Kisah-Kisah Dalam Buku Harian Jimmy

Rumah Tahanan Tanjung: Bagian VI

Reza Fahlevi
14 min readMay 5, 2023
Foto oleh Bradyn Shock dari Unsplash

“Sama seperti Kapten Haris, kau adalah orang yang tak bisa ku bunuh dengan tanganku sendiri. Oleh karena itu detektif, Jabal yang akan melakukannya.” Ujar Faisal yang kemudian berhenti sejenak.

Kini rasa sakit yang awalnya menyerang kepala setelah Jabal menghantamku dengan senapan sudah mulai membaik. Bahkan, pandanganku yang tadinya sempat kabur juga telah sedikit pulih, dan sekarang aku sudah bisa melihat dengan agak jelas — ku tatap Faisal di mana dia menitikkan air mata.

“Detektif, maafkan aku. Ini semua demi kebaikan ibuku. Aku tak pernah bisa melihatnya meninggalkanku sejak kematian ayahku. Mereka yang berkhianat sudah berjanji bahwa keselamatan ibu pasti terjamin jika aku bersedia membantu. Maka maafkan aku… senang sudah pernah bekerja sama denganmu untuk beberapa kali. Bagiku, kau salah satu sosok hebat yang pernah ku temui. Sampai jumpa.”

Begitu Faisal selesai berbicara, ia membalikkan tubuhnya membelakangiku.

Lalu, di waktu yang sama Jabal mencekikku dengan membabi buta. Aku sendiri tak kuasa melawan dirinya… segala cara ku lakukan untuk menyerang balik tapi si keparat ini benar-benar membuatku tak berdaya. Barangkali ia berniat membunuhku dengan cara seperti ini.

“Bajingan…!” Gumamku spontan dalam hati.

Melawan menyerah, ku coba memukuli Jabal dengan tangan sebisaku tapi situasinya benar-benar tidak menguntungkan. Posisi di mana ia mencekikku dari belakang terlalu membuat bandit ini berada di atas angin.

Meski demikian, aku tetap mencari celah… barangkali ada momen di mana Jabal lengah dan aku dapat dengan sigap melakulan serangan balik.

“Tapi — tapi — apakah mungkin?”

Di saat aku kewalahan tak karuan, tiba-tiba suara tubrukan terdengar…

Dubrakkk….

Suara seperti ada seseorang yang menghantam sesuatu. Tapi aku tak tahu apa itu dan siapa yang melakukannya.

“Jatuhkan pistolmu sekarang…!” Gumam seorang pria asing yang entah dari mana dia berada.

“Sekaraangg!!!” Teriaknya lagi. Kali ini suaranya benar-benar membahana menggetarkan seisi gudang tempat kami bertiga berada.

Akan tetapi, sekarang aku sadar siapa orang asing yang baru saja tiba. Dari karakteristik suaranya dapat dengan jelas ku kenali — dia adalah Jack.

“Tepat waktu…” aku membatin.

Dan sejak kehadirannya secara tiba-tiba ini, membuat Jabal melepas cengkeramannya dari leherku. Sedangkan Faisal yang tadinya berdiri membelakangiku, kini si ajudan itu berbalik dan dengan berani mengarahkan pistolnya jauh ke sisi belakangku — aku yakin dia membidik Jack.

“Dua lawan dua… ini menarik.” Celoteh Jabal. “Tapi… dua dari kami punya senjata sedangkan kalian hanya seorang saja yang memegang senapan. Jadi, apa kau serius ingin menantang kami?”

Jabal mengajukan pertanyaan kepada Jack sambil berdiri dengan pistol di tangan kirinya yang sekarang ia tempelkan ke bagian belakang kiri kepalaku. Sepertinya si pengecut ini tak tahu bahwa aku menyimpan banyak “mainan” di dalam jubah.

“Siapa kau…? Aku yakin kau bukan polisi jadi jangan ikut campur jika tak ingin mati.” Lanjut Faisal. Kini posisinya siap untuk menembak.

Namun, sesaat ku pandangi… tangan Faisal mulai gemetaran. “Ada apa dengannya…” aku bertanya-tanya dalam hati.

Aku sendiri mengatur pernapasan sejenak sampai ku kira sudah lumayan stabil, ku arahkan jari telunjuk ke Faisal. Sepersekian detik kemudian…

Dooorrr

Suara tembakan menghiasi telinga; Faisal terluka — aku yakin Jack menembak tangan polisi tersebut.

Adapun di waktu yang sama, tangan kananku dengan cepat merebut senapan Jabal dan yang satunya ku raih kepalanya.

Tapi dia tak menyerah. Dengan tangan kosong si pengkhianat ini juga menyerangku; ia berusaha melilitkan lagi tangannya di leherku. Kini, situasi kami berdua saling bergelut; dia berdiri di belakangku sedangkan aku dalam posisi terduduk di atas kursi.

“Hey Jim… jangan banyak bergerak, aku akan menembaknya.” Kata Jack.

Tak lama setelah perkataannya itu, aku mendengar suara…

Krekk… krekkk…

Dan sesaat setelah suara itu terdengar, kursi kayu ini patah. Aku tergeletak di lantai bersamaan dengan Jabal; ia menimpaku dari atas sebab kedua tanganku masih menahan kepalanya ketika kursi ini patah.

Aku dalam posisi terbaring di lantai sedangkan Jabal jatuh telungkup di atasku. Dalam situasi ini, cepat-cepat diriku mencekik lehernya seerat mungkin.

Si pengkhianat ini mencoba segala cara untuk melepas diri tapi semakin dirinya melawan semakin ku kencangkan cengakeraman tangan di lehernya. Sesekali ku gunakan tangan kiri untuk meninju kepalanya agar dia lemah. Meski begitu, Jabal tetap belum ingin menyerah.

Dalam situasi kami berdua bergelut, Jack kembali berteriak. “Hoy jangan lari…”

Sepertinya yang lari itu Faisal. Akan tetapi, aku tak peduli karena Jabal sendiri masih belum bisa ku lumpuhkan. Untuk si ajudan itu ku serahkan saja pada Jack.

Maka, masih dalam posisi bergelut, ku lepaskan cengkeraman tangan dari kepala Jabal dan dengan cepat diriku menggerakkan tubuh untuk melepas diri dari si pengkhianat ini.

Namun, usahaku ini ternyata masih belum cukup sebab Jabal langsung memukuli dadaku. Oleh karena itu, ku cekik lagi lehernya dengan tangan kanan adapun tangan kiri memukuli kepalanya sebanyak tiga kali — sekuat mungkin.

Perbuatanku ini membuat Jabal mengerang; sedangkan aku sendiri — ku sadari bahwa kini dirinya sudah sedikit lemas. Maka, dengan segera ku tolak tubuh lelaki ini yang dari tadi menimpaku, begitu ia terdorong beberapa senti, cepat-cepat diriku bangkit lalu mengunci kedua tangannya yang sedang berada dalam posisi telungkup.

“Keparat kau, detektif…” Gumam Jabal yang kesal.

Aku tidak menyahuti perkataan kasarnya melainkan ku putar tangan kanannya hingga bandit ini menjerit tak karuan.

“Jika kau mencoba melawan sedikit saja, akan ku patahkan tanganmu.” Ancamku.

Tapi, peringatan ini tak diacuhkan oleh Jabal, membuatku sedikit murka. Tanpa basa-basi lagi, aku pun mematahkan tangan kanannya.

“Uwaaaaaaaa…!!!” Jabal menjerit histeris.

“Aku sudah memperingatimu, kan…?”

Di sisi lain, aku masih mendengar suara tembakan. Sepertinya Jack masih terus mencoba menghentikan Faisal.

“Jack… Jackk…” Aku memanggilnya dengan suara yang sedikit besar.

Tak lama setelah itu, suara tembakan berhenti dan ia datang padaku.

“Keparat itu berhasil kabur…” ujarnya.

“Beruntung kau tidak mengejarnya…”

“Memangnya kenapa?”

“Terlalu berbahaya…” Tuturku.

Pagi pukul 08.15, di Markas Besar Kepolisian Cot Jambee

Sejak insiden hidup mati di rumah sakit Keumalahayati, aku membawa Jabal ke markas besar. Untuk sementara dia akan ditahan di sana sampai semua proses selesai.

Sekarang, aku sendiri sedang berada di markas. Seorang polisi meneleponku; ia tidak menjelaskan secara rinci, hanya memintaku untuk segera menuju markas. Tapi, dari gelagat suaranya, aku yakin ada sedikit kendala saat menginterogasi Jabal.

“Assalamu’alaikum…” aku memberi salam.

“Wa’alaikumussalam… maaf mengganggu waktu pagi anda, detektif.” Ujar seorang polisi muda — dia laki-laki.

“Tak masalah. Jadi… di mana dia?”

“Masih di ruang penyidik. Mari aku antarkan anda ke sana.”

Selang sekitar dua menit kemudian aku tiba di ruang interogasi.

“Si pengkhianat itu terlalu keras kepala…” celoteh polisi tadi.

“Begitu ya…”

“Jika kau punya cara lain untuk membuka mulut busuknya — ”

Belum selesai dirinya berbicara, aku meletakkan jari telunjuk di bibir sebagai kode agar dia berhenti mengoceh. Sikapku ini lantas membuat si polisi terdiam.

Setelah itu, aku membuka pintu ruang penyidik dan segera masuk. Dengan berjalan santai dan tenang, aku menatap Jabal yang duduk di atas kursi sambil menumpangkan kepala dengan tangan kiri di atas meja yang memang letaknya tepat di hadapannya.

Adapun tangan Jabal yang satunya diperban, ada tali yang tersangkut di leher untuk menggantung tangannya yang ku patahkan saat itu.

“Sekarang apa lagi… Detektif Jimmy datang untuk membuatku bersuara. Apa kau pikir aku takut denganmu?” Ujar Jabal.

Aku tak menyahutinya dulu melainkan terus berjalan mendekati bandit itu. Dan setelah tiga langkah, aku berhenti tepat di depannya, kemudian duduk di sebuah kursi — posisi kami dipisahkan dengan meja.

“Jadi, aku harus melakukan apa agar kau takut?” Tanyaku dengan menatap tajam kedua matanya.

Sedangkan Jabal terlihat tidak senang dengan pertanyaanku. Dirinya yang sedang duduk menumpang kepala lantas segera menaruh tangan kirinya di atas meja. Sesaat kemudian, ia mengepalkannya dengan sangat erat.

“Tanganmu yang patah itu… apa masih belum cukup?” Aku memprovokasinya.

Tiba-tiba…

Baaammmm

Jabal memukul meja.

“Aku dikenal sebagai penembak jitu. Meski demikian, aku juga mampu bertarung dengan baik. Keahlian bela diriku sudah diakui oleh atasanku sendiri. Jadi, satu tangan patah bukan berarti nyaliku ciut begitu saja. Ayo kita bertarung… anggap saja ini sebagai ulangan duel kita tadi malam.”

Aku tersenyum mendengar si pengkhianat ini yang mengoceh dengan gelagat geram.

“Jangan remehkan aku…!” Lanjutnya.

“Aku bahkan sangat menyeganimu sebagai seorang polisi. Sosok yang telah meraih penghargaan atas pencapaianmu menumpas sekelompok bersenjata di daerah Lampöh — dan lagi kau melakukannya seorang diri. Selain itu, kau polisi yang melawan keras terhadap tindakan pungli dan juga membenci para koruptor. Setidaknya, itulah biografi singkat tentangmu namun sayangnya… kau itu pengkhianat.” Jelasku.

Jabal terlihat tak peduli dengan pernyataanku, malah dia bertanya, “apa kau sudah selesai?”

“Belum…”

Mendengar jawabanku, emosi jabal lantas tersulut. “Tapi aku muak mendengarmu…!”

Si pengkhianat ini pun mengangkat meja hanya dengan satu tangan kemudian membantingkannya ke lantai. Di waktu yang sama, ia menendangku yang masih duduk di kursi tapi dengan sigap diriku mampu menepis serangan itu.

Masih tak ingin berhenti, Jabal lagi-lagi mengangkat kaki kanannya untuk menghantam wajahku. Dan untuk kali kedua aku menepis pukulannya menggunakan tangan. Tak hanya itu, di saat yang sama aku juga menahan dan sekaligus lima jemariku mencengkeram erat kakinya.

“Keparat!!!” Maki si pengecut ini yang mencoba melepaskan kakinya.

“Aku bersedia meladenimu, tapi apa yang kan ku dapat jika kau kalah?”

“Kau pikir kau bisa mengalahkanku, hah…?”

“Aku hanya bertanya.”

“Persetan dengan pertanyaanmu…!” Sahutnya sambil berteriak.

Di momen ini, Jabal mencoba memaksimalkan kestabilan tubuhnya lalu melompat beberapa senti sembari mengarahkan kaki kiri ke bahuku. Dan begitu jarak serangannya semakin dekat, dengan cepat diriku mendorong jauh kaki kanan polisi itu yang sedari tadi ku tahan. Akibatnya, ia pun terhempas dan jatuh.

Beriringan dengan itu, aku berdiri dari duduk — jabal pun juga bergegas bangkit dari lantai. Sekarang, baik aku dan dirinya mulai saling waspada sambil menaruh rasa fokus untuk mewanti-wanti serangan mendadak.

Jabal yang sudah terprovokasi dengan sikapku semakin berapi-api. Lantas dirinya berlari dan menyerangku bertubi-tubi. Adapun aku menggerakkan badan serta kepalaku untuk menghindari serangannya. Dari lima tinju yang polisi ini lancarkan, semua dapat dengan mudah ku hindari. Dan serangan terakhir, aku menepis tangan orang ini lalu sesegera mungkin ku genggam.

Begitu tangannya berada dalam cengkeramanku, langsung saja diriku memutarinya sampai Jabal terpaksa berdiri membelakangiku. Dalam posisi seperti ini, aku punya kesempatan besar untuk sekali lagi mematahkan lengan kirinya. Tapi tidak ku lakukan dan malah aku mendorongnya ke depan.

“Ku pastikan sekali lagi, aku bersedia meladenimu jika kau bersedia membeberkan semua nama polisi yang terlibat dalam ledakan di rutan Tanjung.”

“Lalu, apa yang kan ku peroleh jika kau kalah?” Tanya Jabal, ia membalikkan badannya menghadapku.

“Kau boleh kabur dari markas ini — pergi sejauh yang kau mau dan biarkan aku mencari para pengkhianat itu dari nol lagi.”

Lantas Jabal tertawa terbahak-bahak mendengar ungkapanku. “Naif sekali… kau pikir aku bakal mempercayaimu?”

“Ketika aku sudah berbicara, berarti perkataanku bukan main-main. Aku bisa saja memerintahkan para polisi untuk membebaskanmu sekarang juga dan mereka akan mematuhiku tanpa banyak alasan.” Sahutku.

“Lalu, apa alasanku harus percaya padamu?”

“Karna aku orang yang menepati janji.” Tegasku sambil menatap si pengkianat itu dengan sangat tajam.

Jabal sendiri terdiam sejenak, ia terlihat seperti sedang memikirkan sesuatu. Dan tak lama kemudian…

“Baiklah jika kau berani bertaruh seperti itu. Ku harap kau tak menyesal dan tetap menjaga omonganmu tadi. Tapi… kau perlu tahu, aku bukan polisi sembarangan.”

“Terima kasih sudah mengingatkanku. Ku harap kau juga menyadari siapa diriku.”

“Persetan denganmu…” Celotehnya.

Bersamaan dengan itu, Jabal datang lalu mengayunkan tangan kirinya yang sudah mengepal untuk meninju mukaku. Adapun aku mengelaknya sekali… dua kali… tiga bahkan sampai yang ke empat kali. Pergerakanku sepertinya membuat orang itu kesal.

“Jangan remehkan aku…!” Ia berteriak.

Alih-alih memukuliku, Jabal berbalik badan, berjalan beberapa langkah dan mengambil kursi. Setelah itu, ia kembali sambil berlari kemudian menyasari kepalaku dengan tempat duduk tersebut.

Aksi sang polisi pengkhianat ini memaksaku untuk menghindar. Diriku mundur beberapa langkah; adapun kedua mata tetap fokus terhadap kursi di mana Jabal terus berusaha mengenaiku.

Tepat di satu kesempatan, lelaki ini menendang dada bagian sebelah kananku, tapi masih dengan sigap ku tangkis. Dan di saat yang sama ia mengangkat kursi kayu itu dengan sangat tinggi; Jabal benar-benar peka terhadap sisi pertahananku yang terbuka lebar setelah menangkis sepakannya tadi.

Aku yang sudah mati langkah untuk mengelak serangannya, terpaksa menggunakan lengan kanan untuk menahan hantaman kursi tersebut. Akibatnya, aku mesti menahan kesakitan dengan posisi agak menekuk. Dan di momen inilah, Jabal melompat lalu menyepak keras wajahku.

Duaaakkk…

Tendangan Jabal membuatku terhempas ke sisi kanan.

Tak ingin menyerah, dengan cepat aku berusaha bangkit. Dan di saat tubuhku sedikit lagi hampir berdiri tegak, Jabal menubrukkan kursi tepat di dadaku. Serangannya membuatku tergeletak di lantai.

“Aku akan membunuhmu di sini detektif!” Teriak laki-laki ini. Ia berulang kali menendang perutku.

“Matilah… kau akan mati di tanganku!” Lanjut polisi itu.

Aku yang dalam posisi terbaring sempat menemukan celah di tengah dirinya menyerang dengan membabi buta. Jabal mengayunkan kursi tepat ke dadaku, dan dengan sebuah gerakan kilat, ku tendang kursinya — tempat duduk itu seketika patah.

Adapun Jabal terkejut, dirinya seakan tak percaya terhadap apa yang barusan ku lakukan. Tapi, hanya berselang satu detik setelahnya, dalam posisi masih terbaring segera ku tumpukan ke dua tangan di lantai lalu mendorong tubuh ke atas; bersamaan dengan itu, aku melakukan sebuah gerakan akrobatik beriringan dengan menendang wajahnya.

Jabal yang masih kebingungan lantas menerima serangan telakkku; tubuhnya terangkat beberapa senti sebelum akhirnya terkapar lemah. Sedangkan aku kini sudah berada dalam posisi berdiri.

“Kau kalah…” Gumamku.

“Ha ha ha…” Jabal tertawa, “bagaimana mungkin aku bisa secepat ini kau kalahkan. Ingat detektif, kita sama-sama orang terlatih dan sudah seharusnya kau memperhatikan situasi di sekitar bahkan di saat aku sudah terlihat kalah begini.”

Lantas Jabal menggerakkan kakinya dan berusaha menyepak betisku. Aku yang lebih dulu menyadari serangannya spontan melompat. Akan tetapi, usahanya yang mencoba menjatuhkanku tadi hanya sekedar tipuan. Si berandal ini menggunakan kesempatan sempit untuk bangkit lalu dengan sigap dia meninju wajahku.

Tab…

Aku berhasil menangkis tangannya.

Serangan kedua Jabal datang dari sisi kiri; di saat-saat, ini aku merunduk… membuat lelaki itu hanya memukul angin. Begitu diriku menegakkan kembali posisi badan, di waktu itu pula aku berhasil menghantam wajahnya.

Percobaan kedua; ku sikut dadanya yang memaksa Jabal tertekuk. Tak sampai di situ, tiga pukulan beruntun ku daratkan di mata, dagu dan yang terakhir aku menendang keras perutnya.

Jabal tercampak jauh dan seketika ambruk tak berkutik. Aku yakin, serangan tadi membuatnya sangat kesakitan.

Setelah aksiku tadi, situasi menjadi lebih tenang. Adapun Jabal masih belum sanggup bangkit — hanya terbaring lemah di lantai.

“Sudah ku bilang,” gumamku sambil berjalan mendekatinya. “Kau kalah. Sekarang, katakan padaku siapa saja polisi yang berkhianat.”

Kini aku sudah berdiri di sebelahnya — Jabal hanya menatapku dengan lesu. Mulutnya penuh dengan lumuran darah — tapi bukan di situ saja, pelipis mata kanannya juga sama sedangkan yang di sebelah kiri lebam.

“Bagaimana mungkin… aku bisa kalah darimu. Aku ini… dikenal sang-at… ber-bakat.” Jabal berusaha berbicara meski tetap terbata-bata.

“Bakat saja tidak cukup untuk mengalahkanku…” Aku membalas.

Dan gelagat polisi ini seketika menjadi geram. Ia berusaha bangkit tapi terlalu sulit.

“Sudahlah… akui saja kalau kau kalah. Jangan memaksa diri untuk bertarung lagi.”

“Bajingan…” maki Jabal. Ia bernapas dengan menggebu-gebu. “Kenapa… aku tak bis-sa berdiri…? Ap-pa yang… kau laku-kan?”

“Setiap pukulanku yang mengenaimu tadi, itu bukan jenis pukulan biasa. Untuk sementara kau tak bisa bangkit — dan walaupun nanti kau bisa, tapi sama saja… kau tak cukup kuat untuk kembali bertarung. Jadi, apa yang ingin kau buktikan? Kau sudah kalah… mau berapa kali lagi ku ulangi?”

Hari Selanjutnya, Pukul 17.15

Aku menemui Jack di Taman Sari, tempat bermain anak-anak. Tak biasanya dia ke sini tapi hari ini entah kenapa ia malah tersesat di tempat seperti itu.

Sambil berjalan melewati keramaian, aku menatap ke sekitar di mana anak-anak sedang riang; ada yang bermain ayunan, menaiki mobil remote, bermain sepatu roda atau hanya sekedar duduk bersama kekuarga dengan beberapa cemilan.

Saat sedang berjalan, tiba-tiba aku ditabrak dari belakang. Spontan diriku menoleh — seorang anak perempuan sudah terjatuh. Ku lihat wanita cilik ini mengenakan sepatu roda lengkap dengan pelindung lutut dan siku serta sebuah helm.

“Maaf, paman… aku tak sengaja.” Ujar si kecil ini. Wajahnya terlihat begitu menyesal, mungkin karena dia menabrakku tadi.

Adapun aku berjongkok lalu menjulurkan tangan sembari tersenyum. Namun gadis ini sepertinya ragu untuk menerima uluran tanganku sampai sesaat kemudian dia memberanikan diri meski dari wajahnya masih terlihat adanya perasaan bersalah.

“Suatu hari nanti, kamu harus menjadi atlet sepatu roda, karna aku yakin kamu pasti akan menjelma hebat.” Kataku sambil memggenggam tangannya.

Mendengar ucapanku tadi, gadis belia ini lantas menjadi sumringah. Ia tersenyum lebar sampai-sampai susunan giginya yang tertatat rapi dari balik bibir terlihat jelas olehku.

“Terima kasih banyak, paman.” Sahutnya dengan bersemangat. Ia menundukkan kepalanya sejenak lalu pamit dan berlalu dariku.

Sejenak diriku berpikir, apa yang orang tua anak itu ajarkan kepadanya sampai dia sudah mampu bersikap sopan terhadapku ketika dirinya hendak pergi tadi. Untuk anak seumurannya dan dengan gelagat seperti itu, sebenarnya dia sudah tumbuh menjadi seorang gadis yang dewasa.

Beberapa menit kemudian

Akhirnya aku menemukan Jack — ia sedang duduk di atas kursi panjang sambil memotret. Tak berlama-lama lagi, aku langsung berjalan menjumpainya.

“Apa yang membuatmu berada di tempat anak-anak bermain? Tidak biasanya…” kataku yang duduk di sebelahnya.

“Sesekali… ini namanya mencari suasana baru.”

“Hmm begitu ya…”

Ku lihat Jack masih terlalu sibuk dengan kamera, lantas aku pun memilih untuk tidak mengganggunya. Sebagai gantinya, aku mengambil sebuah buku dari balik jaket — jaket kulit hitam. Ya, kali ini aku tidak memakai jubah seperti biasanya. Alasannya sederhana, aku hanya ingin mencoba gaya berpakaian yang berbeda.

Sambil menyilangkan kaki dan bersandar, aku mulai fokus masuk ke dunia tulisan. Buku yang ku baca ini adalah pemberian dari Kapten Haris , ia memberikannya kepadaku sebagai permintaan maafnya setelah mendapati bawahannya bersikap tak sopan terhadapku saat aku hendak menemuinya di Polsek Krueng Raja — kantor Haris.

Tapi ngomong-ngomong, aku masih tak percaya Haris telah tewas. Ya, Jabal membunuh Kapolsek tersebut sesaat setelah aku menemuinya di kantor. Dan buku yang sekarang ini ada padaku seakan menjadi kenangan tersendiri .

Haris ku kenal sebagai salah satu polisi yang sangat bertanggung jawab terhadap pekerjaannya. Bisa ku katakan, dia itu salah satu sosok baik yang pernah ku temui.

Tiga puluh menit berselang…

Aku yang sedang fokus membaca dapat menyadari bahwa Jack sudah selesai memotret. Di balik pandanganku yang menatap lurus setiap tulisan di lembaran buku, dari sisi buram ku perhatikan ia sibuk memasukkan peralatan kamera ke dalam ransel. Memang peralatan yang ia bawa tidak terlalu banyak, hanya seperlunya saja.

Sesaat kemudian begitu Jack selesai menaruh kamera, aku pun menutup buku.

“Sepertinya, kau disukai oleh anak-anak…” Celoteh rekanku sambil menarik zipper ransel.

“Aku memang sangat ramah di sekitar anak-anak, tapi tidak selalu berlaku ketika berhadapan dengan musuh.”

Jack lantas tertawa mendengar perkataanku. “Jadi, apa yang kau dapat dari Jabal? Ku dengar kau sempat bergelut dengannya…”

“Ya, cara seperti itu ampuh untuk membuka mulutnya…” aku berhenti sejenak, mengambil botol air mineral — milik Jack — ku buka tutupnya dan…

“Bismillahir-rahmaa-nirrahiim…” ucapku dalam hati tapi tetap menggerakkan bibir, kemudian menenguk perlahan airnya.

“Jadi…” lanjutku. Kini, aku mulai masuk ke pembahasan inti. “Ada tanda-tanda pergerakan dari Fernando dua hari ke depan. Dia berencana melakukan pertemuan dengan segerombolan orang asing. Ada rencana yang sedang ia persiapkan. Setidaknya, itulah inti yang dikatakan oleh Jabal.”

“Di mana?”

Aku pun lantas membeberkannya kepada Jack sesuai informasi yang ku dapat dari Jabal. Di sini, belum bisa ku pastikan apakah perkataan si pengkhianat itu benar atau tidak.

Meski demikian, tak ada salahnya untuk mencari tahu apalagi polisi itu mengatakan bahwa akan ada target penembakan selanjutnya yang sedang direncanakan oleh Fernando. Mengenai siapa targetnya, masih belum jelas.

“Lalu, kapan kau akan bergerak?” Jack bertanya.

“Secepatnya. Tapi, aku tak bisa melakukan ini sendirian.”

“Jangan khawatir, aku siap membantumu.”

“Bukan…” gumamku sambil menggeleng. “Bukan itu maksudku. Aku punya firasat lain.”

Jack lantas memandangiku dengan serius. “Buruk atau baik?”

“Bisa jadi keduanya jika kita mampu mengoordinasikannya dengan tepat.”

“Haahh…” ia menaikkan satu alis, “aku tak paham.”

“Ini hanya asumsi… tapi menurutku kita harus bersiaga di beberapa tempat sebab aku yakin Fernando pasti memerintahkan para bawahannya untuk menyebar dan bersiap melakukan serangan mendadak.”

“Dengan kata lain?”

“Dengan kata lain,” lanjutku, “kita harus membentuk tim untuk berjaga-jaga di beberapa pos yang mungkin bisa menjadi target Fernando.”

“Baiklah, aku mulai mengerti sekarang. Lalu terkait tim yang kau sebut tadi, apa rencanamu?”

“Kita akan saling berbagi tugas dengan tim Jaguar dan Rimueng untuk bersiaga. Kemampuan mereka sudah tak perlu diragukan lagi.”

Tiba-tiba Jack menepuk tangan, “aku setuju. Tapi bagaimana dengan perincian rencananya?”

“Kita akan bergerak secara diam-diam tapi tetap menyampaikan informasi terkini kepada dua tim itu — beriringan.”

“Oke… aku setuju.”

Setelah itu aku terdiam selama beberapa menit, Jack pun juga sama. Dan tak lama kemudian aku melanjutkan, “tapi, langkah pertama kita akan dimulai dari mencari Faisal.”

Dan lagi-lagi Jack menoleh kepadaku sambil menaikkan satu alisnya. “Kau masih ingin menangkapnya?”

“Menangkap Faisal untuk membuatnya bekerja sama dengan kita lagi.”

“Kenapa? Bukannya sudah jelas dia itu pengkhianat? Dan seingatku Jim, kau pernah bilang bahwa mereka yang bekerja di bawah perintah Fernando takkan semudah itu membuka mulut. Jabal salah satu contohnya, kan…? Yaa memang akhirnya dia mau buka mulut, tapi itu pun setelah kau bertarung dengannya.”

“Untuk kasus Faisal berbeda, Jack. Dia berada di bawah tekanan dan terpaksa membelot dari kita. Dari gelagatnya, mengkhianati kita bukanlah pilihannya sendiri. Dengan kata lain, dia masih bisa kita desak untuk kembali bekerja sama.”

“Apa yang menjadi acuanmu sehingga kau begitu yakin?”

Lantas aku pun menjawab, “firasatku.”

Bersambung…

--

--

Reza Fahlevi
Reza Fahlevi

No responses yet