Kisah-Kisah Dalam Buku Harian Jimmy
Kekacauan di Kota Cot Jambee
Bagian II
— —
“Ya, kau benar…” ujarku kepada Fernando sembari mengangkat lengan kiri yang terlilit jam digital ke sisi depan wajahku. “Tapi aku lebih suka melihatmu seperti ini…”
“Hah…?” Ia mengangkat alis karena tak paham maksud perkataanku. “Seperti ap…?”
Belum selesai dirinya mengoceh, bersamaan dengan itu, sebuah jarum kecil meluncur deras dari jam tanganku dan melukai hidungnya. Fernando pun spontan berteriak, kedua tangannya memegangi hidung yang seketika berlumuran darah.
Saat ia lengah, aku berlari kencang ke arahnya; ia menyadari pergerakanku dan hendak berusaha menekan tombol di remote tadi untuk meledakkan rumah sakit. Tapi dengan cepat aku melompat dan mendarat tepat di hadapannya.
Di waktu bersamaan ini, ku raih tangan Fernando dan memutari tubuhnya membelakangiku; aku dalam posisi bagus untuk mematahkan lengan kirinya. Tapi tidak ku lakukan dan hanya menendang punggungnya untuk merebut benda mungil yang dipegang olehnya. Seketika ia tercampak beberapa meter dariku. Remote ini lantas ku lempar kepada Awsya.
Namun aku tak menyangka, ternyata Fernando masih memiliki pistol lain di balik jaket. Ia langsung mengambilnya dan menyasari rekan wanitaku. Sedangkan aku kembali berlari untuk menghantam si keparat itu agar sasarannya melenceng.
Dalam situasi genting, aku melirik pistol Fernando kemudian menolehkan tatapan ke Awsya yang berdiri sedikit berjauhan dariku.
“Awsyaaa, awasss!!!” teriakku.
Dalam detik-detik krusial ini, ia mencoba menghindar, tapi…
Door
Awsya tergeletak, mengerang dan memegangi kaki kanan tepat di saat hantamanku mengenai Fernando. “Bajingan…” aku bergumam dalam hati. Ia terlambat menghindar, tapi sepertinya tidak, aku yang telat untuk menghantam keparat ini agar peluru itu tidak mengenainya.
Duak… duaak…
Fernando memukuli wajahku dua kali kemudian berdiri dan bergegas mengambil sebuah besi padat. Aku sendiri tak tahu dari mana ia mendapatkan benda itu. Dan tanpa basa-basi keparat ini menyerangku dengan penuh nafsu.
Dalam posisi yang masih terbaring, aku segera menopang kedua tangan ke lantai lalu mendorong tubuh ke belakang dengan gaya akrobatik untuk segera bangkit dan menghindari pukulannya; ia gagal.
Ayunan besi yang dilancarkan oleh Fernando untuk kedua kalinya masih dapat dengan mudah ku baca, aku mengelak sembari menunduk ke kiri. Namun ia malah menendang wajahku… sungguh serangan yang tidak ku sangka-sangka.
Aku pun terayun ke atas dan langsung saja ia menghantamku dengan besi tadi. Sasarannya adalah bagian kepala dan dada, sedangkan diriku sebisa mungkin melindungi dua bagian penting itu menggunakan lengan. Naasnya, kedua lenganku seakan menjadi tempat pelampiasan bajingan ini, ia terus menyerang empat kali berturut-turut hingga membuatku terombang- ambing hilang keseimbangan.
Fernando berhenti sejenak sambil tertawa lalu kembali melayangkan besi itu ke wajahku tapi kali ini aku lebih sigap — ku tahan tangannya yang memegangi besi lalu membenturkan kepalaku ke jidatnya.
Kini, kami saling menahan serangan; ia mencoba segala cara untuk mengalahkanku, kakinya berulang kali menendang betisku dan aku sendiri berusaha sekuat tenaga agar tidak roboh.
“Kenapa kau tidak jatuh, bajingan…?!” ia memaki, napasnya juga semakin menggebu-gebu.
Mataku menatap lurus Fernando juga menangkap Awsya sedang menahan darah dari luka tembakan tadi… terlihat dari sudut pandangan yang rabun. Lalu, sejenak aku menoleh ke kanan; aku tahu rekanku sudah terluka, dan jika Fernando berhasil lepas dariku, bisa saja ia membunuh wanita itu… bahkan diriku sendiri. Terlebih lagi, hantaman besi tadi seakan menjadi serangan mutlak. Lengan kiri dan kananku sakit tak karuan, sepertinya aku tak sanggup menahan bandit ini lebih lama lagi.
Tak ada pilihan lain, ku lepas tanganku dari tangannya yang memegangi besi; aku menarik kerah jaket yang ia kenakan untuk kemudian ku hantam tiga kali perutnya. Ku lakukan ini agar besi yang ia genggam terlepas, tapi sama sekali tidak berhasil.
Maka, ku bawa dirinya ke sisi tepian lantai tiga; tanpa berpikir panjang, sambil merangkul tubuh Fernando, aku membuat kami berdua terjatuh. Dan dari sini, aku lantas mendorong tubuhnya untuk memisahkan diri.
Kami berdua terjun bebas; tapi aku tidak langsung jatuh sebab jubah yang ku kenakan mengembang yang dengan otomatis udara mengalir ke seluruh jubah, membuatku melayang terbang. Sedangkan Fernando terhambat oleh ranting pohon sebelum menghantam tanah. Dari sini ku lihat, ia tak kuasa menahan diri dari rasa sakit.
Ketika diriku mendarat, aku langsung berjalan cepat ke arah Fernando, kedua tangan menarik jaket hitam yang ia kenakan agar tubuhnya mendekatiku…
“Apa yang kau rencanakan…? Katakan padaku…! Cepat katakan…!!!”
Amarahku tersulut begitu saja… seperti kesabaran yang ku tahan sejak tadi habis total. Satu sisi, aku sudah terlalu muak mendengar ocehan bajingan ini.
“Katakan padaku rencanamu, keparat!!!” Aku kembali membentaknya.
“Sabar… sabar dulu, detektif… aku…”
Tanpa mendengar perkataannya, ku pukuli wajah lelaki ini berkali-kali hingga darah berhamburan dari mulutnya. Tapi ia malah tertawa terbahak-bahak.
“Apa kau ingin mengancamku?” ia kembali mengoceh dan aku pun lagi-lagi memukuli wajahnya.
“Ha ha ha ha… ka- kau… tak ada cara yang bisa kau lakukan untuk mengancamku.”
Duaakkk duaakk…
Tinju yang kesekian membuat Fernando tercampak menyamping. Aku tahu itu sakit, bahkan seluruh tubuhnya pun demikian. Meski begitu, ia tetap saja tertawa setelah meludahkan darah dari mulutnya. Sungguh orang yang gila.
“Tenangkan dirimu, detektif. Kau tak boleh… menyerang musuh saat sedang berdamai dengan rasa sakit. Biarkan aku bernapas dengan tenang dulu.”
Ocehan Fernando benar-benar membuatku hilang kendali. Sontak ku cekik bedebah ini dan mengangkat tubuhnya. Aku tak peduli dirinya menjerit-jerit menahan rasa sakit.
“Katakan semua rencanamu!”
“Tu- tunggu lima detik…” Sahutnya.
Sialan bajingan ini, ia benar-benar mempermainkanku. Amarahku kian membangkitkan api dari dalam. Tanpa pikir panjang, aku membanting tubuhnya ke tanah yang di saat bersamaan Fernando mengerang tak karuan. Belum cukup, ku angkat lagi dirinya dan kembali melakukan hal yang sama sampai pada akhirnya seorang lelaki datang.
“Jim… cukup. Hentikan.” kata orang ini sambil menahan diriku dari belakang yang ingin membanting Fernando untuk yang ke tiga kali.
Ternyata lelaki ini Benny. “Tahan emosimu,” katanya… “kau tidak se-tenang biasanya.”
Kedatangan Benny membuatku sedikit menurunkan bara api meski belum dapat ku katakan seutuhnya stabil. Dan tak lama kemudian, suara sirine mobil polisi mewarnai gendang telinga. Sepertinya ada banyak, lalu seketika dari kejauhan aku melihat Kapten Tiyo berjalan menghampiri kami. Ia tidak berkata apa-apa, mungkin karena melihat diriku yang masih terbawa amarah, jadi barangkali kapten memahami perasaanku paling tidak untuk saat ini.
Dia hanya memerintahkan bawahannya untuk membawa Fernando ke markas besar. Setelah itu, sepuluh pasukan khusus-nya ia tugaskan untuk masuk ke dalam gedung tua ini dan menyelidiki ke setiap sektor apabila seandainya masih ada para bandit yang lain.
Tak hanya polisi, tim medis pun datang, mungkin Kapten yang menghubungi mereka. Dan selang beberapa menit kemudian, Awsya keluar dari gedung tersebut; ia berjalan pincang dan digotong oleh Fuad. Ku lihat kakinya yang tertembak tadi sudah dibalut dengan sehelai kain untuk menahan aliran darah. Aku merasa kasihan melihat wanita itu.
“Bawa ia segera ke rumah sakit,” pinta Fuad kepada seorang perawat wanita yang langsung bergegas membantu Awsya berjalan menuju ambulan.
Sedangkan Fernando juga segera diamankan ke dalam mobil tahanan. Butuh dua petugas untuk menggotongnya; ia terus mengerang kesakitan dan juga tertawa terbahak-bahak. Di waktu yang sama, lelaki itu menoleh padaku, “detektif…” katanya sambil menahan erangan.
Belum pun ia mulai berbicara, seorang polisi membentaknya, “cepat jalan, bajingan!”
“Ha ha ha…” Fernando tetawa lalu melanjutkan, “ku peringatkan, banyak polisi yang sudah berkhianat. Aku tidak main-main, detektif. Kau sendiri tahu bahwa aku orang yang sangat terencana, kan…?” Katanya sambil terbahak-bahak.
Begitu ia berada dalam mobil tahanan, sang driver langsung memacu mobilnya menuju markas besar.
“Dasar anjing gila.”
Aku mendengar kapten bergunjing, ia berdiri di dekatku. Selang beberapa detik HT-nya berbunyi,
Pssstt…
“Lapor kapten, ada empat orang yang kami temui; dua tersangka selamat dan dua orang lainnya — polisi — mereka tewas.” Seorang polisi memberi informasi melalui HT.
“Dimengerti.” Sahut Kapten.
Ia lantas menawariku rokok, mungkin sebagai basa-basi untuk menenangkan emosiku. Aku tidak menggubris tawarannya dan mengambil rokok sendiri. Kami membakar racun ini bersamaan.
“Jika sudah lebih tenang, aku ingin mendengar laporanmu, detektif.”
Kapten berujar sedangkan aku masih tidak menyahutinya sepatah kata pun, hal ini membuat Benny yang juga ada di sekitar kami tersenyum sembari jari telunjuk kanannya menggaruk-garuk bagian belakang telinga. Tampaknya ia tak habis pikir setelah melihatku tersulut emosi yang dapat dikatakan itu memang sudah di luar batasanku. Sebab, jarang-jarang aku terbawa oleh bara api amarah ini.
“Tapi…” Lanjutnya, “aku berterima kasih kau tiba di TKP tepat waktu.” Ia menoleh padaku.
“Kau melacak Fernando dengan sangat baik, lalu — ”
Aku langsung memotong pembicaraan Kapten Tiyo, “aku datang karena Awsya, bukan untuk melacak bedebah itu. Dua polisi pengkhianat mencoba membunuhnya. Tapi, abaikan saja… pukul 12 tadi, ada tiga ledakan di tiga sektor yang berbeda… apa itu rumah sakit?”
Kapten terdiam sejenak sebab aku yang tiba-tiba mengubah topik pembicaraan.
“Hmm…” sahutnya, “dua…” katanya lagi sambil jarinya membuat simbol angka dua.
“Ledakan yang satu lagi, di Jalan Teuku Nyak… tepatnya di sebuah pabrik perternakan.” Jelas Kapten.
“Dua rumah sakit yang hancur tadi, semua pasien berhasil diamankan. Ini sesuai perkiraanmu, Jim. Sekali lagi, firasatmu menyelamatkan banyak nyawa. Hanya saja, ada seorang security yang tewas.” Sahut Benny.
“Sama saja… dengan kata lain rencana kita tidak sepenuhnya berjalan bagus.” Aku menarik rokok, “sekarang bukan waktunya untuk melempar pujian. Aku malah merasa, dari kasus ini, barangkali semua kekacauan baru akan dimulai.” Kataku, asap silih berganti keluar dari hidung dan mulut.
“Aku akan membawa Fernando ke Rumah Tahanan Krueng Baet, di sana dia akan mendapat penjagaan yang lebih ketat.” Kapten berujar kepadaku.
“Ide bagus… ku serahkan Fernando padamu.”
“Selain itu,” kapten berhenti sejenak untuk menghisap rokok… ia juga menatapku dalam-dalam, “kita harus bergerak cepat untuk mencari tahu jejak-jejak polisi yang berkhianat. Mereka akan lebih menyusahkan kita dan juga sangat berbahaya. Bisa ku katakan, mereka semua lebih berbahaya dari si bajingan Fernando.”
Aku sendiri mengerti dan mengangguk pernyataan kapten. Para polisi pengkhianat itu bagaikan serigala berbulu domba, mereka dapat menghancurkan kami dengan cara tersenyap di saat kami lengah ataupun tidak. Di sisi lain, alasanku setuju dengan ungkapan kapten adalah mereka sudah pasti tahu semua rencana dan strategi kami. Buktinya, Fernando berhasil kabur dari penjara, lalu melancarkan aksi gila dengan meledakkan dua rumah sakit dan satu pabrik.
Tapi, aku beranggapan bahwa sebenarnya misi utama Fernando bukan untuk melakukan pengeboman. Ia tahu bahwa di markas besar ada beberapa senjata berteknologi canggih yang tersimpan rapi di gudang penyimpanan… ia ingin mendapatkannya. Selain itu, bedebah ini juga ingin mencuri sebuah tank untuk menghancurkan beberapa Polsek.
Maka dari itu, Fernando melakukannya dengan meledakkan bom di tiga sektor berbeda karena itu semua sebagai pengecoh. Ketika kekacuan terjadi di tempat berbeda, ini akan membuat para polisi sibuk untuk mengamankan para korban dan di situlah ia memulai semua rencana dengan menugaskan para polisi pengkhianat untuk mencuri senjata-senjata canggih tersebut.
Dan puncak dari rencana-rencana Fernando, aku berasumsi bahwa ia berniat merampok Cot Jambee Bank untuk yang ke dua kali… hasil rampokan itu akan ia gunakan untuk membeli berbagai jenis senjata yang menurutnya para polisi di Cot Jambee belum memilikinya. Selebihnya, uang tersebut akan dibagikan rata kepada para bawahannya.
“Apa motif Fernando ini sebenarnya?” Tanya Benny.
“Aku juga sedang mempelajarinya. Tidak mudah untuk menginterogasi orang itu, bahkan sampai sekarang pihak polisi belum mendapatkan identitas aslinya. Fernando itu bukanlah nama asli… aku yakin itu. Dan orang ini berbeda dari penjahat yang lainnya; dia gila… persis seperti caranya tertawa.” Ungkap Kapten.
Memang benar yang diutarakan oleh Kapten Tiyo. Fernando ini benar-benar misterius, maksudku misterius dalam hal motif dirinya melakukan kejahatan. Terhitung sudah lima kali aku berhadapan dengannya, menjebloskannya ke dalam penjara… dalam waktu itu aku sama sekali tidak medapatkan sesuatu yang akurat tentang motif orang ini… malah sebaliknya, ia sudah berulang kali berhasil kabur.
“Membuat kekacauan di mana-mana sembari tertawa, ia melakukan kejahatan tapi seperti tidak ada tujuan pasti.” Kata Benny.
“Jika kita melihat Fernando lebih jauh, caranya menghancurkan sambil tertawa… ku pikir ia menikmati kekacauan itu.” Tiyo melanjutkan.
Aku seakan setuju dengan perkataannya, “Fernando adalah bukti bahwa ada seseorang yang melakukan kejahatan bukan karena uang semata, melainkan… ia melakukan itu karena dirinya suka melihat kota ini hancur lebur berantakan. Itu sudah lebih dari cukup untuk membuatnya merasa lebih bahagia. Fernando takkan berhenti melakukan kriminal sebab itulah satu-satunya kesenangan untuknya, dengan kata lain dapat ku rincikan… itulah tujuan sebenarnya. Dan dari sini kita mesti tahu bahwa tak ada satupun cara untuk mengancamnya. Malah, ia menerima ancaman itu… bahkan sambil tertawa.”
Mereka berdua mengangguk, “hmm… seperti sosok Joker yang ada di serial Batman, ya…” ujar Benny.
Di sisi lain, Kapten sangat menikmati rokoknya, “maka tidak berlebihan jika aku menganalogikan orang itu sebagai anjing gila…”
“Yaa…” tiba-tiba Fuad datang dan langsung menyeropot masuk ke dalam pembahasan kami. “Lagipula, dia memang orang gila kan, kapten?”
“Daripada menganggapnya gila, kenapa kita tidak membayangkan Fernando di masa lalu, jauh sebelum dirinya menjadi penjahat. Barangkali ada sesuatu yang terjadi hingga mengubah kepribadiannya sampai kemudian menjadi sosok yang mencintai kekacauan. Bukankah terjadi sesuatu terhadap mentalnya?” Sambungku.
“Apa kau berusaha mengerti keadaan orang itu?” Tanya Fuad.
“Kita juga mesti memahami sisi psikologis Fernando, agar ke depannya tidak ada lagi orang lain yang mengikuti jejaknya. Paling tidak, sosok-sosok seperti dirinya dapat berkurang.” Pungkasku.
Kapten terlihat menopang tangan kanannya di pinggang, “kita mungkin tidak bisa menghentikan bajingan itu, tapi kita masih punya potensi untuk menghentikan para pemuda lain agar tidak berakhir seperti dirinya. Bukan begitu maksudmu, detektif?”
Aku mengangguk, kemudian ia melanjutkan lagi, “cukup Fernando ini — barangkali dia hadir di Cot Jambee sebagai contoh bahwa seseorang dapat berubah menjadi sangat liar setelah mendapatkan perlakuan buruk di masa lalu.”
“Seperti bully-an…” Benny menyahut sementara aku mengangguk.
“tapi…” Fuad mulai khawatir, “bagaimana nasib kota Cot Jambee selama orang itu terus melakukan kriminal…? Apalagi, ia tadi berujar ada banyak polisi yang berkhianat. Bagiku, ini sangat berbahaya.”
Kapten Tiyo sedikit tersenyum mendengar Fuad, “itulah gunanya kita…” ia lagi-lagi menarik rokok, aku pun juga sembari menatapnya. “Ini akan menjadi pekerjaan seumur hidup. Sebab, siapa lagi yang akan menumpaskannya jika bukan kita para polisi?”
“Ya, kau benar, kapten.” Benny menyahut. “Mereka yang berkhianat sama sekali tidak memahami makna dari seragam kepolisian. Dan itu sungguh memalukan.”
Aku tersenyum saja mendengar omongan mereka dan lantas mematikan rokok dan berjalan berlalu dari rekan-rekanku, Benny mengikutiku dari belakang.
“Mau kemana?” Kapten bertanya.
Aku berhenti sejenak dan menoleh ke belakang menghadap dirinya, “menjenguk Awsya.” Jawabku singkat.
“Sampaikan salamku untuknya… sungguh polwan yang tangguh.” Puji Kapten Tiyo; gumpalan asap menyelimuti wajahnya.
Tanpa berkata apapun, aku mengangguk, membalikkan badan dan meninggalkan TKP. Kasus ini memang tidak bisa dikatakan tuntas, dan karena itu aku merasa sedikit berat meninggalkan Kapten Tiyo di sini. Tapi di sisi lain, aku juga merasa bersalah terhadap Awsya. Jika saja aku tepat waktu menghentikan Fernando saat itu, mungkin dia tidak akan tertembak.
Dalam perjalanan ke rumah sakit
“Jadi, kenapa Awsya bisa satu mobil dengan dua polisi pengkhianat itu?” Tanya Benny yang sedang mengemudi.
“Entahlah. Yang dapat ku pastikan, Awsya sedang berada di rumah tahanan itu saat Fernando kabur. Ia bergegas mengejarnya.”
“Hmm, kebetulan, ya?”
“Aku tidak berpikir demikian. Barangkali mereka memang berniat membunuh Awsya di gedung tua itu. Hanya saja, strategi awal mereka adalah menjadikan dirinya sebagai tawanan, karena mungkin mereka tahu aku akan menyusul Awsya ke sana. Dengan kata lain, aku juga menjadi sasaran utama untuk dibunuh”
Pembahasan singkat ini terhenti sejenak. Aku yang duduk di sebelah Benny dapat merasakan, dia memacu mobil dalam kecepatan 100 km/jam. Lampu-lampu kota satu persatu tertinggal di belakang.
“Tapi Jim, apa benar Fernando kabur dengan cara meledakkan seorang bawahannya di dalam sel?”
“Dari keterangan yang ku dapat seperti itu. Para petugas menemukan jasad bawahan Fernando hancur — mungkin ia sudah lebih dulu memasukkan alat peledak ke dalam tubuh bawahannya. Lagipula, mereka berdua berada di dalam sel yang sama.”
“Bagaimana caranya…?” Benny terlihat penasaran.
Aku menggeleng, “tapi kesimpulan sementara yang dapat ku ambil adalah… Fernando sengaja membuat dirinya tertangkap bersama bawahannya untuk melakukan aksi di malam ini.” Jawabku.
“Hmm… begitu ya. Mungkin aku juga mesti setuju dengan firasatmu.” Celotehnya.
Sedangkan aku hanya tersenyum saja sambil menahan rasa sakit di kedua lengan akibat pukulan bedebah sialan itu dengan sebuah besi.