Kisah-Kisah Dalam Buku Harian Jimmy

Rahasia di Balik 2 7, 3 0, 11, 06 
(2-7, 3-0, 11, 06)

Reza Fahlevi
9 min readDec 7, 2022

Foto oleh Monstera dari Pexels

Bagian IV 

 — — 
Tanpa berpikir lagi, ku congkel saja pintu kamar Keumala 7 ini, bersamaan dengan pintunya terbuka, aku langsung sigap bersembunyi di balik tembok luar… tangan sudah siap dengan sebuah pistol.

“Satu… dua… tiga…” aku berhitung dalam hati lalu mengintip ke dalam… tak ada siapapun.

Meski begitu aku memberanikan diri untuk berjalan masuk dan... kosong!

“Sialan, kenapa jadi begini…?”

Lagi-lagi aku menatap layar ponsel pelacak, objek titik yang tadi tetap ada tapi orangnya tidak ada. Yang membuatku sangat curiga, objek titik diriku ada dan malah menunjukkan aku sekarang berada di kamar 7.

Masih juga tidak percaya, ku geledah saja seisi kamar ini mulai dari ruang depan bahkan sampai ke toilet. Tapi… aku benar-benar tidak menemukan adanya tanda seseorang.

Bingung berat, apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa ponsel pelacak ini malah tidak akurat sedangkan posisiku terbaca dengan baik? Apa yang dilakukan oleh orang itu?

Sembari berpikir, aku berjalan ke tepi jendela yang tertutup oleh tirai gorden berwarna putih. Kamar 7 di ruang inap Keumala ini memang tidak terhubung lagi dengan gedung lainnya, maka pemandangan dari jendela langsung terlihat ke luar sana. Aku memandang ke bawah, kamar ini berpas-pasan dengan parkiran sepeda motor.

“Detektif…?”

Aku menoleh ke belakang tepat di ambang pintu, perawat wanita tadi berdiri di sana dengan kedua telapak tangan saling menggenggam. Wajahnya terlihat sedikit panik, aku menyadarinya.

“Kau bertugas malam, kan?” tanyaku. Dia mengangguk. Lalu aku melanjutkan “berapa orang dari kalian?”

“Kami berempat…”

“Lalu di mana tiga orang yang lain?”

“Mereka sedang turun ke bawah karena ada keperluan. Satu lagi sedang membeli makanan ringan.”

Aku menatap dalam-dalam perawat ini… “kau sedari tadi di sini?”

Wanita itu kembali mengangguk, “sejak pukul 7 aku sudah di sini.”

“Dari pukul 7 sampai sekarang, apa kau ada keluar-keluar dari ruangan ini…?”

“Tidak… aku memang terus di sini.”

“Lalu, apa kau ada melihat orang lain yang datang selain tamu yang menjenguk pasien…? Maksudku… orang yang kau anggap mencurigakan.”

Ia menggelengkan kepala, “malam ini bahkan tidak ada satu pengunjung yang datang untuk menjenguk.”

“Begitu ya…” kataku sambil memperhatikan ponsel pelacak. Titik objek yang ku anggap si peneror itu masih juga terlihat.

“Maaf, sebenarnya apa yang terjadi sampai kau datang ke sini?”

“Ada seseorang… dia berbahaya. Sedari tadi aku melacak keberadaannya dan seharusnya... ia berada di kamar ini.”

Mendengar jawabanku, perawat ini semakin ketakutan. Raut wajahnya benar-benar tidak bisa ia sembunyikan.

“Jangan panik…” aku mencoba menenangkannya.

“Tidak, kok… aku baik-baik saja.”

Dia memang pandai berbohong. Terlihat dari caranya menjawab sambil tersenyum, seolah-olah ingin menunjukkan padaku dia tetap tenang. Padahal, jelas wajahnya memperlihatkan hal sebaliknya.

Sudahlah, sepertinya si peneror itu memang tidak ada di ruang inap Keumala. Aku sudah dibohongi dengan cara seperti ini. Sungguh sangat memalukan.

Dan karena aku tidak menemukan apapun di kamar 7 ini, ku putuskan untuk keluar. Ketika baru berjalan tiga langkah, tak sengaja mataku menangkap biasan cahaya kerlap-kerlip warna biru. Biasannya terlihat dari sisi kiri, tepat di mana sebuah tv terletak di atas lemari.

Spontan diriku menoleh ke sana dan ya… cahaya biru itu berasal dari tv.

Tap tup tap tup

“Seperti alat pelacak punyaku…” aku berujar dalam hati.

Sekarang aku mulai mengerti. Si peneror itu sengaja meletakkan benda ini di kamar 7, barangkali dia ingin mengecohku. Jika demikian, pasti orang itu ada masuk ke kamar ini. Meski begitu, aku tidak tahu kapan dirinya berada di sini sebab perawat wanita tadi mengatakan tak ada orang asing yang masuk ke sini.

Tapi aku yakin pasti ada, sebab benda kecil yang tertempel di tv adalah sebuah pendeteksi, seperti pemancar sinyal yang biasa ku gunakan untuk mengejar pelaku jika aku gagal menangkapnya. Aku sering menggunakan chip ini untuk ku tempelkan ke baju atau kendaraan yang pelaku gunakan. Jadi, ke manapun dia pergi dan di mana pun dia berada akan terdeteksi olehku selama benda itu masih melekat padanya.

Dengan kata lain, si peneror menggunakan chip ini untuk mengecohku ketika aku melacaknya. Jika sudah seperti ini, berarti dia tahu aku melacaknya dengan ponsel. Selain itu, dia juga tahu aku meretas kamera CCTV untuk mencari titik keberadaannya, menghubungkan setiap kameranya dengan ponselku juga.

Kini, aku cuma punya satu kebenaran tentang si peneror ini… dia dapat memprediksi serta membaca segala taktik yang ku lakukan. Dia tahu strategiku, dia tahu kelebihan serta kekuranganku. Dan aku hanya dapat bertanya-tanya, siapa sebenarnya dia? Seperti apa orangnya? Aku sangat penasaran dengan sosok misterius ini.

“Apa ada sesuatu, detektif?” perawat tadi berjalan mendekatiku.

“Hanya benda kecil… ini menandakan ada orang yang masuk ke sini tanpa sepengetahuanmu.”

“Bagaimana bisa?”

Aku lantas berdiri dan kembali ke tepian jendela. Ada tiga jendela dan semuanya punya kunci untuk dibuka. Kemudian, aku menoleh ke perawat itu.

“Tak ada yang menyadari jika sebuah chip pelacak tertempel manis di sisi tv.”

“Aku tidak mengerti maksudmu…”

“Orang yang sedang ku cari… dia masuk melalui jendela ini, lalu meletakkan benda pelacak di sebelah tv dan pergi.”

“Untuk apa…?” perawat wanita ini kebingungan.

“Untuk menjebakku diriku.”

Aku adalah orang yang lihai melihat sikap seseorang ketika sedang berbicara hanya dari menatap wajahnya dan juga gerak-gerik tubuh. Dari mataku, aku tahu bahwa perawat wanita ini memang tidak tahu sama sekali tentang seseorang yang masuk ke kamar 7. Maka, ku jelaskan sedikit meski tidak harus ku rincikan.

Saat sedang berbicara dengannya, aku menyadari sesuatu. Ada pelacak kecil yang juga ku tempelkan di pakaian Benny dan seharusnya masih terhubung denganku, ya selama alat itu masih bersamanya.

Ku utak atik sedikit jam tangan… benar saja, sebuah titik yang menggambarkan keberadaan Benny terlihat jelas. Sekarang dia berada di lantai 4, dan sedang berjalan menuju lantai lima.

Rumah sakit ini semua berlantai enam. Aku berhenti sejenak untuk berpikir. Tiga detik selanjutnya, diriku tergerak untuk melihat kembali isi pesan yang dikirim oleh sang peneror saat aku dan Benny masih di rumah.

Aku mengambil ponsel lalu membuka pesan Whatsapp dari orang itu… membacanya dengan cermat… secermat sebelumnya.

Dia mengirim beberapa angka yang mana Benny dan diriku meyakini itu adalah kode-kode tentang si peneror tersebut.

2 7, 3 0, 11 dan 06.

Awalnya aku meyakini bahwa 06 itu Rumah Sakit Umum Cot Jambee sebab menurutku rumah sakit ini terletak di jalan …. 06. Lalu bagaimana dengan 27, 30 dan 11 ini?

Menurut Benny, ketika dalam perjalanan ke rumah sakit, dia berpendapat bahwa angka 27 itu adalah tanggal, serta 11 merujuk pada bulan. Adapun 30 dia masih belum mengetahuinya.

Tapi, ku dalami lagi angka-angka ini. Sepertinya ada sesuatu yang janggal hingga kami berdua salah mengartikannya. Ya… sekarang aku beranggapan demikian.

“Angka 27 dan 30 ternyata ditulis terpisah, ada spasi-nya…” gumamku dalam hati yang baru menyadari ini.

Aku mengambil buku catatan kecil dan pulpen lalu menulis ulang angka-angkanya.

2 7, 3 0, 11, 06. Baiklah… bagiamana jika aku menulisnya seperti ini; 2–7, 3–0, 11, 06.”

Oleh karena angka 2 7 dan 3 0 itu terpisah dengan spasi, maka aku menyimpulkannya dengan memisahkan menggunakan garis.

Lalu diriku berkata dalam hati, “sejak aku tiba di Rumah Sakit Cot Jambee, si peneror ini mampu menjebakku dengan cara yang persis hampir sama seperti caraku melakukannya.”

Baiklah, bagaimana jika aku memberi kesimpulan sementara:

Pertama; dia memadamkan listrik.

Kedua; dia merusak lift.

Ketiga; dia menjebakku dengan alat pelacak sehingga ku pikir aku melacaknya ke ruang inap Keumala padahal dirinya tidak di sini.

Keempat; di memutuskan koneksi jaringan keberadaan aku dan Benny.

Oke… semua yang dia lakukan persis sama seperti apa yang ku lakukan ketika mencari sarang para bandit. Sialan, dari tadi aku tidak menyadari ini. Jika begini, apakah mungkin sekarang dia tahu keberadaanku? Kemungkinan besar jawabannya iya.

Aku tidak ingin memikirkan itu sekarang dan lebih tertarik untuk menerjemahkan angka-angka tersebut. Entah kenapa di kepala terbesit… 2–7; angka 2 sebagai tokoh dan tokohnya ada dua orang. Adapun 7 aku berasumsi itu adalah lantai paling atas. Mengingat rumah sakit ini hanya enam lantai, maka lantai terakhir adalah atap.

Selanjutnya 3–0; angka 3 aku merujuk lantai tiga tepatnya di ruang inap Keumala. Lalu 0 itu barangkali adalah chip yang ia letakkan di kamar 7. Dengan kata lain, 0 adalah tipuan karena si peneror sengaja menipuku dengan memberi tanda-tanda dirinya ada di kamar ini tapi kenyataannya hanya alat pendeteksi. Sederhananya, mungkin dia ingin mengatakan bahwa sebenarnya di lantai tiga ruang inap Keumala kamar 7 tidak ada dirinya.

Lalu ada angka 11; yang satu ini masih membuatku ragu. Tapi pikiranku berdalih bahwa penjelasan di balik angka sebelas itu adalah sosok dua orang yang memiliki pembawaan karakter yang sama. Dengan kata lain, dua tokoh itu adalah aku dan si peneror.

Aku tak tahu kenapa malah terpikir seperti ini. Namun, jika ku kilas balik semua kejadian sejak diriku tiba di Rumah Sakit Umum Cot Jambee, si peneror itu seakan-akan meniru segala taktik yang ku lakukan saat menjalani misi. Oleh sebab itu, aku berasumsi bahwa angka 11 ini merujuk pada kami berdua.

Terakhir angka 6; aku yakin bahwa ini adalah pesan dari si peneror untuk mengatakan padaku posisinya berada, yaitu di Rumah Sakit Umum Cot Jambee.

Baiklah, jika firasatku mengenai angka 2-7, 3-0, 11 dan 6 itu benar, maka ada satu kebenaran yang sepertinya tak boleh ku kesampingkan, dan itu adalah sang peneror yang sudah menerorku sejak seminggu ini melalui pesan Whatsapp, dia melakukan pekerjaannya dengan cara meniruku. Jika benar demikian, lantas apa yang menjadi tujuannya…?

Tapi tunggu dulu, jika ku satukan semua angka yang dia kirimkan, barangkali isi pesannya seperti ini:

“Dua tokoh saling melacak di tempat berbeda, saling berperan sebagai pemeran utama sekaligus sebagai antagonis. Dan jika kau menganggapku sebagai berandal, carilah diriku di antara lantai tiga dan lantai ke tujuh. Saat nanti kita bersua, kita akan melihat dua sosok dalam satu karakter.”

Barangkali begitu isi pesan misterius si peneror menurut analisisku. Dengan kata lain, si peneror seakan-akan ingin memberitahu padaku posisinya namun berdasarkan kode angka yang dia tulis yaitu: 2–7, 3–0, 11, 06. Tapi ini hanya asumsi pribadi, jadi tidak ku jadikan sebagai pembenaran seutuhnya.

Yang jelas, sekarang aku tahu di mana orang itu berada. Ya, dia di atap rumah sakit. Dan semoga saja dirinya masih di sana.

“Detektif, kau mau ke mana?” Perawat wanita ini bertanya.

Aku yang awalnya ingin segera bergegas lalu berhenti sesaat, berjalan kembali ke arah tv di mana ada sebuah chip kecil di situ. Ku ambil benda mungil ini lalu menghancurkannya.

Setelah itu, ponsel yang ku gunakan sebagai pelacak juga ku matikan. Aku yakin, selama ponselnya hidup, si peneror itu pasti tahu ke mana saja aku pergi. Dan ini tidaklah menguntungkanku sebab bisa saja nanti dia melarikan diri dari atas atap.

Selesai melakukan pekerjaan, aku menjawab perawat tadi. “Jika besok ada yang bertanya kenapa gagang pintu kamar ini rusak, katakan saja Detektif Jimmy yang melakukannya. Aku yang bertanggung jawab.”

“Bb baik…”

Aku memandanginya sesaat yang masih berselimut dengan rasa takut.

“Semua akan baik-baik saja, jangan khawatir.” ujarku sambil menenangkan suasana hati wanita ini.

Bersamaan dengan anggukan kepalanya, aku memburu langkah ke tepi jendela, membukanya lalu ku keluarkan kepalaku sembari melihat-lihat ke atas.

“Apa yang anda lakukan?” dia masih penasaran.

Aku tak menyahutinya, hanya mengambil grapple gun untuk ku sasarkan ke atap jauh di atas sana. Mempersingkat waktu, aku naik ke kosen jendela lalu menoleh ke perawat itu.

“Sampai jumpa…”

Begitu selesai berceloteh, aku pun melompat ke bawah. Sesaat setelah diriku terjun, ku dengar wanita tadi menjerit histeris.

Dalam posisi terjun bebas ini, ku balikkan posisi tubuh dari yang tadinya menghadap ke bawah, kini aku menukar posisi menghadap ke atas. Seketika, jubah hitam yang ku gunakan mengembang karena terisi udara secara otomatis, membuatku terbang melayang sejenak.

Ketika posisiku di udara stabil, ku bidik grapple gun yang ku 0rgang dengan tangan kiri, menekan pelatuknya dan membuat tali menjalar keluar… terlilit rapi di sebuah besi penopang bak air. Tali di dalam senjata ini memang panjang dan masih juga terus mengeluarkan diri sebelum akhirnya ku hentikan.

Langkah selanjutnya, ku satukan talinya ke ikat pinggang, seketika tubuhku tertarik jauh ke atas. Kini, diriku terbang menerobos udara bebas.

Terhitung ada satu menit aku mempersiapkan grapple gun ini sejak terjun dari kamar 7 tadi. Begitu aku terangkat jauh ke atas hingga melewati atap Rumah Sakit Cot Jambee, aku melihat ada dua orang di sana serta menangkap suara yang terdengar agak kurang jelas. Tapi telingku cukup tajam menangkap kata-kata “Jim, apa yang kau lakukan di sini?”.

Suara ini berasal dari dua orang yang sedang berada di atap rumah sakit. Jika ku telaah, barangkali itu adalah suara Benny.

Saat aku kembali melayang ke bawah, baru aku menyadari, ternyata di sana memang ada Benny bersama seoramg pria yang berpakaian persis sama sepertiku. Tapi kemudian orang itu tiba-tiba mencekik leher temanku lalu memukuli wajahnya. Dari atas ku lihat Benny tercampak beberapa senti dan tergeletak jatuh karena hilang keseimbangan.

Kemudian di waktu bersamaan, lelaki yang terlihat mirip denganku menancapkan sesuatu ke paha Benny hingga dirinya menjerit-jerit.

Di sisi lain, aku yang akan segera mendarat sudah mempersiapkan sebuah bilah kecil di tangan kanan. Begitu kedua tumpuan kaki menginjak atap rumah sakit, aku berguling ke sisi kiri sebanyak tiga kali… dengan posisiku yang masih terbaring menyamping, langsung saja bilah kecil ini ku sasarkan ke kaki lelaki itu.

Pisau mungilku tertancap mulus di kaki kanannya. Dia berteriak histeris menahan rasa sakit.

“Aakkkhhh… keparat!!!”

Sedangkan aku berlari cepat dengan maksud menghabisinya di waktu yang tepat.

Tapi kemudian dia malah mengambil bilah kecil juga dan melempariku. Dua kaki terlambat mengubah haluan hingga pisau itu mengenai dadaku. Seketika aku terpental ke belakang.

“Kena kau…!” ujar pria itu dengan suaranya yang riang.

Kini aku hanya terbaring sembari kedua tangan memegang dada tepat di mana pisau yang ia lempar tadi tertancap. Darah juga mulai melumuri baju kaos hitam yang ku kenakan di balik jubah.

Dalam posisi seperti ini, ku dengar suara sepatu orang itu dengan jelas… ia sedang berjalan mendekatiku.

Bersambung…

Bagian V: Peniru

--

--