Kisah-Kisah Dalam Buku Harian Jimmy

Jubah Hitam

Reza Fahlevi
8 min readOct 17, 2023
Foto oleh Nghia Do Thanh dsri Unsplash

“Pakaian untuk menyimpan senjata?” Tanya Jack penuh keheranan. Bahkan, satu alisnya naik, seperti menandakan ia benar-benar tak mengerti dengan perkataanku.

“Ya…” jawabku. “Sederhananya, aku butuh pakaian praktis untuk menaruh berbagai senjata yang ku perlukan saat misi.”

“Hmmm…” gumamnya sambil mengelus dagu. “Bukannya jaket yang biasa kau kenakan itu sudah cukup untuk menyimpan pistol?”

“Aku berniat membawa lebih banyak senjata seperti pisau dan sejenisnya.”

“Sebenarnya, kau mau menangkap penjahat atau malah ingin memamerkan senjata?”

“Jack…” kataku, “pistol terlalu berisik. Aku butuh pisau untuk melumpuhkan musuh diam-diam.”

“Tapi, bukannya nanti kau malah kewalahan? Membawa senjata banyak-banyak, kau sembunyikan di balik pakaian — bisa-bisa malah membuatmu keberatan dengan mainan-mainan itu.”

“Kita takkan pernah tahu jika belum mencoba.” Sahutku.

Jack lantas duduk di hadapan komputer sambil mengambil sebatang rokok dan membakarnya. Ia terlihat seperti sedang memikirkan sesuatu. Di momen ini, aku merokok juga — ku ambil saja rokoknya dari dalam bungkus.

Lalu, diriku berjalan mengambil kursi dan kembali lagi seraya meletakkannya di sebelah Jack. Kemudian, sambil duduk aku pun melanjutkan, “selama ini aku sering memata-matai musuh di malam hari. Jadi, menurutmu jenis pakaian apa yang cocok untuk kerja di tengah-tengah malam — tidak terlalu mencolok tapi berandal-berandal itu menyadari kehadiranku setiap saat aku datang.”

“Jaket sebenarnya sudah sangat cocok… tapi bagaimana jika jubah? Jubah lebih padu — maksudku, dengan tubuhmu yang lumayan tinggi, kau cocok mengenakan jubah. Selain itu, jubah juga bisa menyimpan banyak peralatan yang kau perlukan — aku bisa menyetelnya untukmu.”

Jack mengambil selembar foto dari atas meja, tak jauh dari komputer. Lantas ia memperlihatkan gambarnya padaku yang tak lain foto pak Fadil, polisi yang ku kenal pada saat masa SMA.

“Jubah seperti yang dikenakan pak Fadil… bagaimana menurutmu?” Tanya Jack.

Ya, dalam foto itu, pak Fadil mengenakan jubah berwarna cokelat tua. Sebebarnya, ia selalu mengenakannya setiap saat bertugas di lapangan.

“Setahuku, pak Fadil juga menyimpan berbagai senjata di dalam jubahnya. Kau tahu kan kalau dia punya peralatan aneh yang mirip seperti punya Ninja? Maksudku, besi padat mungil yang sangat kecil itu…” lanjutnya.

Adapun aku mengangguk. “Pak Fadil tidak hanyak punya jenis senjata itu… ada banyak jenis lain di balik jubahnya.”

“Ya… kau memang lebih tahu dari padaku karena kau hampir selalu bersamanya saat itu.”

Kemudian aku mengangguk sambil tersenyum. “Seperti yang dikenakan pak Fadil tak terlalu buruk. Tapi, ada bagusnya jika memiliki lebih banyak penyimpanan senjata — dan barangkali warna hitam sangat cocok untukku — hitam pekat.”

Lalu, Jack bertanya, “sejak pulang dari negara itu… aku sudah hampir tak mengenalmu. Sebenarnya, senjata macam apa yang mau kau taruh di dalam jubah? AK 47? Granat? Atau malah bom?”

Adapun aku tertawa mendengar ocehannya. “Ikut aku… akan ku perlihatkan sesuatu agar kau sedikit mengerti.

Kami pun beranjak dari duduk dan pergi menuju kediamanku di jalan Fansuri.

Sekitar 15 menit kami tiba.

Aku lantas membuka pintu rumah juga menyuruh Jack untuk masuk. Lalu kami berjalan ke sisi belakang di mana ada sebuah tangga menuju ke bawah.

Ku bawa Jack menuruni tangga — sebenarnya yang kami masuki ini adalah ruang bawah tanah yang sengaja ku buat bersama kapten Tiyo dan pak Anwar.

“Wooow…” gumam Jack. “Kau tak pernah bilang ada ruang bawah tanah di sini. Sejak kapan?”

“Aku tipe orang yang belajar banyak dari pengalaman. Setelah rumah lamaku terbakar, aku membangun ulang di sini dan ku pikir aku butuh ruang bawah tanah jika terjadi sesuatu seperti yang ku alami dulu. Tapi, setelah ku pikir-pikir lagi, tempat ini bisa menjadi ruang rahasia untuk menyimpan berbagai macam senjata.” Sahutku.

Adapun Jack melihat ke sekitar ruang bawah tanah ini di mana terdapat banyak lemari penyimpanan senjata; beberapa terbuat dari kaca sehingga terlihat jelas ada berbagai senapan, jenis senjata tajam, juga sekumpulan besi dari yang berukuran besar panjang hingga kecil dan tipis. Selain itu, di sebelah kanan juga terpampang tiga pakaian Ninja lengkap dengan topeng — aku menggantungnya di dinding yang ku tutupi serta ku lapisi dengan kaca.

Lalu, Jack bertanya, “jika kau sering melakukan mata-mata dan penyusupan di malam hari, kenapa tidak mengenakan pakaian Ninja saja?”

“Aku tidak lagi membutuhkan itu setelah memakai topeng semi realistis ini…” sahutku sambil menyentuh wajah.

Kemudian, Jack kembali fokus melihat peralatan senjata. “Jadi, rencanamu memintaku untuk membuat jubah untuk membawa semua senjata ini? Apa kau gila? Itu takkan muat.” ujarnya.

“Dasar bodoh… sudah pasti aku hanya membawa yang perlu. Tujuanku seperti polisi pada umumnya yang membawa pistol serta pentungan — tapi aku ingin membawa lebih banyak dan tak terlihat sehingga musuh tak sadar bahwa aku membawa beberapa senjata ketika berhadapan denganku.”

Jack berjalan menyusuri setiap lemari tempat penyimpan senjata. Lantas dirinya berhenti di sebuah lemari yang terbuat dari lapisan baja.

“Apa isi di dalamnya?” ia bertanya.

Aku datang untuk membukanya serta memperlihatkan apa yang ku taruh di situ. Dan seketika Jack tertegun.

“Apa ini?” Tanyanya lagi.

“Jenis senjata inilah yang ingin ku bawa banyak dan menaruhnya di dalam jubah.”

Senjata yang ku maksud adalah sejenis kunai dan shuriken, namun sudah ku modif menjadi lebih kecil dari ukuran biasanya. Selain itu, terdapat juga jarum-jarum dari yang tebal hingga yang sangat tipis. Jarum inilah yang sering digunakan oleh pak Fadil setiap saat ia beraksi menangkap penjahat. Ia menggunakannya jika sedang tidak memakai pistol.

“Jim…” ucap Jack sambil menoleh padaku. “Apa yang sudah kau pelajari di negara itu?”

“Banyak… sahutku. “Aksi bela diri yang sebelumnya tak pernah ku pelajari di sini. Guruku mengajarkan semuanya… ia seperti hendak mewarisinya padaku.”

“Maksudku… bela diri seperti apa yang kau pelajari. Senjata-senjata ini sangat langka.”

“Sudah jelas, kan…? Itu semua peralatan ninja, maka sudah pasti aku mempelajari jenis bela diri itu.”

“Kau bercanda, kan…?” gumamnya.

Tanpa menyahuti Jack, aku mengambil sebuah benda bulat dari dalam jaket dan kemudian menjatuhkannya ke lantai. Seketika benda tersebut meledak dan mengeluarkan banyak asap.

Di momen ini, aku pun segera pergi dari hadapan Jack — ia sama sekali tak menyadarinya. Dengan tanpa suara, aku berlari cepat menuju ke sebuah tali rantai; ku gunakan kedua tangan untuk memanjat di tali ini hingga diriku sudah berada di atas, tepatnya di langit-langit yang beralaskan papan. Dari sini, ku tatap ke bawah, asap tadi perlahan-lahan mulai menghilang.

Tepat di saat asapnya sudah lenyap, ku lihat Jack malah tertegun — ia seperti terkejut ketika menyadari aku sudah tidak berada di sisinya.

“Hey Jim…” panggilnya tapi aku tidak menyahutinya melainkan berjalan santai di atas sini.

Lantas ia berbalik badan dan mulai melangkah setapak demi setapak. Begitu dirinya berjalan sebanyak lima langkah, dari atas sini aku melompat dan mendarat mulus tepat di belakangnya.

“Jim…” Jack lagi-lagi memanggilku, padahal sekarang aku sendiri sudah berada di belakangnya.

Lantas, ku ambil sebuah pisau dan mengarahkan ke lehernya. Jack langsung menyadari kehadiranku ketika pisau ini menyentuh kulitnya. Dan ia… dengan cepat mencoba menyikutku tapi aku bergerak lebih sigap— ku tangkis siku Jack kemudian dalam satu gerakan ku tempelkan ke punggungnya. Selanjutnya, aku juga menendang satu kaki laki-laki ini hingga ia tersungkur dalam posisi berlutut.

“Jadi, kau memang benar-benar mempelajari keahlian Ninja… barangkali, kau yang sekarang ini sudah menjadi Ninja profesional.” gumamnya.

Sambil melepas tangannya, aku menjawab, “tak mungkin aku kembali dari sana tanpa membawa apa-apa setelah menghabiskan waktu sekitar setahun…”

Lantas Jack berdiri dan menghadapku. “Itu tadi… sejak kapan kau berada di belakangku?” tanyanya.

“Tak lama setelah kau berbalik badan…”

“Tapi aku tak melihat kau berlari ke arahku…”

“Kata siapa aku berlari? Yang ku lakukan hanya melompat dari situ…” sahutku sambil.menunjuk ke langit-langit.

“Melompat? Dari ketinggian itu? Tapi, kenapa aku sama sekali tak mendengar saat kau mendarat di belakangku?”

“Jack, itulah salah satu keahlian Ninja. Cara yang ku lakukan tadi adalah pergerakan menyusup secara diam-diam.”

“Diam-diam? Aku bahkan sama sekali tak merasakan kehadiranmu.”

“Ya… begitulah…”

Aku kembali lagi ke kediaman Jack. Saat ini, ia sedang merancang sebuah pakaian… tentu saja yang ia rancang adalah jubah sesuai permintaanku.

“Bagaimana menurutmu?” Tanya Jack sambil memperlihatkan hasil rancangannya yang masih belum utuh.

Lantas ia melanjutlan, “dari aksi yang kau lakukan tadi, aku berpikir jenis jubah seperti ini bisa sangat berguna — sifatnya fleksibel… baik saat kau bersembunyi atau saat kau tiba-tiba memutuskan melompat dari ketinggian. Dan di dalamnya… kau bisa menyimpan sekitar lima sepuluh senjata, termasuk pistol dan mainan Ninja-mu itu. Saat kau menaruh senjata di sini, kau tak perlu repot-repot mengancingnya… semua kantong ini akan tertutup sendiri. Dan ku jamin senjatanya takkan jatuh mau sekencang apa kau berlari atau setinggi apa kau melompat — tapi, jika kau melompat dari ketinggian lebih dari 5 meter, ku pikir bukan hanya senjatanya saja, kau sendiri akan hancur lebur…” jelasnya panjang lebar.

Lantas aku membalas ocehan Jack dengan senyuman. “Sejauh ini, rancanganmu sangat bagus. Aku tak sabar mengenakannya dalam misi.”

“Jika ada kekurangan, sampaikan saja padaku…”

“Kekurangan dan kelebihan akan terlihat dengan sendirinya saat aku menjalankan misi. Jadi pastikan kau tak kehabisan ide saat aku datang lagi padamu…” cetusku.

Pukul 2 Dini Hari

Di sebuah markas para bandar narkoba, aku berhasil menyelinap ke dalam. Saat ini, mereka semua sedang berkumpul di halaman belakang. Adapun aku berada di dalam gudang — tempat di mana mereka menyelundupkan benda terlarang itu.

Setidaknya, barang bukti sudah ku temukan, sisanya tinggal melumpuhkan musuh; 5 di antaranya sudah berhasil ku sikat. Sedangkan yang tersisa semua berjumlah 10 orang lagi.

“Kapten, barang bukti sudah ku dapatkan. Sekarang, bersiagalah di posisimu, aku akan bergerak menghabisi mereka semua, setelah itu baru ku beri tanda untukmu.” Kataku kepada kapten Tiyo melakui HT.

“Dimengerti.” sahutnya.

Aku pun lantas memadamkan listrik, seketika suasananya menjadi sangat gelap. Di dalam kegelapan inilah aku berjalan perlahan-lahan hingga ku temukan semua berandal itu. Tanpa bersuara, aku berlari dan menarik salah satu dari mereka — ku bawa orang ini ke sebuah ruangan seperti kamar dan ku habisi ia di sini.

Satu sudah terjatuh.

Lalu, tiba-tiba lampunya menyala lagi. Lantas, diriku keluar dari ruangan tadi untuk berhadapan dengan para bandar itu. Ketika berjalan keluar, seorang pria yang sedang berdiri menghadapku seketika terkejut.

“Ka… kau…” ujarnya sambil menunjuk ke arahku.

Gerak cepat, aku berlari sembari mengambil jarum mungil dari dalam jubah dan melemparkannya ke pria tadi. Jarum ini mengenai tepat ke dahinya. Ia pun menjerit kesakitan sambil menahan laju darah yang merembes.

Begitu jarakku sudah berada di hadapannya, langsung saja pria ini ku pukuli — tiga hantaman ku sasarkan ke dada sampai dirinya tak berkutik.

Kemudian, mataku melirik cepat ke sisi kanan dan kiri. Di waktu yang sama, kedua tangan mengambil shuriken dari dalam jubah dan ku lempar masing - masing kepada musuh yang ada di sebelah kiri dan kananku. Senjata tersebut mengenai paha mereka berdua.

Sedangkan sisa 7 bandit — mereka bersiaga dengan pedang di tangan masing-masing. Tepat saat mereka berlari menyerang, aku pun mengambil sebuah besi hitam yang panjangnya seukuran pentungan. Ku perhatikan sejenak mereka dan kemudian melakukan serangan sekaligus. Ku pukuli semua berandal ini menggunakan besi hingga tak ada yang tersisa… ketujuh bandit terkapar dengan luka-luka di wajah.

Setelah itu, aku mengeluarkan satu tembakan sebagai sinyal yang ku berikan kepada kapten Tiyo. Dan di waktu yang sama, aku segera melarikan diri dari sisi depan markas ini. Sisanya, ku serahkan saja pada Tiyo dan pasukannya.

--

--

Reza Fahlevi
Reza Fahlevi

No responses yet