Kisah-Kisah Dalam Buku Harian Jimmy

Reza Fahlevi
9 min readNov 3, 2023

--

Photo by Taylor Wright on Unsplash

“Kenapa?” Tanyaku kepada seorang wanita. Namanya Nufus, dia salah satu perempuan yang dekat denganku dan juga tahu sedikit tentang sosokku sebagai detektif.

“Kau terlihat murung… ada apa?” Tanyanya.

“Murung? Tidak juga…”

“Tapi mata tidak bisa berbohong. Aku bisa melihatnya dengan jelas.”

“Begitu, ya…”

“Apa karena para mafia? Atau karena ada kasus rumit?”

Lantas aku menoleh padanya dan menjawab, “tidak keduanya…”

Nufus pun tertawa kecil. “Memang mafia ataupun kasus rumit takkan mungkin membuatmu murung seperti ini. Pasti ada hal lainnya, ya kan?”

“Hal lainnya, ya…” gumamku sambil menatap sebuah cangkir putih berisi kopi yang sudah dingin.

Adapun Nufus duduk di sebelahku. Ia melirik ke dalam cangkir kopi lalu tersenyum. “Masih penuh…” gumamnya.

Aku tidak menjawab di saat dari sisi pandangan buram terlihat Nufus sedang menatapku. “Sudah banyak aku menyeduh kopi untukmu — dan situasi saat kau tidak meminumnya, selalu saja sikapmu murung seperti ini. Jadi, kopi yang masih terisi penuh dan belum kau seduh sedikitpun… bukankah ini pertanda kau sedang banyak pikiran, Jim?”

“Bahkan, jika ada hal yang membuatku terlalu memikirkan sesuatu sampai murung seperti ini… bukan berarti aku tak bisa kembali bersikap normal…”

“Berarti aku benar, kan? Kau memang sedang murung, ya kan?”

“Ha ha ha… apa artinya murung itu untukku…”

“Coba tatap aku…” katanya seraya duduk menghadapku.

Oleh karena Nufus memintanya, aku pun lantas menyerongkan badan dan menatapnya. Kami duduk dengan saling berhadapan dan bertatap-tatapan.

“Ada yang ingin ku tanyakan — walaupun aku sudah tahu jawabannya, tapi aku mau kau berkata jujur…” ucap Nufus.

“Apa itu?”

“Jujur… sedang sedih atau bahagia?”

Aku tersenyum tipis mendengar pertanyaannya. Ku tatap mata wanita ini sedalam mungkin kemudian menjawab, “kau sudah tahu jawabannya, kenapa masih ditanyakan?”

“Aku hanya ingin mendengar sebuah kejujuran darimu… bukan yang hanya terdengar dari lisan, tapi dari lubuk hatimu.”

“Baiklah…” gumamku. Kini aku mengalihkan pandangan dari Nufus. “Sedih…” lanjutku.

“Sedihmu itu terlihat seperti sedang menangisi seseorang. Apa ini ada kaitannya dengan wanita? Aku melihat kau sedang memendam sesuatu, dan bisa jadi ada kaitannya dengan seseorang yang sangat kau idamkan…”

“Bahkan air mataku sudah terlanjur habis menangisi wanita yang pernah membuatku sangat nyaman. Dan… wanita itu juga sudah tak ada lagi di dunia ini — lantas apa lagi yang ku tangisi?”

“Bukan…” balas Nufus spontan. “Bukan itu maksudku. Ini mengenai dirimu, bukan wanita yang pernah kau cintai. Ini tentang kau yang menjalani kehidupan — kau memata-matai para berandal di malam hari… seorang diri… menangkap mereka… mengancam hingga mereka semua takut kepadamu . Tapi di balik sosokmu itu, kau seperti luluh. Ku rasa ada sesuatu yang hilang darimu dan itu sudah sangat lama kau alami. Tapi, aku tahu ini bukan berkaitan dengan Sarah atau wanita lain yang pernah kau sukai… pasti ini semua tentangmu — tentang pilihan yang kau putuskan di masa lalu.”

Mendengar ucapan Nufus seketika membuat batinku tersentak. Aku tak bisa berkata apa-apa untuk saat ini. Dia terlalu mengatakan hal yang sebenarnya — dan parahnya yang ia katakan itu memang benar-benar sesuai dengan kondisiku saat ini.

“Boleh aku merokok…?” tanyaku, Nufus menjawabnya dengan anggukan.

“Ini kali pertama kau merokok di dalam rumahku. Tapi, asalkan kau mau mencurahkan semua isi hatimu saat ini, aku tidak keberatan bahkan jika harus menghirup asap rokok dari dalam mulutmu…” katanya.

Kemudian aku mengambil sebatang rokok dari dalam bungkus dan membakarnya. Seketika gumpalan asap mengepul di hadapan wajahku dan dengan cepat terbang ke wajah Nufus. Melihat itu, aku segera menyingkirkan asapnya menggunakan tangan.

Di sisi lain, Nufus malah terlihat santai saja. Ia menatapku sambil terus mengumbar senyuman. Padahal, biasanya dia sangat risih jika aku sedang merokok apalagi jika ada sedikit asap yang melayang ke arahnya. Namun kali ini ia seperti begitu niat menghirupnya.

“Jimmy, jangan buat aku sia-sia menelan asap rokokmu.” Katanya.

Aku lantas tertawa. “Kau serius ingin tahu tentang perasaanku saat ini?” Tanyaku.

“Apa sikapku terlihat seperti sedang main-main?”

“Tapi kenapa? Kenapa kau sampai begitu penasaran?”

“Karena kita sudah saling kenal lama… kita sudah saling berbagi kisah sejak SMP . Bukankah itu sudah sangat lama? Seharusnya, kau dan aku adalah adik dan abang. Seharusnya aku bisa menggantikan dua sosok adik kembarmu yang menghilang tanpa jejak sampai hari ini. Dan bahkan, mungkin saja kita bisa menjadi pasangan yang serasi walaupun kau tetap bersikeras mengatakan kita berdua tidak cocok karena terlalu banyak kesamaan.”

“Tidak…” sahutku. “Aku tak pernah menganggap ketidakcocokan kita disebabkan karena terlalu banyak memiliki kesamaan. Kita tidak cocok menjadi pasangan karena bagiku kau dan aku terasa lebih padu untuk menjadi sahabat. Kau wanita yang sangat peka terhadapku — dan itu semua kau lakukan sebagai sahabat.”

“Lantas bagaimana jika ternyata aku bisa menjadi lebih peka sebagai kekasihmu? Kita takkan pernah tahu jika belum mencobanya.”

“Nufus…” kataku seraya memandanginya dengan dalam. “Aku tak mau kehilanganmu — aku tak sanggup melihat kau mati. Cukup mereka saja…”

Adapun ia tersenyum sampai-sampai susunan giginya terlihat jelas olehku. “Jadi… itu yang selama ini membuatmu sedih dan murung?”

“Sarah, Inayati — mereka adalah wanita yang sangat ku cintai di dua masa waktu yang berbeda. Keduanya mati terbunuh. Mulai dari Sarah di mana perasaanku terpendam sampai saat ini. Lalu berlanjut ke Inayati; aku sudah menyatakan cinta padanya, tapi dia juga berakhir tewas. Aku berharap salah satu dari mereka menjadi kekasihku — tapi keduanya malah pergi bahkan sebelum aku bisa meraih cinta sejati.”

“Sepertinya ada trauma yang menyerangmu, Jimmy. Trauma berkepanjangan — perasaan itu terus menghantuimu sejak dulu dan mungkin sekarang sudah membunuhmu secara pelan-pelan. Sebab, trauma itulah yang membuatmu enggan untuk jatuh cinta lagi. Kau takut nanti wanita yang kau cintai bernasib sama seperti mereka berdua, bukan begitu, Jim?”

“Kini kau mulai mengerti…” ujarku.

“Tapi ada yang janggal — kenapa kau tidak memasukkan Awsya ke dalam list? Kenapa hanya Sarah dan Inayati?”

“Ya kau benar. Aku tidak memasukkan Awsya ke dalam list itu sebagaimana aku tidak memasukkan namamu juga. Dan sekarang, lihatlah diri kalian— di mana kalian berada saat ini…? Terutama kau yang masih duduk di sebelahku. Bukankah sebuah perbedaan dari Sarah dan Inayati…?”

“Aku tidak mengerti maksudmu…”

“Aku memang menyukai Awsya meski tak pernah ku ungkapkan dan tak pernah berharap untuk menyatakannya. Tapi hingga saat ini dia masih di sini — masih hidup. Itu karena aku berhasil menutup rapat-rapat perasaanku terhadapnya hingga musuh tak tahu sedikitpun tentang ini. Sebab jika sampai ketahuan, mereka pasti menargetkan Awsya untuk mengancamku — dan di situlah mereka menyadari kelemahanku.”

“Tapi, bukankah hatimu terasa sakit? Kau menyukai Awsya tapi malah memendamnya. Kau punya begitu banyak kesempatan untuk menyatakan cinta, tapi malah terus menghindar. Dan sekarang dia sudah menikah, perasanmu tetap terpendam sampai saat ini. Aku tahu, dadamu itu pasti terasa sangat sesak, ya kan?”

“Setidaknya dia tidak mati. Setidaknya aku masih bisa melihatnya meski setiap saat bertemu takkan pernah terasa seperti dulu lagi — kami takkan pernah sedekat dulu lagi. Tapi, melihatnya masih hidup… itu sudah menjadi kebahagiaan tersendiri bagiku.”

Nufus lantas kembali tersenyum. “Tak ku sangka kau ternyata lelaki seperti itu — merelakan kebahagiaanmu demi kebagaiaan si wanita agar terus mekar.”

“Awsya pantas untuk bahagia, begitupun dirimu. Kalian berdua layak untuk merasakan kebahagiaan yang abadi.”

“Aku juga…?”

“Nufus… kau bilang aku harus jujur, jadi tak mungkin aku berkata bahwa aku ini tidak mencintaimu. Sungguh, sebenarnya aku sangat mencintaimu. Dan dengan sikapku yang tak pernah mengumbarkannya, aku sangat bersyukur hingga detik ini kau masih berada di sampingku. Aku mencintaimu tapi tak ingin kau mati — banyak hal yang terjadi di masa lalu dan itu membuatku tak sanggup lagi memikulnya. Aku hanya tak mau kehilangan dirimu karena kau sangat berharga untukku.” Jelasku dengan sikap serius.

Di sini, Nufus terlihat sedikit terkejut. Ia terus menatapku tapi seperti tak mampu berkata sepatah kata pun. Mungkin, baru kali ini ia mendengar diriku mengungkapkan perasaan kepadanya dengan cara yang sangat serius. Sebelumnya, aku tak pernah seserius ini meski sebenarnya sudah beberapa kali kami berdua saling menyinggung perasaan kami.

Dan kebenaran lainnya, sebetulnya baik aku dan Nufus memang sudah saling suka. Hubungan erat yang telah dimulai sejak SMP membuat kami saling memahami dengan sangat baik. Nufus sendiri tahu bahwa aku menyukainya sebagaimana diriku sadar bahwa ia pun juga demikian. Tapi, kali ini aku mengungkapkannya dengan cara yang berbeda hingga membuat wanita ini tak mampu berkata-kata.

Situasi menjadi senyap. Nufus mengalihkan pandangan dariku, sedangkan aku larut merokok yang mana sudah terbakar setengah batang. Agak lama kami saling terdiam — mungkin ada sekitar sepuluh menit.

“Jadi, ternyata kau memang benar-benar menyukaiku, ya?” Tanya Nufus. Ia memecahkan keheningan di saat aku sedang memadamkan rokok di asbak.

“Sampai saat ini aku masih memegang permintaanmu yang mengharuskan diriku berkata jujur.” Sahutku.

“Begitu ya…” balas wanita ini. Ia lantas melirikku lagi. “Jika kau harus menebak, kira-kira apa yang akan ku putuskan terhadap perasaanmu?”

“Kau pasti akan menerimanya, ya kan?”

Nufus tersenyum dan menjawab, “betul. Tapi aku juga sudah menduganya… kau pasti hanya akan memutuskan untuk bersahabat saja, kan?”

Di sini, aku mengambil sebatang rokok lagi dan mulai membakarnya. “Apa pilihan itu membuatmu sakit hati, Nufus?”

“Jujur saja… hatiku sangat sakit.” Jawabnya. Ia kemudian memposisikan duduknya menghadapku. “Tapi Jim, di sisi lain aku sangat bahagia setelah mendengar pengakuanmu — terima kasih karena kau ingin aku tetap hidup. Tak ada yang lebih bahagia yang pernah ku rasakan selain dari pengakuan tulusmu tadi. Aku merasa sangat dihargai dan merasa kau sangat menerima keberadaanku.”

Nufus mendekatkan diri kepadaku sambil menggenggam kedua tanganku. “Tapi tetap saja kau ini hanya seorang lelaki — Jimmy, kau butuh seorang wanita yang kehadirannya lebih dari sekedar sahabat. Berhentilah hidup dalam trauma dan temukan wanita idamanmu. Sudah cukup kau hidup dalam penderitaan yang berkepanjangan — ini sudah terlalu lama, Jim. Hancurkan perasaan trauma yang membuatmu mati dari dalam dan mulailah terbiasa untuk merasakan cinta. Sungguh… cintalah yang bisa membuatmu bebas dari kesedihan dan murung. Aku setuju saat kau berkata Awsya dan diriku pantas untuk hidup bahagia, tapi kau juga layak untuk bahagia. Aku tak peduli bagaimana kau menangkap musuh sendirian, pada akhirnya kau hanya seorang lelaki yang butuh sosok wanita … kau butuh cinta dari seseorang yang tepat. Sosokmu yang dingin ini butuh kehangatan dari sentuhan wanita — semua ini demi kebaikanmu.”

Perkataan Nufus membuatku tertegun — aku terdiam bisu saat menatap matanya mulai berkaca-kaca. Baru kali ini ku lihat dirinya bersikap luluh, dan itu malah membuatku luluh juga.

“Tak bisa ku pungkiri… aku memang lelaki biasa yang sejatinya butuh kehadiran dari sosok wanita. Barangkali, saat ini waktunya belum tiba. Tapi suatu hari nanti, ketika Cot Jambee sudah tidak membutuhkanku lagi, mungkin aku akan memutuskan untuk melanjutkan sisa hidup ini bersama seorang wanita. Mungkin suatu hari nanti… kita bisa duduk bersama seperti ini— bukan sebagai sahabat tapi sebagai kekasih.”

“Lantas kapan waktu itu akan tiba?”

“Itu pertanyaan yang tak bisa dijawab sekarang. Tapi, bukan berarti takkan pernah terjawab. Ada waktu yang harus kita jalani hari demi harinya. Dan setiap hari ada saja rintangan yang mesti kita lalui. Tugas kita adalah menjalaninya sebaik mungkin… dan jika di lain kesempatan nanti — di masa yang akan datang nanti kita masih dapat berjumpa seperti ini, maka mari berharap agar kita berjumpa dalam situasi yang berbeda — lebih baik dari yang sekarang ini.” ujarku.

Aku membalas genggaman tangan Nufus, dan ku pastikan diriku melakukannya lebih erat.

“Kau yakin dengan keputusanmu itu, Jim?” Tanyanya.

“Sejauh ini, hanya itu yang bisa ku lakukan.”

“Kau siap menghadapi rasa sakit dari cinta di tengah musuh yang ingin dirimu mati terbunuh?”

“Asal kau tahu saja Nufus, aku tidak selemah yang kau duga setiap saat berhadapan dengan musuh.”

“Terlalu percaya diri seperti biasanya.”

“Aku melakukan apa yang seharusnya ku lakukan.” Sahutku.

Di sini, Nufus menatapku agak lama dan juga sangat dalam. Lalu dirinya berkata, “jadi… kau tetap bersikukuh tak ingin mendengar jawaban dariku?”

“Sekarang, aku ingin mendengarnya…”

“Tapi aku mau kau mengulangi ungkapan itu…” sahut wanita ini.

Terhitung ada selama beberapa detik aku terdiam sembari menatapnya, setelah itu aku pun berujar, “Nufus, sebenarnya aku mencintaimu… apa kau bersedia menerimanya?”

Seraya tersenyum Nufus menjawab, “aku bersedia menerimanya… karena aku juga mencintaimu.”

Lantas aku tersenyum lebar ketika mendengar balasan dari Nufus. “Tapi, apa kau keberatan untuk menunggu selama beberapa waktu?”

“Sangat keberatan…” sahutnya yang tertawa. “Tapi, selama kau ingin diriku untuk tidak mati, aku akan terus ada di sampingmu sebagai sahabat sampai nanti kau lelah dan menyerah…”

“Begitu diriku menyerah, di waktu itulah aku akan menikahimu.”

“Maka, jangan membuatku menunggumu begitu lama.”

“Selama kau masih memberi senyuman kepadaku, aku tak pernah khawatir meskipun kau melakukannya sebagai sahabat.”

“Hey… itu karena kau sendiri yang minta…” gumam Nufus.

Di sini, kami berdua tertawa lepas, seperti ada sesuatu yang datang memberi hiburan. Dan bagiku pribadi, entah kenapa tiba-tiba hatiku merasa sedikit lega — seperti ada sesuatu yang bebas, membuatku bisa merasakan sedikit ketenangan.

--

--

Reza Fahlevi
Reza Fahlevi

No responses yet