Kisah-Kisah Dalam Buku Harian Jimmy
Teror di Rumah 05
Memburu para tersangka bom
Foto oleh: Monstera dari Pexels
“Anggiii…”
Tepat setelah keluar dari mobil, Tri berlari kencang menuju seorang gadis kecil yang hendak masuk ke dalam rumah. Tapi…
Duaaammm…
Baru tiga langkah, ledakan bom yang sudah dirakit oleh beberapa orang tak dikenal merenggut nyawa Anggi seketika. Tri hanya tertegun tak percaya apa yang ia lihat di hadapan matanya. Ia terdiam kaku, sedang matanya terbelalak melihat api yang semakin menyala-nyala menyambar apa saja di dekat rumah itu.
Tak lama setelah itu orang-orang berdatangan untuk memadamkan api di rumah tersebut. Dan selang beberapa menit, tiga pemadam kebakaran pun tiba.
“Ambulan… ambulan. Telpon ambulan — ada yang terluka…” teriak seorang lelaki.
Sayangnya, semua orang masih dalam kondisi panik, tak satu pun dari mereka yang menghubungi ambulan.
“Dia parahhh… ku mohon siapa saja, tolong…”
Pukul 07.15, di Kantor Detektif Jimmy
Ting…
Aku bergegas mengambil hape dan membuka pesan WhatsApp dari Kapten Tiyo.
“Detektif, mohon temui aku di markas segera.”
Aku tahu jika Kapten sudah mengirim pesan seperti itu, pasti ada hal penting. Langsung ku kenakan jubah yang biasanya ku gunakan, memakai topi, menyalakan mobil dan bergegas ke markas.
Dalam sepuluh menit aku tiba, lebih cepat dari biasanya yang seharusnya memakan waktu sekitar 20 menit. Setelah ku parkir mobil, aku berjalan cepat ke ruangan Kapten Tiyo.
Tok tok tok…
Seorang polisi membukakan pintu. Ku lihat Kapten sedang berdiri di dekat mejanya dengan beberapa buku catatan di sana. Ia lalu menatapku, kemudian menganggukkan kepala memberi isyarat kepadaku untuk segera masuk.
Bersamaan dengan itu, polisi yang tadinya membuka pintu bergegas keluar dari ruangan Kapten, kini hanya kami berdua saja. Ia langsung membuka pembahasan tentang rumah 05 di Jalan Hasan.
“Ku yakin kau sudah tahu kejadiannya.” Ujar Kapten.
Aku mengangguk.
“Firasatmu tentang teror ke rumah Wildan itu benar — seorang anggota DPR yang sedang kita usut kasus korupsinya.”
Kapten mempersilahkanku duduk, aku menurut saja.
“Anak perempuannya tewas…” ujarnya lagi sambil memperlihatkan buku-buku catatannya padaku.
Aku melirik dengan seksama buku-buku tersebut dan ku dapati beberapa nama sebagai kemungkinan tersangka-tersangka yang terlibat dalam ledakan bom di rumah Wildan.
“Nama-nama itu, dari yang ku dengar… mereka semua memakai nama samaran — ”
Kapten terus merincikan penjelasan sedangkan aku masih tetap serius menatap isi buku yang diperlihatkan olehnya tadi.
“Rumah itu sudah beberapa hari kami pantau sesuai dengan firasatmu bahwa ada orang-orang yang mengancam kediaman Wildan…”
Aku menoleh ke wajahnya dan mulai mendengarkan setahap demi setahap.
Memang, sebelumnya ku dapati ada ancaman dari sekumpulan orang tak dikenal yang ditujukan kepada keluarga Wildan, karena itu aku meminta Kapten untuk memantau situasi rumah tersebut. Itu terjadi sebab ditengah pra-dugaan kasus korupsi yang melilitnya, ia malah kabur ke Hongkong dengan alasan berobat.
Padahal, sehari sebelum keberangkatannya, Wildan sudah disurati untuk datang ke kantor polisi sebagai saksi. Ya, sementara ini aku masih memberi status itu walaupun semua data kebenarannya sudah ku miliki.
“Tiga nama yang kau jadikan sebagai dugaan tersangka. Apa mereka memang bertindak sejauh itu?” tanyaku.
“Bawahanku sudah memata-matai mereka jauh-jauh hari, sesuai pintamu. Hanya saja, motif ancaman seperti apa yang akan mereka lakukan pada saat itu belum jelas. Tapi…”
Kapten berhenti sejenak, mengambil rokok dari dalam sakunya, lalu berjalan mendekati jendela dan membukanya.
Ctekk…
Ia membakar rokok. Kepulan asap mengerumuni wajah bosku.
“Satu orang berhasil kami tahan di lokasi. Sedang yang lainnya masih tahap pencarian.”
Kapten lalu melirik ke arahku,
“Aku ingin kau menuntaskan pelaku-pelaku ini terlebih dahulu. Ku pikir, mereka lebih berbahaya dari Wildan — untuk saat ini…”
Ku tatap dalam-dalam wajah Kapten, sepertinya ia serius.
“Jadi, untuk sementara, kasus Wildan kita pending. Bagiku, membawanya ke markas di tengah situasi seperti ini pasti rumit. Anak semata wayangnya tewas, istrinya koma.”
“Ya, aku mengerti…”
“Lalu, menurutmu apa akan baik-baik saja dengan jejak Wildan?”
“Akan ku usahakan semaksimal mungkin agar rencana kita tetap berjalan sesuai strategi. Kita hanya perlu tenang sejenak. Situasi duka di pihak Wildan, ku pikir tidak manusiawi jika kita bersikeras tetap menangkapnya sekarang ini. Aku akan mengatur waktu…”
Kapten mengangguk.
Pukul 10.00 di Kantor Detektif Jimmy
Aku, Benny dan Kapten Tiyo langsung bergerak mencari jejak pelaku. Langkah pertama adalah mendalami identitas mereka satu per satu. Sejak kabar ancaman pertama masuk ke telingaku, diam-diam aku menaruh beberapa CCTV di area rumah Wildan.
Ya meskipun ada beberapa bawahan Kapten Tiyo yang juga mengawasi kediaman si anggota DPR itu. Aku hanya butuh data untuk diriku sendiri sebagai tindakan untuk menyimpulkan sesederhana mungkin aksi teror tersebut.
Memang di rumahnya juga ada kamera CCTV, tapi semuanya luluh lantak akibat ledakan bom. Sedangkan kamera punyaku, sengaja ku letakkan di depan pagar rumah, tiga ada di jalan, dan dua lagi di tiang listrik tepat di belakang rumah Wildan. Semua kamera tersebut memiliki area tangkap yang luas.
Sebelumnya aku juga sudah bertemu dengan satu pelaku yang tertangkap, namanya Hermansyah, warga kota Ujöng Bak U. Ia sudah membeberkan kemungkinan posisi dua tersangka lainnya. Ada tiga tempat yang harus kami singgahi berdasarkan pengakuan Hermansyah.
“Ini… tahan sejenak” sahut Kapten. Benny mem-pause remakan CCTV.
“Bagaimana menurutmu…?” Kapten melirikku.
“Lihat — AK-47… yang satu lagi Shotgun.” Sahutku.
“Memangnya ada apa dengan senjata itu? Apa kau punya kesimpulan?”
“Belum terlintas…”
Seketika kami bertiga terdiam memikirkan sesuatu. Dalam hatiku, ada sesuatu yang ku khawatirkan. Lagi-lagi aku harus berhadapan dengan bandit lihai, pikirku.
“Kenapa tidak kita bawa saja Hermansyah untuk membantu kita?” Ucap Benny kepadaku.
Aku menggeleng, “jangan remehkan dia. Aku sudah mempelajari siapa dirinya. Dia adalah orang yang tangguh — tipe orang yang mampu berhadapan satu melawan lima sekaligus…”
“Apa kau meragukan kapasitas orang-orang kita?” Kapten Tiyo menyanggah.
Aku lalu membakar rokok, “untuk Hermansyah, aku punya alasan logis. Asal kau tahu saja, bawahanmu dapat dikatakan hebat dapat menahannya waktu itu — meski bagiku ada sedikit keberuntungan.”
Kapten terlihat tak mengerti maksudku.
“Dengar, dia itu tentara bayaran. Dengan segala keahlian yang dimilikinya, jangan sampai usaha bawahanmu yang sudah menangkap mereka pada akhirnya menjadi kegagalan. Biarkan dia di dalam sel.”
“Mmm… oke oke. Lalu?”
Aku kembali terdiam beberapa saat, dan kemudian…
“Aku punya strategi…” ujarku.
Sontak Benny dan Kapten memutar posisi duduk mereka menghadapku. Tatapan keduanya serius.
— —
Gedung Kuphi, 02.30 siang
Saat sedang mengaduk kopi, Kapten tiba dan segera duduk di hadapanku. Selang beberapa menit kemudian, Benny juga, ia duduk di sebelahku.
Kami berbincang panjang tentang strategi penangkapan tersangka bom di rumah Wildan.
“Begitu saja…?” tanya Benny, aku mengangguk sambil menyeduh kopi yang sudah menghangat.
“Kita akan bergerak pukul lima sore dan — ”
“Tunggu…” Kapten menyerobot pembicaraanku.
“Dari mana kau tahu identitas mereka…? Maksudku, secepat ini?”
“Ya, memangnya kenapa…?”
Pertanyaanku tak disahuti apa-apa olehnya, hanya melirikku setajam mungkin seolah-olah ia sedang menginterograsiku.
“Aku berjumpa dengan salah satu mereka — Anji — itu nama aslinya.”
“Hmmm…” Kapten masih serius mendengar.
“Okee, begini. Aku berjumpa dengannya di Museum Tsunami. Dari situ aku menemukan satu jejak yang semoga sampai sekarang tetap dapat ku ikuti.”
“Hmmm…”
“Hmmm…?” celotehku juga yang sedikit heran dengan tingkah laku Kapten.
“Hmm hmm hmmm…”
Benny lalu tiba-tiba memukul meja yang berhasil mengagetkanku dan Kapten Tiyo.
“Hmm hmmm, apanya…?” Ujarnya lantang.
“Hey Ben, dia sedang menyembunyikan sesuatu. Apa kau tak menyadarinya?”
“Sepenting itukah?”
“Iya, sangat dan sangat.” Sahut Kapten kepada Benny.
“Hhhmmmmmm…”
Lagi-lagi ia bersuara seperti itu yang malah diikuti pula dengan Benny.
Kapten lalu mengambil rokokku,
“aku tahu ini barang berharga bagimu, Detektif.”
“Oke, letakkan, akan ku jelaskan serinci mungkin.”
Tapi bos malah mengantungi rokokku itu,
“kita sudah berteman lama, Jim. Aku kenal dirimu luar dalam. Jelaskan, maka rokokmu aman.”
Sambil ku hela napas panjang, lalu aku mulai mengoceh.
“Intinya saja. Aku menyamar menjadi turis, bersapa dengannya, dan… penyamaranku sukses — semoga…”
“Hhmmmm…” mereka berdua kompak.
“Hhhh… jadi modusku adalah memintanya untuk memotretku bersama seorang wanita yang kebetulan aku temui di sana, yaa walaupun aku harus rela membayar perempuan itu agar rencanaku sukses. Intinya, aku berhasil menaruh satu alat pendeteksi di celananya dan… di motornya.”
“Lalu, kenapa tak kau tangkap di waktu itu juga…?”
“Kapten, situasinya sangat berbahaya. Dia juga salah satu tentara bayaran — mereka bertiga tentara bayaran. Oleh karena itu, aku meletakkan alat pendeteksi agar kita dapat menyergapnya di tempat yang pas.”
“Oke. Lalu yang satunya?” Kapten menanyakan seorang tersangka lainnya.
Ku seduh kopi sejenak lalu menjawab,
“Dari rekaman CCTV, aku berhasil mendapat info setelah ku perjelas wajahnya. Ku screenshoot wajah orang itu dan mencoba mendeteksinya melalui jaringan internet dengan alatku sendiri.”
Sesaat aku berhenti dan menarik rokokku, lalu ku embuskan asapnya,
“singkat cerita, aku berhasil mendapatkan KTP-nya dan semua data tentang orang itu — ter-input sendiri.”
“Bagaimana bisa?”
Ku tarik lagi rokok sembari menjawab santai pertanyaan Kapten.
“Aku menelusuri bandit itu melaului rekam jejak dirinya menggunakan internet. Foto wajahnya sangat mempengaruhi proses pencarianku. Yang perlu diingat bahwa…”
Aku mulai berdiri, mengenakan jubah serta topi. Ku lihat Kapten dan Benny terlalu serius menyimak penjelasanku.
“Bahwa tidak selamanya seseorang menggunakan internet itu anonymously — begitupun sebaliknya. Lagipula, alat yang ku gunakan ini memang dapat mendeteksi orang yang tak ku kenali sekalipun... dari jejak internet yang pernah orang-orang telusuri. Bisa dikatakan, kota Cot Jambee — aku punya banyak data warga yang tersimpan rapi di situ.”
Kataku sambil menunjuk alat pendeteksi yang ku maksud. Sayangnya, aku belum menemukan nama untuk benda itu.
“Contohnya saja kau, Kapten. Aku tau kau sedang menggunakan internet walaupun kau menyembunyikan identitasmu. Bahkan aku tau di mana kau sedang mengunakannya, juga — aku dapat melihat dirimu.” Lanjutku lagi.
“Aku tak menyangka kau punya alat secanggih itu, Detektif. Atau kau memang lihai mencari-cari…?”
Aku diam saja mendengar ocehan bos.
“Dengan kata lain, kau punya semua data orang di kota ini?” Tanya Benny.
Aku menggeleng, “sebagian besar.”
Sebenarnya, ada beberapa titik di kota Cot Jambee yang sengaja ku pasangkan kamera CCTV, dan itu bukanlah kamera sembarangan sebab benda itu mampu mendeteksi siapa saja hanya dari tangkapan wajah saja — bisa ku katakan hampir 90 persen akurat.
Tujuanku hanya untuk mengamati situasi karena di era sekarang ini, para bandit juga mulai melakukan aksi menggunakan peralatan canggih; entah itu senjata atau yang lainnya.
Dan bagiku, barangkali tak perlu ku ungkapkan semua hal seperti ini, termasuk pada Kapten ataupun Benny. Sangat rahasia. Karena, jika sempat diketahui oleh para bandit, otomatis akan sangat berbahaya dan merugikan diriku sendiri.
Pukul 05.00 sore di Jalan Rawa
Alat pendeteksi yang ku letakkan secara diam-diam di motor dan pakaian Anji ternyata memang sangat membantu. Ia memang sudah mengganti setelan, tapi kendaraan yang digunakan masih tetap sama.
Kini, orang itu sedang berada di sebuah cafe. Aku bersama Kapten Tiyo langsung turun dari mobil untuk memata-matai. Suasana ramai dan bising sedikit menyusahkan kami.
“Lebih baik kita memesan saja dulu.” kata Kapten. Aku setuju.
Sambil duduk menunggu pesanan, pandanganku mulai liar dan nakal, memperhatikan setiap sisi — setiap sudut. Tapi masih juga belum ada tanda-tanda Anji.
“Bagaimana sekarang?”
“Sabar adalah tahapan yang harus kita lakukan pertama. Selanjutnya, kita tak pernah tau.” ujarku.
Kapten sepertinya mengerti maksud tersiratku ini. Ia lalu berjalan menuju toilet pria, mengecek satu persatu kamarnya. Aku senantiasa menanti pesan dari bos.
Ting…
“Detektif, tempat selanjutnya.”
Pesan dari Kapten masuk melalui ponselku.
Aku melirik ke kanan, lalu ku banting ke kiri. Tiba-tiba radio penghubung yang ku lekatkan di telinga berbunyi.
“Jim, aku menemukan satu tersangka, Darwin.” Benny memberi pesan.
“Jika ada kesempatan, segera sergap. Ingat jangan gegabah.”
Benny berada di Sektor Tenggara bersama Fuad, seorang polisi. Mereka memburu Darwin, pelaku lainnya.
Aku lalu berdiri dan menuju ke meja kasir yang langsung di layani oleh seorang wanita.
“Ada yang bisa dibantu?”
“Aku mencari ruangan yang cocok untuk rapat kantor. Apa kalian punya?” Tanya ku.
“Ada beberapa ruangan yang bisa dipilih sesuai kebetuhuanmu, pak.”
Wanita itu memperlihatkanku list ruangannya, ternyata banyak.
“Sepertinya ruangan WnT ini menjanjikan, lumayan mewah.”
“Wah, kalau itu hanya untuk para wanita saja.” sahutnya.
Aku baru tahu jika di cafe ini menyediakan ruangan khusus untuk perempuan.
“Yang lainnya… boleh ku lihat-lihat dulu ruangannya?”
“Boleh. Tapi yang kosong hanya tiga ini saja.”
Wanita itu menunjukkan ruangan yang dimaksud. Aku lalu mengangguk dan segera ia mengantarku ke lantai tiga. Ternyata, tempat-tempat ini saling berdekatan, awalnya ku pikir terpisah.
Tapi, aku mulai curiga saat mendapati ada dua lelaki yang malah masuk ke ruangan WnT tadi. Padahal tempat itu khusus untuk perempuan.
“Bagaimana? Mana yang anda pilih?”
“Boleh ku foto? Aku harus memperlihatkannya pada atasanku dulu.”
Ia mengangguk.
Setelah itu, kami turun lagi ke bawah. Saat berada di tangga, ku lihat tak ada orang sama sekali.
“Kau, Alissa, kan…?” tanyaku.
Ia mengangguk dengan wajah penasaran sebab aku yang tiba-tiba mengetahui namanya. Saat ia hendak bertanya kembali, aku langsung mengambil kunci mobil, ku arahkan tepat ke lehernya sembari menekan sebuah tombol. Dan…
Brukkk…
Seketika wanita itu terjatuh.
Aku berhasil membiusnya. Ya, kunci mobil ini sudah ku racik sedemikian rupa, salah satunya sebagai alat bius. Jarum-jarum kecil dan juga halus, sangat sulit untuk diterawang dengan mata.
Dan jarum bius yang ku sasar ke lehernya, menembus sempurna melewati jilbab hitam yang ia kenakan.
Langsung ku bawa wanita ini ke dalam ruangan yang memang ada di tangga tempat kami bersua — mungkin ruangan ini khusus untuk pekerja cafe.
Aku lalu kembali ke lantai tiga dan mulai menanti waktu yang tepat untuk menerobos masuk ke dalam ruangan WnT tadi. Namun sepertinya mustahil karena tak ada celah sedikitpun bagiku untuk masuk.
Ku pikir-pikir sejenak sambil membakar rokok untuk menjernihkan pikiran. Sembari merokok, mataku tetap liar memperhatikan setiap sudut jika memang ada sedikit celah untukku. Dan tanpa sengaja, aku menemukan kamera CCTV tepat di atas pintu ruangan WnT.
Ku ambil pena dari dalam jubahku yang sebenarnya ini adalah alat untuk mengalihkan kamera CCTV tadi. Ku sasarkan ke sana, dalam beberapa detik ponselku berdering, pertanda bahwa kamera itu sudah berhasil ku bajak.
Kemudian, aku bergegas menuju mobil. Ku sambungkan hape-ku ke laptop untuk mengalihkan kamera tadi menjadi CCTV di dalam ruangan WnT.
Benar saja, di dalam sana ku dapati Anji beserta para pria lainnya. Anehnya, hanya sedikit perempuan di dalam sana, padahal itu ruangan khusus untuk perempuan. Entahlah, gumamku dalam hati.
Untuk berjaga-jaga, ku bajak saja semua kamera CCTV di cafe itu agar pergerakan Anji dapat ku batasi. Tak lama setelahnya, ku hubungi Kapten Tiyo untuk segera menuju ke mobilku.
“Bagaimana?”
“Masih terkendali. Cepat masuk.”
Bagiku, menanti — menunggu — adalah cara terbaik. Jika gerak-gerik kami diketahui, mungkin akan ada kemungkinan buruk terjadi.
Dan lima belas menit kemudian, Anji mulai bergerak. Ia terlihat buru-buru bahkan langsung menyalakan motor.
“Jim, siap-siap.”
Tapi bandit itu masih berada di motornya, sedang melakukan sesuatu yang tak ku yakini itu apa. Kami pun hendak bergegas menyergapnya di sana.
Tiba-tiba…
Psssttt
Radio penghubungku berbunyi.
“Jim, di sini Fuad. Benny tertembak. Ku ulangi, Benny tertembak.”
Aku terkejut, apa dia mengabaikan instruksiku untuk tidak gegabah? Aku terus bergumam dalam hati.
Tak lama berselang, Anji melewati mobilku dan berhenti tepat di depan kami, hanya berjarak beberapa meter saja. Ku lihat gerak-geriknya mulai mencurigakan.
Spontan ku tarik lengan kiri Kapten Tiyo tepat saat ia membuka pintu mobil.
“Kapten, tutup pintunya.” teriakku.
Dua detik setelah pintu tertutup, seketika itu juga…
Doorr doorr doorr
Anji menembaki kaca depan mobilku tiga kali, dan sekali ia sasarkan di kaca spion tepat di sebelah Kapten duduk.
Setelah itu, ia langsung memacu motornya.
Ku tatap Kapten Tiyo yang terlihat panik. Matanya masih melirik-lirik kaca mobilku yang ternyata berbahan anti peluru. Sesaat kemudian ia menoleh padaku — sepertinya ia bingung. Sedangkan aku bergegas menyetir untuk mengejar Anji walaupun sulit untuk mengemudi dengan kondisi kaca mobil yang sudah retak-retak.
Bersambung…