Kisah-Kisah Dalam Buku Harian Jimmy

Reza Fahlevi
9 min readMar 6, 2022

--

Foto oleh Monstera dari Pexels

Kisah ayahanda dari detektif Cot Jambee

— —

Ayahku, Hasan, adalah seorang jurnalis yang tewas terbunuh oleh seorang bandar narkoba. Mengulik dalam-dalam seorang buronan, Amiir, yang telah bertahun-tahun diinginkan oleh para polisi — ayahku seakan mengusik sarang si penjahat. Tapi jangan salah, ayahku dan Amiir adalah rekan lama yang sama-sama bekerja sebagai peliput berita di media Harian Cot Jambee, sampai pada akhirnya Amiir harus rela dipecat karena dituduh menyebarkan berita hoax.

Kejadian itu sempat membuat ayahku hilang rasa percayanya kepada Amiir. Tapi tidak bertahan lama sebab dua bulan setelahnya, ayahku kembali menganggap rekannya itu sebagai sahabat yang telah berjuang berdekade-kade di dunia jurnalis.

“Tak ada gunanya kita saling diam-diam menyimpan ego. Walaupun aku muak karna perbuatanmu, tapi kita ini kawan. Mulai sekarang, kita lupakan drama masa lalu sebab hidup sambil memikul ego — aku lelah.” ujar ayahku.

Hubungan mereka kembali erat meskipun catatan hitam milik Amiir perlahan juga menyerang ayahku. Banyak rekan kerjanya mengait-ngaitkan ayahku dengan sahabatnya itu. Tapi ayah tak peduli, baginya pertemanan yang sudah terjalin sejak SMA, tak ada alasan untuk menghapusnya dari dalam kepala hanya karena satu kesalahan saja.

Setelah Amiir dipecat, hidupnya semakin tidak berarah. Sulitnya mencari pekerjaan baru memaksanya harus beberapa kali meminjam uang ayahku. Tercatat dua tahun lelaki itu memburu pekerjaan, tapi tak satupun dirinya diterima. Dan entah mengapa ayahku terlalu baik padanya, ia rela menyisihkan setengah gajinya untuk Amiir yang sedang kosong total.

“Aku tau betapa susahnya mencari kerja. Aku sengaja menyisihkan setengah gajiku untukmu… tapi kau harus tetap mencari pekerjaan. Uang dariku bukan jaminan jangka panjang…” kata ayahku.

Maka, Amiir bertahan hidup hanya bermodalkan setengah dari jerih kerja ayahku. Lelaki itu sudah sebatang kara, akibat berita palsu yang pernah dibuatnya, tak ada satu orang pun yang ingin percaya lagi padanya termasuk sang istri — mereka bercerai setelah dua bulan Amiir dipecat. Hanya ayahku saja yang berani peduli pada orang itu.

Tepat setahun ia terus mengandalkan gaji dari ayahku, Amiir merasa dia tak boleh hidup terus-menerus seperti ini.

“Hasan, hari ini terakhir kalinya aku memegang uangmu. Mulai sekarang ku rasa sudah cukup. Jika terus seperti ini, aku malah semakin tak tau diri. Aku janji, cepat atau lambat aku pasti akan kembali kerja.” ujar Amiir meminta ayahku untuk tidak lagi mengorbankan setengah gajinya.

Dan lima bulan ke depan hingga seterusnya, ayahku dan Amiir sudah tidak berjumpa lagi sebab lelaki itu pindah tempat tinggal ke jalan Côt U. Lama terpisah karena kesibukan masing-masing, akhirnya sepuluh tahun kemudian mereka bertemu lagi untuk kali pertama. Seakan mengulang kisah-kisah lama, ayahku dan Amiir melepas hasrat kerinduan — dua sahabat yang telah lama tidak berjumpa.

Awal pertemuan mereka lagi, dihabiskan dengan banyak obrolan dari masa-masa SMA, kerja, hingga saat adanya konflik yang menyebabkan persahabatan mereka retak dalam beberapa waktu, sampai kepada ayahku yang rela mengorbankan setengah upahnya demi sahabat yang harus bertahan hidup setelah dipecat dari kerja. Tapi, reuni mereka berubah seketika setelah mendengar pengakuan Amiir bahwa dia memilih menjadi bandar narkoba. Ayahku terkejut di tengah permohonan sahabatnya meminta untuk tidak membeberkan ke orang lain.

“Aku tak punya pilihan lain, lapangan kerja yang sempit memaksaku harus meniti karir sebagai kriminal.” ujar Amiir.

“Tapi, jika kau ketahuan itu akan sangat membahayakan hidupmu.”

“Aku tak peduli. Yang ku tau, aku harus bertahan hidup tanpa ketergantungan dari orang lain. Sudah lebih dari cukup kau menanggung semuanya di masa lalu. Ku harap, kau mengerti pilihanku. Sekarang, waktunya kau untuk membenciku. Tapi — aku tak pernah melupakan jasamu.”

Sejak mengetahui Amiir menjadi bandar narkoba, ayahku punya dua pilihan; bekerja sebagai jurnalis dengan memberi informasi terpercaya — termasuk berita tentang penyelundupan narkoba, atau tetap bekerja sebagai peliput berita namun sedikit dimanipulasi kebenarannya. Pilihan ini berat sebab ayahku harus profesional tapi juga sahabatnya kini telah menjadi buronan.

Amiir memalsukan semua identitasnya dan satu-satunya yang tahu tentang itu adalah ayahku. Para polisi beberapa kali hampir berhasil menangkap Amiir tapi berulang kali pun dia lolos karena ayahku melindunginya. Terhitung dari percobaan pertama ia diburu, hanya bawahannya saja yang tertangkap. Sedangkan teman ayahku ini selalu berhasil lolos hingga ia dijuluki sebagai bandar narkoba ghaib.

Amiir semakin dikenal dengan nama“Fuudy”. Lebih dari setengah kota Cot Jambee, pemasukan narkoba hampir semuanya berasal dari tangan lelaki itu. Saat itu, kotaku ini harus memasang alarm merah pertanda maraknya kasus pemuda-pemuda yang memakai narkoba. Merehabilitasi pengguna obat-obatan itu sudah tidak ampuh lagi. Mereka sudah ketergantungan dengan zat itu.

Maka, para polisi mencari Fuudy sang pengedar yang tak lain adalah Amiir. Saat itu, ia diburu habis-habisan. “Fuudy, hidup atau mati”, dan “Kepala Fuudy berharga satu miliar”, kepolisian mulai menganggap serius sahabat ayahku ini.

Tapi, seperti yang ku katakan, orang itu selalu berhasil lolos bahkan di detik-detik dirinya hampir tertangkap.

“Amiir, aku akan tetap meliput berita tentangmu sebab itu adalah kewajibanku. Tapi kita sudah bersahabat lama, yang dapat ku lakukan adalah mengatakan keberadaan polisi — sisanya kau harus pikir sendiri cara untuk kabur dari mereka. Hanya itu yang bisa ku lakukan. Selebihnya, aku benci mengatakan ini… bahwa kau sekarang adalah seorang kriminal.”

Terhitung Amiir beberapa kali hampir mati tertembak, tapi Tuhan masih memberi nyawa kepadanya. Selalu, saat penyergapan orang ini, yang didapati oleh polisi hanya barang bukti — tidak lebih.

Namun, suatu malam Amiir terdesak, ia terkepung di tempat penginapannya, dan tak ada jalan keluar lagi. Saat itu, peringatan yang diberi oleh polisi adalah, “menyerah atau mati”. Semua sisi sudah siaga untuk menangkap dirinya. Dan ayahku, untuk kesekian kalinya menjadi sosok penyelamat. Ia datang menyelinap masuk ke kamar Amiir — hanya ayahku yang tahu — polisi tak ada yang curiga sebab memang ayahku sering meliput berita bersamaan dengan mereka — jika berita yang diliput berkaitan dengan aksi kriminal.

Maka ayahku dengan tenang masuk, tanpa dicurigai, tanpa sedikitpun ada yang bertanya — ia masuk dan mendapatii Amiir sudah pucat setengah mati.

“pakai ini… semuanya. Jangan buang-buang waktu karna sekarang kau ikut denganku.” kata ayahku.

“Kita ke mana?”

“kau tak boleh lagi berada di Cot Jambee. Kau tak boleh lagi berkeliaran di sini… tapi — aku juga tak tega melihatmu harus berada dalam sel. Di sana kau hanya sebentar saja karna tujuan sebenarnya adalah hukuman mati. Jadi, ikuti saja apa yang ku pinta jika kau masih ingin hidup.”

Amiir bergegas melakukan apa yang ayahku perintahkan. Ia kembali mengenakan seragam jurnalis lengkap dengan lisensi yang sengaja dibuat oleh ayahku. Ayah tahu itu melawan hukum sebab lisensi tersebut palsu. Tapi hanya untuk malam itu saja — pikir ayahku — ia rela melakukan segalanya untuk menyelamatkan nyawa Amiir.

Dengan setelan jurnalis yang dikenakan, sosok Amiir tidak lagi dikenali. Mungkin, penyebab mereka tak mengenali dirinya karena sejak pertama kali polisi menyebarkan gambar serta wajah Amiir, ayahku sudah mengubahnya sedikit-sedikit. Jadi, foto wajah yang sudah tersebar sebenarnya bukanlah Amiir melainkan hanya ilustrasi ayahku sendiri.

Maka, Amiir dan ayahku keluar dari kamar penginapan, berjalan tenang melewati para polisi yang masih tetap siaga menanti sang pengedar narkoba menyerahkan diri, lalu masuk ke mobil dan berlalu dari mereka semua. Saat polisi mulai bergerak menggeledah setiap kamar di penginapan itu — ingin menyergap paksa Amiir — yang mereka dapat hanya kamar kosong. Semua tempat di sana mereka geledah tapi tak ada sosok sang pengedar.

Di sisi lain, ayahku terus memacu mobil, membawa sahabatnya ke bandara. Tiket pesawat sudah di tangan, Amiir hanya tinggal berangkat saja dengan tujuan ke Amerika — sengaja ayahku mengirimnya ke sana agar semua catatan temannya ini lenyap.

Begitu tiba di bandara, mereka bergegas untuk check in.

“Mungkin pertemuan kita hanya sampai di sini…” ujar ayahku. Mereka lalu berpelukan.

Saat Amiir hendak menuju ke ruang tunggu, tiba-tiba ada beberapa polisi yang menyergapnya. Ia pun tak senapt lagi melarikan diri dan mesti rela ditahan.

Kerja bagus pak Hasan, akhirnya bandar narkoba bajingan ini tertangkap.” ujar seorang petugas.

Di sini lelaki itu merasa dikhianati oleh ayahku sebab pikirnya, ayahku sengaja membawanya ke bandara hanya untuk diserahkan kepada polisi. Sambil berjalan menuju ke mobil tahanan, Amiir menatap ayahku dengan sorot mata dendam. Saat itu terbesit dalam hatinya, bahwa ia pasti akan dihukum mati.

Sadar nyawanya sudah diambang kematian, maka tepat ketika petugas hendak memborgol tangannya, Amiir melawan dan berhasil kabur dari kawalan polisi. Ia bahkan berhasil merebut sebuah pistol dan kemudian langsung mengarahkan tembakannya ke ayahku — tepat mengenai dada… menusuk dan menembus ke dalam jantungnya. Seketika ayahku meninggal di tempat.

Sedangkan Amiir, ia merasa sudah menuntaskan dendamnya kepada ayahku, lalu melarikan diri. Tapi, sialnya, ia juga tertembak. Peluru tajam menghantam deras kepala lelaki itu yang berasal dari seorang sniper — bersembunyi di sebuah tempat. Amiir pun tewas tak berkutik.

Bandara Sultan Bermuda seakan menjadi saksi dari kematian dua sahabat yang sudah terjalin sejak lama. Usut punya usut, ternyata rekan sekantor ayahku, Majid, sudah mengetahui semua rencananya yang ingin membawa kabur Amiir. Jadi, keberadaan mereka di bandara diketahui oleh polisi karena Majid membeberkan semua secara sembunyi-sembunyi.

Satu sisi, Majid salah satu di balik penyebab ayahku meninggal dunia. Di sisi lain, ia tak sudi Amiir yang sudah menjadi incaran polisi melarikan diri. Maka, hal ini dilakukan olehnya agar rencana membawa kabur si pengedar narkoba gagal. Tapi, ia tak pernah menyangka ayahku tertembak. Niat Majid murni untuk menyergap Amiir, dan ia sama sekali tak berniat membuka rahasia antara ayahku dan sahabatnya itu.

Aku pernah berjumpa dengan Majid, ia menceritakan semua rahasia di balik terbunuhnya ayahku. Ia hanya ingin membuat ayahku sebagai pahlawan di depan para polisi. Hanya saja dirinya tidak memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi di luar perencanaannya. Meski begitu, ia sudah meminta maaf padaku, bahkan sampai rela meletakkan lisensi jurnalis-nya sebagai bentuk penyesalan terhadap kematian ayahku. Semua sudah terjadi, dan aku pun memaafkannya karena setidaknya ia sudah mengatakan kejujuran.

Barangkali, kesalahan ayahku adalah, ia tak pernah bisa menerima Amiir menjadi seorang pengedar narkoba. Alasannya menyembunyikan sahabatnya itu adalah agar Amiir berubah. Ayahku ingin menunjukkan padanya, di tengah tak ada seorangpun yang menerima sosoknya, ayahku tetap berada di sampingnya bahkan saat ia sudah di cap sebagai kriminal — seakan memberi pesan tersirat kepada Amiir bahwa, “aku ingin kau berhenti mengedarkan narkoba. Itu bukan ruang lingkupmu”. Sayangnya, ayahku tak pernah menyampaikan pesan itu secara lisan, ia terus menyimpannya jauh di dasar hati.

Tapi, ku coba pahami pilihan ayah yang ingin melindungi sahabatnya dari sergapan polisi. Aku percaya, pilihannya itu berat dan pasti dirinya sudah berulang kali memikirkan itu sebelum mengambil keputusan. Di sini, aku — tak ada alasan untuk menyalahkan ayahku sendiri. Dia sudah melakukan yang terbaik — semua pengorbanan yang diberikan kepada Amiir, bagiku itu merupakan niat tulusnya yang memang ingin membantu sahabatnya.

Meski sayangnya, ayah memberikan setengah kehidupannya kepada sosok pengedar narkoba. Walaupun Amiir sahabatnya, seharusnya ayahku mesti tahu sebuah batasan — ia tak seharusnya (lagi) ikut campur dengan kehidupan Amiir. Ketidakrelaannya menerima temannya ini berlabuh menjadi sosok kriminal, harusnya cukup dengan memberi sikap tegas kepada Amiir bahwa sahabat yang dikenal bukanlah sosok jahat — tanpa harus ikut andil membeberkan informasi kepada orang itu.

Mungkin, di situlah kelemahan ayahku, ia tak pernah sanggup melihat Amiir dianggap orang jahat. Kasih sayangnya sebagai seorang sahabat begitu besar hingga ayahku lupa bahwa kehidupannya serta keselamatan dirinya lebih penting dari sosok Amiir.

Hingga di detik terakhir kehidupan ayahku, sahabat yang sudah sejak dulu dilindungi, malah orang itu juga yang membunuhnya. Yang dulu ia rela menyisihkan setengah gajinya, tapi temannya sendiri tak pernah tahu caranya berterima kasih. Padahal saat itu, seandainya semua orang tahu penyebab selalu lolosnya Amiir itu dikarenakan ayahku, pasti ia akan dipecat secara tak terhormat dan bersiap-siap dibui dalam jangka waktu panjang. Tapi, sama sekali — sama sekali ayah tidak pernah memikirkan itu. Dalam dirinya, ia bekerja sebagai seorang jurnalis dan memastikan Amiir yang telah menjadi buronan polisi tetap hidup utuh. Walau pada akhirnya, ayah mati di tangan sahabatnya sendiri.

Meski begitu, para polisi dan semua rekan kerja, menganggap ayahku sebagai pahlawan yang telah ikut andil dalam penangkapan Amiir atau yang disebut Fuudy. Semua itu karena Majid, dia yang mengambil sikap tegas bahwa ayahku punya andil besar dan layak dianggap sebagai pahlawan.

Tapi bagiku, apa gunanya gelar pahlawan itu…? Sebab, pengorbanan ayahku lebih besar dari gelar yang dianggap dermawan oleh kalangan orang. Lagipula, untuk apa pun sebutan pahlawan karena kini sosok pahlawan itu sudah tiada? Ku yakini juga, ayahku tak pernah butuh pengakuan seperti itu.

Hanya aku — anak kandungnya — yang pantas memanggil ayahku sebagai pahlawan sebab, akulah yang tahu kisah di balik semuanya. Mereka yang tak tahu rahasia-rahasia tersembunyi, lebih baik ambil sosok lain untuk dijadikan pahlawan.

Ayahku — meninggalkanku saat diriku masih terlalu belia. Kekurangan yang ia miliki ku anggap wajar setelah aku tumbuh di bawah bimbingan orang-orang bijak. Yang awalnya aku sulit menerima apa yang telah dilakukan oleh ayahku, sekarang tak ada alasan untuk tidak memaklumi semua itu. Aku paham, segala pilihan yang diputuskan, ada beberapa yang harus dikorbankan. Ia memutuskan melindungi sahabatnya dengan resiko berat yang sewaktu-waktu bisa membahayakan nyawanya.

Dan ku yakini pula, sejak pertama kali ia memutuskan untuk melindungi Amiir, ia sudah siap dengan segala resiko yang datang padanya. Jika tidak, takkan mungkin ayahku mengorbankan segalanya kepada sahabat meski di akhir kehidupannya, sahabatnya-lah yang menyebabkan ayahku meninggal dunia. Bagiku, ayah adalah lelaki sejati yang berpegang teguh terhadap prinsipnya. Ia adalah pria yang memegang omongannya.

Sampai pada akhirnya, sosok ayah turun padaku. Hanya saja, aku belajar dari perjalanan kisah hidup ayahku. Yang menjadi kesalahannya di masa lalu, sebisa mungkin ku tutupi karna aku yakin, jika ayah masih hidup ia tak ingin aku berprinsip sama dengannya. Ia pasti akan berkata, “Jimmy, kau boleh menatap masa laluku sebagai cerminan, tapi tumbuhlah menjadi laki-laki atas prinsipmu sendiri — asalkan, jangan pernah kau hancurkan ketentuan yang telah ditetapkan”.

Ketentuan yang ku miliki ada dua; pertama, ketentuan yang menjadi milikku sendiri terhadap mana yang harus ku lakukan dan mana yang harus ku tinggalkan — kedua, ketentuan milik Tuhan yang memang tak bisa diganggu gugat lagi.

Ayahku merupakan alasan dasar kenapa aku memilih jalanku sendiri. Dia membentukku hingga kini aku tumbuh dan dianggap sebagai detektif di kotaku, Cot Jambee.

— BREAKING REZA

--

--

Reza Fahlevi
Reza Fahlevi

No responses yet