Kisah-Kisah Dalam Buku Harian Jimmy

Rumah Tahanan Tanjung

Reza Fahlevi
8 min readMar 19, 2023

▪Foto oleh Monstera dari Pexels

Bagian II

Sudah dua hari sejak ledakan besar menghancurkan hampir seluruh lapas Tanjung. Akibat dari kejadian itu, sekitar lebih dari 500 napi kabur. Itu adalah angka yang berhasil didata, adapun yang tidak terdata belum diketahui berapa jumlahnya. Meski demikian, satu tahanan yang paling berbahaya tentu saja Fernando.

Aku sendiri masih mencari beberapa fakta siapa-siapa saja yang terlibat di balik ledakan di Rumah Tahanan Tanjung. Aku yakin pasti ada beberapa penjaga yang dengan sengaja membiarkan ledakan itu terjadi. Anggapanku, ada sebuah rencana yang sedang diatur oleh seseorang untuk melancarkan sebuah aksi dan aku yakin pasti yang mengaturnya adalah Fernando.

Dari informasi yang ku dapat, lima bulan yang lalu saat aku dan beberapa polisi menangkap bandit itu, ia dan para bawahannya berniat mencuri segala persenjataan di Markas Besar Kepolisian Cot Jambee. Dan setelah dirinya kabur pada malam itu, entah kenapa aku punya firasat bahwa orang itu akan melakukan aksinya lagi.

Fernando ini adalah penjahat yang berbeda dari yang pernah ku tangani. Dia bukanlah seorang kriminal yang haus akan uang dan kekayaan. Semua hal yang pernah orang itu lakukan semata-mata hanya untuk kesenangan saja. Sederhananya, dia membuat kekacauan karena memang dirinya menyukai itu — seperti kesenangannya ada saat ia melakukan kejahatan.

Selain itu, Fernando juga merupakan sosok yang kejam. Dia tak segan-segan membunuh nyawa orang yang mencoba menghentikan aksinya, bahkan nyawa anak buahnya pun sama sekali tak ada harganya di mata lelaki itu jika seandainya ada di antara mereka yang tidak becus saat bekerja. Ketika ia sudah mengancam; entah itu ancaman membunuh atau hanya sekedar melukai; Fernando pasti akan melakukannya tanpa ragu.

Ada satu kalimat Fernando yang terngiang jelas olehku, “aku orang yang bekerja sesuai omonganku.”

Perkataannya itu seakan menggambarkan betapa ia serius melakukan apa saja ketika dia sudah mengatakan sesuatu. Kekejamannya serta rasa tak takut terhadap kematian membuat bandit ini sulit untuk ditaklukkan. Ia adalah sosok tergila yang pernah ku hadapi dan dengan gelagatnya seperti itu, membuatku khawatir jika dia berkeliaran bebas di sekitaran Cot Jambee.

Oleh sebab itu pun, sejak Fernando kabur bersama para tahanan lain, aku terus mencari jejak mereka. Takkan ku biarkan para berandal itu melakukan kejahatan lebih jauh lagi.

Jalan Fansuri, Kediaman Detektif Jimmy

Di ruang khusus bawah tanah, aku sibuk mengintai kota Cot Jambee melalui monitor yang sudah terkoneksi dengan kamera CCTV. Tiba-tiba sebuah notifikasi masuk ke ponsel pelacak yang tertaruh di atas meja tepat di samping monitor pengintai.

Ku lihat layar ponselnya yang dengan otomatis memberikan tampilan berupa rekaman kamera pengintai. Aku juga menyambungkan beberapa kamera yang ada di sudut-sudut kota di ponsel ini.

Dari tampilan yang terlihat, dapat ku ketahui sekarang di Jalan Sektor Barat; sekitar lima orang sedang berkeliaran di sebuah bangunan —sebuah ruko. Dan mereka mencurigakan.

Penasaran, aku pun mengetik sesuatu di keyboard komputer untuk memastikan. Tak lama berselang, aku beranjak dari duduk, berjalan ke sebuah lemari di mana terdapat jubah hitam kebesaranku. Ku kenakan pakaian itu untuk menuju ke tempat brankas penyimpanan senjata.

Aku membawa sebuah pistol yang sudah terakit lebih canggih, sarung tangan, senapan setrum, dua pisau serta grapple gun. Setelah itu, aku berlari ke gudang, membuka pintunya di mana di dalam terdapat empat sepeda motor dan tiga mobil; semuanya berwarna hitam dan sudah ku modif juga untuk memudahkanku beradaptasi menangkap penjahat sesuai kapasitas yang mereka miliki.

Untuk kali ini aku memilih untuk menunggangi sepeda motor Trail.

Bruuumm…

Tak sampai lima detik, aku segera menancapkan gas dan menuju ke jalan Sektor Barat.

Jalan Sektor Barat

Pukul 8 malam… jalanan masih sangat ramai membuatku tak bisa sembarangan memacu Trail. Aku hanya dapat menunggangi kendaraan di kecepatan 60 km/jam. Sesekali ku tingkatkan saat situasinya sedikit sunyi.

Sekitar 10 menit kemudian, aku berhenti dan melihat ponsel pelacak; kelima orang tak dikenal itu masih berada di dalam ruko. Lantas ku matikan mesin Trail tepat di bawah sebuah pohon besar. Di sini, tempatnya gelap sebab lampu jalan berada beberapa meter di depan dan belakang; lumayan jauh.

Terlebih lagi, pohon besar ini menghalangi cahayanya; membuatku dapat melakukan pekerjaan singkat di dalam kegelapan.

Selama beberapa detik aku mempersiapkan segala persenjataan bersamaan dengan menyetel Trail berada dalam kemudi otomatis. Tak lama setelah itu, sepeda motor melaju sendiri ke ruko di mana beberapa orang yang mencurigakan tersebut berada.

Sedangkan aku tetap berdiri di bawah pohon sambil mengintai keadaan melalui ponsel pelacak yang terhubung dengan kamera di Trail.

Satu menit kemudian

Trail-ku berhenti tepat di depan ruko dan aku langsung melakukan pekerjaan; ku sentuh sebuah ikon di layar ponsel untuk menembakkan beberapa benda kecil ke setiap sudut bangunan itu sejauh yang bisa ku jangkau. Beberapa saat kemudian, semua benda itu terhubung ke telepon genggam pelacak dan langsung memberikan penampakan di sekitar.

Ku teliti dengan cermat kemudian berjalan dengan waspada ke arah ruko tersebut yang berjarak sekitar 50 meter. Begitu tiba, dari samping kanan bangunan aku berdiam diri sejenak untuk mengambil dua pisau mungil. Ku tusuk benda tajam ini beberapa jengkal di atas kepala menembus dinding kemudian mulai memanjat.

Pisau ini bukanlah pisau biasa. Aku sering membawanya untuk memanjat gedung-gedung secara diam-diam. Besinya dan ketajamannya sudah ku rakit agar bisa menembus dinding. Gagangnya pun terbuat dari baja sehingga saat aku menaiki tembok-tembok tidak mudah patah.

Maka, aku naik ke atas dengan perlahan menuju ke sebuah jendela kecil yang tertempel di sana. Begitu sampai, aku segera masuk ke dalam — suasananya semi gelap tapi bukan sebuah masalah untukku.

Tanpa berlama-lama, aku langsung mengecek ruangan ini dan ku temukan lima kardus. Penasaran, aku berjalan mendekat dan membukanya — ternyata isinya boneka.

“Kenapa boneka ini terletak di sini…?” gumamku dalam hati.

Masih penasaran, ku buka saja sisa empat kardus lagi dan memang semua isinya sama. Ku ambil satu — melihat-lihat lalu tanpa sengaja kepalanya terputus.

Untuk memastikan, aku memasukkan jari telunjuk ke dalam boneka dan menemukan plastik kecil — membukanya — terdapat sebuah botol penyemprot mungil.

“Apa ini…?” Lagi-lagi aku membatin.

Aku mencoba mengesampingkan rasa penasaran karena hanya menghabiskan waktu. Sebagai gantinya, aku mengambil dua boneka dan ku masukkan ke dalam jubah. Setelah itu, aku menoleh ke kiri di mana terdapat pintu kayu. Lantas, diriku berjalan ke sana dan membukanya… kebetulan sekali tidak terkunci.

Sejenak ku pantau ponsel pelacak — orang-orang yang mencurigakan itu berada di ruangan lain tepatnya di arah jam 3. Dengan penuh kewaspadaan aku berjalan ke sana.

Tak butuh waktu lama untuk tiba, lantas aku pun bersembunyi di balik tembok ruangan di mana mereka berada. Kebetulan juga pintunya terbuka yang menggerakkanku untuk menguping dari sini.

Ada sekitar 2 menit diriku berdiam diri di sini; dari hasil mencuri informasi, yang dapat ku dengar dengan jelas adalah mereka sedang berencana membakar bukti. Entah bukti apa yang mereka maksud, aku pun tak paham sebab orang-orang itu berbicara dengan nada kecil.

Masih dalam posisi bersembunyi di balik tembok, tiba-tiba aku mendengar suara tapak sepatu. Suaranya semakin terdengar jelas di telinga hingga diriku bersiap-siap.

Dengan posisi berdiri menghadap ke kanan tepat di sebelah pintu, tak lama kemudian seorang laki-laki berjalan melewatiku; sepertinya ia tak menyadari bahwa aku berada di sampingnya karena memang suasananya gelap.

Di saat lelaki itu melewatiku dua langkah, aku langsung mencekik lehernya dari belakamg bersamaan dengan tangan kiri menutupi mulutnya.

“Mmm… mmm.. mmmm…”

Pria ini berusaha menjerit dan menyerangku. Tahu posisiku tak aman, maka ku balikkan tubuhnya mengahadpiku lalu segera mengantuk kepalanya dengan keras.

Duaakkk…

Hanya dengan sekali serangan, dirinya seketika ambruk tak sadarkan diri.

Lantas aku menyeret orang ini ke tembok dan memborgol kedua tangannya. Dalam benak aku berujar bahwa diriku harus segera menghabisi sisa bandit lainnya. Berbahaya jika berada di ruko ini terlalu lama.

Akan tetapi, aku pun paham… aku tak boleh sembarangan menyerang mereka. Barangkali, menyelinap diam-diam di dalam kegelapan adalah satu-satunya cara untuk menangkap mereka.

Maka, aku pun berdiri dan mempersiapkan diri untuk masuk ke dalam ruangan itu. Saat sedang mengambil pistol dari balik jubah, aku terkejut karena seseorang bergumam.

“Dasar penyusup…” Kata orang itu.

Spontan aku menoleh kepadanya tepat di saat ia sudah bersiap melayangkan kepalan tinju ke wajahku. Dengan gerakan refleks aku merunduk untuk menghindari pukulannya.

Ketika posisiku menekuk, dengan lihai aku menendang kedua kakinya hingga membuatnya terkapar di lantai. Di waktu yang sama, tanpa ampun aku mendekatinya, menekukkan badan lebih rendah kemudian meninju pipinya.

Belum cukup, aku berdiri bersamaan dengan menarik baju lelaki ini; dalam sepersekian detik ku antukkan jidatnya ke dinding, membuatnya langsung tergeletak tak ada perlawanan.

Sekarang, dua bandit sudah ku atasi, berarti tersisa tiga lagi di dalam ruangan. Aku pun berbalik arah untuk masuk ke situ. Namun, baru saja ingin beranjak, aku terkejut sebab tiba-tiba saja diriku disiram dengan cairan.

Byuurrr…

Seluruh jubahku basah kuyup.

“Bau ini…” gumamku dalam hati. Seketika firasat buruk mulai menghampiri.

“Apa kau sudah pernah dibakar hidup-hidup, detektif? Tapi ku yakin pasti belum…” ujar seorang pria.

Tepat setelah dirinya berkata itu, aku menoleh ke arahnya yang memang berdiri tak jauh di hadapanku. Lalu, tanpa ku duga-duga dia melempar sesuatu kepadaku dan seketika itu pula api pun menyala di seluruh pakaianku.

Panik!

Aku lantas buru-buru membuka jubah agar apinya tidak menyambar ke sisi lain. Tapi terlambat. Si merah ini sudah terlanjur membakar kaos hitam yang ku kenakan di balik jubah. Tidak hanya itu, bahkan sampai membakar celana juga.

Dalam situasi kacau balau seperti ini, aku berusaha mencari sesuatu namun tidak ada satupun yang ku dapati untuk memadamkan api kecuali satu… tangga.

Tanpa pikir panjang aku berlari untuk turun sembari berusaha merobek kaos ini. Sialnya, saat hendak turun aku malah kesandung dan terjatuh — terguling-guling di tangga.

Tak ku ketahui bagaimana kondisiku ketika terjatuh; begitu aku berhenti terguling, segera diriku bangkit untuk menanggalkan kaos. Tapi rasanya sulit sekali pakaian ini terlepas dari badanku.

Saat ku pikir sudah kehilangan cara, tanpa sengaja mataku menangkap sebuah jendela. Lantas aku ke sana dengan tujuan keluar dari gedung ini.

Aku berlari sekencang mungkin dan begitu sudah dekat dengan jendela, ku tabrak dan…

Praannng…

“Woooooo…”

Dubrakkk

Entah bagaimana… aku terjatuh begitu saja dan terbaring kesakitan. Meski begitu aku tahu apinya masih menyala-nyala, dan entah beruntung atau apa… aku merasakan adanya air di sekitar. Maka, ku guling-gulingkan tubuh untuk memadamkan si jago merah.

Entah berapa kali aku berguling-guling sampai akhirnya diriku sadar bahwa apinya sudah tidak lagi membakar.

“Haaaahhhh…” ku hela napas panjang.

“Sialan! Hampir saja aku mati.”

Sekarang, yang bisa ku lakukan adalah berbaring — terkapar lemah tak berdaya. Sepertinya aku terjatuh dari lantai dua dan menghantam sesuatu. Rasanya seluruh tulangku remuk.

Dalam posisi seperti ini, aku baru menyadari sesuatu… ternyata hujan sudah melanda — lebat. Rupanya air di sekitarku tadi adalah genangan hujan. Betapa bersyukurnya aku.

Meski kondisi kacau balau, aku tetap berusaha bangkit tapi tidak bisa. Kakiku sudah mati rasa. Tak ada cara lain, ku gerakkan lengan kiri ke wajah di mana terlilit jam tangan lalu menekan sebuah tombol untuk mengirimkan lokasi keberadaanku.

Setelah itu, ku dekatkan jamnya ke mulut sembari berujar, “Jack…!” kataku dengan suara lesu. “Tolong aku!”

Bersambung…

--

--

Reza Fahlevi
Reza Fahlevi

No responses yet