara HT berbunyi.
“Jim, mereka menuju ke sektor barat.” Ujar kapten Tiyo melalui HT.
“Sebagian…” sahutku. “Arahkan tim Rimueng — aku akan ke sektor selatan.”
“Dimengerti.”
Dua puluh menit kemudian
Aku tiba di sebuah gudang penyimpanan senjata. Dari sisi utara yang agak remang-remang, ku lihat ada sekitar lima tentara yang sedang berjaga-jaga. Sepertinya mereka tidak menyadari kehadiranku.
Sambil menunggu waktu tiba, ku ambil pistol dan menembak sebanyak enam kali ke setiap sisi gudang yang dapat ku raih dari sini. Tak ada suara keributan saat aku menembak sebab ini bukanlah pistol biasa pada umumnya. Dan tak lama kemudian, ponsel yang ku gunakan sebagai alat pelacak bergetar. Lantas aku mengambilnya dan mendapatkan informasi di mana ada sekitar 50 orang di dalam gudang itu.
Hanya berselang dua detik setelahnya, sebuah ledakan kecil terdengar. Suaranya barangkali dari dalam gudang sebab tidak ada tanda-tanda api yang terlihat dari sini. Adapun para tentara yang berjaga di halaman depan mulai panik. Dua dari mereka bersegera lari memasuki gudang, sedangkan sisanya masih siaga di pintu depan.
“Benny, di mana posisimu?” aku bertanya melalui radio penghubung yang tersemat di kerah bagian dalam jubah.
“Sebelah kiri gudang…” jawabnya.
“Tunggu tanda dariku, kemudian kita bergerak bersama-sama.”
“Baik…”
Sejenak aku memperhatikan ponsel pelacak di mana di dalam gudang masih ada 50 orang, bahkan setelah ledakan tadi. Jumlah itu tidak termasuk dua tentara yang barusan masuk.
Maka… aku pun berjalan ke sisi depan gudang hingga kemudian tiga tentara itu menyadari kehadiranku. Mereka langsung mendekatiku dengan senjata yang mengarah ke depan.
Ketika kami sudah saling berhadapan, salah satu dari mereka bertanya. “Ada keperluan apa?”
Aku tidak menjawab melainkan memperlihatkan lencana.
“Lencana…? Setidaknya, jika kau memang datang karena tugas, perlihatkan suratnya.” Sahut tentara itu.
Lantas aku menjawab, “tidak ada.”
“Kalau begitu segera pergi dari sini. Jangan harap kami mengizinkanmu masuk.”
“Jujur saja, aku tidak punya urusan dengan kalian dan juga tidak ingin berbuat masalah.”
“Kau keras kepala…” gumamnya lagi sambil mengarahkan senapan ke dadaku.
“Ya… sedikit.” Sahutku.
Setelah mengatakan itu, dengan gerakan cepat aku memukuli wajah si tentara yang berbicara denganku tadi. Kemudian di waktu yang sama, dua lainnya; aku menendang perutnya dan yang satu lagi ku sikut dadanya seraya merebut senjata. Mereka pun langsung tersungkur tak berdaya.
Adapun tentara yang ku pukuli wajahnya tadi, ia bersegera bangkit. Tapi, belum berhasil sepenuhnya, aku sudah lebih dulu menghantam dagunya dengan senapan. Seketika dirinya pingsan.
“Benny, sudah saatnya.” Kataku melalui radio penghubung.
Setelah menyembunyikan ketiga tentara tadi, tak lama berselang Benny datang menjumpaiku di pos penjaga.
“Sekarang bagaimana…?” Tanyanya.
Aku tidak menjawabnya melainkan bergumam dalam hati seraya menghitung dari tiga ke satu. Lalu, semua lampu padam total, hanya menyisakan cahaya kegelapan.
“Apa yang terjadi…?” Tanya Benny.
“Jangan khawatir, ini ulahku.” Sahutku. “Pakai kacamata ini agar kau bisa melihat dengan jelas.” Lanjutku lagi.
“Kau tidak memakainya?”
“Lensa kontak yang ku pakai ini sudah cukup terang untuk melihat objek dalam gelap.” tuturku.
Lalu, kami berdua berjalan beriringan dengan tenang menuju ke sisi kanan gudang. Begitu tiba, aku mengambil grapple gun dan menembak ke atas. Saat talinya sudah tersangkut di sebuah benda, lantas ku tekan lebih dalam pelatuknya dan seketika diriku tertarik ke sana. Hanya dalam hitungan dua atau tiga detik, aku mendarat sempurna di atap gudang. Dan tak lama setelahnya, Benny juga tiba. Ia naik ke sini menggunakan senjata tali juga.
Di atap ini, aku melihat sebuah pintu di paling sudut. Lantas diriku bergegas ke sana. Ketika tiba, ku raba-raba sejenak pintunya dan dengan perlahan mencoba membuka. Kebetulan sekali tidak terkunci.
Gerak cepat, aku dan Benny langsung masuk ke dalam dan bersegera berjalan. Gudang ini gelap gulita tapi kami masih dapat melihat dengan jelas.
Lalu, aku berbelok ke kiri dan kemudian berhenti — dari kegelapan ini, ku lihat ada dua orang bersenjata. Aku tidak yakin mereka itu tentara sebab gaya pakaiannya tidak mencerminkan seperti itu.
Masih dalam posisi diam, ku perhatikan saja gerak-gerik dua orang itu hingga salah satunya terlihat merogoh-rogoh saku celana. Tak lama kemudian ia mengeluarkan tangannya dari situ dan seketika ada cahaya. Adapun cahaya tersebut datang dari macis.
Awalnya ia mencoba mengarahkan macis itu ke sekitar walaupun sebenarnya percuma sebab cahayanya hanya ada di sekitar tempat dirinya berdiri. Dan sesaat kemudian, ia malah membakar rokok.
“Kenapa bisa gudang yang dipatroli ketat begini sampai padam listrik. Memalukan.” Ujarnya.
Adapun temannya menyahut, “jika bukan karena hal penting, aku takkan ke sini.”
Ternyata dugaanku benar di mana keduanya bukanlah tentara melainkan orang asing.
Di sisi lain, tiba-tiba Benny berjalan cepat dan tanpa basa-basi ia langsung memukuli pria yang sedang merokok tadi. Tak berhenti di situ, ia lanjut menendang perut yang satunya hingga tak berkutik. Dua orang itu langsung ambruk tanpa perlawanan.
Lantas aku mendatangi Benny. “Kau ceroboh sekali. Ingat kita ke sini hanya sekedar memata-matai.” ujarku kesal.
“Tak apa. Lagipula kau terlalu lamban…” sahutnya.
Aku tidak membalas Benny melainkan melihat pria yang ditendang olehnya tadi. Kini dirinya mulai mengerang kesakitan. Lalu aku pun berjongkok dan mulai bertanya.
“Jawab aku dengan suara pelan… apa yang kalian rencanakan di gudang ini…?” Tanyaku.
“Negosiasi…” jawabnya dengan ketakutan.
“Negosiasi apa?”
“Obat-obatan terlarang…”
“Jelaskan padaku rinciannya…” aku memaksa orang ini.
“Racun… untuk membunuh ajudan walikota.” sahutnya.
“Apa kalian berniat melancarkan aksi di saat pertemuan antar walikota minggu depan?”
“Be… benar.”
“Lalu siapa dalang di balik ini?”
“Kami bekerja di bawah arahan Riyan.”
Riyan adalah bandar sabu-sabu yang mana pada malam ini ia berhasil kabur dari penjara. Meski begitu, ada tim Rimueng yang mengejarnya.
“Aku yakin Riyan juga seorang suruhan. Katakan padaku bos tertinggi kalian…” lanjutku.
“Aku… aku hanya bekerja dengannya… sumpah. Tadi pukul 6 sore, dia meminta kami ke sini.”
“Kalian tidak hanya berdua, kan?”
“Kami berempat…”
“Lalu, di mana dua lagi…?”
“Mereka sedang berada di ruang persenjataan.”
Lantas aku bangkit setelah mendengar pengakuannya. Adapun Benny mengajukan pertanyaan padaku. “Kita bergerak?” Tanyanya.
Sebelum menjawab, aku kembali bertanya kepada pria tadi. “Kalian datang ke sini bukan hanya untuk bernegosiasi obat terlarang itu kan?”
“Kenapa… kenapa kau bisa tahu? Siapa sebenarnya dirimu?” Ia malah balik bertanya.
Aku pun berjongkok lagi untuk memborgol dirinya. Setelah itu ku jawab, “ sekarangkau tak perlu bertanya lagi siapa diriku.”
Kemudian ku toleh kepada Benny. “Ayo…” gumamku.
Sepuluh menit kemudian
Kami terus berjalan menuju ke ruang persenjataan. Dalam perjalanan, Benny malah banyak mengoceh dan semuanya tak ada yang penting. Sikapnya itu membuatku kesal sendiri.
“Hey, diamlah… kalau kau terlalu ribut, tentara-tentara ini bisa menyadari kehadiran kita.” Ujarku.
“Tapi, dari tadi kita aman-aman saja. Tak ada tanda-tanda kemunculan mereka sejak kita masuk ke sini. Atau… apa kau memang sudah menghapal seluruh sisi gudang ini?”
“Kita melalui jalan pintas. Aku sudah melacak gudangnya sebelum kita masuk tadi. Karena itu, para tentara tidak menemukan kita. Tapi, jika kau terus mengoceh seperti itu, bukan tak mungkin mereka menemukan kita di sini.”
Setelah berjalan selama sekitar 5 menit, dari jarak 10 meter aku melihat sebuah ruangan yang berlapis baja. Meski tadi aku sudah memadamkan listrik, tapi ada listrik cadangan di area ini sehingga tak ada lampu yang padam.
Sejenak aku berbisik kepada Benny, dan ketika berada tepat di depan pintu ruangannya, ia membuka pintu yang kebetulan lagi tidak terkunci. Di waktu yang sama, aku pun menerobos masuk ke dalam dan langsung berhadapan dengan 4 tentara.
Ke empatnya datang dan hendak menyerang. Adapun aku bereaksi cepat; pertama, ku daratkan pukulan ke dua tentara di dada mereka; kedua, sisanya aku menendang di masing-masing paha. Mereka pun lantas tergeletak tak berkutik.
Begitu selesai menghabisi mereka, aku cepat-cepat mengambil pistol mungil dan menembak ke sekitar berkali-kali ke arah yang berbeda-beda. Setiap saat ku tekan pelatuk, tak ada suara yang terdengar. Dan lagi, yang keluar dari pistol bukanlah peluru melainkan benda-benda bulat yang berukuran kecil — benda tersebut tertempel ke langit-langit.
Saat ku pikir sudah cukup, lantas ku simpan lagi senapan ini ke dalam jubah. Lalu, tepat setelahnya, tentara lainnya berdatangan dari sebuah ruangan yang ada di dalam sini. Di antara mereka, ada dua sosok asing yang ku yakini komplotan dari dua pria yang dihabisi oleh Benny sebelumnya. Keduanya memakai kaos berkerah hitam dan merah serta, mereka semua bersenjata yang mana diarahkan tepat kepadaku.
Di saat Benny masuk, ia langsung terhenti di sebelahku.
“Jangan bergerak…” ancam seorang tentara.
Lalu, pria berkaos hitam berujar, “detektif?”
Aku tidak menyahutinya, tapi Benny. “Menyerahlah…!” balasnya. Dari sisi pandangan buram, dapat ku ketahui bahwa Benny juga sedang mengarahkan pistol kepada mereka semua.
“Apa tidak terbalik…? Sekarang situasinya malah kalian yang terpojok. Seharusnya, akulah yang menyuruh kalian untuk menyerah.” sahut laki-laki berkaos hitam itu.
Kemudian, salah satu tentara mulai berbicara. “Apa tujuanmu datang ke sini, detektif? Kau seharusnya dilarang masuk ke ruangan ini tanpa izin.”
Di sini, aku masih tidak menjawab sepatah kata pun, hingga membuat sang tentara tersebut berang.
“Jawab aku…!” teriaknya sambil mengarahkan senapan.
“Tunggu saja tandanya…” balasku yang membuat semuanya pada kebingungan.
Bahkan Benny sendiri juga tak paham maksudku. “Tanda apa?” Bisiknya.
Tanpa perlu ku perjelas, seketika ledakan panjang dan beruntun memporak-porandakan ruangan ini; benda-benda ada di langit-langit pada berjatuhan. Semua panik. Sebaliknya, aku bergerak cepat; berlari dan menyerang semua tentara.
Ketika sedang menghabisi setiap orang, suara tembakan terus terdengar di tengah ledakan yang juga masih belum berhenti. Dan sekitar dua menit kemudian, aku berhasil melumpuhkan merrka; beberapa ada yang berdarah di kaki termasuk pria yang mengenakan kaos merah… mungkin tadi Benny menembak mereka.
Adapun pria berkaos hitam, wajahnya sudah berdarah -darah akibat pukulan bertubi-tubi yang ku lancarkan barusan.
Aku mendatanginya dan dia hanya menatapku dengan raut wajah yang menunjukkan rasa ketidakpercayaan.
“Ledakan apa tadi…?” tanyanya.
“Lupakan saja itu. Sekarang jawab aku, apa yang kalian rencanakan di sini? Di mana obat terlarang yang kalian selundupkan?” balasku.
“Pertanyaan bodoh. Mana mungkin aku mau mengatakannya padamu.”
Sepertinya, cara biasa tak mempan. Maka, aku memborgol tangannya kemudian membawanya keluar dari ruangan ini.
“Hey, Jim… bagaimana dengan mereka?” tanya Benny terkait para tentara yang terluka.
“Biarkan saja. Kapten Tiyo akan tiba ke sini sebentar lagi.” aku menyahut.
Lima menit kemudian
Aku membawa pria berkaos hitam ini ke balkon lantai dua, tepatnya di sisi belakang gudang. Tidak ada pembatas di balkon ini, hanya terhampar bebas begitu saja. Jika salah langkah, maka akan langsung jatuh ke bawah.
Dan di sinilah aku berdiri tepat di hadapan pria ini; posisinya membelakangi tepian balkon.
Lantas aku kembali bertanya, “katakan padaku motif kalian.”
“Apa kau sengaja membawaku ke sini untuk mengancam agar aku menjawabmu?”
“Jawab saja apa yang ku tanyakan.”
“Kau pikir, dengan mengancamku di tepian balkon akan membuatku buka mulut? Bahkan jika kau mendorong ku ke bawah, aku takkan mati.” ujarnya.
Sambil menatapnya dengan dingin, lantas ku balas, “aku tidak berniat membunuhmu.” Kataku yang kemudian mendorongnya ke bawah.
Pria itu pun terjatuh ke dasar sambil berteriak histeris. Dari atas sini, aku melihat; ia mendarat tajam dan seketika terdengar suara bunyi patahan — aku tahu kakinya patah.
“Aaaaaaaakkhhhh…” ia menjerit-jerit. “Kurang ajar…” lanjutnya sambil mencaci maki.
Saat aku hendak melompat ke bawah juga, tiba-tiba Benny datang. “Kenapa dia ada di situ? Kau mendorongnya ya…?” Tanyanya.
“Tanganku agak sedikit lasak malam ini…” balasku seraya melompat ke bawah.
Ketika terjun, seketika jubah yang ku gunakan mengembang terisi udara secara otomatis, membuat tubuhku mendarat dengan baik. Setelah itu, aku mendatangi pria tadi.
“Apa itu sudah cukup? Jika masih belum juga, aku akan membawamu lagi ke atas dan mengulangi perbuatan tadi.” Gumamku.
“Jangan…” ia membalas dengan spontan. “Obat-obatan itu sedang dalam perjalanan ke sini. Besok malam akan tiba di pelabuhan Nurmala.”
“Begitu ya… lalu, apa motifmu datang ke sini?”
“Kami sedang bernegosiasi senjata.”
“Untuk apa?”
“Untuk mengacaukan pertemuan walikota, serta membunuh ajudan walikota Cot Jambee.”
“Siapa dalang di balik ini?”
Ia terdiam beberapa saat, kemudian menjawab, “seorang anggota dewan… Bu Cut Lidyana.”
Sekarang, setelah mendengar pengakuan orang ini, aku mulai mengerti keberlanjutan kriminal ini.
“Baiklah…” ujarku. “Itu sudah cukup.”
Aku lantas memukuli dagunya hingga ia tak sadarkan diri. Di waktu yang sama, ku ikat kedua tangannya dengan seutas tali.
Setelah itu, aku menoleh ke arah balkon. “Benny, ayo…” aku mengajaknya pergi.
“Tunggu… bagaimana caranya turun dari sini?” Ia bertanya dengan penuh kebingungan.
Lantas aku menunjuk ke arah kiri di mana terdapat tangga yang menempel permanen di dinding. Dan Benny pun bergegas menuju ke situ.