Kisah-Kisah Dalam Buku Harian Jimmy

Rumah Tahanan Tanjung: Bagian V

Reza Fahlevi
8 min readApr 29, 2023
Foto oleh Bradyn Shock dari Unsplash

Sosok Faisal sang ajudan Kapten Haris meninggalkan sebuah pertanyaan bagiku. Sejauh ini aku punya alasan tersendiri mengapa mencarinya; dia terlibat langsung dalam penyergapan seorang bandar narkoba lima bulan yang lalu dan juga ketika menangkap Fernando di waktu yang sama. Di sini aku berasumsi bahwa kemungkinan dirinya tahu tentang para polisi dan petugas rutan Tanjung yang berkhianat, sebab dua bandit tersebut berhasil kabur saat ledakan di lapas terjadi.

Meski demikian…

“Kau bawa senjata?” Tanyaku kepada Jack.

“Selalu…”

Kami berdua sedang dalam perjalanan ke Rumah Sakit Keumalahayati menggunakan mobil — aku yang menyetir. Kami ke sana sebab Haris sendiri yang mengatakan bahwa Faisal mungkin berada di sana.

“Jadi apa strategi kita nanti?” Lanjut Jack.

“Langsung menemui Faisal di sana. Khusus untukmu, bersembunyilah di suatu tempat sambil melindungiku.”

“Dia pasti orang yang berbahaya, ya…?”

“Sejauh yang ku tahu, beberapa ajudan Kapten Haris adalah orang terlatih, dan kita harus menganggap Faisal seperti itu juga.”

Sebenarnya, jauh dari dalam hati, aku menaruh rasa curiga pada ajudan tersebut… hal ini tak dapat ku pungkiri. Akan tetapi, aku tahu bahwa tidak boleh terlalu berlebihan sebab kebenarannya belum ku ketahui.

Rumah Sakit Keumalahayati

Setelah melihat daftar pasien di ruangan khusus, aku pun berjalan ke ruang inap Po Cut di lantai 4; ibu Faisal yang sedang dirawat berada di sana.

Suasana di rumah sakit ini agak sunyi sampai-sampai suara sepatu yang menyentuh lantai sampai terdengar jelas olehku. Padahal, pasien di sini lumayan ramai bahkan hanya dua kamar saja yang tersisa yaitu di ruang inap Dara.

Tapi ku kesampingkan itu dan bergegas menaiki lift.

Dua menit kemudian

Aku masuk ke ruangan Po Cut; di dalam ada tiga perawat wanita dan seorang lelaki berkaos hitam sedang duduk di sebuah kursi panjang. Aku sendiri tahu dia itu polisi meski barangkali dirinya tak menyadari bahwa aku ini Jimmy.

Tanpa menghiraukannya, aku berjalan ke arah perawat dan bertanya tentang ibu Faisal. Saat sedang berbincang dengan mereka, terlihat dari sudut pandang buramku lelaki tadi sudah beranjak dari duduk dan pergi entah ke mana aku tak tahu sebab terlalu fokus berbicara.

“Bukan apa-apa… pasien di kamar 10 adalah keluarga polisi, dan mereka tidak mengizinkan pengunjung datang untuk menjenguk.” Ujar salah seorang perawat.

“Kenapa begitu?”

“Entahlah… itu permintaannya jadi aku tidak banyak tanya lagi. Mungkin ada hal yang bersifat sangat pribadi.”

Aku mengangguk mendengar ucapannya lalu membalas, “aku Detektif Jimmy dan yang menjaga pasien di kamar itu adalah rekanku, namanya Faisal. Jadi tak ada yang perlu dikhawatirkan.”

Tiba-tiba gelagat perawat ini berubah drastis, wajahnya memperlihatkan rasa terkejut yang luar biasa. Tidak hanya ia, dua temannya pun juga sama.

“A-anda Detektif Jimmy…?” suara sang perawat menjadi sedikit gugup.

Adapun aku hanya mengangguk saja sembari tersenyum namun tetap memandanginya dengan serius.

“Ba-baik… kalau begitu akan saya kabarkan dulu kepada keluarga pasien. Mari detektif.” Ia mengantarkanku ke kamar 10.

Sesaat sampai di situ, si perawat masuk ke dalam namun memintaku untuk menunggu di luar sejenak. Alasannya agar Faisal tidak terkejut dengan kehadiranku dan karena wanita ini pun memang sudah ditugasi oleh sang ajudan tersebut untuk melaporkan siapa saja yang ingin menjenguk ibunya.

Tak berlangsung lama, selang beberapa detik kemudian perawat tadi keluar dari kamar dan mempersilahkanku masuk. Begitu aku berjalan ke dalam, ternyata polisi yang ku lihat tadi berada di sini. Ia sedang duduk di sofa dekat jendela sambil menyibukkan diri dengan ponsel.

Tapi, ketika dirinya menyadari kehadiranku, langsung lelaki itu menyimpan telepon genggam ke dalam saku celana, bangkit dari duduk dan berjalan mendekat.

“Senang bertemu dengan anda detektif. Maaf tadi aku tidak menyadari bahwa kau Detektif Jimmy, jadi aku tidak menyapamu.” Katanya sambil menjulurkan tangan.

Ku raih tangannya dan menyahut, “tidak masalah. Apa kau bertugas di sini?”

“Tidak, aku hanya menemani temanku.”

“Faisal…?”

Polisi itu mengangguk merespon pertanyaanku.

“Lalu, di mana dia?”

Tak lama setelah mengajukan pertanyaan, aku mendengar pintu kamar mandi terbuka dan keluarlah seorang pria… dialah Faisal. Panjang umur pikirku dalam hati.

“Detektif…?” celoteh ajudan itu yang buru-buru berjalan menyalamiku.

“Sudah lama tak bertemu…” lanjutnya.

“Ya…” sahutku tersenyum, “terakhir kali saat kita menjalani misi bersama.”

“Benar… kalau tak salah ketika kita menyergap Fernando.”

“Betul, dan sekarang dia berhasil kabur lagi.”

Perkataanku seketika memudarkan senyuman Faisal. Dari yang ku lihat, gelagatnya berubah menjadi sedikit marah dan aku tak tahu dia murka kepada bandit tersebut atau ada hal lainnya.

Lantas Faisal mempersilahkanku duduk di sofa meski awalnya aku menolak karena takut mengganggu ibunya yang sedang terbaring lemah di kasur. Tapi si ajudan sendiri tidak mempermasalahkannya.

“Ibuku sudah tertidur, jadi tak perlu risau.” gumamnya.

Maka, kami pun memulai pembahasan panjang terkait ledakan di rutan Tanjung. Aku melihat gaya bicara Faisal, dia menjabarkan penjelasan dengan sangat santai dan sama sekali tidak kaku. Dan dari gelagatnya seperti itu, bagiku tak ada celah untuk mencurigainya sebagaimana asumsiku di awal.

“Jadi begitu detektif…” ujarnya yang pada akhirnya berhenti berbicara setelah menghabiskan waktu selama 15 menit.

“Jadi kau juga tidak tahu siapa saja dari kepolisian yang terlibat saat ledakan itu terjadi?”

“Aku memang mencurigai dua polisi… tapi aku sendiri tak punya bukti terkait keterlibatan mereka.”

“Siapa itu…?”

Faisal menahan diri menjawab pertanyaanku sejenak. Ia menatap temannya yang mengenakan kaos hitam tadi.

Tak lama kemudian…

“Sangat berbahaya jika aku membukanya di sini. Tapi jangan khawatir…” Faisal berhenti sebentar dan bangkit dari duduk. “Aku punya tempat yang pas untuk kita membeberkan semua — aku akan mengatakannya semua padamu. Ikuti aku.”

Aku pun bangkit dari duduk dan berjalan mengikuti Faisal dari belakang. Ponsel yang sedari tadi ku genggam; aku mengetik sesuatu lalu ku masukkan ke saku celana.

Lima menit kemudian

“Di sini…?” Aku bertanya pada Faisal dengan penasaran, ia menjawab dengan anggukan.

Aku pun berjalan masuk. Perlu diketahui, Faisal membawaku ke sebuah gudang.

“Para pengkhianat itu, ku yakini ada di beberapa tempat. Aku tidak mengenal mereka tapi untuk berjaga-jaga saja. Lagipula…” ia menutup pintu dan menguncinya. “Aku sering berkomunikasi dengan Kapten Haris di sini. Dan sejauh yang sudah ku coba, informasi yang ku berikan padanya tak ada yang bocor. Paling tidak untuk sekarang gudang ini tempat yang aman untuk hal-hal yang sensitif seperti ini.”

Aku mengerti dan menerima alasannya. Sejak bertemu dengan polisi ini, aku belajar sesuatu tentangnya; ia orang yang terbuka khusus untuk sosok yang dipercayainya, selain itu dia juga lelaki yang sangat waspada. Hal ini terbukti dengan mengajakku ke gudang karena pembahasan yang akan kami bicarakan terlalu berbahaya.

“Di sini detektif…” lagi-lagi ia mempersilahkanku duduk, kali ini di kursi kayu.

Adapun aku duduk sambil terus memperhatikan gerak-geriknya, ia sedang mengambil sesuatu dari dalam saku celana.

“Rokok…?” Faisal menawariku rokok.

Sedangkan aku menggeleng, “untuk sekarang tidak dulu.”

“Kalau begitu, izinkan aku, detektif…” katanya dengan sopan. Aku tersenyum saja.

Begitu dirinya membakar rokok, seketika kepulan asap mengerubungi wajahnya.

“Jadi… mengenai dua nama tadi… fiuuhh…” Faisal mengembuskan asap dan melanjutkan, “Jabal dan Dina. Kenal?”

“Jabal familiar tapi Dina…” aku berhenti dan mengerutkan dahi bersamaan dengan menaikkan satu alis mata.

“Dia intel.” Sanggahnya.

“Sama dengan Awsya…”

“Oohh kau kenal polwan itu?”

“Awsya? Aku sering menjalankan misi dengannya… baru-baru ini.”

“Begitu ya…” ia menarik rokok sejenak, “Dina itu… begini detektif…” Faisal mulai duduk serius sambil menyilangkan kaki.

“Sejauh yang ku tahu, Dina adalah orang yang memberi informasi kepada polisi-polisi lain di rutan Tanjung.”

“Informasi apa?”

“Jadi, beberapa minggu sebelum ledakan terjadi, pergerakan polisi-polisi bajingan itu sudah mulai bergerak. Tapi aku yakin mereka sudah beroperasi jauh sebelum itu. Dan mengenai informasi, Dina bertanggung jawab memberikan segala berita untuk memasukkan bom serta segala perlengkapan senjata.” Lanjutnya.

“Senjata…?”

“Ada seseorang yang memesan senjata untuk dibawa ke rutan Tanjung.”

“Siapa itu?”

“Aku tidak tahu tapi dari yang ku dengar, tujuannya untuk melancarkan serangan ke markas besar.”

“Yang memesan senjata itu napi atau polisi?” Aku bertanya.

“Dugaan sementara napi, tapi informasi ini masih belum jelas.”

Aku mengambil permen karet dari kotak kecil yang ku taruh di dalam jubah, membuka bungkusnya lalu ku masukkan ke dalam mulut sambil mengunyah dengan santai.

“Kau tahu banyak… siapa yang memberi tahumu?” Tanyaku.

“Jabal…”

Aku pun heran mendengar jawaban lelaki itu dan lantas menatap serius dirinya dalam beberapa detik kemudian membalas, “kenapa dia berani membeberkan informasi itu padamu sedangkan tadi kau bilang dia salah satu yang berkhianat? Apa dia tak menyadari bahwa kau akan membukanya kepadaku atau yang lainnya?”

Sebelum menjawab, Faisal kembali menarik rokok, “Jabal adalah rekan dekatku.”

“Sekedar rekan dekat takkan mungkin bersedia membuka informasi sensitif ini karena dia pengkhianat…”

Bersamaan dengan kepulan asap rokok Faisal yang melayang di hadapan pandanganku, tiba-tiba seorang lelaki dari belakangku berujar, “barangkali detektif, itu karena Faisal juga bagian dari kami.”

Spontan aku terkejut dan hendak menoleh ke belakang.

“Jangan coba-coba berbalik…” ujar lelaki asing ini. Kini, ku rasakan di kepala bagian belakang, ada sesuatu yang ia tempelkan. Aku yakin itu pasti senjata.

Dan karena lelaki itu sudah mengancamku, maka aku pun harus mengikuti perintahnya. Tapi, hanya dengan ancaman masih belum cukup menyiutkan nyaliku.

“Jabal…!” gumamku kepada lelaki asing tadi. Adapun mata memandang lurus menatap Faisal yang masih merokok dalam posisi duduk dengan kaki menyilang.

“Tak ada orang lain di sini detektif. Kau bisa saja mati tanpa ada orang yang tahu.” Celoteh Jabal.

“Ya aku tahu. Dan karena kalian akan membunuhku, jadi kenapa tidak beberkan saja nama-nama pengkhianat selain kalian berdua...? Anggap saja sebagai permaian untuk kalian sebelum membunuhku.”

“Bajingan…” Jabal memukul kepalaku dengan senapan dari belakang.

Perbuatannya itu membuatku terdorong ke depan dengan kesakitan. Tak cukup sampai di situ, Jabal kembali menyerang — kali ini dia mencekik leherku. Sedangkan aku tak kuasa melawan karena kini kepala rasanya pusing tak karuan — pandangan juga seakan buram dan semua benda di sekitar yang tertangkap oleh mata terlihat seperti hendak jatuh menimpaku.

“Kau menyebalkan sekali, detektif. Aku muak dengan orang yang suka ikut campur.” Jabal mulai mengoceh meluapkan emosinya.

Di sisi lain, meski pandanganku kabur, aku menyadari bahwa kini Faisal bangkit dari duduk dan mengarahkan senjata kepadaku.

“Maaf detektif, aku terpaksa mengkhianatimu.” Ujar Faisal.

Dengan terbata-bata aku mencoba menyahut, “apa… ini semua… karna ibu…mu?”

“Aku hanya seorang ajudan Kapolsek. Dengan ibuku sakit berat, aku tak punya cukup uang untuk membayar rumah sakit dan juga semua obat yang dibutuhkan ibu.”

“Ti-dak…” aku masih tetap berusaha berbicara. “Kau… bukan meng-khiana-tiku… t-tapi ata-san-mu…”

“Ya kau benar, aku juga sudah mengkhianati Kapten Haris. Bagiku, dia sudah seperti keluarga — ayahku sendiri. Oleh karena itu, aku meminta Jabal membunuhnya — aku tak pernah sanggup melakukannya dengan tanganku.”

“Ap-pa…?” Aku terkejut mendengar Fiasal.

“Detektif…” tiba-tiba Jabal menyanggah. “Kapten Haris sudah tewas tepat setelah kau pergi dari Polsek Krueng Raja. Aku tepat waktu membunuhnya — tepat setelah kau pergi.”

“Fai-sal… k-kau…”

“Itu yang terbaik detektif. Jika tidak, ibuku bisa saja mati.” Lanjut Faisal.

“Apa mak-sud-nya?”

“Sudahlah, jangan banyak tanya karena kau akan segera mati di sini.” Jabal lagi-lagi mengoceh. Kini, cengkeraman tangannya di leherku semakin erat, membuatku susah untuk bernapas.

“Sama seperti Kapten Haris, kau adalah orang yang tak bisa ku bunuh dengan tanganku sendiri. Oleh karena itu, Jabal yang akan melakukannya. Detektif…” Faisal berhenti sejenak.

Kini, pandanganku sudah sedikit pulih, aku sudah bisa melihat dengan agak jelas — ku tatap Faisal di mana dia menitikkan air mata.

“Detektif, maafkan aku. Ini semua demi kebaikan ibuku. Aku tak pernah bisa melihatnya meninggalkanku sejak kematian ayahku. Mereka yang berkhianat sudah berjanji padaku bahwa keselamatan ibu pasti terjamin jika aku bersedia membantu. Maka maafkan aku… senang sudah pernah bekerja sama denganmu untuk beberapa kali. Bagiku, kau salah satu sosok hebat yang pernah ku temui. Sampai jumpa.”

Begitu Faisal selesai berbicara, ia membalikkan tubuhnya membelakangiku. Lalu, di waktu yang sama Jabal mencekikku dengan membabi buta.

Aku tak kuasa melawan dirinya… segala cara ku lakukan untuk menyerang balik tapi si keparat ini benar-benar membuatku tak berdaya. Barangkali ia berniat membunuhku dengan cara seperti ini.

“Bajingan…!”

Bersambung…

--

--

Reza Fahlevi
Reza Fahlevi

No responses yet