Kisah-Kisah Dalam Buku Harian Jimmy
Rumah Tahanan Tanjung
Foto oleh Monstera dari Pexels
Sepertinya suasana semakin mencekam. Ku kebut sepeda motor Trail mencapai 100 km/jam agar tiba secepatnya di rutan Tanjung. Dengan setelan helm, sarung tangan, sepatu hitam, serta jubah kebesaran… ku harap diriku dapat selamat sampai tujuan.
Menurut informasi dari Rizqan, salah satu penjaga rutan, hampir sebagian besar tahanan kabur malam ini. Mereka memanfaatkan robohnya sebuah tembok di sisi belakang penjara akibat ledakan. Entah siapa yang menyebabkan ledakan itu, yang jelas ini merupakan kerugian besar. Rata-rata yang sudah kabur adalah para bandar narkoba; dan di antara mereka ada seorang kriminal yang sangat merepotkan… dialah Fernando.
Dua puluh menit kemudian
Aku sudah tiba di rutan tanjung. Alih-alih masuk lewat depan, ku pacu Trail ke belakamg tepatnya di tembok yang hancur itu.
Brruummm…
Ku tancap gas dengan buru-buru sampai ban depan sepeda motor terangkat sekitar satu meter. Begitu tiba, aku menemukan dua polisi terluka, mereka tergeletak tepat di tembok yang hancur itu.
Lantas aku pun ke sana.
Setelah mematikan mesin motor, aku bergegas menghampiri dua petugas itu.
“De…tek…tif…” gumam seorang polisi dengan suara yang terputus-putus. Ada banyak rembesan darah membanjiri hampir seluruh seragam dinasnya.
“Tenang… aku sudah menghubungi tim medis.”
Memang sesaat sebelum tiba di rutan, aku sudah mengabarkan tim medis agar mereka segera datang.
Dan sambil menanti kedatangan mereka, aku mengecek luka kedua petugas ini. Yang barusan memanggilku mendapat luka di bagian dada serta kakinya.
Adapun seorang lagi, lehernya terluka sangat parah. Sepertinya ia tersayat oleh sesuatu — barangkali kawat atau sejenisnya. Dan lagi, kini kondisinya benar-benar kritis.
“Detek…tif…”
Aku spontan menoleh kepada petugas tadi dan langsung menyahut, “jangan bicara dulu. Lukamu sangat fatal…”
Akan tetapi, polisi ini tidak menghiraukan perkataanku bahkan kini dirinya menunjuk ke suatu tempat lalu menatapku. Ku lihat dari matanya, ia menitikkan air mata.
“La…ri… ad…a bb… bom…”
Seketika aku terkejut. Langsung saja diriku memerhatikan ke sekitar di mana letak bom itu. Dan karena tak bisa ku jangkau, akhirnya aku memilih untuk mengecek dengan berjalan ke sana ke sini.
Ternyata, alat peledak ini terdapat di sudut tembok rutan, jaraknya hanya sekitar 10 meter dari tempat dua polisi yang terluka tadi. Sejenak aku mendekat untuk memastikan waktunya.
“Sialan…!” ujarku dalam hati. Bom ini akan meledak dalam 15 detik lagi.
Tanpa pikir panjang, aku segera berlari kencang ke dua petugas tadi. Pertama, ku rangkul polisi yang barusan memberitahuku adanya sebuah bom. Saat posisinya sudah pas dalam dekapan, aku pun berusaha membawa seorang polisi lagi.
Namun, baru meraih tangannya, suara ledakan pun terdengar.
“Gawat…” gumamku dalam hati.
Hanya satu detik setelah itu, dengan terpaksa aku langsung melarikan diri bersama seorang polisi yang ku rangkul di punggung. Ku lihat apinya begitu cepat menyambar apapun yang ada.
Ternyata, ledakan bom itu tidak hanya sekali, kini malah meledak untuk kedua kalinya. Dan bersamaan dengan itu pula, saat langkah kakiku yang kelima, kami berdua terhempas jauh. Baik aku dan polisi ini tercampak sampai beberapa meter akibat radius bom itu. Bahkan, petugas ini sampai terpisah dariku.
Sedangkan aku… setelah tercampak dan terseret, ku coba menenangkan diri dengan menarik napas panjang beberapa kali. Ketika sudah lumayan stabil, aku pun bangkit dan segera menghampiri polisi tadi.
“Hey…” ujarku yang membalikkan tubuhnya dari posisi telungkup.
Begitu dirinya ku baringkan, ku dapati polisi ini sudah tiada.
“Sial… jika saja aku menyadari adanya bom di sekitar, mungkin dia masih bisa selamat.” Lagi-lagi aku bergumam dalam hati dengan sangat menyesal.
Dengan tim medis belum juga tiba, maka ku tanggalkan pakaiannya untuk menutupi sekujur tubuh. Setelah itu, aku masuk ke dalam rutan melalui tembok yang dibobol oleh para bandit.
Berjalan setapak demi setapak sambil bersiaga waspada jika ada bom lainnya; mataku tak pernah berhenti menatap kanan, kiri, atas, bawah, juga belakang.
Tak lama kemudian, sebuah pesan terdengar dari radio penghubung yang ku sangkut di sekitaran telinga.
“Tim Rimueng sedang mengejar target di Jalan Sektor Barat 5.”
“Lapor… Jaguar A berada di wilayah Krueng Rayeuk.”
“Jaguar B melapor… Fernando dan beberapa napi lainnya sedang berada di Jalan Pante Kulu. Kami masih mengejar tersangka.”
Begitulah beberapa laporan yang masuk. Dari semua itu, yang harus aku kejar adalah Fernando. Dia penjahat yang berbeda dari lainnya. Kegilaan serta obesinya dalam membuat kekacauan benar-benar meresahkan. Aku harus segera ke sana.
Maka, sambil berlari ke sepeda motor, aku mengirim sebuah pesan kepada Kapten Tiyo melalui radio penghubung. Dan begitu tiba untuk menyalakan Trail, tiba-tiba ada yang menembak. Pelurunya darang dari arah belakang dan beruntungnya meleset, hanya mengenai body motor.
Dan dalam satu detik setelah peluru itu meluncur, aku menganalisis orang yang menembakiku; timah panas tersebut meluncur dari belakang dan melewati sisi kananku serta nyaris saja mengenai diriku. Jika ku perhitungkan, pasti orang itu menembakku dengan posisi berdiri tepat di garis yang sama denganku.
Maka, selang satu detik kemudian, aku mengambil pistol dari dalam jubah, berbalik badan dan langsung menekan pelatuk senapan.
Door
Pelurunya terbang dalam kecepatan tinggi dan mengenai kaki orang asing itu. Ia pun terduduk sembari memegangi kaki. Sedangkan aku berlari mendekatinya.
Adapun dia masih berusaha mengambil senapan yang sempat terlepas saat peluru menembus kakinya. Dan aku yang sudah tinggal satu langkah lagi tiba di dekatnya, sengan segera menendang jauh pistol itu, lalu membungkukkan badan. Di saat yang sama, ku tinju wajahnya dua kali hingga darah tersembur keluar dari mulut.
“Siapa yang menyebabkan ledakan…? Tanyaku.
Namun ia malah bertanya balik. “Kau tak tahu?”
Sejenak aku berpikir seraya menatap tajam bandit ini, kemudian berujar, “Fernando…”
Mendengar perkataanku, dia langsung tersenyum. Dari gelagatnya, dapat ku yakini bahwa memang Fernando-lah yang meledakkan sisi belakang tembok rutan untuk melarikan diri. Selain itu, aku juga berfirasat bahwa orang ini pasti salah satu bawahannya.
“Bagaimana dia bisa mendapatkan alat peledak?”
“Kau masih juga bertanya… apa kau tak menyadari sesuatu, hah? Siapa lagi kalau bukan permainan orang dalam? Kau masih saja seperti orang kemarin sore.” Sahutnya.
Memang, beberapa penjaga rutan Tanjung ada yang mencurigakan, dan aku juga sedang dalam penyelidikan siapa saja yang berkhianat. Tapi, tidak mudah menemukan mereka.
“Katakan padaku, apa yang direncanakan oleh Fernando?”
Bukannya menjawab, ia malah tertawa meledekku.
Aku sendiri masih tetap sabar menghadapi dirinya. Ku ulangi lagi pertanyaan yang sama bahkan sampai dua kali, dan jawaban yang ia berikan tetap sama. Sepertinya Fernando telah mendoktrin para bawahannya untuk menjadi gila seperti ini.
Sesaat kemudian, terdengar suara sebuah mobil. Aku menoleh ke kanan — sedan hitam tiba berhenti tak jauh dari diriku berada. Tak lama berselang, pintunya terbuka dan seseorang keluar. Ternyata Fuad. Ia tidak sendiri, ada seorang polisi lainnya bernama Gilang. Mereka berdua berjalan terburu-buru ke tempatku.
“Detektif, jejak Fernando sudah ditemukan.” Tutur Fuad.
“Ya, aku sudah tahu…”
“Lalu, siapa dia?” tanyanya sembari menatap bandit ini.
“Anak buah Fernando…”
Lantas Fuad langsung menarik kerah kaos lelaki ini dan bertanya, “siapa dari para penjaga rutan yang bekerja sama dengan Fernando?”
“Ha ha ha ha…”
Mendapat jawaban seperti itu, seketika emosi Fuad tersulut. Ia menampar wajah si bandit sekali lalu memgulangi pertanyaannya.
“Aku… lebih baik mati daripada membocorkan rahasia…” jawab penjahat ini.
“Ya, kau akan mati, tapi jawab dulu pertanyaanku. Baru setelah itu keinginanmu kuwujudkan.”
Meski sudah mencoba segala usaha, tetap saja tidak mudah membuat si berandal ini untuk buka mulut.
Sedangkan Fuad semakin berapi-api, ia kesal dan mengambil pistol serta menempelkannya di jidat lelaki itu.
“Apa kau pikir aku takkan menembakmu?” Sang brimob bertanya dengan suara yang lantang. Ku lihat wajahnya sudah sangat geram.
Lalu aku mencoba menenangkannya, “Fuad…”
Belum sempat aku menghabiskan perkataan, tiba-tiba secercah cahaya terbias dari dalam kaos sang bandit. Cahanyanya berkelip-kelip sebanyak tiga kali lalu padam. Adapun aku punya firasat buruk.
“Menjauh darinya sekarang…!” teriakku seraya berlari.
Mereka berdua pun berlari dan tak lama berselang, lagi-lagi ledakan pun terjadi.
Duaarrrr
Aku sempat menoleh ke belakang…
Gila… kali ini ledakan itu berasal dari tubuh sang bandit.
“Apa-apaan itu…?” Fuad bertanya seakan-akan sulit percaya terhadap apa yang ia saksikan barusan.
“Ia menaruh sebuah peledak di balik bajunya, menandakan bahwa dia sama sekali tidak peduli dengan kehidupannya lagi.”
“Sepertinya sifat gila Fernando turun kepadanya…”
“Mereka tidak takut terhadap ancaman apapun — sangat meresahkan. Kita tidak punya cara untuk menjatuhkan mental mereka agar setidaknya mau buka mulut.”
Lima menit kemudian
Dalam perjalanan menuju ke Jalan Pante Kulu, ku dengar suara tembakan tak henti-henti saling bersahutan. Sepertinya situasi semakin memburuk. Dan agar cepat tiba, ku pacu Trail sampai melebihi kecepatan 100 km/jam.
Aku tidak sendirian, ada Fuad dan beberapa polisi lain yang ikut serta di belakang menggunakan mobil patroli. Sirene-nya seakan menggemakan langit tengah malam.
Awalnya keadaan masih baik-baik saja sampai sesaat kemudian kembali ku dengar suara ledakan. Spontan diriku melihat kaca spion Trail, sebuah mobil patroli meledak. Dalam hati aku bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi. Apakah mobil tersebut juga terdapat bom?
Tak sampai di situ. Aku masih mencoba melihat ke belakang sesekali sambil terus fokus memandangi sisi depan. Dan tepat ketika mataku beralih ke kaca spion, dua mobil lainnya juga meledak sekaligus.
Aku pun berhenti sejenak dan hendak memutar balik. Belum juga dua detik setelah diriku menepi di pinggir jalan, tepat di saat menoleh ke belakang, lagi-lagi mobil patroli meledak.
“Celaka…” gumamku.
Fuad berada di mobil terakhir yang meledak tadi. Akibat kejadian itu, pikiranku langsung buyar. Ku tancap gas untuk segera menuju ke kedaraan itu yang sudah terbakar dan juga terbalik di tengah jalan.
Begitu tiba, tanpa mematikan mesin Trail, segera diriku berlari mendekati mobil. Apinya semakin berkobar menyala-nyala, membuatku susah untuk melakukan sesuatu.
Dengan posisi mobil yang terbalik, aku masih bisa melihat Fuad dan Gilang dari kaca pintu. Mereka berdua tidak bergerak sama sekali.
Sial…
Bergerak cepat. Aku memberanikan diri berlari ke mobil; ku sikut kaca yang melekat di pintu lalu bersegera menarik Fuad keluar untuk kemudian ku bawa menjauh dari mobil ini sekitar beberapa meter lalu membaringkannya di aspal sejenak. Sepertinya si brimob ini sudah sangat lemah.
Setelah Fuad, aku kembali lagi — giliran Gilang yang ku selamatkan. Polisi ini lumayan susah ku bawa keluar sebab ia terapit dengan setir kemudi. Sebanyak tiga kali ku sepak benda itu, dan begitu terlepas, langsung saja ku angkat tubuhnya sambil menekuk berjalan keluar.
Setelah berada di luar mobil, ku taruh Gilang di punggungku. Kamudian, aku berlari lagi kepada Fuad.
“Kau sanggup berjalan, kan?” tanyaku, tapi dia tidak menyahut karena terlalu lemah.
Meski begitu, aku tidak peduli. Ku taruh tangan brimob ini di pundakku lalu merangkulnya berjalan. Walaupun ia kesusahan, tetap ku paksakan dirinya berjalan perlahan-lahan.
Dan baru sekitar lima meter, mobil itu pun meledak lagi dan hancur berkeping-keping, membuat kami bertiga terhempas .
Aku terbang kemudian menghantam aspal dan juga terseret terguling-guling.
Setelah itu, sejenak diriku terpaku dalam posisi tergeletak; pandangan mulai buram di mana cahaya-cahaya lampu terlihat kunang-kunang. Bahkan, telinga pun berdengung tak karuan karena ledakan tadi.
Di sini, di atas jalanan, ku coba menenangkan diri sejenak sambil berharap dua polisi itu selamat. Aku sendiri masih belum bisa bangkit meski sudah mencoba berulang kali.
Sekedar memastikan, ku tolehkan kepala ke kanan dan ternyata Fuad tergeletak di sampingku, jaraknya hanya beberapa senti saja. Lalu aku berpaling ke arah sebaliknya tapi tidak ku temukan Gilang.
Melawan menyerah, aku berhitung dari 1 sampai 5 kemudian memaksakan diri untuk duduk. Berhasil, tapi kemudian kepalaku malah pusing; seakan-akan apa yang ku lihat bergoyang.
“Sialan…!”
Ku pejamkan mata selama beberapa detik lalu membukanya kembali. Saat ku pikir sudah agak stabil, lantas diriku bangkit untuk berdiri dan berjalan menuju Fuad; ku lihat kepalanya berdarah-darah.
“Hey…” gumamku memanggilnya.
Fuad tidak menjawab apapun. Sebagai gantinya, ia mengangkat lengan dan mengacungkan jempol.
“Apa itu pertanda kau baik-baik saja?”
Ia menjawabnya dengan anggukan.
Lalu aku menoleh ke belakang, ternyata Gilang terbaring di situ tanpa bergerak sama sekali. Firasat buruk mulai bermain peran dalam pikiranku, maka aku pun segera berlari meski agak tertatih-tatih.
“Gilang…? Hey…”
Sialan… dia tak sadarkan diri.
Bersambung…